Kode Etik Polisi Indonesia (POLRI)

LEGAL OPINION
Question: Seperti halnya profesi dokter, jurnalis, pengacara, masing-masing memiliki kode etik serta Sidang dan Konsil Etiknya sendiri-sendiri. Apakah anggota POLRI juga terikat pada suatu kode etik profesi?
Brief Answer: Profesi kepolisian tunduk dan terikat pada Kode Etik Kepolisian. Kode Etik ini berbentuk tertulis, dimana anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang  melanggar, dapat dikenakan sanksi etik hingga berupa pemberhentian dengan tidak hormat, tanpa mengurangi sanksi hukum lainnya.
PEMBAHASAN:
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia mengamanatkan dibentuknya aturan mengenai Kode Etik Profesi POLRI.
Sebelum membahas beberapa kaidah penting untuk digarisbawahi dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, berikut peristilahan yang akan kerap kita jumpai:
- Anggota Polri adalah pegawai negeri pada Polri dari pangkat terendah sampai dengan pangkat tertinggi yang berdasarkan undang-undang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang kepolisian.
- Profesi Polri adalah profesi yang berkaitan dengan tugas Polri baik di bidang operasional maupun di bidang pembinaan.
- Etika Profesi Polri adalah kristalisasi nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap Anggota Polri dalam wujud komitmen moral yang meliputi etika kenegaraan, kelembagaan, kemasyarakatan, dan kepribadian.
- Kode Etik Profesi Polri (KEPP) adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis yang berkaitan dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan.
- Komisi Kode Etik Polri yang selanjutnya disingkat KKEP adalah suatu wadah yang dibentuk di lingkungan Polri yang bertugas memeriksa dan memutus perkara dalam persidangan pelanggaran KEPP sesuai dengan jenjang kepangkatan.
- Sidang KKEP adalah sidang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran KEPP yang dilakukan oleh Anggota Polri.
- Pelanggaran adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh Anggota Polri yang bertentangan dengan KEPP.
- Terduga Pelanggar adalah setiap Anggota Polri yang karena perbuatannya atau keadaannya patut diduga telah melakukan Pelanggaran KEPP.
- Pelanggar adalah setiap Anggota Polri yang karena kesalahannya telah dinyatakan terbukti melakukan Pelanggaran melalui Sidang KKEP.
- Penegakan KEPP adalah serangkaian tindakan pejabat Polri yang diberi kewenangan menurut peraturan ini, untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan di Sidang KKEP, pemeriksaan Sidang Komisi Banding Kode Etik Polri terhadap Anggota Polri yang diduga melakukan Pelanggaran KEPP dan rehabilitasi Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar atau tidak terbukti sebagai Pelanggar.
- Pemeriksaan Pendahuluan KEPP adalah serangkaian tindakan pemeriksa untuk melakukan audit investigasi, pemeriksaan, dan pemberkasan perkara guna mencari serta mengumpulkan fakta dan/atau bukti yang dengan fakta dan/atau bukti itu membuat terang tentang terjadinya Pelanggaran KEPP dan menemukan pelanggarnya.
- Audit investigasi adalah serangkaian kegiatan penyelidikan dengan melakukan pencatatan, perekaman fakta, dan peninjauan dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran tentang peristiwa yang diduga pelanggaran KEPP guna mencari dan menemukan Terduga Pelanggar.
- Banding adalah upaya yang dilakukan oleh Pelanggar atau istri/suami, anak atau orang tua Pelanggar, atau Pendamping Pelanggar yang keberatan atas putusan Sidang KKEP dengan mengajukan permohonan kepada Komisi Banding Kode Etik Polri melalui Atasan Ankum.
- Komisi Banding Kode Etik Polri adalah perangkat yang dibentuk di lingkungan Polri yang bertugas melaksanakan pemeriksaan pada tingkat banding.
- Sidang Komisi Banding adalah sidang pada tingkat banding untuk memeriksa, memutus, menguatkan, mengubah atau membatalkan putusan KKEP.
- Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) adalah pengakhiran masa dinas kepolisian oleh pejabat yang berwenang terhadap seorang Anggota Polri karena telah terbukti melakukan Pelanggaran KEPP, disiplin, dan/atau tindak pidana.
- Atasan adalah setiap Anggota Polri yang karena pangkat dan/atau jabatannya berkedudukan lebih tinggi dari anggota yang dipimpin.
- Atasan Yang Berhak Menghukum (Ankum) adalah atasan yang karena jabatannya diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada bawahan yang dipimpinnya.
- Atasan Ankum adalah atasan langsung Ankum.
- Etika Kemasyarakatan adalah sikap moral Anggota Polri yang senantiasa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan mengindahkan kearifan lokal dalam budaya Indonesia.
- Demosi adalah mutasi yang bersifat hukuman berupa pelepasan jabatan dan penurunan eselon serta pemindahtugasan ke jabatan, fungsi, atau wilayah yang berbeda.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 3
Prinsip-prinsip KEPP meliputi:
a. kepatutan, yaitu standar dan/atau nilai moral dari kode etik Anggota Polri yang dapat diwujudkan ke dalam sikap, ucapan, dan perbuatan;
b. kepastian hukum, yaitu adanya kejelasan pedoman bagi Anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab dalam pelaksanaan penegakan KEPP;
d. kesamaan hak, yaitu setiap Anggota Polri yang diperiksa atau dijadikan saksi dalam penegakan KEPP diberikan perlakuan yang sama tanpa membedakan pangkat, jabatan, status sosial, ekonomi, ras, golongan, dan agama;
e. aplikatif, yaitu setiap putusan Sidang KKEP dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya; dan
f. akuntabel, yaitu pelaksanaan penegakan KEPP dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, moral, dan hukum berdasarkan fakta.
Pasal 6
Setiap Anggota Polri wajib:
b. menjaga keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
d. menjaga terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa dalam kebhinekatunggalikaan dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat;
e. mengutamakan kepentingan bangsa dan NKRI daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan;
h. bersikap netral dalam kehidupan berpolitik.
Etika Kelembagaan
Pasal 7
(1) Setiap Anggota Polri wajib:
a. setia kepada Polri sebagai bidang pengabdian kepada masyarakat, bangsa, dan negara;
c. menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural;
g. menyelesaikan tugas dengan saksama dan penuh rasa tanggung jawab;
i. menampilkan sikap kepemimpinan melalui keteladanan, ketaatan pada hukum, kejujuran, keadilan, serta menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam melaksanakan tugas;
j. melaksanakan perintah kedinasan dalam rangka penegakan disiplin dan KEPP berdasarkan laporan/pengaduan masyarakat tentang adanya dugaan pelanggaran disiplin dan/atau Pelanggaran KEPP sesuai dengan kewenangan;
n. mengutamakan kesetaraan dan keadilan gender dalam melaksanakan tugas; dan
o. mendahulukan pengajuan laporan keberatan atau komplain kepada Ankum atau Atasan Ankum berkenaan dengan keputusan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
(2) Setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Atasan wajib:
a. menunjukan kepemimpinan yang melayani (servant leadership), keteladanan, menjadi konsultan yang dapat menyelesaikan masalah (solutif), serta menjamin kualitas kinerja Bawahan dan kesatuan;
(3) Setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Bawahan wajib:
c. menolak perintah Atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan; dan
d. melaporkan kepada atasan pemberi perintah atas penolakan perintah yang dilakukannya untuk mendapatkan perlindungan hukum dari atasan pemberi perintah.
(4) Sesama Anggota Polri wajib:
c. melaporkan setiap pelanggaran KEPP atau disiplin atau tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota Polri, yang dilihat atau diketahui secara langsung kepada pejabat yang berwenang;
(5) Pejabat Polri yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, wajib memberikan perlindungan.
Pasal 8
Setiap Anggota Polri wajib mendahulukan peran, tugas, wewenang dan tanggung jawab berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan daripada status dan hak, dengan mengindahkan norma agama, norma kesusilaan, dan nilai-nilai kearifan lokal.
Pasal 9
Setiap Anggota Polri yang melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik wajib melakukan penyelidikan, penyidikan perkara pidana, dan menyelesaikannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan serta melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada atasan penyidik.
Etika Kemasyarakatan
Pasal 10
Setiap Anggota Polri wajib:
a. menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar hak asasi manusia;
b. menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara di hadapan hukum;
c. memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cepat, tepat, mudah, nyaman, transparan, dan akuntabel berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. melakukan tindakan pertama kepolisian sebagaimana yang diwajibkan dalam tugas kepolisian, baik sedang bertugas maupun di luar tugas.
e. memberikan pelayanan informasi publik kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f. menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keadilan, dan menjaga kehormatan dalam berhubungan dengan masyarakat.
Etika Kepribadian
Pasal 11
Setiap Anggota Polri wajib:
b. bersikap jujur, terpercaya, bertanggung jawab, disiplin, bekerja sama, adil, peduli, responsif, tegas, dan humanis;
c. menaati dan menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal, dan norma hukum;
d. menjaga dan memelihara kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara santun.
Etika Kenegaraan
Pasal 12
Setiap Anggota Polri dilarang:
a. terlibat dalam gerakan-gerakan yang nyata-nyata bertujuan untuk mengganti atau menentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. terlibat dalam gerakan menentang pemerintah yang sah;
c. menjadi anggota atau pengurus partai politik;
d. menggunakan hak memilih dan dipilih; dan/atau
e. melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Etika Kelembagaan
Pasal 13
(1) Setiap Anggota Polri dilarang:
a. melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan/atau gratifikasi;
b. mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena pengaruh keluarga, sesama anggota Polri, atau pihak ketiga;
c. menyampaikan dan menyebarluaskan informasi yang tidak dapat dipertangungjawabkan kebenarannya tentang institusi Polri dan/atau pribadi Anggota Polri kepada pihak lain;
d. menghindar dan/atau menolak perintah kedinasan dalam rangka pemeriksaan internal yang dilakukan oleh fungsi pengawasan terkait dengan laporan/pengaduan masyarakat;
e. menyalahgunakan kewenangan dalam melaksanakan tugas kedinasan;
f. mengeluarkan tahanan tanpa perintah tertulis dari penyidik, atasan penyidik atau penuntut umum, atau hakim yang berwenang; dan
g. melaksanakan tugas tanpa perintah kedinasan dari pejabat yang berwenang, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (Note SHIETRA & PARTNERS: banyak pelanggaran terjadi dalam kode etik ini oleh aparatur anggota Polri.)
(2) Setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Atasan dilarang:
a. memberi perintah yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan; dan
b. menggunakan kewenangannya secara tidak bertanggungjawab.
(3) Setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Bawahan dilarang:
b. menyampaikan laporan yang tidak benar kepada Atasan.
(4) Sesama Anggota Polri dilarang:
d. melakukan permufakatan pelanggaran KEPP atau disiplin atau tindak pidana; dan
Pasal 14
Setiap Anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang:
a. mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menempatkan tersangka di tempat bukan rumah tahanan negara/Polri dan tidak memberitahukan kepada keluarga atau kuasa hukum tersangka;
c. merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum;
d. merekayasa isi keterangan dalam berita acara pemeriksaan;
e. melakukan pemeriksaan terhadap seseorang dengan cara memaksa untuk mendapatkan pengakuan;
f. melakukan penyidikan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena adanya campur tangan pihak lain;
g. menghambat kepentingan pelapor, terlapor, dan pihak terkait lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya dan/atau melaksanakan kewajibannya;
h. merekayasa status barang bukti sebagai barang temuan atau barang tak bertuan;
i. menghambat dan menunda-nunda waktu penyerahan barang bukti yang disita kepada pihak yang berhak sebagai akibat dihentikannya penyidikan tindak pidana;
j. melakukan penghentian atau membuka kembali penyidikan tindak pidana yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
k. melakukan hubungan atau pertemuan secara langsung atau tidak langsung di luar kepentingan dinas dengan pihak-pihak terkait dengan perkara yang sedang ditangani;
l. melakukan pemeriksaan di luar kantor penyidik kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
m. menangani perkara yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Etika Kemasyarakatan
Pasal 15
Setiap Anggota Polri dilarang:
a. menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan dari masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya; (Note SHIETRA & PARTNERS: Dari kaidah etik tersebut, kita dapat menyadari bahwa senyatanya pelanggaran kode etik kalangan anggota POLRI terjadi secara masif. Mengabaikan artinya menelantarkan aduan ataupun kebutuhan masyarakat akan perlindungan hukum. Inilah yang kerap terjadi dalam praktik.)
b. mencari-cari kesalahan masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. mengeluarkan ucapan, isyarat, dan/atau tindakan dengan maksud untuk mendapatkan imbalan atau keuntungan pribadi dalam memberikan pelayanan masyarakat;
e. bersikap, berucap, dan bertindak sewenang-wenang;
f. mempersulit masyarakat yang membutuhkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan;
g. melakukan perbuatan yang dapat merendahkan kehormatan perempuan pada saat melakukan tindakan kepolisian; dan/atau
h. membebankan biaya tambahan dalam memberikan pelayanan di luar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Etika Kepribadian
Pasal 16
Setiap Anggota Polri dilarang:
d. menjadi pengurus dan/atau anggota lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan tanpa persetujuan dari pimpinan Polri.
PENEGAKAN KEPP
Pasal 17
(1) Penegakan KEPP dilaksanakan oleh:
a. Propam Polri bidang Pertanggungjawaban Profesi;
b. KKEP;
c. Komisi Banding;
d. pengemban fungsi hukum Polri;
e. SDM Polri; dan
f. Propam Polri bidang rehabilitasi personel.
(2) Penegakan KEPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. pemeriksaan pendahuluan;
b. Sidang KKEP;
c. Sidang Komisi Banding;
d. penetapan administrasi penjatuhan hukuman;
e. pengawasan pelaksanaan putusan; dan
f. rehabilitasi personel.
(3) Pemeriksaan Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan dengan cara audit investigasi, pemeriksaan, dan pemberkasan oleh fungsi Propam Polri bidang Pertanggungjawaban Profesi.
(4) Sidang KKEP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan oleh KKEP guna memeriksa dan memutus perkara Pelanggaran yang dilakukan oleh Terduga Pelanggar.
(5) Sidang Komisi Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan oleh Komisi Banding guna memeriksa dan memutus keberatan yang diajukan oleh Pelanggar, suami/istri, anak, orang tua atau pendamping.
(6) Setelah memperoleh keputusan dari Atasan Ankum, penetapan administrasi penjatuhan hukuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, dilaksanakan oleh fungsi SDM Polri.
(7) Pengawasan pelaksanaan putusan dan rehabilitasi personel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dilaksanakan oleh fungsi Propam Polri yang mengemban bidang rehabilitasi personel.
Pasal 18
 (3) Untuk kepentingan pembelaan, Terduga Pelanggar diberi hak untuk mengajukan saksi-saksi yang meringankan.
Sidang KKEP dan Sidang Komisi Banding
Pasal 19
(1) Sidang KKEP dilakukan terhadap Pelanggaran:
a. KEPP sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini;
b. Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri; dan
c. Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.
(2) Sidang KKEP dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh Terduga Pelanggar setelah dipanggil berturut-turut sebanyak 2 (dua) kali tidak hadir.
(3) Sidang Komisi Banding dilakukan terhadap permohonan banding yang diajukan oleh Pelanggar atau istri/suami, anak atau orang tua Pelanggar, atau pendampingnya atas putusan sanksi administratif berupa rekomendasi oleh Sidang KKEP kepada Komisi Banding melalui atasan Ankum.
Sanksi Pelanggaran KEPP
Pasal 20
(1) Anggota Polri yang diduga melakukan Pelanggaran terhadap kewajiban dan/atau larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 16 dinyatakan sebagai Terduga Pelanggar.
(2) Terduga Pelanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai Pelanggar setelah dilakukan pemeriksaan dan mendapatkan putusan melalui Sidang KKEP.
Pasal 21
(1) Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi Pelanggaran KEPP berupa:
a. perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
b. kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
c. kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;
d. dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
e. dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
f. dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau
g. PTDH sebagai anggota Polri.
(2) Sanksi Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g merupakan sanksi administratif berupa rekomendasi.
(3) Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenakan kepada Pelanggar KEPP yang melakukan Pelanggaran meliputi:
a. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri;
b. diketahui kemudian memberikan keterangan palsu dan/atau tidak benar pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota Polri;
d. melanggar sumpah/janji anggota Polri, sumpah/janji jabatan dan/atau KEPP;
e. meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari kerja secara berturut-turut;
f. melakukan perbuatan dan berperilaku yang dapat merugikan dinas kepolisian, antara lain berupa:
1. kelalaian dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, dengan sengaja dan berulang-ulang dan tidak menaati perintah atasan, penganiayaan terhadap sesama anggota Polri, penggunaan kekuasaan diluar batas, sewenang-wenang, atau secara salah, sehingga dinas atau perseorangan menderita kerugian;
2. perbuatan yang berulang-ulang dan bertentangan dengan kesusilaan yang dilakukan di dalam atau di luar dinas; dan
3. kelakuan atau perkataan dimuka khalayak ramai atau berupa tulisan yang melanggar disiplin.
h. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik yang diketahui kemudian telah menduduki jabatan atau menjadi anggota partai politik dan setelah diperingatkan/ditegur masih tetap mempertahankan statusnya itu; dan
i. dijatuhi hukuman disiplin lebih dari 3 (tiga) kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Polri.
(4) Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dapat dikenakan terhadap Terduga Pelanggar yang melakukan Pelanggaran sebagaimana dimaksud pasal 6 sampai dengan pasal 16 peraturan ini.
Pasal 22
(1) Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH dikenakan melalui Sidang KKEP terhadap:
a. pelanggar yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; dan
b. pelanggar yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i.
(2) Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf d, dan huruf f diputuskan melalui Sidang KKEP setelah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum sampai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 23
(1) Dalam hal terjadi perdamaian (dading) antara anggota Polri yang melakukan tindak pidana karena kelalaiannya (delik culpa) dan/atau delik aduan dengan korban/pelapor/pengadu, yang dikuatkan dengan surat pernyataan perdamaian, Sidang KKEP tetap harus diproses guna menjamin kepastian hukum.
(2) Surat pernyataan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan pertimbangan KKEP dalam penjatuhan putusan.
Pasal 24
(5) Sanksi berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf g diajukan kepada Atasan Ankum dan dilaksanakan oleh fungsi SDM Polri setelah memperoleh keputusan dari Atasan Ankum.
Pasal 25
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c bersifat mengikat sejak ditetapkan dalam Sidang KKEP.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g bersifat mengikat sejak keputusan ditetapkan oleh pejabat Polri yang berwenang.
(3) Pelanggar yang dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, berhak mengajukan banding kepada Komisi Banding melalui atasan Ankum sesuai dengan tingkatannya paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat keputusan Sidang KKEP.
Pasal 26
(1) Terhadap Terduga Pelanggar KEPP yang diancam dengan sanksi administratif berupa rekomendasi putusan PTDH diberikan kesempatan untuk mengajukan pengunduran diri dari dinas Polri atas dasar pertimbangan tertentu dari Atasan Ankum sebelum pelaksanaan Sidang KKEP.
(2) Pertimbangan tertentu dari Atasan Ankum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada Terduga Pelanggar:
a. memiliki masa dinas paling sedikit 20 (dua puluh) tahun;
b. memiliki prestasi, kinerja yang baik, dan berjasa kepada Polri sebelum melakukan Pelanggaran; dan
c. melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 27
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran kumulatif antara pelanggaran disiplin dan KEPP, penegakannya dilakukan melalui mekanisme sidang disiplin atau Sidang KKEP berdasarkan pertimbangan Atasan Ankum dari terperiksa/Terduga Pelanggar serta pendapat dan saran hukum dari pengemban fungsi hukum.
(2) Terhadap pelanggaran yang telah diputus melalui mekanisme sidang disiplin tidak dapat dikenakan Sidang KKEP atau yang telah diputus dalam Sidang KKEP tidak dapat dikenakan sidang disiplin.
Pasal 28
(1) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) bersifat kumulatif dan/atau alternatif sesuai dengan penilaian dan pertimbangan Sidang KKEP.
(2) Penjatuhan sanksi KEPP tidak menghapuskan tuntutan pidana dan/atau perdata. (Note SHIETRA & PARTNERS: Apapun hasil keputusan Komisi Etik terhadap oknum polisi bersangkutan, tuntutan pidana maupun gugatan perdata tetap dapat diajukan oleh warga masyarakat yang menderita kerugian akibat perbuatan ataupun penelantaran oleh oknum polisi bersangkutan.)
(3) Penjatuhan sanksi KEPP gugur karena:
a. Pelanggar meninggal dunia; atau
b. Pelanggar dinyatakan sakit jiwa oleh panitia penguji kesehatan personel Polri.
 (4) Penjatuhan sanksi KEPP terhadap Pelanggar dapat digugurkan atau dibatalkan atas pertimbangan Sidang KKEP.
(5) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa penilaian bahwa perbuatan pelanggar:
a. benar-benar dilakukan untuk kepentingan tugas kepolisian; (Note SHIETRA & PARTNERS: Inilah yang dimaksud dengan fungsi diskresi.)
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c. patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan/atau
e. menghormati hak asasi manusia.
Pasal 29
(1) Dalam hal Sidang KKEP tidak menemukan bukti-bukti adanya Pelanggaran KEPP, Terduga Pelanggar diputus bebas.
(2) Terduga Pelanggar yang diputus bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib direhabilitasi dan dikembalikan hak-haknya.
Kode etik diatas berlaku secara umum baik seluruh kalangan profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun sebagai Kode Etik kalangan Penyidik POLRI.

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KOMISI KODE ETIK KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Komisi Kode Etik Polri (KKEP) adalah suatu wadah yang dibentuk di lingkungan Polri yang bertugas memeriksa dan memutus perkara dalam persidangan pelanggaran KEPP sesuai dengan jenjang kepangkatan.
Pemeriksa adalah anggota Polri pengemban fungsi profesi dan pengamanan Polri (Propam Polri) bidang pertanggungjawaban profesi (Wabprof) untuk melakukan pemeriksaan berdasarkan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
Kapolri (Kepala Polri) membentuk KKEP untuk memeriksa pelanggaran KEPP yang dilakukan oleh:
a. Perwira Tinggi (Pati) Polri; dan
b. Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) yang menduduki jabatan Wakapolda atau Irwasda.
Kapolri dapat melimpahkan kewenangan pembentukan KKEP:
a. pada tingkat Mabes Polri dan penugasan anggota Polri di luar struktur Polri, kepada:
1. Wakapolri, untuk pelanggaran KEPP yang dilakukan oleh Perwira Menengah (Pamen) Polri;
2. Irwasum Polri, untuk pelanggaran KEPP yang dilakukan oleh Perwira Pertama (Pama) Polri; dan
3. Kadivpropam Polri, untuk pelanggaran KEPP yang dilakukan oleh Brigadir Polri ke bawah;
b. pada tingkat kewilayahan, kepada:
1. Kapolda, untuk pelanggaran KEPP yang dilakukan oleh Pamen dan Pama Polda/Polres, serta Brigadir Polri ke bawah di tingkat Polda; dan
2. Kapolres, untuk pelanggaran KEPP yang dilakukan oleh Brigadir Polri ke bawah di tingkat Polres.
Pasal 12
(1) Dalam hal KKEP melaksanakan tugas pemeriksaan terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran KEPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf c dan Pasal 13 ayat (2) huruf a Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, bawahan yang menolak perintah atasan diberikan perlindungan hukum.
Pasal 13
KKEP berwenang:
a. memanggil Terduga Pelanggar untuk didengar keterangannya di persidangan;
b. menghadirkan Pendamping yang ditunjuk oleh Terduga Pelanggar atau yang ditunjuk oleh KKEP sebagai Pendamping;
c. menghadirkan Saksi dan Ahli untuk didengar keterangannya guna kepentingan pemeriksaan di persidangan;
d. mendatangi tempat-tempat tertentu yang ada kaitannya dengan kepentingan persidangan;
e. meneliti berkas Pemeriksaan Pendahuluan sebelum pelaksanaan sidang dan menyiapkan rencana pemeriksaan dalam persidangan;
f. mengajukan pertanyaan secara langsung kepada Terduga Pelanggar, Saksi, dan Ahli mengenai sesuatu yang diperlukan atau berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Terduga Pelanggar;
g. mengajukan pertanyaan secara langsung kepada Pendamping terkait dengan kelengkapan administrasi sebagai Pendamping;
h. membuat pertimbangan hukum untuk kepentingan pengambilan putusan;
i. membuat putusan dan/atau rekomendasi hasil Sidang KKEP; dan
j. mengajukan rekomendasi putusan KKEP bersifat administratif kepada pejabat pembentuk KKEP.
Pasal 14
(1) Pejabat pembentuk KKEP berwenang:
a. meneliti dan memeriksa laporan pelaksanaan tugas KKEP;
b. menerima atau menolak rekomendasi KKEP; dan
c. menjatuhkan putusan atas pertimbangan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Pasal 54
Tahapan dalam pelaksanaan Sidang KKEP sebagai berikut:
a. Penuntut, Sekretaris, dan Pendamping sudah berada di ruang sidang sebelum sidang dimulai;
b. perangkat KKEP mengambil tempat yang telah ditentukan di ruang sidang;
c. Ketua KKEP membuka sidang;
d. Sekretaris membacakan tata tertib sidang;
e. Ketua KKEP memerintahkan Penuntut untuk menghadapkan Terduga Pelanggar ke depan persidangan;
f. Ketua Sidang Komisi menanyakan identitas Terduga Pelanggar, menanyakan kesehatan dan kesediaan Terduga Pelanggar untuk diperiksa;
g. Ketua KKEP memerintahkan Penuntut membacakan persangkaan terhadap Terduga Pelanggar;
h. Ketua KKEP menanyakan kepada Terduga Pelanggar/Pendamping apakah telah mengerti dan akan mengajukan eksepsi/bantahan secara lisan atau tertulis;
i. Ketua KKEP memberikan kesempatan kepada Terduga Pelanggar/Pendamping untuk menyiapkan eksepsi/bantahan, apabila Terduga Pelanggar/Pendamping menggunakan hak eksepsi secara tertulis;
j. Terduga Pelanggar/Pendamping membaca eksepsi/bantahan dan selanjutnya menyerahkan eksepsi/bantahan kepada Ketua KKEP dan penuntut;
k. Ketua KKEP membacakan Putusan Sela, apabila eksepsi/bantahan diterima sidang ditunda, dan apabila ditolak Sidang dilanjutkan;
l. Ketua KKEP memerintahkan Penuntut untuk menghadapkan saksi-saksi dan barang bukti guna dilakukan pemeriksaan;
m. Ketua KKEP memerintahkan Penuntut untuk menghadapkan Terduga Pelanggar guna dilakukan pemeriksaan;
n. Ketua KKEP menanyakan kepada Terduga Pelanggar/Pendamping, apakah akan menghadirkan Saksi atau barang bukti yang menguntungkan;
o. Penuntut membacakan tuntutan;
p. Terduga Pelanggar/Pendamping menyampaikan pembelaan; dan
q. Ketua KKEP membacakan Putusan.
Putusan Sidang
Pasal 55
(1) Dalam menjatuhkan putusan sidang didasarkan pada keyakinan KKEP yang didukung sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah bahwa pelanggaran KEPP benar-benar terjadi dan Terduga Pelanggar yang melakukan pelanggaran.
(2) Alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. surat/dokumen;
d. bukti elektronik;
e. petunjuk; dan
f. keterangan Terduga Pelanggar.
Pasal 56
(1) Putusan Sidang menyatakan bahwa Pelanggar:
a. terbukti secara sah dan meyakinkan telah terjadi pelanggaran KEPP; dan
b. tidak terbukti melakukan pelanggaran KEPP.
(2) Putusan Sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berisi sanksi yang dikenakan terhadap pelanggar, berupa:
a. sanksi etika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, dengan putusan yang bersifat mengikat; dan/atau
b. sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, dengan putusan yang bersifat rekomendasi.
(3) Penjatuhan sanksi dalam putusan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bersifat kumulatif dan/atau alternatif dan memperhatikan tujuan penghukuman.
(4) Putusan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan bebas dari tuntutan yang tertuang dalam putusan KKEP.
PENUTUP :
Regulasi dapat dibuat tampak sempurna demi memuaskan publik, namun bila tidak diiringi dengan konkretisasi kode etik, sama saja dengan tampil bagus diatas kertas belaka. Karena telah rusak secara terstruktur, penulis apatis Kode Etik maupun Sidang Etik POLRI berjalan sebagaimana tertuang secara apik dalam regulasi yang diterbitkan sendiri oleh institusi POLRI.
Selama belum ada kemauan politik dari kalangan internal dan petinggi POLRI, regulasi terkait Kode Etik bagaikan hanya pembodohan terhadap publik seolah pembenahan telah terjadi meski regulasi yang tertulis indah hanya menjadi “gincu” perona wajah guna pemanis/kemasan belaka (baca: polesan). Citra POLRI hendaknya diperbaiki dari dalam dan menyeluruh, atau tidak sama sekali—daripada memberi harapan palsu dan kosong pada publik dengan mekanisme penegakan Kode Etik yang dirancang tidak transparan karena tertutup serta tidak memberi daya apapun kepada korban pelapor. Bukti: tiada satupun kaidah dalam Kode Etik maupun Tata Cara Sidang Etik yang mengakomodasi peran aktif korban pelapor.
Mungkinkah Sidang Penegakan Kode Etik hanya formalitas belaka, dimana yang sebenarnya terjadi bisa jadi ialah pembungkaman publik? Mari kita buktikan sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.