Meritokrasi dalam Birokrasi di Mata Hukum

LEGAL OPINION
Question: Bila birokrat dicopot dari jabatan strukturalnya, atau semisal tidak diangkat kembali, apakah pejabat bersangkutan dapat mengajukan gugatan kepada instansi?
Brief Answer: Di masyarakat kerap terjadi salah kaprah, baik organisasi sipil maupun organisasi negeri. Jabatan adalah sesuatu jenjang non karir seperti hakim ad hoc, sebagai contoh bisa jadi ditunjuk dan diangkat dari kalangan akademisi. Begitupula seorang Direksi suatu perseroan terbatas, bukanlah karyawan, sehingga dapat diberhentikan sewaktu-waktu tanpa konsekuensi hukum apapun oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
Dalam sistem hierarkhi dan jenjang karir instansi negeri, jabatan eselon tinggi merupakan jabatan rangkap organisatoris manajerial, dalam arti bukanlah jenjang karir yang sifatnya permanen dan pasti terjadi dan pasti bertahan dalam eselon tinggi tersebut.
Seorang pegawai negeri yang telah senior, biasanya akan dirangkap jabatan (bila terpilih) antara status kepegawaiannya dengan suatu jabatan fungsional maupun struktural secara ex officio. Setiap pegawai negeri sipil adalah tetap pegawai negeri sipil. Namun seorang pegawai negeri sipil (PNS) tertentu bisa jadi merangkap jabatan sebagai Kepala Bidang ataupun Direktur suatu Direktorat Jenderal.
Diangkat, dialih-jabatan, demosi, ataupun dicopotnya jabatan, bukan berarti melepas status kepegawaian PNS bersangkutan. Dan merupakan kewenangan prerogatif pejabat yang lebih tinggi untuk mengangkat atau memberhentikan rangkap jabatan ini dalam suatu instansi.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan register Nomor 60 K/TUN/2015 tanggal 30 Maret 2015, Mahkamah Agung RI dalam tingkat kasasi perkara tata usaha negara yang merupakan sengketa antara:
-      NURMAN JAFAR, S.E., serta HASSAN ABUD, SH. MAP., selaku Para Pemohon Kasasi, semula merupakan Para Pembanding, dan dahulu sebagai Para Penggugat; melawan
-      MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI R.I., selaku Termohon Kasasi, dahulu sebagai Terbanding, semula adalah Tergugat.
Yang menjadi Objek Sengketa sengketa TUN ini ialah Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) tahun 2013 tentang pemberhentian dengan hormat Para Penggugat (disertai ucapan terimakasih dalam surat), dengan klaim bahwa harkat martabarnya telah direndahkan diberhentikan tanpa alasan yang sah dari jabatannya disamping kehilangan tunjangan. Ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur:
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.”
Tampaknya Para Penggugat salah memaknai penurunan pangkat/jabatan dengan pemberhentian dari status kepegawaian. Pemberhentian dari jabatan (penurunan pangkat) dengan pemberhentian dari status kepegawaian adalah dua konsekuensi hukum yang saling berlainan. Pengangkatan dan pemberhentian jabatan struktural adalah hal yang lumrah dan wajar, sehingga gugatan Para Penggugat memiliki motif lain dari “rasa malu”.
Adapun yang sebenarnya terjadi ialah pemberhentian Para Penggugat sebagai Asisten Deputi (eselon II Kementerian) dengan alasan adanya perampingan organisasi, yang kemudian dialihkan sebagai pejabat fungsional “analis”, dan untuk itu telah diterbitkan Keputusan Sekretaris Kemenpan tahun itu pula. Namun Para Penggugat mendalilkan, jabatan fungsional yang dimaksud sebagai “analis” tidak dikenal dalam rumpun jabatan fungsional yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil.
Yang menjadi keberatan Para Penggugat, tidak memiliki kesalahan dan tidak pernah mendapat teguran atau peringatan apapun dari Tergugat baik secara lisan maupun tertulis sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin PNS, bahwa penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat berupa pembebasan dari jabatan harus menempuh mekanisme pemanggilan dan pemeriksaan terlebih dahulu.
Para Penggugat merasa dipermalukan atas pencopotan jabatan tersebut. Meski demikian, Para Penggugat itu sendiri yang menyitir keberlakuan Peraturan Pemerintah No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, yang dalam Pasal 10 disebut bahwa PNS diberhentikan dari jabatan struktural karena, salah satunya ialah adanya perampingan organisasi pemerintah atau hal-hal lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Meski demikian Para Penggugat mendalilkan pula, Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) No. 12 Tahun 2001 Ketentuan Pelaksanaan PP 100 Tahun 2000, mengenai perampingan organisasi pemerintah, menyatakan apabila ada perampingan organisasi dan berdasarkan organisasi yang baru terdapat jabatan yang hapus, maka dimungkinkan pemberhentian dari jabatan yang hapus setelah melalui proses penyaluran ke instansi lain sudah tidak dimungkinkan lagi. Ketentuan ini tidak dilaksanakan oleh Tergugat sehingga dinilai melanggar ketentuan.
Memang terdapat keganjilan, perubahan struktur organisasi yang menjadikan perampingan organisasi mengakibatkan terjadinya kelebihan pejabat eselon II yaitu dari yang semula berjumlah 33 pejabat eselon II menjadi 27 pejabat eselon II, sehingga kelebihan 6 pejabat eselon II yang kemudian diberhentikan dengan hormat termasuk diantaranya adalah Para Penggugat. Namun anehnya yang menjadi persoalan pada tanggal 2 September 2013 telah dilakukan pelantikan pejabat eselon II sejumlah 23 orang, sehingga pada waktu itu, bahkan sampai gugatan ini diajukan masih tersisa 4 jabatan eselon II yang masih kosong (lowong).
Untuk itu perlu kita lihat motif utama gugatan yang diajukan Para Penggugat sebagaimana dapat kita lihat dalam kutipan berikut:
“Dengan demikian alasan pemberhentian jabatan Para Penggugat karena perampingan organisasi menjadi kurang tepat, sehingga menimbulkan pertanyaan atas dasar apa sesungguhnya Para Penggugat tidak terpilih kembali sebagai pejabat eselon II, ... bahwa apabila dianggap melakukan pelanggaran disiplin maka sebagaimana diungkapkan diatas Para Penggugat tidak pernah diproses sesuai mekanisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin PNS oleh karena itu para Penggugat memandang ada unsur subyektif (like and dislike) dan pemaksaan serta ketidakjelasan untuk memberhentikan Para Penggugat dari Jabatan Struktural eselon II dengan melanggar aturan peraturan sebagaimana terurai diatas.”
Namun menjadi pertanyaan lanjutan, apakah artinya Para Penggugat harus diberhentikan secara tidak hormat sehingga akan membuat Para Penggugat lebih “merasa malu” lagi? Penggantian jabatan struktural adalah dalam rangka optimalisasi pelayanan terhadap publik dengan pejabat yang lebih kompeten. Itulah filosofi utama yang lalai ditimbang oleh Para Penggugat. Para Penggugat menyatakan diri mereka tidak pernah diberi sanksi oleh instansi, namun disaat bersamaan Para Penggugat gagal menguraikan prestasi apa saja selama menjabat sebagai pejabat struktural yang memberinya alasan untuk layak diperjuangkan tetap dipertahankan. Sementara itu kita ketahui bersama dan sadari, rekan-rekan PNS dari Para Penggugat pun memerlukan promosi yang setara.
Alhasil, pokok utama gugatan ini sebenarnya hanya seputar hilangnya tunjangan jabatan semata. Belanja anggaran untuk pegawai oleh pemerintah dipertanggungjawabkan kepada publik, bukan kepada para PNS, karena uang negara bersumber pada pajak warga negara.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengambil putusan, yaitu Putusan Nomor 194/G/2013/PTUN-JKT Tanggal 10 April 2014 yang amarnya sebagai berikut:
“DALAM PROVISI:
“Menolak permohonan penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara objek sengketa yang diajukan oleh Para Penggugat;
“DALAM POKOK SENGKETA:
“Menolak gugatan Para Penggugat untuk Seluruhnya;”
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dengan Putusan Nomor 183/B/2014/PT.TUN.JKT, Tanggal 28 Agustus 2014. Adapun pertimbangan hukum Majelis Hakim PTUN yang menjadi latar dari jatuhnya amar putusan tersebut, antara lain:
“….didasarkan pada pemikiran bahwa perampingan organisasi pada kementerian PAN-RB adalah kebijakan nasional yang juga berlaku bagi kementerian negara lainnya, yang tidak terkait dengan penerapan peraturan tentang disiplin Pegawai Negeri Sipil.”
Para Penggugat kemudian mengajukan kasasi, dimana terhadap itu Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Putusan Judex Facti sudah benar dan tidak salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa penerbitan Objek Sengketa tidak bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik karena sebagai akibat adanya perampingan organisasi. Tentu saja Pejabat yang diberhentikan mendapat prioritas apabila ada kemampuan pada jabatan yang sesuai.”
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang undang, maka permohonan kasasi yang diajukan Para Pemohon Kasasi: 1. Nurman Jafar, SE., 2. Hassan Abud, SH., MAP. tersebut harus ditolak;
MENGADILI:
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. NURMAN JAFAR, SE., 2. HASSAN ABUD, SH., MAP. tersebut;”
Setiap PNS berhak untuk dipromosikan sebagai pejabat struktural. Untuk itu memang sudah seyogianya diberlakukan prinsip meritokrasi selayaknya organisasi swasta yang dapat mencopot sewaktu-waktu Direksi atau Dewan Komisarisnya yang dinilai tidak memadai, dan memberikan promosi serta kesempatan seluas-luasnya kepada segenap karyawan sebagai bentuk motivasi dan penghargaan, bukan monopoli satu atau dua karyawan.
Sebenarnya alasan “perampingan” bisa jadi hanyalah alasan politis belaka, yang mungkin dijadikan alasan agar tidak membuat “malu” yang sebenarnya. Bisa jadi alasan dibaliknya ialah guna menjadikan PNS lain yang lebih mampu berprestasi sebagai pejabat—hanya saja bila pernyataan tersebut yang dituliskan dalam surat pemberhentian, tentunya dapat berujung pada gugatan demi gugatan.
Untuk itu kiranya penulis kutipkan pernyataan mantan Menteri ESDM, Sudirman Said, saat dirinya tidak kembali menjabat ketika Presiden RI melakukan resuffle kabinet, yakni: “Ketika sudah berada di puncak, harus siap untuk meluncur kembali ke bawah.” Semua warga negara ingat jasa besar beliau serta keberanian beliau dalam membongkar modus kotor “papa minta saham” seorang Ketua DPR RI terhadap pelaku usaha pertambangan emas dengan mencatut nama-nama petinggi negara selama dalam sesi “PDKT” yang ternyata direkam oleh sang pengusaha dan berbuntut pengunduran diri sang “papa”. Memang disayangkan Pak Sudirman Said dicopot, namun itulah kewenangan prerogatif Presiden.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.