KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Penjelasan Pasal dapat Diuji Materiel ke MK RI

ARTIKEL HUKUM
Penjelasan Resmi suatu pasal peraturan perundang-undangan diadakan serta berguna untuk memberikan gambaran yang lebih utuh cara memaknai dan membaca kaidah dalam pasal yang dijelaskan oleh penjelasan resmi yang mendampinginya. Namun, bisa jadi Penjelasan Resmi suatu norma/aturan tertulis justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum ketika diimplementasi.
Sebagaimana kita ketahui, Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) telah menyatakan dalam putusannya bahwa putusan arbitrase nasional dapat seketika dimohonkan pembatalan pada pengadilan negeri tanpa syarat pemberat apapun. Dalam kesempatan kali ini kita akan meninjau apa yang menjadi latar belakang uji materil terhadap UU Arbitrase serta pertimbangan hukum MK RI.
Alhasil, baik putusan Arbitrase asing maupun Arbitrase lokal, dapat seketika itu juga diajukan pembatalan ke hadapan Pengadilan Negeri. Sebagai pembuka, mari kita simak ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase:
“Terhadap Putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut (antara lain):
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”
Frasa “diduga” artinya pembuktian dilakukan saat proses persidangan oleh Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus permohonan pembatalan putusan arbitrase, sehingga praktis tiada syarat pemberat apapun yang boleh dibebankan pada pemohon pembatalan, karena syarat permulaan adanya “dugaan” sudah memadai.
Dalam register perkara uji materil Nomor 15/PUU-XII/2014 yang diputuskan MK RI tanggal 11 November 2015, telah menjatuhkan putusan dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang diajukan oleh PT. Minerina Cipta Guna serta PT. Bangun Bumi Bersatu.
Yang menjadi objek judicial review ialah Penjelasan Resmi Pasal 70 UU Arbitrase yang berbunyi:
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”
Adapun yurisprudensi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi RI yang ada, sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-III/2005, serta sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, Penjelasan Undang-Undang merupakan bagian yang tak terpisahkan dan satu kesatuan dengan Undang-Undang, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili dan memutus Permohonan ini.
Adapun latar belakang pengajuan uji materil ini, para Pemohon merupakan pihak yang telah bersengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) serta telah diputus dalam register perkara Nomor 443/I/ARB-BANI/2012. Para Pemohon kemudian mengajukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase BANI tersebut ke pengadilan Negeri Bandung dan telah diputus dengan register perkara Nomor 157/PDT/PN-BDG/2013. Terhadap putusan PN Bandung tersebut, diajukanlah banding oleh BANI dan PT. PLN yang masih dalam proses di Mahkamah Agung.
Salah satu alasan banding yang diajukan oleh pihak lawan, ialah terkait dengan Penjelasan Resmi Pasal 70 UU Arbitrase yang menurut pihak lawan pembatalan putusan Arbitrase nasional bertentangan dengan isi dan norma yang terkandung dalam ketentuan Penjelasan Resmi Pasal 70 UU Arbitrase tersebut yang karenanya membuat adanya ketidakpastian hukum dalam proses hukum terkait dengan permohonan pembatalan putusan Arbitrase yang telah diajukan oleh para Pemohon Uji Materil.
Adalah mitos belaka, asumsi bahwa undang-undang dibentuk secara sakral dan penuh kecermatan. Pemohon mendalilkan, redaksional Pasal 70 UU Arbitrase menggunakan konsep “diduga”, sementara Penjelasan Resmi pasal yang sama menggunakan klausa “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan”, yang berarti bukan lagi dugaan, melainkan sudah terbukti. Kaitkan pula dengan ketentuan Pasal 71 UU Arbitrase berikut:
“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.”
Melihat realita fakta yuridis demikian, wajar ketika Pemohon mengajukan uji materil dengan dalil sebagai berikut:
“Pelaksanaan ketentuan Pasal 70 UUAAPS a quo tidak berdiri sendiri, melainkan harus dikaitkan dengan batasan waktu yang sangat sempit dan limitatif yang ditentukan di dalam ketentuan Pasal 71 UUAAPS, yakni hanya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Sehingga, jika diharuskan adanya alasan dengan bukti sebuah putusan pengadilan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase, maka hampir bisa dipastikan bahwa tidak akan pernah ada perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dapat memenuhi ketentuan tersebut, sebagaimana tercermin dalam banyak putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase dengan alasan ketentuan Penjelasan Pasal 70 UUAAPS. Padahal faktanya, dalam sistem hukum di negara mana pun, hampir dipastikan bahwa tidak ada proses hukum dugaan pidana yang meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang dapat memutus perkara dugaan pidana dalam waktu hannya 30 hari (kalender);
“Penjelasan Pasal 70 UUAAPS a quo telah membuat adanya ketidakpastian hukum bagi para Pemohon karena menimbulkan norma baru dan memuat ketentuan yang berbeda dengan batang tubuh pasal yang dijelaskan atau setidaknya telah memuat perubahan terselubung dari substansi dan isi norma pokok yang dituangkan oleh Pasal yang dijelaskannya;
“Kata ‘diduga’ menurut Kamus Bebas Bahasa Indonesia secara harafiah berarti ‘sangkaan’ atau ‘perkiraan’, yakni sesuatu yang belum pasti ada atau terjadi tetapi masih dalam proses untuk kepastian, atau singkatnya masih bersifat asumsi. Arti ini sangat jauh berbeda dan bertolak belakang dengan maksud yang dikandung dalam klausula redaksi ‘harus dibuktikan dengan putusan pengadilan’ yang merupakan penjelasan dari kata ‘diduga’ yang dimaksud dalam pasal 70 UU AAPS a quo karena sebuah putusan pengadilan berisi tentang pertimbangan fakta-fakta yang sudah mengalami proses pengajuan pembuktian baik dalam rangka verifikasi ataupun falsifikasi;
“Klausula yang tertuang dalam Penjelasan Pasal 70 UU AAPS mengenai pembuktian dengan putusan pengadilan merupakan sebuah norma baru yang berbeda, dan bahkan bertentangan, atau semacam sebuah perubahan yang terselubung dari norma yang terkandung di dalam substansi dan pokok isi Pasal 70 UU AAPS yang dijelaskannya;”
Sementara itu ketika kita merujuk Putusan MK RI register perkara Nomor 005/PUU-III/2005, MK RI menyatakan:
“Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundang-undangan, yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat pasal dan tidak menambahkan norma baru apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Lagi pula kebiasaan ini ternyata telah pula dituangkan dengan jelas dalam Lampiran [vide Pasal 44 ayat (2)] UU Nomor 10 Tahun 2004 yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang antara lain menentukan:
1. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan;
2. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu hindari membuat rumusan norma di bagian penjelasan;
3. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan.”
Pemohon sendiri memiliki pengalaman dalam putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 157/Pdt.G/2013/PN.BDG dimana Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum berikut:
“Menimbang, bahwa dalam praktik proses perkara pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di persidangan hingga perkara diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap tidak mungkin dilaksanakan hanya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, apalagi proses perkaranya melalui banding hingga kasasi;
“Menimbang, bahwa Majelis berpendapat bahwa bukanlah kata-kata yang tercantum dalam Pasal 70 UUAAPS adalah kata “...diduga...” yang berarti belum pasti keberadaannya, mengapa dalam Penjelasan Pasalnya mengharuskan adanya putusan pengadilan yang notabene sebagaimana telah dipertimbangkan di atas harus diartikan sebagai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap?
“Menimbang, bahwa Penjelasan dari pasal-pasal yang bersangkutan (Pasal 70 dan Pasal 71 UUAPS) seharusnya berfungsi untuk memperjelas atau mempertegas, namun karena tidak sejalan yang dapat menghambat hak dari pihak pencari keadilan, maka manakah yang harus dipertahankan dan mana yang harus dikesampingkan?”
Pemohon kembali menguraikan, kerancuan dan pertentangan norma tersebut membuat kebingungan dan ketidakpastian hukum, serta justru menghalangi hak para pencari keadilan untuk menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan terhadap putusan arbitrase.
Disatu sisi UU Arbitrase membuka pintu bagi warga negara untuk mengajukan pembatalan putusan Arbitrase yang diduga mengandung unsur-unsur yang melawan hukum, tetapi di sisi lain justru pintu tersebut ditutup sendiri oleh Penjelasan Resmi pasal yang sama.
Apa yang menjadi pendapat Mahkamah Konstitusi RI terhadap permohonan uji materiil UU Arbitrase ini? Berikut salah satu petikan pertimbangan hukum Majelis:
“Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas maka penyelesaian sengketa, diajukan kepada lembaga apapun—pengadilan atau arbitrase—sesungguhnya lembaga dimaksud adalah pihak ketiga yang mendapat kepercayaan dari para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, selain lembaga dimaksud harus independen dan imparsial, para pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian tersebut harus sungguh-sungguh, terbuka, tulus dan jujur. Tiadanya hal tersebut pada salah satu dari kedua belah pihak, sehingga merugikan pihak lain maka pihak lain tersebut harus diberi kesempatan untuk mengajukan pembatalan kepada pengadilan yang berwenang. Terkait dengan hal tersebut Pasal 70 UU 30/1999 mengatur, yang pada pokoknya bahwa terhadap putusan arbitrase salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan ke pengadilan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur ketidakjujuran, yaitu ... ;
“Penjelasan pasal tersebut menyatakan, pada pokoknya, bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan mengenai terbukti atau tidak terbuktinya aalsan permohonan pembatalan putusan arbitrase menjadi dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Terhadap penjelasan pasal tersebut para Pemohon mengajukan pengujian konstitusional dengan alasan sebagaimana diuraikan di atas;
“Kata ‘diduga’ menurut Mahkamah memberikan pengertian hukum mengenai kaidah bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase, salah satunya adalah adanya dugaan pemohon yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase mengenai terjainya alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut. Dugaan pemohon bersifat hipotetis, subjektif, sepihak, dan a priori. Adapun frasa ‘harus dibuktikan dengan putusan pengadilan’ yang terdapat dalam Penjelasan pasal tersebut memberikan pengertian hukum bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase, salah satunya adalah adanya alasan yang dimaksud dalam pasal tersebut, telah dibuktikan dengan putusan pengadilan, bahwa apabila syarat tersebut memang harus demikian seharusnya ditambah “yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap’, sehingga seharusnya selengkapnya menjadi ‘harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap’.
“Menurut hukum akan menjadi masalah bila putusan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Frasa ‘harus dibuktikan dengan putusan pengadilan’ merupakan pengetahuan yang tidak lagi bersifat hipotetis, subjektif, sepihak, dan apriori, karena telah diverifikasi melalui proses pembuktian.
“Jadi, menurut hukum pengetahuan tersebut telah dibuktikan, sehingga bersifat posteriori. Hanya oleh karena putusan tersebut adalah putusan pengadilan yang didasarkan pada proses verifikasi oleh pengadilan pula maka mesti tersedia upaya hukum dan oleh karena itu pula putusan tersebut mestinya harus sudah final. Menurut Mahkamah Penjelasan tersebut mengubah norma pasal dan menimbulkan norma baru. Norma dalam pasal hanya mensyaratkan adanya dugaan yang bersifat apriori dari pemohon sedangkan dalam Penjelasan mengubah makna dugaan menjadi sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan dan bersifat posteriori. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon bahwa penjelasan tersebut menambah norma baru dan menimbulkan ketidakpastian hukum, terbukti menurut hukum;
“Menimbang, bahwa dengan adanya penjelasan dimaksud apakah pasal tersebut menjadi multi tafsir sebagaimana didalilkan para Pemohon sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Menurut Mahkamah, pasal tersebut sudah cukup jelas (expressis verbis), sehingga tidak perlu ditafsirkan. Yang justru menimbulkan multi tafsir adalah penjelasan pasal tersebut. Paling tidak multi tafsirnya adalah: (i) bahwa penjelasan tersebut dapat ditafsirkan apakah alasan pengajuan permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih dahulu sebagai syarat pengajuan permohonan pembatalan, atau (ii) bahwa alasan pembatalan tersebut dibuktikan dalam sidang pengadilan mengenai permohonan pembatalan.
“Dengan perkataan lain, apakah sebelum mengajukan permohonan pembatalan, pemohon harus mengajukan salah satu alasan tersebut ke pengadilan untuk memperoleh putusan dan dengan alasan yang telah diputuskan pengadilan tersebut menjadikan syarat untuk pengajuan pembatalan. Atau, syarat alasan yang masih menjadi dugaan pemohon tersebut harus dibuktikannya adlam proses pembuktian permohonan di pengadilan tempat diajukannya permohonan pembatalan. Dua tafsir terhadap penjelasan tersebut jelas berimplikasi terjadinya ketidakpastian hukum, sehingga menimbulkan ketidakadilan. Selain itu, manakala tafsir yang pertama dipergunakan, berarti pemohon dalam mengajukan permohonan pembatalan tersebut akan berhadapan dengan dua proses pengadilan. Implikasinya, akan memakan waktu yang tidak sesuai dengan prinsip arbitrase yang cepat sebagaimana dimaksud, antara lain, dalam Pasal 71 UU 30/1999. Apabila harus menempuh dua proses pengadilan, maka tidak mungkin jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut dapat dipenuhi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum;
AMAR PUTUSAN
Mengadili
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1. Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Sebelum terbitnya putusan MK RI tersebut diatas, dalam realitanya guna rasionalisasi, beberapa Majelis Hakim berbagai Pengadilan Negeri telah melakukan “partial judicial review” terhadap keberlakuan Penjelasan Resmi Pasal 70 UU Arbitrase, demi mengakomodasi para pencari keadilan.
Terkadang motif pembentuk undang-undang patut dipertanyakan. Adalah berbahaya ketika hakim patuh secara membuta terhadap bunyi ketentuan undang-undang tanpa mempertanyakan manfaat dari keberlakuan suatu kaidah normatif hukum tertulis tersebut lewat uji materil secara parsial oleh Majelis Hakim Pengadilan Umum—meski hakim PM tidak berwenang membatalkan kaidah hukum secara general namun setidaknya dapat dinyatakan tidak aktif / dibekukan khusus terhadap perkara yang dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan diputus secara kasuistik. Justice delayed is justice denied—demikian beberapa hakim Pengadilan Negeri memahami dengan baik prinsip dasariah peradilan umum ini.
Namun satu hal yang dapat kita petik dari perkara ini, ketika terjadi kontradiksi makna antara bunyi suatu pasal peraturan perundang-undangan dengan Penjelasan Resminya, berpeganglah pada bunyi kaidah pada batang tubuh Pasal, bukan Penjelasan Resminya—meski resiko berjumpa hakim legalistis tetap ada sebelum Penjelasan Resmi yang overlaping tersebut dibatalkan oleh MK RI.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.