Pemutusan Hubungan Kerja Terselubung oleh Perusahaan

LEGAL OPINION
Question: Rasanya peraturan perusahaan yang dibuat sepihak oleh pengusaha sangat membatasi ruang gerak karyawan. Apakah sedemikian fatalnya bila kemudian karyawan melanggar peraturan perusahaan yang sesuka hati dibuat pengusaha tanpa ada daya tawar oleh karyawan untuk menentukan nasibnya sendiri di perusahaan?
Maksudnya, berbagai peraturan dibuat pengusaha sesuka hati, menjerat “leher” kami selaku karyawan bagai membuat kami sukar bernafas. Serasa seperti didorong untuk mengundurkan diri saja. Jika karyawan memilih untuk melanggar peraturan itu, karena terpaksa, bagaimana kecenderungan pendirian hakim di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)?
Dengan kata lain, begitu tidak berdayakah pekerja di hadapan pemberi kerja? Rasanya seperti lebih baik tidak pernah diberitahu peraturan perusahaan, karena toh sekalipun diberitahu kami selaku karyawan tetap tak bisa membantah atau menolak isinya.
Brief Answer: Peraturan Perusahaan memang kerap dirancang pengusaha untuk mem-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) secara terselubung terhadap karyawannya. Dalam praktik sengketa hubungan industrial di PHI, pihak pengusaha tak bisa berdalil bahwa peraturan perusahaan yang telah disahkan/didaftarkan oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) mengikat seluruh karyawan.
Bagaimana pun hubungan kerja merupakan hubungan keperdataan, dimana berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata yang juga diadopsi UU Ketenagakerjaan, perikatan hubungan industrial terjadi atas dasar kesepakatan, bukan peraturan sepihak pengusaha tanpa daya tawar pekerja/buruh, terlebih bila pengusaha membongkar-pasang peraturan perusahaan seenaknya, maka bagaikan merubah kesepakatan tanpa dilandasi suatu konsensus dengan para pekerjanya.
Ketika mendapati dilema peraturan perusahaan yang mengekang kebebasan memilih dari pekerja/buruh, rujuk peraturan yang dibentuk otoritas negara sebagai basis utama perlindungan diri.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengekta hubungan industrial register perkara Nomor 523 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 29 Oktober 2015, antara:
- SUKIRAH, sebagai Pemohon Kasasi semula Penggugat; melawan
- RUMAH SAKIT SANTA THERESIA, selaku Termohon Kasasi, semula Tergugat.
Penggugat bekerja pada Tergugat yang bergerak di bidang Rumah Sakit, pada bagian Asisten Apoteker terhitung bekerja sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2014, selama 5 Tahun 3 bulan. Pada bulan September 2014 dibuka kesempatan penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dimana Penggugat berminat mengikuti.
Sebagai antisipasi pelaksanaan tes CPNS, Penggugat mengajukan surat kepada Tergugat pada tangal 13 September 2014 dan atas sepengetahuan pejabat dari instalasi Farmasi. Permohonan ambil ijin diperlukan apabila sewaktu-waktu tes CPNS dilaksanakan, karena pelaksanaan tes dimaksud belum diketahui jadwal pastinya.
Pada tanggal 1 Oktober 2014, Pengugat dipanggil Tergugat, yang mempermasalahkan ijin dimaksud. Mengingat sulitnya mengajukan permohonan ijin untuk ikut tes CPNS tersebut, akhirnya Pengugat tidak mengambil ijin dan tidak pula mengikuti tes CPNS, dan tetap bekerja sebagaimana biasa di Rumah Sakit Santa Theresia.
Dengan diajukannya surat Permohonan ijin tersebut, maka Tergugat menganggap Pengugat telah melakukan pelanggaran, meskipun ijin tidak jadi dilaksanakan. Pada tanggal 15 Oktober 2014, Tergugat kembali dipanggil oleh Tergugat, dan beliau menyatakan bahwa Penggugat dikeluarkan dari Rumah Sakit Theresia dan dianggap mengundurkan diri, dengan alasan melakukan pelanggaran Pasal 50 ayat 6 Peraturan Umum Karyawan/Peraturan Perusahaan Rumah Sakit Santa Theresia, yang pada pokoknya berbunyi: Bagi Karyawan yang ingin mengikuti tes di Instansi lain/PNS, wajib mengajukan permohonan ijin tertulis kepada Direktur Rumah Sakit, maksimal 3(tiga) bulan dan minimal 1(satu) bulan sebelumnya. Bila kewajiban ini tidak dilaksanakan maka karyawan dianggap mengundurkan diri dan tidak mendapatkan hak-hak pesangon ataupun hak lainnya, serta tidak pula diberikan surat Pemutusan Hubungan Kerja.
Pengumuman pendaftaran CPNS maupun pelaksanaan tes CPNS diluar kemampuan/kewenangan para pelamar maupun Penggugat untuk memprediksinya, sangatlah tidak wajar Pasal 50 ayat 6 Peraturan Umum Karyawan/Peraturan Perusahaan Rumah Sakit menetapkan bagi pekerja maupun Penggugat apabila mengikuti tes CPNS diberikan waktu untuk mengajukan permohonan ijin tertulis maksimal 3 (tiga) bulan dan minimal 1 (satu) bulan sebelumnya, dan jika melanggar akan diberhentikan dengan status dianggap mengundurkan diri.
Sementara bila merujuk Pasal 168 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengenai Pekerja yang dianggap mengundurkan diri, yakni bila:
“Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”
Yang bila kita dikaitkan pula dengan keberlakuan Pasal 111 ayat (2) UU Ketenagakerjaan:
“Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.”
Untuk memenuhi kewajiban kerja seperti biasa, Pengugat tetap melaksanakan pekerjaannya untuk masuk kerja, akan tetapi nama Pengugat tidak terdaftar dalam Rekap Shift Kerja.
Atas perbuatan Tergugat yang melanggar hukum karena memberhentikan Penggugat secara sepihak tanpa dasar hukum yang sah, maka Penggugat menuntut uang Pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan dan hak-hak normatif lainya.
Sebagai bantahan, Tergugat menyatakan gugatan Penggugat salah alamat, karena rumah sakit dibawah naungan badan hukum “Yayasan”, sehingga yang seharusnya dijadikan Tergugat adalah badan hukum Yayasan, bukan Rumah Sakit yang merupakan merek belaka.
Terhadap gugatan tersebut PHI Jambi telah memberikan Putusan Nomor 02/G/2015/PHI.Jmb, tanggal 28 Mei 2015 yang amarnya sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Menyatakan menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Membebankan biaya perkara kepada Negara;
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan dalil bahwa pengajuan surat permohonan ijin tersebut merupakan bentuk itikad baik dari Penggugat untuk mengikuti Peraturan Umum kekaryawanan Rumah Sakit, hanya saja tes PNS tidak diketahui jadwal pastinya. Itikat baik tersebut telah Penggugat buktikan dengan berkonsultasi dengan atasan dari Penggugat, dimana dari hasil konsultasi tersebut, atasan Penggugat memberikan persetujuan dengan membubuhkan tanda tangan terhadap surat permohonan ijin. Selengkapnya argumentasi dari Penggugat:
“Bukankah dengan adanya tanda tangan atasan dari Pemohon Kasasi terhadap permohonan izin, merupakan itikat baik dari Pemohon Kasasi, kalaulah memang benar surat permohonan ijin tersebut melanggar kenapa ditanda tangani oleh kedua atasan Pemohon Kasasi. Apabila demikian halnya Pemohon Kasasi telah dijebak, seharusnya hukum dibuat untuk mengatur bukan untuk menjebak;”
 Terhadap permohonan kasasi yang diajukan Penggugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 23 Juni 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 8 Juli 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jambi telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa putusan Judex Facti, tidak cukup pertimbangan karena tidak mempertimbangkan ketentuan Pasal 111 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, apabila ketentuan tersebut dipertimbangkan maka ketentuan Pasal 50 Ayat (6) Peraturan Umum Kekaryaaan Rumah Sakit Santa Theresia Jambi (vide bukti T.50) yang pada pokoknya mengatur bahwa karyawan yang ingin melamar Pegawai Negeri Sipil (CPNS) minimal 3 (tiga) bulan paling lambat 1 (satu) bulan harus mengajukan permohonan ijin, apabila tidak dilakukan maka karyawan telah dianggap mengundurkan diri, ketentuan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 168 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, karena untuk dapat dianggap mengundurkan diri maka pekerja tidak masuk kerja selama 5 (lima) hari berturut-turut dan telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali, sedang dalam perkara a quo Tergugat tidak melakukan sesuai dengan ketentuan tersebut;
2. Bahwa oleh karena PHK tidak beralasan dan Para Pihak tidak menginginkan lagi hubungan kerja maka patut dan adil hubungan kerja diputus dengan memperoleh 2 (dua) kali pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak-hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sedangkan tuntutan mengenai dana pensiun tidak beralasan untuk dikabulkan karena diluar dari hak-hak akibat diputus hubungan kerjanya, dengan demikian hak-hak yang diperoleh Penggugat sebagai berikut:
- Uang Pesangon 6 x 2 x Rp2.266.400,00 = Rp27.196.800,00;
- Uang Penghargaan Masa Kerja 2 x Rp2.266.400,00 = Rp 4.532.800,00;
- Uang Penggantian Hak 15% x Rp31.729.600 = Rp 4.759.440,00;
- Penggantian Uang Cuti = Rp 1.087.872,00;
Jumlah = Rp37.576.912,00;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Sukirah tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jambi Nomor 02/G/2015/PHI.Jmb, tanggal 28 Mei 2015 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
MENGADILI:
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: SUKIRAH tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jambi Nomor 02/G/2015/PHI.Jmb, tanggal 28 Mei 2015;
MENGADILI SENDIRI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan pelanggaran Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak diputus oleh Judex Facti;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar sejumlah uang kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus sebesar Rp37.576.912,00 (tiga puluh tujuh juta lima ratus tujuh puluh enam ribu sembilan ratus dua belas rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.