Pencemaran Nama Buruk di Mata Hukum, Nama Buruk Sudah Tercemar dari Semula

LEGAL OPINION
Question: Apa benar pencemaran nama dengan fitnah adalah beda? Apa juga benar, pendapat bahwa pasal pidana mengenai pencemaran nama baik tidak berlaku untuk korban berupa instansi? Bagaimana jika sebaliknya, pelaku pencemaran nama ialah suatu badan hukum?
Brief Answer: Adalah keliru, pernyataan yang menyatakan bahwa badan hukum tidak dapat menuntut pidana pencemaran nama baik ataupun dituntut pencemaran nama baik. Badan hukum (rechtspersoon) merupakan personifikasi subjek hukum (natuurlijk persoon) berdasarkan asas fiksi hukum.
Fitnah adalah pencemaran nama baik, namun yang membedakannya ialah ketika pelaku tidak membuktikan kebenaran dari pernyataannya maka derajat kesalahannya ialah kualifikasi delik “fitnah” dengan ancaman sanksi pidana penjara jauh lebih berat dari sekadar pencemaran nama baik.
Sebaliknya, (secara logika) bila pelaku mampu membuktikan tuduhannya, maka pasal pidana mengenai “fitnah” gugur—dan jika pasal pidana dengan ancaman yang berat seperti “fitnah” dinyatakan gugur, maka secara logis pasal delik “pencemaran nama” pun tidak lagi relevan diberlakukan.
PEMBAHASAN:
Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Pasal 311 Ayat (1) KUHP:
“Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Jika kita menyimak redaksional ketentuan Pasal 310 Ayat (1) KUHP dengan bunyi: “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang...”, memang tampaknya hanya “orang” belaka yang dapat dicemarkan nama baiknya.
“Orang” adalah “subjek hukum”, “subjek hukum” adalah “pengemban hukum”, dan “pengemban hukum” adalah “pelaku hak dan kewajiban”, dimana “subjek hukum” itu sendiri terdiri dari “orang natural/pribadi” (natuurlijk persoon) dan “badan hukum” (rechtspersoon). Dengan demikian, badan hukum baik institusi swasta maupun instansi negeri merupakan personifikasi dari “orang” berdasarkan asas fiksi hukum.
“Subjek hukum” memiliki beberapa ciri-ciri utama, antara lain:
1. Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari para pengurusnya;
2. Dapat melakukan hubungan hukum untuk dan atas nama badan hukum tersebut;
3. Dapat menggugat/menuntut serta digugat/dituntut di hadapan pengadilan.
4. Hak dan kewajiban tetap melekat pada badan hukum meski pengurusnya siih-berganti.
Melihat ciri ketiga diatas, maka “badan hukum” memiliki ciri serta kewenangan yang menyerupai “orang natural”, sehingga baik korban maupun pelaku dapat saja dilakukan/terjadi oleh/pada suatu badan hukum baik instansi negeri maupun institusi swasta.
Sebenarnya yang ganjil dari perbedaan antara ketentuan Pasal 310 KUHP terhadap Pasal 311 KUHP, ialah keganjilan bila “pelaku pencemaran tidak dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, meski pelaku hendak dan mampu membuktikannya”, maka apakah keberlakuan Pasal 311 KUHP tertutup sama sekali bagi pelaku sementara Pasal 311 KUHP ini justru memberi hak dan perlindungan hukum bagi pelaku untuk lolos dari jerat ancaman Pasal 310 KUHP maupun Pasal 311 KUHP ?!
Namun ketika kaitkan dengan keberlakuan Pasal 312 KUHP: “Pembuktian akan kebenaran tuduhan hanya dibolehkan dalam hal-hal berikut:
1. apabila hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran itu guna menimbang keterangan terdakwa, bahwa perbuatan dilakukan demi kepentingan umum, atau karena terpaksa untuk membela diri;
2. apabila seorang pejabat dituduh sesuatu hal dalam menjalankan tugasnya.
Pasal 312 KUHP inilah yang selama ini menjadi akar penyebab kriminalisasi. Sejauh ini Pasal 310 KUHP telah banyak diajukan pembatalan lewat mekanisme uji materil ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI namun ditolak. Seyogianya strategi diubah dengan mengajukan uji materil agar pelaku diberi hak untuk membuktikan kebenaran tuduhannya, agar dirinya terhindar dari tuntutan pencemaran nama baik ketika pelaku mampu membuktikan bahwa yang tertuduh memang “tidak punya nama baik apapun untuk dicemari karena sejak semula namanya memang telah buruk”. Bila sedari awal tidak punya nama baik, lantas apa yang hendak dituntut?
Pasal 313 KUHP:
“Pembuktian yang dimaksud dalam pasal 312 tidak dibolehkan, jika hal yang dituduhkan hanya dapat dituntut atas pengaduan dan pengaduan tidak dimajukan.”—Hal ini logis, karena setiap bentuk tuntutan pencemaran nama baik, baik terhadap swasta maupun instansi negeri, berdasarkan Pasal 319 KUHP: “Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu;” serta Putusan MK RI yang menyatakan setiap delik pencemaran nama baik, bersifat delik aduan.
Escape clause terdapat dalam pengaturan Pasal 314 KUHP:
(1) Jika yang dihina, dengan putusan hakim yang menjadi tetap, dinyatakan bersalah atas hal yang dituduhkan, maka pemidanaan karena fitnah tidak mungkin.
(2) Jika dia dengan putusan hakim yang menjadi tetap dibebaskan dari hal yang dituduhkan, maka putusan itu dipandang sebagai bukti sempurna bahwa hal yang dituduhkan tidak benar.
(3) Jika terhadap yang dihina telah dimulai penuntutan pidana karena hal yang dituduhkan padanya, maka penuntutan karena fitnah dihentikan sampai mendapat putusan yang menjadi tetap tentang hal yang dituduhkan.
Tampaknya terdapat pula perbedaan antara “menghina” dengan “pencemaran nama” bila memerhatikan ketentuan Pasal 315 KUHP:
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Meski menjadi rancu ketika Pasal 314 KUHP Ayat (1) mengkonotasikan “hina” dengan “fitnah”, sementara Pasal 315 KUHP membedakan antara “hina” dengan “pencemaran nama baik”. Adakah pencemaran nama ataupun fitnah yang tidak menghina? Yang terpaling aneh ialah keberlakuan Pasal 316 KUHP berikut:
“Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah.”
Melihat pada fenomena caci-maki dan umpatan terhadap seorang gubernur oleh warga konstituennya, apakah artinya sang gubernur dapat mempidanakan warga negaranya? Hal ini menjadi aneh dari segi falsafah hukum pidana ketika warga tidak puas terhadap kinerja ataupun kelakuan pejabat negara. Bully-ing oleh publik serta pers pernah terjadi pada kasus Setya Novanto yang dijuluki “papa minta saham” sehingga dirinya hengkang dari kursi jabatan Ketua DPR RI.
Dalam konsep hukum tata usaha negara, terdapat perbedaan antara “jabatan” dengan “pejabat”. “Jabatan”, ialah unit-unit suatu badan hukum instansi negeri, dimana “jabatan” merepresentasi keberadaan “badan hukum” itu sendiri sehingga menghina “jabatan” sama artinya/dimaknai sebagai penghinaan terhadap “instansi negeri”.
Menjadi berbeda (bila merujuk pada ketentuan Pasal 316 KUHP diatas), maka jika yang dihina ialah “pejabat”, dimana “pejabat” artinya pribadi sang pejabat yang memangku “jabatan”, maka dapat dipidana. Disinilah keganjilan paling laten dari keanehan stelsel hukum pidana di Indonesia.
Contoh, anggota komisioner Komisi Yudisial pernah dituntut pencemaran nama baik oleh seorang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bernama Sarpin terkait putusan praperadilan kasus Budi Gunawan versus KPK yang memenangkan gugatan praperadilan Budi Gunawan.
Apakah dibenarkan Sarpin menuntut pidana anggota Komisi Yudisial tersebut?
Sarpin, ketika memutus perkara praperadilan kasus Budi Gunawan, memutus dengan mengatasnamakan dan menggunakan wewenang hakim PN Jakarta Selatan, sehingga dalam hal ini yang memutus adalah PN Jakarta Selatan—dengan demikian yang berkepentingan dan yang berhak menuntut pencemaran nama baik ialah Ketua PN Jakarta Selatan karena Sarpin ketika memutus mengatasnamakan instansi PN.
Sarpin telah salah kaprah ketika mengatasnamakan dirinya sendiri menuntut pencemaran nama baik, karena yang dicemarkan nama baiknya ialah instansi PN, bukan Sarpin sang pribadi. Sarpin tidak berhak memutus jika ia memutus bukan karena “jabatan”, dan ia tidak memiliki imunitas ketika memutus jika ia memutus tidak dalam posisi berlindung dibalik jubah hakim Pengadilan Negeri.
“Pejabat” tidak lepas dari “jabatan”, sehingga ketika seorang kepala instansi berganti “pejabat”, maka tanggung jawab baik hak dan kewajiban tetap melekat pada “jabatan”. Maka dari itu setiap penetapan ataupun keputusan “Pejabat” Tata Usaha Negara tetap melekat dan mengikat pula “pejabat” baru yang “menjabat”. Dengan kata lain, hak dan kewajiban “pejabat” merupakan kewenangan karena “jabatan”.
Sama halnya seorang direksi suatu perseroan ataupun pejabat meski silih berganti, hak dan kewajiban tetap mengikat perseroan/instansi dan mengikat pula sang direksi / pejabat baru yang menjabat. “Pejabat” ada karena adanya “jabatan”, sehingga setiap tindakan sang “pejabat” adalah bagian dan merupakan faktor “jabatan” itu sendiri.
Karena “jabatan” menjadi causa prima dari “pejabat”, maka Pasal 316 KUHP tidak memiliki landasan yuridis maupun falsafah untuk diterapkan.
“Jabatan” memiliki keistimewaan berupa hak imunitas ataupun kewenangan menetapkan keputusan, keistimewaan mana harus dibayar secara fairness dan gentle dengan ditanggalkan darinya hak-hak untuk menggugat warga negara yang mengutuk serta mencaci-maki sang “pejabat”.
Secara sosiologis, posisi warga negara selalu lebih lemah daripada seorang pejabat negara yang memiliki kewenangan serta sifat monopolistik yang membuat perbedaan derajat demikian kentara dan tidak akan pernah sejajar. Posisi dominan penguasa/pemegang jabatan, mengakibatkan hukum (seyogianya) memberi affirmative action kepada warga negara (sipil) berupa hak imunitas dari tuntutan pencemaran nama baik sang pejabat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.