Penghuni Vs. Perhimpunan Penghuni Rumah Susun

LEGAL OPINION
Question: Lebih baik membeli hak milik landed house namun agak jauh dari pusat kota ataukah membeli hak milik atas unit rumah susun yang terletak di pusat kota, bila ditinjau dari segi hukum?
Brief Answer: Bila dari segi jangka panjang, landed house tetap lebih baik karena tidak terlibat hubungan hukum dengan mafia tanah berkerah putih. Dalam praktik, Perhimpunan Penghuni / Pemilik Rumah Susun bisa jadi tidak se-demokratis sebagaimana suatu komunitas hukum yang mana ketua, pengelola, serta kebijakan justru dipilih dan dirumuskan secara tidak secara partisipatif oleh para penghuni Rumah Susun.
Bila Anda tetap merasa perlu untuk memiliki unit Rumah Susun, pastikan bahwa Perhimpunan Penghuni / Pemilik Rumah Susun tersebut bukanlah “boneka” dari pihak developer.
PEMBAHASAN:
Putusan berikut diharapkan mampu memberi ilustrasi secara gamblang bagi masyarakat yang masih awam terhadap praktik kehidupan di Rumah Susun. Mafia tanah bukan hanya bermain pada proses pembebasan lahan untuk lokasi proyek property. Mafia tanah ada di depan mata Anda, namun bagai tidak kasat mata dan terjadi pembiaran secara masif oleh pemerintah, bagaikan negara tak berhukum sehingga warga pemilik Sarusun harus berjuang seorang diri menghadapi developer.
Mahkamah Konstitusi RI dalam perkara pengujian undang-undang (judicial review) register Nomor 21/PUU-XIII/2015 tanggal 10 Mei 2016, yang diajukan oleh tujuh orang Pemohon yang merupakan para pemilik satuan (unit) rumah susun.  Untuk itu terdapat dua hal yang terlebih dahulu perlu diketahui:
- Perhimpunan pemilik dan penghuni sarusun (PPPSRS) adalah badan hukum yang beranggotakan para pemilik atau penghuni sarusun.
- Pasal 74 UU Rumah Susun:
(1) Pemilik sarusun wajib membentuk PPPSRS.
(2) PPPSRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beranggotakan pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun.
(3) PPPSRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kedudukan sebagai badan hukum berdasarkan undang-undang ini.
Yang menjadi objek uji materil ialah ketentuan Pasal 74 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang menyatakan:
Pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS paling lambat sebelum masa transisi sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (2) berakhir.”—Bagaimana jika pihak developer sengaja tidak menjual habis seluruh unit Sarusun dan menyewakannya sehingga sampai kapanpun unit Sarusun belum terjual habis?
Frasa “pelaku pembangunan” dalam ketentuan diatas dinilai merugikan Para Pemohon untuk mempunyai hak milik pribadi. Sebagai pemegang hak milik atas satuan rumah susun (Sarusun), maka seharusnya Para Pemohon dapat berbuat bebas terhadap Sarusun yang dimilikinya dengan kedaulatan sepenuhnya tanpa mereduksi hak pemilik.
Keberlakuan pasal tersebut ditengarai menjadi pintu masuk praktik monopoli dalam pembentukan perhimpunan penghuni Sarusun oleh pelaku pembangunan oleh karena dipastikan adanya konflik kepentingan. Sementara itu Pasal 107 UU Rumah Susun mengatur:
“Setiap orang yang menyelenggarakan rumah susun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 30, Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52, Pasal 59 ayat (1), Pasa; 61 ayat (1), Pasal 66, Pasal 74 ayat (1) dikenai sanksi administratif.”
Terdapatnya sanksi administratif terhadap ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU Rumah Susun dinilai pula telah merugikan hak konstitusional Para Pemohon, sebab Para Pemohon bukan merupakan penyelenggara rumah susun, sehingga tidak tepat untuk dikenai sanksi administratif mengingat secara khusus subjek yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 107 UU Rumah Susun adalah penyelenggara rumah susun sementara Para Pemohon hanyalah pemilik Sarusun.
Menurut Pemohon, yang lebih tepat memfasilitasi pembentukan PPPSRS adalah pemerintah, agar lebih netral dan imparsial disamping pemerintah memang berkewajiban membina penyelenggara rumah susun.
UU Rumah Susun menyatakan, hak kepemilikan atas Sarusun merupakan hak milik atas Sarusun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Kepemilikan atas Sarusun dibuktikan dengan Sertifikat Hak Milik atas Sarusun (SHMSRS) atau Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG).
Pembentukan perhimpunan penghuni yang wajib difasilitasi oleh pelaku pembangunan, mereduksi hak pemilik Sarusun untuk berbuat bebas terhadap pembentukan PPPSRS dengan kedaulatan sepenuhnya demi kepentingan pemilik Sarusun semata, bukan disusupi kepentingan pelaku pembangunan.
SHIETRA & PARTNERS menilai, seakan UU Rumah Susun memberi hak kepada pihak developer untuk mengintervensi pembentukan perhimpunan penghuni. Hak untuk menentukan nasib sendiri, terutama pembentukan perhimpunan penghuni, adalah hak dari kalangan pemilik Sarusun semata.
Pemohon kembali mendalilkan, kewenangan yang sangat besar kepada pelaku pembangunan untuk memonopoli pembentukan perhimpunan penghuni, dipastikan akan berujung pada disusupinya kepentingan developer terhadap para pemilik Sarusun, sementara perhimpunan penghuni memiliki kekuasaan besar dikemudian hari dengan membuat berbagai pungutan serta kebijakan kepada para penghuni rumah susun. Pengelolaan rumah susun memiliki nilai ekonomis.
SHIETRA & PARTNERS hendak menambahkan, kerap terjadi, pembangun apartemen hendak memonopoli kewenangan menunjuk pengelola rumah susun yang tidak lain anak usaha dari pihak developer, dengan harapan mendapat pemasukan besar dari iuran bulanan yang dikutip dari para penghuni Sarusun. Para pemilik Sarusun mengecam dan hendak mengambil alih penguasaan atas rumah susun, sehingga sengketa berujung pada gugatan di pengadilan.
PPPSRS merupakan organ yang dibentuk untuk mengorganisir pengelolaan rumah susun, dimana pengelolaan tersebut meliputi kegiatan operasional, pemeliharaan, dan perawatan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Adapun yang menjadi kewenangan perhimpunan penghuni (PPPSRS), menurut Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, antara lain:
1. mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADRT) yang disusun pengurus dalam rapat umum perhimpunan penghuni;
2. mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ADRT;
3. menyelenggarakan tugas administratif penghunian;
4. menunjuk atau membentuk dan mengawasi badan pengelola dalam pengelolaan rumah susun dan lingkungannya;
5. menyelenggarakan pembukuan dan administratif keuangan secara terpisah sebagai kekayaan perhimpunan penghuni;
6. menetapkan sanksi terhadap pelanggaran yang telah ditetapkan dalam ADRT.
Singkat kata, PPPSRS memiliki peran strategis sebagai pengontrol pihak pengelola rumah susun, sementara pengelolaan rusun itu sendiri memiliki nilai ekonomis yang bila dikaitkan dengan keberlakuan Pasal 57 ayat (1) UU Rumah Susun:
Dalam menjalankan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2), pengelola berhak menerima sejumlah biaya pengelolaan.”
Latar belakang nilai ekonomis ini yang kemudian menjadi faktor pendorong disamping stimulus bagi pelaku pembangunan untuk menguasai PPPSRS—sehingga ditengarai keberlakuan pasal yang menjadi objek uji materil merupakan “pasal sponsor” pihak developer selaku entitas bisnis, mengingatkan kita pada kasus suap Raperda Reklamasi Teluk Utara Jakarta oleh Presdir Agung Podomoro Land.
Pelaku pembangunan acapkali mengulur waktu pembentukan PPPSRS. Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun mengatur bahwa pembentukan PPPSRS paling lambat sebelum masa transisi berakhir, sementara masa transisi ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan Sarusun kepada pemilik.
Pelaku pembangunan seringkali bersembunyi dibalik penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Rumah Susun yang mendefinisikan “masa transisi” sebagai masa ketika Sarusun belum seluruhnya terjual untuk mengulur waktu pembentukan PPPSRS.
Dengan modus ulur waktu demikian, pelaku pembangunan dapat menjadi pengelola rumah susun lebih lama. PPPSRS yang dibentuk dengan difasilitasi oleh pelaku pembangunan seringkali menyusun ADRT yang berpihak pada kepentingan pelaku pembangunan.
Menjadi beralasan keresahan Para Pemohon, bahwasannya pembentukan PPPSRS hanya bisa dilakukan apabila difasilitasi oleh pelaku pembangunan, sehingga kewajiban pemilik Sarusun untuk membentuk PPPSRS secara swadaya tidak dapat dilakukan secara serta-merta tanpa difasilitasi oleh pelaku pembangunan karena pemegang data pemilik Sarusun dimonopoli oleh developer.
Pemohon mengajukan ahli dari YLKI, yang memberi keterangan bahwa dalam beberapa modus, pembentukan perhimpunan penghuni tidak partisipatif, dikarenakan tidak hadirnya peran otoritas negara dalam hal ini abainya pemerintah cq. Dinas Perumahan. Setiap unit apartemen selalu ada ruang serbaguna yang tidak lain bagian bersama, namun selalu terjadi tarik-menarik kepentingan antara pengelola dengan penghuni. Pengelola berkepentingan menjadikan ruang serbaguna tersebut sebagai area komersial, sementara penghuni ingin mengembalikan fungsinya sebagai ruang serbaguna yang bisa digunakan untuk kepentingan dan keperluan para penghuni.
Persoalan berikutnya, besaran service charge atau tagihan listrik yang tidak transparan dan tidak akuntabel. Hal ini buntut dari pembentukan perhimpunan penghuni yang tidak partisipatif, sehingga menjadi wajar bila diikuti dengan masalah ikutan seperti minimnya pertanggungjawaban “perhimpunan penghuni” kepada para penghuni, kesukaran penghuni untuk mengakses laporan keuangan dan badan pengelola meski semua itu merupakan hak para penghuni.
Disebutkan pula, masalah yang muncul dalam proses penghunian ialah karena tiadanya bentuk kehadiran negara melindungi warga negaranya. Dalam praktik bahkan petugas dari pemerintah seolah tidak berdaya mengadapi pihak developer. Developer memegang kendali sebagai posisi dominan, sementara konsumen selaku penghuni adalah pihak subordinate.
Keganjilan terjadi ketika pengembang masih memiliki unit yang belum terjual sehingga masih atas nama pengembang, maka pengembang menempatkan nama dirinya sendiri sebagai pemilik / penghuni pula, maka terjadi kedudukan ganda yang sarat conflik of interest. Disatu sisi ia pengembang atau sebagai fasilitator, namun disaat bersamaan juga mengaku sebagai pemilik. Alhasil, kecenderungannya ketika dia memfasilitasi, ia juga punya kepentingan, seketika memasukkan orang-orang yang diberi kuasa sebagai pemilik untuk duduk di PPPSRS. Sehingga menjadi lebih rasional bila peran fasilitator itu diemban oleh Dinas Perumahan atau setidaknya Pemda.
Pemohon yang salah satunya memiliki unit di ITC Roxy Mas dengan PT. Duta Pertiwi sebagai developer yang sama dengan developer ITC Mangga Dua (lihat kasus Duta Pertiwi yang memidanakan Khoe Seng Seng selaku pembeli unit SHMSRS), memberikan keterangan di hadapan Mahkamah bagaimana modus pengembang membuat rapat perhimpunan penghuni yang hanya formalitas belaka sehingga yang menjabat sebagai pengurus dan pengelola perhimpunan penghuni adalah “boneka” kaki-tangan pihak pengembang.
Duta Pertiwi selain mengkriminalisasi Khoe Seng Seng selaku pemilik SHMSRS ITC Mangga Dua, kriminalisasi juga terjadi pada Pemohon selaku pemilik SHMSRS ITC Roxy Mas yang ditengari oleh kaki-tangan Duta Pertiwi gara-gara mencolok listrik disalah satu apartemen pada tahun 2008 dimana Pemohon masuk penjara hampir 3 (tiga) bulan dengan dakwaan pencurian listrik. Dari dua kasus terpisah ini kita dapat menyimpulkan, bagaimana instrumen hukum “dikemas secara apik” oleh developer dibawah grub Sinar Mas ini terhadap konsumen yang vokal mengkritisi ulah pengembang.
Sebagai contoh, ada luasan unit yang sengaja tidak dijual oleh pengembang, namun disewakan kepada supermarket, sehingga status pengembang juga adalah sebagai “pemilik karena memiliki SHMSRS”. Alhasil, orang-orang yang menjabat ketua, sekretaris, bendahara Perhimpunan Penghuni maupun penanggung jawab pengelola adalah “penghuni” setting-an pengembang.
Salah satu modus yang telah memakan korban kriminalisasi para pemilik SHMSRS baik ITC Roxy Mas maupun ITC Mangga Dua, ketika perpanjangan hak atas tanah bersama berupa Hak Guna Bangunan (HGB) dilakukan, secara sepihak perpanjangan HGB diberikan kepada bekas pemegang hak atas nama Duta Pertiwi lagi, sementara dalam akta jual-beli sudah meliputi bagian bersama secara proporsional sehingga semestinya menjadi atas nama seluruh pemilik SHMSRS secara proporsional pula, bukan atas nama developer kembali sebagai pemilik tanah bersama.
Pemohon memberikan contoh PT. Agung Podomoro Land sebagai developer, membangun hampir 50 apartemen di DKI Jakarta, pengelolanya adalah PT. Primadona Internusa, yang tak lain ialah anak perusahaan Agung Podomoro Land.
Pemohon memberi kesaksian, tidak dapat berbuat apa-apa di rumah susun sendiri, semua biaya tinggi, biaya listrik di-mark up (harga PLN Rp. 1.077,00 per KWH namun yang harus dibayar oleh penghuni ialah Rp. 1.500,00) namun penghuni tak berkutik, sertifikat induk tidak pernah dibalik-nama kepada perhimpunan penghuni.
Para Pemohon dengan latar belakang pengalaman beragam dengan pengembang yang juga beragam, memiliki nasib yang serupa, dan diketahuilah bahwa modus-modus pemerasan terhadap para pembeli SHMSRS dipraktikkan oleh berbagai pengembang property rumah susun secara masif.
Ketika developer menjadi fasilitator rapat guna pembentukan Perhimpunan Penghuni, developer yang akan memegang kendali, seperti intimidasi “penghuni boneka” (lewat surat kuasa) terhadap penghuni yang mengikuti rapat, praktik ulur-waktu sehingga hanya menyisakan para “penghuni boneka” yang terpilih sebagai pengurus Perhimpunan, voting bukan berdasarkan one man one vote namun persentase kepemilikan unit, dan akal bulus lain guna memastikan developer tetap bercokol terhadap property unit Sarusun yang telah dijualnya.
Atas permohonan uji materil tersebut, Mahkamah Konstitusi membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan dari Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (APERSSI) ... pada pokoknya menerangkan bahwa banyak sekali keluhan yang berkait dengan rumah susun, diantaranya belum diterimanya sertifikat rumah susun, serah terima yang tidak sesuai dengan perjanjian, luas bangunan unit rumah susun yang tidak sesuai dnegan perjanjian, iuran pengelolaan lingkungan/service charge yang mahal, termasuk keluhan mengenai sulitnya membentuk PPPSRS dimana pelaku pembangunan tidak bersedia memfasilitasi pembentukan PPPSRS dan menghambat pemilik dan penghuni ketika ingin membentuk PPPSRS sesuai dengan ketentuan UU Rumah Susun;
“Bahwa pelaku pembangunan mengelola rumah susun pada masa transisi, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Rumah Susun, adalah wajar sebagai masa persiapan bagi pemilik berlatih mengelola rumah susun. Masa transisi ditetapkan paling lambat satu tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) UU Rumah Susun, namun pada kenyataannya pelaku pembangunan selalu mengabaikan batasan satu tahun tersebut. Hal itu disebabkan tidak adanya sanksi hukum bagi pelaku pembangunan jika melanggar Pasal 59 ayat (2) UU Rumah Susun dimaksud. Sekalipun PPPSRS sudah terbentuk, pelaku pembangunan enggan menyerahkan rumah susun kepada PPPSRS karena mereka sadar tidak ada sanksi untuk itu. Pengelolaan menjadi daya tarik utama pelaku pembangunan karena pemasukan uang yang sangat besar, yaitu selain berasal dari iuran pemilik, sinking fund, iklan, listrik, dan air yang dinaikkan tarifnya serta parkir dan penyewaan bagian/benda-benda bersama.
“Membentuk PPPSRS tidaklah rumit. Masalahnya adalah antara pemilik dan pelaku pembangunan sering saling klaim sebagai pihak yang berhak duduk dalam kepenguruan PPPSRS, terutama berkenaan dengan unit sisa atau unit yang menjadi milik pelaku pembangunan. Dalam praktiknya, pelaku pembangunan kemudian menguasasi kepengurusan PPPSRS dan menunjuk pengelola yang merupakan kepanjangan tangannya sehingga merugikan penghuni rumah susun.
“Dalam kaitannya dengan sanksi administratif, menurut APERSSI, seharusnya yang dikenai sanksi administratif adalah pengelola masa transisi yang mengabaikan ketentuan Pasal 59 ayat (2), yaitu wajib mengelola rumah susun pada masa transisi yang berdurasi satu tahun. Sebab, pemilik Sarusun bukan tidak mau membentuk PPPSRS melainkan tidak dilayani atau tidak difasilitasi oleh pelaku pembangunan, meskipun rumah susun sudah diserahterima cukup lama. Hal ini dikarenakan pelaku pembangunan merasakan nikmatnya mengelola rumah susun pada masa transisi tanpa sanksi.
“... Mahkamah berpendapat: Bahwa, apabila permohonan para Pemohon dikonstruksikan bersama-sama dengan fakta-fakta yang terungkap adlam persidangan maka masalah yang sesungguhnya dari permohonan a quo adalah sulitnya pemilik Sarusun membentuk PPPSRS, padahal menurut Pasal 74 ayat (1) UU Rumah Susun, pembentukan PPPSRS merupakan kewajiban bagi pemilik Sarusun yang apabila tidak dilaksanakan, menurut Pasal 107 UU Rumah Susun, diancam dengan sanksi administratif yang jenisnya ditentukan dalam Pasal 108 UU Rumah Susun.
“Bahwa sulitnya pemilik Sarusun membentuk PPPSRS dikarenakan terjadinya perselisihan atau perbedaan pendapat antara pemilik Sarusun dan pelaku pembangunan dalam menafsirkan dan melaksanakan Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun yang mewajibkan pealku pembangunan memfasilitasi pembentukan PPPSRS.
“Dalam praktik, sebagaimana diterangkan oleh saksi-saksi para Pemohon, pengertian “memfasilitasi” tidak lagi semata-mata dimaknai memberikan segala fasilitas dan bantuan yang diperlukan bagi terbentuknya PPPSRS melainkan turut campurnya pelaku pembangunan sedemikian jauh dalam proses dan pemilihan pengurus PPPSRS, bahkan tidak jarang sampai berujung konflik.
“Bahwa, terlepas dari adanya dugaan motif keuntungan ekonomi yang mendasari keterlibatan pelaku pembangunan yang sedemikian jauh memaknai pengertian “memfasilitasi” pembentukan PPPSRS sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat, setidak-tidaknya terdapat dua kondisi yang turut mendukung keadaan demikian. Pertama, tidak adanya sanksi, setidak-tidaknya sanksi administratif, terhadap pelaku pembangunan yang gagal melaksanakan kewajibannya memfasilitasi pembentukan PPPSRS sebagaimana diharus oleh Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun.
“Adanya ketidakpastian yang disebabkan oleh terdapat perbedaan ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU Rumah Susun dengan penjelasannya. Pasal 59 ayat (2) UU Rumah Susun menyatakan, “Masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali sarusun kepada pemilik.” Sementara itu, penjelasan Pasal 59 ayat (2) UU Rumah Susun tersebut menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘masa transisi’ adalah masa ketika sarusun belum seluruhnya terjual.”
“Adanya perbedaan, bahkan pertentangan, antara bunyi Pasal 59 ayat (2) UU Rumah Susun dan penjelasannya itu dalam mendefinisikan ‘masa transisi’ dapat dijadikan pembenaran oleh pelaku pembangunan untuk bertindak selaku pengelola dengan alasan Sarusun belum seluruhnya terjual meskipun sudah melampaui jangka waktu satu tahun sementara ia diwajibkan oleh Pasal 59 ayat (1) UU Rumah Susun untuk menjadi pengelola selama masa transisi. Pasal 59 ayat (1) UU Rumah Susun menyatakan, “Pelaku pembangunan rumah susun umum milik dan rumah susun komersil dalam masa transisi sebelum terbentuknya PPPSRS wajib mengelola rumah susun.”
“Bahwa, berdasarkan uraian pada diatas, telah menjadi terang bagi Mahkamah bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil oleh berlakunya Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun adalah cukup beralasan namun hal itu bukan disebabkan oleh adanya frasa “pelaku pembangunan” dalam Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun, sebagaimana didalilkan para Pemohon, melainkan oleh adanya pertentangan antara Pasal 59 ayat (2) UU Rumah Susun dan Penjelasannya dalam mendefinisikan pengertian “masa transisi”.
“Oleh karena itu, Mahkamah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang tidak diartikan bahwa frasa “pelaku pembangunan” dalam Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun tersebut diartikan sebagai “Pemerintah”. Sebab, Pemerintah baru dapat diminta pertanggungjawabannya jika hal itu berkenaan dengan rumah susun umum, rumah susun khusus, dan rumah susun negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Rumah Susun, sedangkan keberlakuan Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun adalah terhadap rumah susun komersial.
“Bahwa meskipun Mahkamah tidak sependapat dengan para Pemohon dalam mengartikan frasa “pelaku pembangunan” dalam Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun, sebagaimana diuraikan diatas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemerintah tidak dapat melepaskan diri begitu saja apabila pelaku pembangunan tidak melaksanakan kewajibannya memfasilitasi pembentukan PPPSRS sebagaimana diharuskan oleh Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun dan/atau terdapat bukti-bukti yang cukup kuat bagi Pemerintah untuk tiba pada penilaian bahwa pelaku pembangunan telah dengan sengaja menafsirkan pengertian “memfasilitasi” dalam Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun tersebut sedemikian rupa sehingga “memfasilitasi” tidak lagi diartikan memberikan segala fasilitas dan bantuan yang diperlukan bagi terbentuknya PPPSRS melainkan semata-mata untuk menguasai pengelolaan rumah susun demi keuntungan ekonomi dengan memanfaatkan kelemahan yang terdapat dalam Pasal 59 ayat (2) UU Rumah Susun dan penjelasannya yang dikaitkan dengan kewajiban pelaku pembangunan untuk mengelola rumah susun sebagaimana ditentukan Pasal 59 ayat (1) UU Rumah Susun.”
Mahkamah Konstitusi kemudian merujuk ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Rumah Susun:
Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan rumah susun yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah.”
Yang bila dikaitkan dengan keberlakuan Pasal 70 UU Rumah Susun:
1. Pengendalian penyelenggaraan rumah susun dilakukan pada tahap:
c. penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan; dan
d. pengelolaan.
5. Pengendalian penyelenggaraan rumah susun pada tahap pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui:
a. pengawasan terhadap pembentukan PPPSRS;
b. pengawasan terhadap pengelolaan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.”
Pasal 70 ayat (1) UU Rumah Susun menegaskan lebih lanjut: “Pengendalian penyelenggaraan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dilakukan oleh pemerintah melalui:
a. perizinan;
b. pemeriksaan; dan
c. penertiban.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, Mahkamah Konstitusi melanjutkan petimbangan hukumnya:
“Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan fungsi pembinaan dimaksud, khususnya terkait dengan aspek pengendalian dan pengawasan, apabila terdapat cukup bukti dimana pelaku pembangunan sengaja menafsirkan pengertian “memfasilitasi” dalam Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan maksud ketentuan tersebut maka Pemerintah dibenarkan oleh Undang-Undang a quo untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk menjamin pelaksanaan UU Rumah Susun sesuai dengan maksud dan tujuannya. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 9 UU Rumah Susun yang menyatakan: “Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dilakukan untuk menjamin penyelenggaraan rumah susun sesuai dengan tujuannya.”
“Bahwa selanjutnya, berkenaan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 107 UU Rumah Susun bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang tidak menghilangkan frasa “Pasal 74 ayat (1)” dengan alasan bahwa subjek yang diatur dalam pasal a quo adalah penyelenggara rumah susun sehingga pemberian denda administratif kepada pemilik Sarusun tidak memberikan kepastian hukum yang adil sebab pemilik Sarusun bukanlah penyelenggara rumah susun, Mahkamah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon a quo.
“Pertama, benar bahwa perbuatan yang diancam dengan sanksi administratif dalam Pasal 107 UU Rumah Susun adalah perbuatan penyelenggara rumah susun namun tidak seluruuh aspek penyelenggaraan rumah susun otomatis dilakukan oleh atau berada di tangan pelaku pembangunan. Pasal 1 angka 2 UU Rumah Susun menyatakan, “Penyelenggaraan rumah susun adalah kegiatan perencanaan, pembangunan, penguasaan, pemanfaatan, pengelolaan, pemeliharaan dan perawatan, pengendalian, kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang dilaksanakan secara sistematis, terpadu, berkelanjutan, bertanggung jawab.”
“Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU Rumah Susun tersebut, kegiatan pengelolaan adalah salah satu kegiatan yang termasuk ke dalam ruang lingkup pengertian penyelenggaraan rumah susun. Adapun pelaku pembangunan hanya bertindak sebagai pengelola selama masa transisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1). Sementara itu, Pasal 74 ayat (1) adalah mengatur tentang kewajiban pemilik Sarusun membentuk PPPSRS dimana PPPSRS ini nantinya akan bertindak sebagai pengelola rumah susun, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 75 ayat (4) UU Rumah Susun.
“Dengan demikian, jika kewajiban membentuk PPPSRS tidak terlaksana maka dengan sendirinya kegiatan pengelolaan rumah susun tidak akan berjalan. Padahal, kegiatan pengelolaan mencakup aspek yang sangat luas, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 ayat (1) UU Rumah Susun, yaitu meliputi kegiatan operasional, pemeliharaan, dan perawatan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
“Bahwa kegagalan membentuk PPPSRS, sebagaimana diharuskan oleh Pasal 74 ayat (1) dengan alasan kegagalan itu disebabkan oleh campur tangan yang terlalu jauh dari pelaku pembangunan dalam menafsirkan pengertian “memfasilitasi” dalam Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun tidaklah menghapuskan kewajiban pemilik Sarusun untuk membentuk PPPSRS. Hal itu hanyalah dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan keberatan terhadap pengenaan sanksi administratif seandainya sanksi administratif dimaksud benar-benar dijatuhkan atau dilaksanakan. Lagipula, perihal hambatan pembentukan PPPSRS yang disebabkan oleh campur tangan pelaku pembangunan yang terlalu jauh dalam menafsirkan pengertian “memfasilitasi” pembentukan PPPSRS tersebut telah dipertimbangkan diatas.
AMAR PUTUSAN
Mengadili
“Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1. Menyatakan Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) sepanjang frasa “Pasal 59 ayat (2)” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa yang dimaksud dengan “masa transisi” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tidak diartikan 1 (satu) tahun tanpa dikaitkan dengan belum terjualnya seluruh satuan rumah susun;
1.2. Menyatakan Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) sepanjang frasa “Pasal 59 ayat (2)” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa yang dimaksud dengan “masa transisi” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tidak diartikan 1 (satu) tahun tanpa dikaitkan dengan belum terjualnya seluruh satuan rumah susun;
2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.”
Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah menolak apa yang diminta oleh Pemohon namun mengabulkan apa yang tidak diminta, bila kita merujuk kembali pada Penjelasan Resmi Pasal 59 Ayat (1) UU Rumah Susun:
“Yang dimaksud dengan “masa transisi” adalah masa ketika sarusun belum seluruhnya terjual.”
Silahkan para pembaca kaitkan kembali dengan menyertakan kaidah dalam amar putusan MK RI tersebut diatas dengan kedua pasal berikut dibawah ini:
Pasal 59 UU Rumah Susun:
(1) Pelaku pembangunan yang membangun rumah susun umum milik dan rumah susun komersial dalam masa transisi sebelum terbentuknya PPPSRS wajib mengelola rumah susun.
(2) Masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali sarusun kepada pemilik.
(3) Pelaku pembangunan dalam pengelolaan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan pengelola.
(4) Besarnya biaya pengelolaan rumah susun pada masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung oleh pelaku pembangunan dan pemilik sarusun berdasarkan NPP setiap sarusun.
Pasal 75 UU Rumah Susun:
(1) Pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS paling lambat sebelum masa transisi sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (2) berakhir.
(2) Dalam hal PPPSRS telah terbentuk, pelaku pembangunan segera menyerahkan pengelolaan benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama kepada PPPSRS.
(3) PPPSRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkewajiban mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan benda bersama, bagian bersama, tanah bersama, dan penghunian.
(4) PPPSRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membentuk atau menunjuk pengelola.
Bukankah kita akan semakin bingung? Setidaknya penulis kian merasa bingung terhadap amar putusan MK RI tersebut diatas. Jika Anda bertanya pada kami: “Jadi apa maksudnya putusan MK tersebut?” Hanya MK RI sendiri yang tahu.
Namun secara pribadi penulis menilai, MK RI justru menghapus norma Penjelasan Resmi Pasal 59 ayat (1) UU Rumah Susun, dan tidak mengabulkan apapun dari pasal yang diajukan keberatan oleh Pemohon. Praktis, pasca putusan MK RI tersebut diatas, Masa transisi ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali sarusun kepada pemilik (baru) sekalipun seluruh unit belum laku terjual.
Developer yang melanggar kaidah pasca putusan MK RI tersebut, dapat diajukan gugatan ke hadapan pengadilan, baik secara individu pemilik Sarusun maupun secara gugatan massal (class action). Namun masalah utama bukanlah terletak pada sudah atau belumnya dibentuk PPPSRS, karena dipastikan pihak developer akan dengan mudah segera membentuk PPPSRS. Kendala utamanya ialah masih berkuasanya pihak developer untuk merekayasa pembentukan PPPSRS sedemikian rupa, agar di-setting pengurus boneka kaki-tangan developer itu sendiri.
UU Rumah Susun yang baik seyogianya mengatur, bahwa ketika masa transisi 1 (satu) tahun berakhir, developer wajib menyerahkan data pemilik dan penghuni Rumah Susun kepada RT/RW yang menjadi wakil sementara para penghuni, dimana secara swadaya para penghuni membentuk PPPSRS secara independen dan mandiri sebagai pengganti RT/RW sementara.
Seakan tidak cukup puas dengan menjual unit rumah susun yang tidak dapat dibilang murah, rupanya dahaga akibat ketamakan memang tidak pernah terpuaskan, namun terus berusaha menghisap dari konsumennya sendiri untuk menggemukkan diri pihak developer itu sendiri. Hendaknya masyarakat tidak tergiur oleh harga perdana Sarusun yang ditawarkan developer, karena bisa jadi target yang disasar oleh pihak pembangun ialah kutipan dari service charge yang sifatnya rutin dan dalam hitungan jangka panjang akan bernilai melampaui harga jual Sarusun.
Dinasti kerajaan properti dibangun diatas landasan ketidakjujuran dan ketika pesta usai (tak ada pesta yang tak usai), ajal menjemput, yang tersisa bagi kalangan raja properti yang tidak etis demikian hanyalah tabungan karma yang matang dan siap untuk berbuah sesuai perbuatannya semasa hidup. Bos properti dapat menang melawan hukum negara semudah membalik telapak tangan, namun siapa yang dapat lari dari dewa kematian dan eksekutor hukum karma?
Sebagaimana meminjam istilah dari salah seorang Pemohon Uji Materil dalam ulasan diatas, “Mereka kokoh dan tidak peduli terhadap hubungan dengan pemerintah, jadi ibarat dalam negara ada kerajaan rumah susun.”
Perhimpunan Penghuni Rumah Susun adalah badan hukum yang memiliki ADRT layaknya Serikat Buruh/Pekerja, yang semestinya UU Rumah Susun menyatakan sifat badan hukum PPPSRS adalah bersifat nirlaba layaknya badan hukum yayasan atau setidaknya menyerupai konsep koperasi, sehingga bila terdapat sisa dari kas, semua itu dikembalikan untuk kepentingan para penghuni, bukan masuk dalam kas developer.
Jangan mudah tergiur oleh iming-iming harga murah unit apartemen/kondominium. Hitunglah dalam jangka panjang jika Anda harus membayar mahal maintanance fee, mark up tagihan listrik/air, service charge yang tidak transparan, hingga pungutan amortasi bangunan yang janggal dengan alasan untuk mendirikan kembali bangunan ketika umur pakainya konstruksinya habis—karena bila Anda menjual unit SHMSRS Anda, maka sejatinya Anda merugi karena selama ini dipungut amortasi cost. Ketika gedung apartemen kemudian dirubuhkan karena telah mencapai usia berdirinya untuk kemudian dibangun kembali, tidak tertutup kemungkinan (bila mengingat sifat licik kalangan pengembang) para penghuni akan dipungut biaya pendirian gedung ulang tanpa memperhitungkan amortasi cost yang setiap bulannya telah Anda bayar.
Bila Anda berminat untuk memiliki unit apartemen, pertimbangkanlah masak-masak dari segi pengeluaran rutin serta perlakuan “Perhimpunan Penghuni” terhadap para penghuninya.
Bagi Anda dari kalangan developer, untuk apa menjadi besar bak raja bila semua itu dibangun berlandaskan usaha yang tidak jujur. Terlihat mewah dan gemerlap, namun rapuh karena dibangun diatas pilar kepalsuan dan keburukan moralitas. Menabung pahit. Dan ketika manis berakhir, yang ada ialah lautan pahit yang pekat.
Secara yuridis, Perhimpunan Penghuni adalah dari dan untuk kepentingan para penghuni. Ketika terdapat sisa hasil pungutan service charge terhadap para penghuni, dan sisa hasil pungutan tersebut masuk dalam “kantong” developer, atau bila pengelola adalah anak usaha dari developer yang mana biaya pengelolaan dapat dengan mudah di-mark up, maka tindak pidana penggelapan telah sempurna terjadi sehingga kaidah tindak pidana korporasi dapat diberlakukan.
Sayangnya, hingga kini belum terdengar pemidanaan konsumen Sarusun terhadap pihak developer ataupun terhadap penanggung jawab PPPSRS, yang ada ialah kriminalisasi seperti yang dialami Khoe Seng Seng dan penghuni lain yang dipenjara hanya karena men-charge ponsel miliknya dengan tuntutan pencurian listrik.
Besarnya pengembang serta nama besar pengembang tidak jaminan pengembang tersebut akan bersikap sebesar nama besar mereka. Justru para pengembang tersebut perlu merasa terus untuk menghisap secara tidak etis guna kian membesarkan diri mereka atau setidaknya membuat mereka tetap berdiri besar guna menghisap lebih banyak lagi.
Jika Anda merasa pengelolaan keuangan PPPSRS tidak akuntabel, tidak transparan, serta terdapat indikasi mark up bahkan penggelapan, pengurus PPPSRS dapat digugat ataupun dituntut pidana oleh penghuni/pemilik Sarusun, karena PPPSRS adalah badan hukum menurut UU Rumah Susun.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.