Mengadu secara Fitnah, Pelapor Diancam Pidana Penjara

LEGAL OPINION
Question: Mengadu dengan isi aduan yang tidak benar, apakah ada resiko dipidana?
Brief Answer: Bisa saja, ada atau tidak ada pasal pemidanaan, kriminalisasi kerap terjadi. Namun satu hal yang penting untuk dipahami, segala bentuk fitnah atau kebohongan dapat berujung pada kriminalisasi pada sang pembual.
Untuk itu, pastikan bahwa sebelum melakukan suatu aduan, setidaknya menggunakan kalimat spekulatif seperti: “tampaknya”, “kami duga”, “ditengarai”, “besar kemungkinan”, “diindikasikan”, “terdapat sinyalemen”, dsb, sehingga tidak menimbulkan kesan suatu bentuk yang “sudah pasti” atau menuduh sesuatu yang belum tentu dapat kita buktikan yang akan menjadi bumerang bagi sang pelaku di kemudian hari yang dinilai telah menghina tanpa dasar.
Jika hendak mengadukan suatu hal, lakukanlah secara profesional sekaligus elegan (cerdas namun tidak membuka celah kelemahan pada diri sendiri).
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Pengadilan Negeri Kupang register perkara Nomor 174/Pid.B/2009/PN.KPG tanggal 23 Februari 2010, yang mengadili perkara pidana terhadap enam orang karyawan suatu perseroan yang didakwa melakukan tindak pidana Pengaduan secara Fitnah sebagaimana diatur dan diancam pidana Pada 317 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Adapun tuduhan Jaksa Penuntut Umum, para Terdakwa telah melakukan Pengaduan secara memfitnah kepada Pejabat Negara terhadap dua orang saksi korban. Saksi korban menerima seoucuk surat dari seseorang yang mengaku dari PT. Flobamora Mall. Surat tersebut dibuat dan ditanda-tangani oleh keenam Terdakwa yang menyatakan diri sebagai perwakilan dari karyawan PT. Flobamora Realty yang tertanggal 15 Agustus 2008 dengan substansi bahwa dua orangpengacara dari sebuah kartor hukum di Jakarta, dipersona non grata dari NTT dalam kurun waktu 3x24 jam terhitung tanggal 18 Agustus 2008.
Surat tersebut ditujukan dan dikirimkan kepada Gubernur NTT, Ketua DPRD NTT, Ketua Pengadilan Tinggi Kupang, Kajati NTT, dan Kapolda NTT yang merupakan pejabat Pemerintah daerah NTT dengan tembusannya juga dikirimkan kepada pimpinan DPD Asosiasi Advokat NTT, Kapolresta Kupang, Dirut PT. Flobamora Realty, serta kepada saksi korban.
Para saksi korban merasa isi surat tersebut adalah tidak benar dan merupakan fitnah karena para saksi korban hanyalah kuasa hukum dari LILY LEONORA TANDJUNG dalam berbagai masalahnya terhadap VENTJE YAPOLA (direktur sekaligus pemegang saham PT. Flobamora Realty) yang antara lain kasus penganiayaan, kasus KDRT, dan kasus perceraian, juga kasus tanda tangan palsu serta kasus penggelapan brankas yang tidak ada hubungan atau sama sekali tidak berkaitan dengan kehancuran dari pada PT. Flobamora Realty dan segala tindakan kedua saksi korban. Isi surat tersebut berbunyi:
“Keberadaan mereka hanya menunggangi kasus peribadi antara Dirut PT. Flobamora Reality dengan isterinya, namun tujuannya adalah untuk kehancurkan PT. Flobamora Realty yang berarti sadar atau tidak semua tindakan mereka hanya untuk membuat PT. Flobamora Reality berantakan, dan kami para karyawan menjadi kehilangan lapangan pekerjaan.”
“Mereka dengan brutal meminta berbagai dokumen yang menyangkut PT. Flobamora Realty pada beberapa bank yang ada di Kupang, yang jelas itu menghilangkan sifat “rahasia” sesuai UU Perbankan di NKRI, demikian juga mendatangi kantor BPN Kota Kupang maupun beberapa Notaris”
“Mereka tentunya bukan advokat gadungan, yang tentunya memahami etika dalam membuat gugatan dan mendaftarkan gugatan yang sah, masak yang dapat kuasa 4 (empat) orang tetapi yang menandatangani gugatan hanya kedua oknum tersebut lalu dianggap sah. Untuk jelas bersama kami lampirkan gugatan model kampungan itu.”
“Senang atau tidak tindakan mereka hanya ingin PT. Flobamora Realty gulung tikar dan kami para karyawan menjadi gembel saja.”
Perseroan yang “meredup” merupakan tanggung jawab manajeman perseroan, sedangkan saksi korban hanyalah pihak luar yang tidak tahu-menahu mengenai segala sesuatu yang terjadi dalam manajemen perseroan, karena mereka hanya kuasa hukum dari kliennya. Berdiri atau hancurnya sebuah perseroan merupakan masalah internal dari manajemen.
Tindakan para saksi korban menyangkut pemberitahuan kepada beberapa pihak termasuk Bank, Kantor Pertanahan, dan Notaris tentang dikabulkannya gugatan cerai dari kliennya merupakan tindakan preventif untuk melindungi hak hukum kliennya mengenai harta gono-gini, sehingga menjadi “tidak nyambung” menyalahkan seorang kuasa hukum. Unsur-unsur dari Pasal 317 Ayat (1) KUHP, yakni:
- Barangsiapa;
- dengan sengaja;
- mengadu secara memfitnah.
Atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa di dalam KUHP tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kesengajaan (opzet) dan menurut Memorie van Toelicting kesengajaan mensyaratkan bahwa pelaku menghendaki dan menginsyafi perbuatannya akibatnya, namun tetap melaksanakan perbuatan tersebut karena memang akibat perbuatan tersebut dikehendaki oleh Terdakwa;
“Bahwa perbuatan para Terdakwa tersebut dilakukan dengan sengaja karena agar saksi korban ... dan ... di persona non gratakan dari Kupang dengan alasan para terdakwa mengganggap keberadaan korban hanya ingin menunggangi kasus pribadi antara Direktur PT. Flobamora Realty sehingga mengakibatkan PT. Flobamora Realty Kupang bangkrut dan para terdakwa akan kehilangan lapangan pekerjaan;
“Menimbang, bahwa akibat perbuatan para Terdakwa dengan menulis surat yang ditujukan kepada pejabat-pejabat tersebut saksi korban merasa terhina dan terancam, akibat perbuatan para Terdakwa tersebut. Maka oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur ini telah terpenuhi;
“Menimbang bahwa yang dimaksud dengan Mengadu secara memfitnah menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah 'Pengaduan atau pemberitahuan baik tertulis maupun lisan tentang seseorang yang di tujukan kepada orang lain yang menyatakan bahwa perbuatan orang tersebut tidak baik' sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia bahwa yang dimaksud dengan Mengadu secara memfitnah adalah “Menghasut dengan cara menjelekkan nama orang atau menodai nama baik, atau merugikan kehormatan”;
“Bahwa perbuatan para Terdakwa tersebut dilakukan dengan sengaja karena agar saksi korban ...  dan ... di persona non gratakan dari Kupang dengan alasan para terdakwa mengganggap keberadaan korban hanya ingin menunggangi kasus pribadi antara Direktur PT. Flobamora Realty sehingga mengakibatkan PT. Flobamora Realty Kupang bangkrut dan para terdakwa akan kehilangan lapangan pekerjaan;
“Menimbang bahwa perlu dipertimbangkan bahwa tujuan pemidanaan menurut hukum pidana Indonesia yang berlandaskan Pancasila harus mengandung unsur-unsur yang bersifat kemanusiaan, edukatif dan keadilan, maka oleh karena itu Majelis Hakim menjatuhkan pidana pada diri terdakwa perlu memperhatikan sifat-sifat yang memberatkan maupun yang meringankan dari diri terdakwa guna memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya;
M E N G A D I L I
1. Menyatakan para terdakwa I, terdakwa II, terdakwa III, terdakwa IV, terdakwa V, terdakwa VI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pengaduan secara Memfitnah”;
2. Menjatuhkan Pidana kepada para terdakwa oleh karena itu masing masing dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.”
Penulis secara pribadi merasakan adanya keganjilan sistem hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia. Bila fitnah dalam delik pers diberlakukan “hak jawab” guna membantah, sehingga tidak berujung pada pemidanaan. Namun dalam dunia konvensional non pers, seketika berlaku hukum pidana secara tajam serta kaku.
Semestinya dalam sistem konvensional pun perlu diberlakukan kebijakan yang menyerupai sistem pers, dimana pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh suatu bentuk fitnah tidak seketika memiliki hak melaporkan secara pidana bila para pelakunya tidak segera mencabut pengaduan fitnah dan meminta maaf pada korban.
Melihat pada surat tersebut ditujukan yang bukan kepada publik umum, namun kepada pejabat pemerintahan yang pastilah tidak akan menggubris terlebih mau repot-repot membaca surat mereka, maka dapat dikatakan tiada konsekuensi/dampak apapun bagi korban. Siapa juga yang mengetahui mengenai perseroan tersebut ataupun nama-nama dari kedua korban? Menjadi cukup absurb pula bila para korban demikian reaktif terhadap pegawai perseroan yang “stress” karena terancam kehilangan pekerjaan.
Kecuali, bila para pelaku mengirim surat tersebut kepada publik yakni masyarakat umum luas atau kepada para klien dari korban, barulah kerugian konkret setidaknya dapat sedikit masuk logika. Lagipula siapa yang akan ambil hirau terhadap substansi surat yang sudah jelas “absurb” dan jelas ditulis oleh karyawan yang “frustasi” demikian.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.