KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Pengunduran Diri Pekerja Bersifat Bersyarat Batal

LEGAL OPINION
Question: Bila karena tipu muslihat ataupun janji-janji bujukan dari pengusaha agar seorang karyawannya mengundurkan diri, namun setelah sang karyawan benar-benar mengundurkan diri akan tetapi pihak pengusaha tidak juga kunjung merealisasi janjinya untuk memberi kompensasi uang tali-asih, maka apakah pengunduran diri demikian dapat dibatalkan oleh hukum? Bagaimana juga bila karyawan memperkarakan hal ini di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)?
Brief Answer: Dalam dunia niaga, praktik penawaran pemberi kerja agar buruh / pekerjanya mengundurkan diri dengan janji diberikan sejumlah nominal kompensasi, dikenal dengan istilah “golden shakehand”. Pengunduran diri demikian sifatnya adalah bersyarat batal—dalam arti bila syarat tidak terpenuhi, maka pengunduran tersebut menjadi batal demi hukum.
Pihak pengusaha yang ingkar janji dalam konsensus golden shakehand dengan pihak pekerja / karyawannya, maka hakim pada PHI akan mengategorikannya sebagai pemutusan hubungan kerja (PHK) karena alasan efisiensi dengan konsekuensi yuridis dibebani kewajiban membayar pesangon 2 (dua) kali ketentuan normal. Namun bila Majelis Hakim menemukan adanya pelanggaran oleh pekerja terhadap perusahaan sebelum terjadinya pengunduran diri, pekerja hanya berhak atas pesangon 1 (satu) kali ketentuan.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan PHI Jakarta perkara sengketa hubungan industrial register perkara Nomor 97/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.JKT.PST tanggal 25 Juli 2016, antara:
- INDRA KUSUMAWIDJAYA TJONDRONEGORO, selaku Penggugat; melawan
- PT. PETRODRILL MANUFAKTUR INDONESIA, sebagai Tergugat.
Penggugat merupakan diangkat sebagai karyawan tetap Tergugat untuk dalam Divisi Operation & Admin Support dengan jabatan sebagai Wakil Direksi (Vice President) dengan upah Rp. 36.500.000,- terhitung sejak tahun 2014.
Pada tanggal 24 Oktober 2015, Penggugat dipanggil secara lisan oleh Direktur Tergugat, yang memerintahkan Penggugat untuk segera membuat surat Permohonan Pengunduran Diri, dimana atas pengunduran diri tersebut Tergugat menjanjikan akan memberi pesangon dan hak-hak normatif Penggugat. Tergugat memerintahkan Penggugat untuk mengembalikan segala dokumen perusahaan serta memberikan petunjuk dan informasi yang berkaitan dengan Perusahaan kepada pejabat baru yang akan menggantikan posisi Penggugat di dalam Perusahaan.
Penggugat menunjukkan itikad baik, pada tanggal 27 Oktober 2015 dengan mengembalikan kendaraan dinas, dokumen-dokumen Perusahaan serta memberitahukan tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh pejabat pengganti (serah terima), atau setidaknya Penggugat telah menyelesaikan seluruh kewajibannya sebagai pekerja.
Berdasarkan permintaan, bujukan, dan/atau rayuan dari Tergugat, akhirnya Penggugat mengajukan surat pengunduran diri pada tanggal 24  Oktober 2015. Pada tanggal 3 November 2015 Penggugat menghubungi Saudara Sani Handoko selaku Direktur Tergugat, yang pada intinya untuk menagih apa yang telah dijanjikan oleh Tergugat, namun Saudara Sani Handoko di dalam percakapan tersebut menyatakan hanya akan memberikan Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), sebagai uang tali kasih dan bukan sebagai uang pesangon, serta menyatakan kinerja Tergugat di dalam perusahaan “tidak bagus-bagus amat”.
Pernyataan yang dilontarkan Tergugat terkesan merendahkan martabat Penggugat. Hingga saat gugatan ini diajukan, Penggugat tidak pernah satu kalipun mendapatkan surat teguran atau surat peringatan dari perusahaan, sehingga hanya menjadi alasan saja untuk berkelit dari janji.
Hingga bulan November 2015, Tergugat tidak merealisasi apa yang dijanjikan. Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) berdasarkan surat permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, kemudian membuat anjuran tertulis sebagai berikut:
4. Bahwa karena pengunduran diri yang telah dibuat oleh pekerja dengan janji perusahaan akan memberikan uang pesangon kepada Pekerja, pengunduran diri pekerja adalah bersyarat.
5. Bahwa berdasarkan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, karena pihak pekerja mengundurkan diri dengan janji akan diberikan uang pesangon bukan didasarkan atas pelanggaran yang diatur di dalam Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dapat dipersamakan dengan EFISIENSI yaitu sesuai dengan pasal 164 ayat (3) yaitu Pekerja berhak mendapatkan uang pesangon 2 (dua) kali Pasal 156 ayat (2) dan uang penggantian hak sesuai dengan pasal 156 ayat (4).
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dan guna untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan penyelesaian permasalahan antara Sdr.Indra Kusumawidjaja den PT. Petrodrill Manufaktur Indonesia, Mediator Hubungan Industrial Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Utara.
M E N G A N J U R K A N
I. Pihak Pengusaha PT. Petrodrill Manufaktur Indonesia Jl. Lodan Raya No. 2 Lodan Center Blok M-3 A Ancol Barat Jakarta Utara membayarkan kepada Sdr. Indra Kusumawidjaja Tjondronegoro yaitu:
• Uang Pesangon: 2 x 3 x Rp.36.500.000,- = Rp.219.000.000,-
• Uang Penggantian hak: 15% x Rp.219.000.000,- = Rp. 32.850.000,- +
Total = Rp.251.850.000,- (Dua ratus lima puluh satu juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah)
II. Pihak Pekerja Sdr. Indra Kusumawidjaja Tjondronegoro agar dapat menerima uang pesangon dan upah proses.
Namun Penggugat menolak anjuran karena keberatan telah dinyatakan mengundurkan diri secara sukarela. Pengunduruan diri karena terkecoh, bukan kemauan sendiri dari Penggugat, dimana hal ini merupakan langkah Tergugat untuk menghindari tanggung jawab yang timbul akibat PHK.
Sehingga berdasarkan hal tersebut, Penggugat memohon kepada PHI untuk menyatakan membatalkan Pengunduran Diri karena adanya tekanan/intimidasi dari Penggugat. Selanjutnya Penggugat memohon PHI untuk menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat dengan memperhatikan ketentuan Pasal 155 jo. Pasal 156 jo. 157 UU Ketenagakerjaan serta anjuran yang dikeluarkan oleh Disnaker.
Atas gugatan sang mantan pekerja, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum diatas Majelis berkesimpulan bahwa Penggugat tidak akan melakukan mengundurkan diri atas kemauan sendiri, apabila tidak ada janji / bujukan / rayuan pemberian Pesangon dari Tergugat. Dan atas pengunduran diri Penggugat, hal ini menunjukan bahwa Penggugat mengakui secara diam-diam atas kesalahaannya yaitu tidak dapat bekerja sama lagi dengan atasan seperti tidak dapat menjembatani kedua Direksi dan tidak dapat menjalankan instruksi yang diberikan oleh Direktur Utama, serta mengakui beberapa tindakannya, apabila Penggugat tidak mengundurkan diri akan membahayakan perusahaan Tergugat, dimana kesalahaan tersebut melanggar Peraturan Perusahaan Pasal 40 ayat (3) huruf C;
“Menimbang, bahwa terkait pelanggaran Peraturan Perusahaan tersebut, Tergugat tidak menerbitkan Surat Peringatan (SP) kepada Penggugat, karena menurut Majelis pemberian SP dalam Peraturan Perusahaan Tergugat menjadi wewenang Departemen Human Resources Departement (HRD), dimana tidak mungkin Departemen HRD memberikan SP kepada Vice President in casu Penggugat;
“Menimbang, bahwa karena pengunduran diri yang dibuat oleh Penggugat bukan atas kemauan sendiri tetapi berdasarkan janji / bujukan / rayuan pemberian Pesangon (bersyarat) dari Tergugat, dan juga karena Penggugat melanggar Peraturan Perusahaan (vide Pasal 40 ayat (3) huruf C, maka untuk mengakhiri hubungan kerja terhadap Penggugat harus tetap mengacu pada peraturan perundang–undangan yang berlaku in casu Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Peraturan Perusahaan yang berlaku bagi Para Pihak di Perusahaan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 162 ayat (4) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri bukan atas kemauan sendiri, tetapi hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
“Menimbang, bahwa oleh karena pemutusan hubungan kerja Penggugat dilakukan sebelum memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka surat pengunduran diri pada 3 November 2015 harus dinyatakan batal demi hukum, oleh karena Surat Pengunduran Diri Penggugat tertanggal 24 Oktober 2015 harus dinyatakan batal demi hukum, sehingga petitum Penggugat angka (21) beralasan hukum untuk dikabulkan;
“Menimbang, bahwa mengingat pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat dinyatakan batal demi hukum, maka hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat harus pula dinyatakan tidak pernah terputus, namun demikian atas perselisihannya dalam perkara a quo Penggugat juga tidak berkeinginan untuk melanjutkan hubungan kerjanya, hal ini terlihat dari Penggugat menuntut agar Tergugat membayar uang pesangon, uang penggantian hak, dan uang proses sejak November 2015 menurut Majelis permohonan Penggugat tersebut adalah beralasan hukum yang cukup dan harus dikabulkan untuk sebagian;
“Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim menemukan fakta bahwa antara penggugat dengan tergugat sudah tidak menghendaki dilanjutkannya hubungan kerja, karenanya hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat harus dinyatakan putus sejak 3 November 2015, sehingga petitum Penggugat angka (22) tidak beralasan hukum untuk dikabulkan, dan oleh karenanya permohonan tersebut harus ditolak;
“Menimbang bahwa karena hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat telah dinyatakan putus sejak 3 November 2015, dimana diketahui bahwa Penggugat mengakui secara diam-diam atas kesalahaannya melanggar Peraturan Perusahaan, dan akibat dalam perselisihan perkara a quo, Penggugat juga tidak berkeinginan untuk melanjutkan hubungan kerjanya dengan Tergugat dan hanya mohon dibayarkan hak-haknya seperti uang pesangon, uang penggantian hak, dan uang proses sejak November 2015, maka dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan, dan berdasarkan Pasal 161 ayat (3) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka atas pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat tersebut, Tergugat wajib membayar hak–hak Penggugat yaitu uang pesongan sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang Penghargaan Masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003; dengan demikian petitum Penggugat angka (19) dan (23) beralasan hukum dapat dikabulkan untuk sebagian;
“Menimbang, bahwa oleh karena petitum penggugat angka (19) dan angka (23) dikabulkan untuk sebagian, mengingat masa kerja Penggugat adalah mulai sejak 1 November 2013 sampai dengan 3 November 2015 (2 tahun 2 hari), maka Tergugat berkewajiban membayar uang kompensasi kepada Penggugat secara tunai berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dengan rincian sebagai berikut: Uang pesangon 1 x 3 x Rp. 36.5000.000;00 = Rp. 109.500.000,00; ...;
“Menimbang, bahwa terkait dengan petitum Penggugat angka (24) yang meminta Tergugat membayar hak-hak Penggugat selama proses penyelesaian perkara sejak bulan November 2015 sampai putusan perkara ini dibacakan, Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat telah dinyatakan putus sejak 3 November 2015 dan faktanya sejak bulan tersebut Penggugat sudah tidak bekerja lagi pada Tergugat, maka berdasarkan Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 yang berbunyi “Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan”, maka berdasarkan ketentuan tersebut petitum Penggugat tersebut dinyatakan ditolak;
M E N G A D I L I :
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan sah secara hukum Surat Pengangkatan Karyawan Tetap No. ... tertanggal 28 April 2014;
3. Menyatakan batal demi hukum surat pengunduran diri Penggugat tertanggal 24 Oktober 2015;
4. Menyatakan “PUTUS” hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak tanggal 3 November 2015;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar uang kompensasi kepada Penggugat secara tunai berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak yang berjumlah Rp. 125.925.000,00 (Seratus Dua Puluh Lima Juta Sembilan Ratus Dua Puluh Lima Ribu rupiah);
6. Membebankan biaya perkara yang timbul dalam perkara ini kepada Tergugat;
7. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.