Merumahkan Karyawan, Tetap Berhak Upah / Gaji

LEGAL OPINION
Question: Apakah dibenarkan oleh hukum, tindakan perusahaan yang merumahkan para pekerjanya tanpa upah juga tanpa kejelasan kapan dapat kembali masuk kerja? Rasanya kok, tidak ada kepastian bagi karyawan yang dirumahkan seperti ini. Jika karyawan yang dirumahkan memilih untuk mencari tempat kerja lain, nanti dibilang oleh perusahaan bahwa kami diam-diam sudah mengundurkan diri. Tapi jika diam saja nasib kami dan keluarga kami jadi tidak pasti. Serba salah rasanya.
Brief Answer: Sebenarnya bila karyawan/pekerja di-“rumahkan” oleh pengusaha, karyawan / buruh dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja (PHK) ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dengan alasan pengusaha telah melakukan efesiensi usaha sehingga berhak atas pesangon dua kali nilai ketentuan normal. Acapkali manuver “lay off” dilakukan oleh pengusaha agar pekerja / buruh menjadi risih sendiri karena hanya mendapat separuh atau bahkan sama sekali tidak mendapat upah / gaji sebagaimana biasanya sehingga pekerja / buruh tersebut akan terdorong untuk memilih mengundurkan diri, yang mana jika saja pekerja/buruh bersangkutan mengerti hak normatifnya maka dirinya dapat mengajukan PHK disertai kompensasi pesangon, alih-alih mengundurkan diri yang tidak mendapat pesangon apapun.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial tingkat kasasi register perkara Nomor 676 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 15 Januari 2013, antara:
- I NENGAH WANA, selaku Pemohon Kasasi, semula Penggugat; melawan
- PT. BALI CHIPPENDALE, selaku Termohon Kasasi, semula Tergugat.
Penggugat merupakan pekerja tetap dan telah bekerja pada Tergugat sejak tahun 1989 dengan jabatan terakhir sebagai plan Manager. Penggugat adalah pihak yang merasa dirugikan dengan adanya pemotongan gaji dan keputusan Tergugat untuk merumahkan (lay off) Penggugat.
Sejak bulan Februari 2011 Tergugat tidak lagi membayar upah / gaji Penggugat padahal belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dalam perselisihan antara Penggugat.
Pada bulan Februari 2011, Tergugat memanggil Penggugat dimana  Penggugat diberikan 2 (dua) opsi untuk dipilihnya:
1. Gaji rela dipotong maka silahkan kerja; atau
2. Tidak terima bila gaji dipotong, maka mulai hari ini lay off (dirumahkan) tanpa upah;
Tergugat kemudian memberikan memo kepada Penggugat berupa kertas kecil yang bertuliskan: “maaf untuk sementara Anda di lay off mulai hari ini sampai perusahaan nanti memanggil saudara untuk bekerja kembali.”
Pada bulan Maret 2011, mengingat penyelesaian permasalahan yang dihadapi berlarut-larut sehingga penggugat mohon perlindungan kepada Disnaker. Setelah itu Tergugat memanggil Penggugat, dimana Tergugat meminta Penggugat untuk bekerja kembali dengan ketentuan gajinya tetap dipotong, besaran gaji akan kelihatan dalam kitir gaji, dan potongan gaji akan dibantu pembayarannya di belakang (dengan pembayaran di bawah tangan). Memperhatikan isyarat tidak baik dari Tergugat maka Penggugat minta kepada Tergugat supaya segala ketentuan menyangkut hak dan kewajiban para pihak untuk dibuatkan perjanjian tertulis, namun Tergugat menolak untuk membuat perjanjian dimaksud.
Pada akhirnya untuk menyelesaikan sengketa ini, mediator Disnaker  menyampaikan surat anjuran berikut:
1. Agar pihak pengusaha dalam hal ini PT Bali Chippendale Furniture yang beralamat di ... membatalkan kedua keputusan yang ditujukan kepada pekerja atas nama I Nengah Wana yaitu dirumahkan tanpa dibayar atau tetap bekerja dengan gaji dipotong;
2 Mengembalikan hak-hak pekerja atas nama I Nengah Wana yang terlanjur dikurangi seperti sebelumnya;
3 Agar pihak pengusaha dalam mengambil kebijakan memperhatikan dan merundingkan kebijakan tersebut dengan pihak pekerja secara musyawarah mufakat sehingga permasalahan yang timbul dari kebijakan tersebut dapat dihindari.
Penggugat sependapat dengan anjuran, sementara dari pihak pengusaha menolak anjuran Mediator Disnaker. Oleh karena Tergugat sebagai salah satu pihak dalam perselisihan Hubungan Industrial menolak anjuran Mediator Disnaker, maka Penggugat mengajukan gugatan perselisihan hak kepada Tergugat melalui PHI sesuai dengan ketentuan pasal 14 Ayat (1) Undang Undang No. 2 Tahun 2004 yang menyatakan:
“Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.”
Note SHIETRA & PARTNERS: Dari kasus ini pula, kita mendapatkan suatu kaedah normatif, bahwasannya sekalipun buruh/pekerja setuju dengan anjuran Mediator Disnaker, ketika pihak pengusaha menolak anjuran tersebut, maka melahirkan hak buruh/pekerja untuk mengajukan gugatan ke hadapan PHI. Terhadap gugatan tersebut, PHI Denpasar memberikan putusan No. 01/G/2012/PHI.Dps, tanggal 8 Juni 2012 dengan amar sebagai berikut:
“DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan hukum Penggugat tidak berhak atas pembayaran gaji dan hak-hak lainnya dari Tergugat selama lay off atau dirumahkan;
3. Menghukum Tergugat untuk mengembalikan hak-hak dan kewajiban Penggugat sebagai pekerja di Perusahaan Tergugat;
4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa dirinya semenjak bulan Februari 2011 sampai dengan gugatan diajukan masih dalam status Lay Off, oleh sebab itu sesuai dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998, Tergugat tetap wajib membayar upah Pemohon kasasi selama Lay Off berupa upah pokok dan tunjangan tetap. Atas kasasi yang diajukan Penggugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, judex facti telah salah menerapkan ukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa judex facti telah salah yang pada pokoknya membenarkan kebijakan perusahaan/Termohon Kasasi dalam rangka mengatasi PHK/kesulitan perusahaan menempuh dua cara yaitu: sebagian karyawan tetap bekerja dipotong upahnya dan sebagian dirumahkan dengan tidak mendapat upah sama sekali;
2. Bahwa sesuai pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 semua usaha mengatasi PHK/kesulitan maka Pengusaha harus merundingkan dengan serikat pekerja atau pekerja, namun ternyata Termohon Kasasi tidak merundingkan dengan Pemohon Kasasi sehingga opsi merumahkan Pemohon Kasasi bertentangan dengan ketentuan Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas serta mempertimbangkan dalam gugatan Penggugat memohon putusan yang seadil-adilnya maka mengingat Pasal 155 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mewajibkan Pengusaha tetap membayar upah dan hak-hak lain yang biasa diterima dan mengingat selama Pemohon Kasasi selama dirumahkan tidak mengeluarkan ongkos-ongkos untuk bekerja maka patut dan adil Pemohon Kasasi diberi upah selama dirumahkan dan THR sebesar 50% (lima puluh persen) sehingga hak-hak yang diperoleh Pemohon Kasasi:
• Upah selama dirumahkan: 12 bulan; 50 % X 12 X Rp4.800.000,- = Rp28.800.000,-
• THR yang belum dibayar: 50 % x 1 x Rp4.800.000,- = Rp 2.400.000,-
Jumlah = Rp31.200.000,- (tiga puluh satu juta dua ratus ribu Rupiah);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: I NENGAH WANA tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 01/G/2012/PHI.Dps tanggal 8 Juni 2012 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
“M E N G A D I L I :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: I NENGAH WANA tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 01/G/2012/PHI.Dps tanggal 8 Juni 2012;
MENGADILI SENDIRI :
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menghukum Tergugat membayar upah selama dirumahkan dan THR seluruhnya sebesar Rp31.200.000,- (tiga puluh satu juta dua ratus ribu Rupiah);
3. Menghukum Tergugat untuk mengembalikan hak-hak dan kewajiban Penggugat sebagai pekerja di Perusahaan Tergugat;
4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.