Makna Norma Hukum Senantiasa Berpasangan

LEGAL OPINION
Question: Banyak norma primer yang tidak dibarengi dengan pengaturan norma sekundair dalam peraturan perundang-undangan. Apakah itu artinya korban yang secara nyata dirugikan tidak dapat menggugat pelaku dengan alasan tidak ada norma sekundair yang mengatur sanksi bagi pelanggar norma primer? Banyak sekali pengaturan mengenai Standard Operation Procedure Badan Pertanahan Nasional, namun rasanya tak satu pun yang mengatur perihal sanksi bila Kantor Pertanahan melanggar. Begitupula banyak ketentuan hukum perdata yang mengatur hubungan sipil terhadap sipil, tak memiliki pengaturan pelengkap berupa norma sekundair.
Brief Answer: Untuk menjawabnya, dapat digunakan analogi berikut. Untuk mengkonversi “hutang yang tidak sederhana” menjadi “hutang yang sederhana” guna keperluan mempailitkan debitor, ialah dengan cara menempuh jenjang gugatan perdata di pengadilan, sehingga Majelis Hakim atas nama pengadilan membuat amar putusan bahwa debitor dihukum membayar sejumlah ganti-rugi atau melunasi sejumlah hutang dengan nominal  tertentu.
Begitupula bila hanya terdapat norma hukum primair, bukan diartikan norma primair tersebut dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Konsekuensi berupa terbitnya norma hukum sekundair akan lahir saat Majelis Hakim pada amar putusan di pengadilan menyatakan menghukum (jenis amar putusan condemnatoir)—pada saat itu jugalah norma hukum menjadi lengkap dan genap: primair dan sekundair.
PEMBAHASAN:
Pada prinsipnya setiap norma hukum harus senantiasa berpasangan, dalam arti terdapat ancaman sanksi disamping kaidah pengaturan. sebagai pembeda antara “norma hukum” dengan “norma sosial” (bahkan norma sosial pun memiliki ancaman sanksi semisal pengucilan, cibiran, dsb).
Yang dimaksud dengan norma hukum primer, ialah ketentuan yang mengatur larangan, perintah, ataupun kebolehan. Jika suatu perbuatan hukum dibolehkan, apakah dibenarkan bagi pihak lain/pemerintah untuk melarang perbuatan tersebut tanpa sanksi bagi si pelarang kebolehan, dengan alasan tiada norma sekundair yang mengatur sanksi bagi pelanggar norma primair?
Seluruh undang-undang memiliki substansi norma primair yang tidak sama padatnya dengan norma sekundair, sebagai fakta tak terelakkan. Begitupula peraturan peraturan perundang-undangan lain seperti Peraturan Menteri, Peraturan Presiden, dsb, sebagian besar materi substansi pasalnya memuat norma primair.
Hukum bersifat tidak kaku, oleh karenanya agar sanksi menjadi bersifat cukup fleksibel, maka Lembaga Yudikatif dalam hal ini menjadi quasi/pseudo Lembaga Legistatif dengan membuat norma sekundair secara kasuistik lewat amar putusannya, namun tidak bersifat umum atau berlaku general layaknya norma hukum yang dibentuk Lembaga Legislatif. Inilah yang kemudian penulis sebut dengan istilah “Margin Apresiasi” (the margin of appreciation doctrine).
Ketika sipil melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), maka yang dilanggarnya bukan norma hukum sekundair, namun pastilah norma hukum primair—dan kabar baiknya: itu sudah cukup untuk menjadikan si pelaku sebagai Tergugat di depan persidangan perkara perdata dimana hakim dapat membuat amar bahwa pelaku telah melanggar hukum serta dihukum membayar ganti-rugi merujuk pada ketentuan Pasal 1365 & Pasal 1366 KUHPerdata bahwa barang siapa membawa kerugian bagi pihak lain karena sengaja maupun karena kelalaiannya, menerbitkan kewajiban bagi si pelaku untuk memberi ganti-rugi terhadap yang dirugikan.
Ketika badan hukum publik atau pejabat/aparatur negara melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad), juga merupakan pelanggaran terhadap kaidah hukum primer—bukan pelanggaran terhadap norma hukum sekundair—sehingga tetap dapat digugat dan dihukum secara perdata meski peraturan perundang-undangan belum/tidak mengatur norma pasangan dari norma hukum primair yang sudah ada atau sudah diatur.
Inilah pembeda paling kentara antara hukum perdata dengan hukum pidana yang bersifat legalistis dalam arti bila dalam pasal pidana tidak diatur ancaman sanksi, maka hakim tidak memiliki landasan untuk menjatuhkan hukuman layaknya konsep perdata yang diakomodasi Pasal 1365 KUHPerdata.
Sudah saatnya membuang jauh-jauh doktrin klasik ilmu hukum orthodoks yang menyatakan bahwa tiada norma hukum sekundair maka tiada ancaman sanksi bagi pelanggar norma hukum primair. Setidaknya secara perdata, hakim dalam putusan pengadilan yang kemudian akan meng-konkretkan norma hukum sekundair yang masih besifat abstrak agar norma hukum senantiasa berpasangan secara genap.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.