Pemegang Polis Hendak Mempailitkan Perusahaan Asuransi

LEGAL OPINION
Question: Selaku nasabah pembayar premi dan pemegang polis asuransi, bisakah bila suatu waktu perusahaan asuransi ingkar janji, perusahaan asuransi itu saya pailitkan?
Brief Answer: Waspadalah menjadi nasabah produk asuransi, karena berdasarkan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, yang berhak mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi sebagai debitor adalah Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan ini dinilai memang diskriminatif dan (amat sangat) ganjil karena mengandalkan itikad baik OJK untuk mengajukan pailit atas debitor para nasabah pemegang polis, namun tetap berlaku dan mengikat publik sebelum norma hukum ini diajukan pembatalan lewat mekansime uji materil ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI.
PEMBAHASAN:
Menjadi polemik, ketika Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pasal 55 ayat (1) berbunyi:
“Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sector Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.”
Ketika kewenangan Menteri Keuangan khususnya yang berkaitan dengan perasuransian beralih dari Menteri Keuangan ke OJK, maka apakah diartikan wewenang untuk hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepailitan beralih ke OJK? OJK telah menjawab, bahwa semua kewenangan tersebut telah beralih pada OJK. Namun yang menjadi kendala utama bagi masyarakat, bagaimana mungkin mengandalkan itikad baik OJK untuk kooperatif terhadap tuntutan para nasabah pemegang polis?
Sebagai ilustrasi kompleksnya duduk perkara yang dapat terjadi, dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi gugatan pailit register perkara Nomor 229 K/Pdt.Sus-Pailit/2013tanggal 23 Mei 2013, yang merupakan sengketa antara:
- TUTI SUPRIATI, selaku Pemohon Kasasi, semula Pemohon Pailit; terhadap
- PT. ASURANSI JIWA BUANA PUTRA, sebagai Termohon Kasasi, semula Termohon Pailit.
Pemohon adalah pemegang polis yang ditebitkan oleh Termohon berdasarkan polis atas nama Pemohon dengan masa pertanggungan selama 15 tahun yang mulai efektif berlaku sejak tanggal 1 Juli 1993. Pemohon telah memenuhi kewajibannya dengan melakukan pembayaran premi secara teratur setiap tahunnya kepada Termohon.
Polis mengatur bahwa dalam masa pertanggungan selama Pemohon masih hidup, maka Pemohon memiliki hak untuk menerima pembayaran pertanggungan asuransi dari Termohon setiap bulan Juli pada tahun 1996, 1999, 2002, 2005 dan 2008 sebesar Rp500.000,00.
Termohon berdasarkan ketentuan dalam Polis telah melakukan pembayaran pertanggungan asuransi untuk periode tahun 1996 kepada Pemohon. Namun pembayaran pertanggungan asuransi untuk periode selanjutnya yaitu periode tahun 1999, tahun 2002 dan tahun 2005, Termohon tidak lagi melaksanakan kewajibannya melakukan pembayaran pertanggungan asuransi kepada Pemohon sebagaimana diatur Polis, meskipun Termohon telah diperingatkan berkali-kali.
Surat Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No.S-5911/BL/2007 tanggal 22 November 2007 menyebutkan:
“Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan nomor KEP-053/KM.10/2007 tanggal 5 April 2007, izin usaha PT.Asuransi Jiwa Buana Putra telah dicabut. Pencabutan izin usaha dilakukan karena PT.Asuransi Jiwa Buana Putra tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian.”
“Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, meskipun telah dilakukan pencabutan izin usaha, PT.Asuransi Jiwa Buana Putra tetap berkewajiban menyelesaikan status dan hak haknya kepada karyawan maupun utang kepada kreditur, terutama pemegang polis atau tertanggung.”
Pemohon Kasasi mengutip yurisprudensi kasus serupa:
- Putusan Nomor 26/Pailit/2008/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 9 Juni 2008, yang menyatakan: PT.Adam Skyconnection Airlines pailit, yang didahului dengan pencabutan izin usaha penerbangan atas nama “ADAM AIR”, yang berakibat hukum seluruh kegiatan operasional Adam Air terhenti;
- Putusan Nomor 41/Pilit/2007/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 4 September 2007 yang menyatakan: PT.Dirgantara Indonesia (Persero) pailit.
Disamping memiliki utang/kewajiban kepada Pemohon, Termohon juga memiliki utang terhadap kreditur lainnya, yakni para pemegang polis dari Termohon yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yang jumlahnya cukup banyak, disamping ex. karyawan Termohon yang menuntut hak mereka sebagai akibat dicabutnya izin usaha Termohon oleh Menteri Keuangan. Adapun Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan mengatur:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
Terhadap permohonan pernyataan pailit tersebut, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah mengambil putusan, yaitu putusan Nomor 06/Pdt.Sus/Pailit/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 21 Maret 2013, yang pertimbangan hukum serta amarnya sebagai berikut:
“Menimbang, ... Bahwa debitur PT. Asuransi Jiwa Buana Putra (selanjutnya disebut “debitur” terbukti mempunyai hutang yang jatuh tempo dan dapat ditagih dan karenanya debitur harus dipailitkan; namun berdasar ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut “UUK”) yang berbunyi:
“Dalam hal Debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan usaha milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan Publik, Permohonan pernyataan Pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.”
“DALAM EKSEPSI:
• Menolak eksepsi yang diajukan oleh Termohon Pailit;
DALAM POKOK PERKARA:
• Menyatakan Permohonan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh Pemohon Pailit tidak dapat diterima;”
Menarik untuk menyimak dalil Pemohon Pailit dalam memori kasasi yang diajukannya, sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (5) dari UUK berlaku bagi debitur yang masih aktif tapi mempunyai hutang, dan guna mencegah dipailitkan maka diperlukan partisipasi aktif dari Menteri Keuangan agar tidak terjadi rush dan kegoncangan di dalam masyarakat seperti halnya kasus pailitnya PT. Asuransi Jiwa Prudential di tahun 2003, dimana waktu itu pailitnya PT. Asuransi Jiwa Prudential yang masih aktif menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, hal-hal mana mendasari timbulnya perubahan/penambahan pasal-pasal dalam UUK; sedangkan putusan pailitnya PT. Asuransi Jiwa Prudential yang Masih aktif dianulir oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia sehingga pailitnya PT. Asuransi Jiwa Prudential dibatalkan;
“Bahwa debitur sejak tahun 1999 sudah tidak aktif lagi dan resmi dicabut izin usahanya pada tanggal 5 April 2007, hampir 14 tahun perusahaan tidak aktif dan berusaha;
Bagaimana nasib ratusan mungkin ribuan nasabah/pemegang polis Asuransi Jiwa Buana Putra yang tersebar di seluruh Indonesia? Apakah menunggu para pemegang saham mengadakan Rapat Pemegang Saham dan menyetujui untuk melikuidasi perusahaan? Sudah 14 tahun sejak perusahaan tidak aktif, tidak ada niat pemegang saham untuk membubarkan perusahaan apalagi membayar hutang kepada para nasabah? Apakah harus menunggu Menteri Keuangan Republik Indonesia mempailitkan debitur dengan ketentuan Pasal 2 ayat (5) UUK?”
OJK kemudian dalam suratnya No. S-50/NB.12/2003 tanggal 18 Februari menguraikan:
“Sesuai pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otorisasi Jasa Keuangan, bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan Jasa Keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan beralih dari Menteri Keuangan dan Bapepam LK kepada Otoritas Jasa Keuangan.”
“Dengan dicabutnya izin usaha PT. Asuransi Jiwa Buana Putra, maka perusahaan diwajibkan untuk menyelesaikan seluruh utang dan kewajiban termasuk hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan perusahaan dalam hal perusahaan dilakukan likuidasi.”
Penjelasan Pasal 142 huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyatakan:
Yang dimaksud dengan dicabutnya izin usaha perseroan sehingga menimbulkan perseroan melakukan likuidasi adalah ketentuan yang tidak memungkinkan perseroan untuk berusaha dalam bidang lain setelah izin usaha dicabut, misalnya izin usaha perbankan, izin usaha perasuransian.”
Atas permohonan kasasi yang diajukan pemegang polis, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, pertimbangan Judex Facti sudah tepat dan benar;
“Bahwa sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, yang berhak mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi sebagai debitor adalah Menteri Keuangan;
“Bahwa sesuai dengan fakta persidangan perkara a quo pihak Termohon adalah perusahaan asuransi sedangkan pihak Pemohon bukan Menteri Keuangan sehingga telah tepat permohonan dalam perkara a quo dinyatakan tidak dapat diterima;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Ny.TUTI SUPRIATI tersebut;”
Menjadi pertanyaan besar yang belum terjawab hingga saat ini, bagaimana bila otoritas lalai untuk mempailitkan debitor para nasabah ataupun pemegang polis? Terlebih bila MA RI masih berpendirian bahwa yang berwenang ialah Kemenkeu alih-alih OJK.
SHIETRA & PARTNERS menilai, dicabutnya surat izin operasional oleh otoritas, disertai keterangan oleh otoritas bahwa pengusaha asuransi tetap berkewajiban melunasi hutangnya kepada para kreditor, maka UU Kepailitan tidak perlu diberlakukan secara kaku sehingga setiap kreditor menjadi dapat seketika mengajukan pailit atas perusahaan asuransi. Setidaknya idealnya demikian.
Mengapa harus dipailitkan meski perusahaan telah dicabut izin operasionalnya? Karena dengan dinyatakan pailit, setiap pengurus dari perseroan akan bertanggung jawab secara renteng hingga seluruh piutang para kreditornya terbayar lunas.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.