Girik dapat Mengalahkan Sertifikat Hak Milik atas Tanah

LEGAL OPINION
Question: Apabila disaat bersamaan terjadi jual-beli atas objek tanah yang sama, namun oleh para pihak yang saling berbeda, dimana satu penjualan berdasarkan sertifikat hak milik (SHM) dan pihak lain melakukan jual-beli atas dasar girik, apakah yang melakukan pembelian atas objek tanah yang bersertifikat sudah dipastikan akan dimenangkan oleh pengadilan bila masalah ini disengketakan oleh pembeli lain yang membeli atas dasar bukti kepemilikan berupa girik semata?
Brief Answer: Sangat kasuistis. Sengketa pertanahan melihat kronologi “rekam medis” pertanahan (catatan historis dalam buku tanah serta warkah tanah yang mendahuluinya). Yang tampil sebagai pemenang dalam sengketa di pengadilan adalah yang mampu melakukan teknik regres terhadap “rekam medis” ini. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari sistem sertifikasi pertanahan di Indonesia yang tidak dilindungi oleh negara (BPN) maupun hukum pertanahan RI, karena sewaktu-waktu dapat dibatalkan dengan dalih “sertifikat tidak mutlak”.
PEMBAHASAN:
Pengadilan Tinggi Banten dalam perkara perdata tingkat banding register Nomor 111/PDT/2015/PT.BTN tanggal 11 Desember 2015, memeriksa dan memutus sengketa antara:
- EDIARTO PRAWIRO, S.H., selaku Pembanding I semula Tergugat I;
- ANCONG HARJALUKITA/LIM LIA CONG, sebagai Pembanding II, semula Tergugat II; melawan
- DANIEL LUCAS SIMON, sebagai Terbanding, semula Penggugat;
- LIANAWATI SH., M.KN (Notaris dan PPAT Tangerang), sebagai Turut Tergugat I, semula Tergugat III;
- PT. SION SURYA, sebagai Turut Terbanding II, semula Tergugat IV;
- Camat Kecamatan Teluknaga, sebagai Turut Terbanding III, semula Tergugat V;
- Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tangerang, selaku Turut Terbanding IV, dahulu Turut Tergugat.
Penggugat mengaku sebagai Pemilik yang sah atas sebidang tanah Hak Milik Adat seluas ± 40.058 m², yang dibeli dari seorang bernama PR. ENI selaku Penjual berdasarkan Akta Jual-Beli tanggal 31 Maret 1994 di hadapan Camat Teluknaga dengan disaksikan kepala desa maupun sekretaris desa Tanjung Pasir.
Pada saat jual-beli dilakukan oleh Penggugat dengan PR. ENI selaku Pemilik tanah (Penjual), mengaku bahwa Sertipikat Hak Milik No. 17/Tanjung Pasir atas nama PR. ENI yang menjadi alas hak dari tanah yang akan dibeli oleh Penggugat hilang dan telah dilakukan pemblokiran di BPN oleh ENI sendiri pada tanggal 18 Juli 1988 dan berdasarkan Surat Laporan Kehilangan dari kepolisian tanggal 24 April 1988, serta agenda pemblokiran dikuatkan dengan Surat Keterangan dari Lurah Tanjung Pasir pada saat itu, tertanggal 20 Juli 1988, sehingga jual beli yang dilakukan antara Penggugat dan ENI adalah dengan dasar tanah milik adat yang merupakan asal dari Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 17/Tanjung Pasir.
Sejak dibelinya tanah ENI yaitu sejak tahun 1994 hingga saat gugatan ini diajukan, Penggugatlah yang menguasai fisik tanah dan mengelola serta memanfaatkan nilai ekonomis tanah objek sengketa dengan membuat tambak untuk memelihara ikan. Selain itu Penggugat membangun bangunan semi permanen di atas tanah tersebut, tanpa diganggu atau dihalang-halangi oleh pihak lain.
Kemudian pada tahun 2013, Penggugat dihubungi oleh Tergugat I untuk bertemu, dan di dalam pertemuan tersebut Penggugat dikejutkan bahwa SHM dengan No. 17/Tanjung Pasir atas nama ENI yang sebelumnya diakui oleh ENI telah hilang pada saat jual-beli dilakukan dengan Penggugat, ternyata berada dalam penguasaan Tergugat I.
Penggugat kemudian melakukan pengecekan ke Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang mengenai riwayat dari SHM No. 17/Tanjung Pasir atas nama ENI tersebut, ternyata Penggugat mendapatkan fakta bahwa Sertipikat atas tanah objek sengketa yang dibeli oleh Penggugat tersebut pernah diletakkan hak Hipotik yang dibuat berdasarkan Akta Pembebanan Hak Hipotik oleh Tergugat V, pada tanggal 12 Maret 1984, oleh PT. Sion Surya selaku Debitur dan The Hongkong And Shanghai Banking Corporation sebagai Kreditur. Yang menjadi pertanyaan Penggugat, bagaimana bisa Debitur atas agunan jaminan pelunasan utang berupa Sertipikat atas tanah objek sengketa adalah PT. Sion Surya, bukan ENI?
Dengan dasar apa PT. Sion Surya dapat mengajukan tanah milik orang lain sebagai agunan atas utangnya kepada The Hongkong And Shanghai Banking Corporation? Serta bagaimana bisa Tergugat V membuat Akta Pembebanan Hak Hipotik atas tanah tersebut?
Diketahui kemudian oleh Penggugat, ternyata pada tahun 1989, Pengadilan Negeri Tangerang akan melakukan Eksekusi atas tanah objek sengketa berdasarkan surat Penetapan Eksekusi  tanggal 01 Maret 1989, dan pada akhirnya terjadi Perdamaian antara Tergugat I dan Tergugat IV, sehingga eksekusi atas tanah objek sengketa tersebut tidak dilaksanakan. Meski demikian tidak pernah ada nama ENI dilibatkan dalam permasalahan tersebut.
Pada tahun 2013, Tergugat II melakukan rekayasa hukum dengan menyatakan seolah-olah dirinya adalah ahli waris dari ENI, dengan mengajukan Permohonan di Pengadilan Negeri Tangerang pada tanggal 30 Juli 2013, yang di dalam Permohonannya tersebut Tergugat II menyatakan sebagai anak dari hasil Perkawinan antara Harjalukita dan ENI, dan kemudian Pengadilan Negeri Tangerang mengabulkan Permohonan Tergugat II tersebut dengan mengeluarkan Penetapan yang mengesahkan Perkawinan antara Harjalukita dan ENI serta disebutkan didalamnya bahwa Tergugat II adalah anak dari Harjalukita dan ENI.
Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Tangerang tersebut, Tergugat II membuat Akta Pernyataan Waris serta Akta Surat Keterangan Hak Mewaris tanggal 04 November 2013 yang dibuat oleh dan di hadapan Tergugat III, yang pada intinya menerangkan bahwa Tergugat II adalah satu-satunya Ahli Waris dari Pewaris Harjalukita dan ENI.
Fakta yang sebenarnya ialah, Tergugat II bukan anak dari pasangan suami istri Harjalukita dan ENI, melainkan anak dari hasil perkawinan antara Harjalukita dan Ong Kow Nio (istri kedua).
Kemudian dengan dasar Akta Pernyataan Waris dan Akta Surat Keterangan Hak Mewaris, Tergugat II membuat Surat Kuasa Untuk Menjual tanggal 13 Nopember 2013 atas tanah objek sengketa berdasarkan SHM No. 17/Tanjung Pasir kepada Tergugat I.
Yang berhak memindahtangankan tanah objek sengketa maupun alas haknya, adalah ENI sebagai yang tercatat dalam Sertipikat sebagai Pemilik atas tanah objek sengketa. Tergugat IV tidak mempunyai hak sama sekali untuk membebankan hak hipotik atas tanah tersebut, sehingga bertentangan dengan asas hukum “Nemo Plus Iuris”—yang artinya tiada seorangpun yang dapat menyerahkan hak haknya kepada orang lain lebih banyak dari hak yang dimilikinya.
Pembebanan jaminan kebendaan hanya dapat diberikan oleh pemilik yang berwenang menguasai benda jaminan, jika pemilik tidak mempunyai wewenang demikian atau terbatas wewenangnya untuk memberikan hipotik, maka akan lahir hipotik yang cacat.
Karena Tergugat IV tidak berhak memberikan jaminan berupa tanah objek sengketa yang bukan miliknya, maka telah nyata apabila Pembebanan Hipotik dari Tergugat IV atas tanah objek sengketa berdasarkan SHM atas nama ENI tersebut adalah bertentangan dengan hukum.
Perbuatan Tergugat IV dan Tergugat V akhirnya menimbulkan kerugian bagi diri Penggugat karena Penggugat pada saat melakukan jual-beli atas tanah girik (objek sengketa) hingga saat ini tidak dapat diajukan sertifikasi hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan.
Menurut keterangan dari Tergugat V, Akta Pembebanan Hak Hipotik tertanggal 12 Maret 1984 atas nama Tergugat IV, yang dikeluarkan oleh Tergugat V selaku PPAT pada saat itu, tidak terdaftar atau teregister di Kantor Kecamatan Teluknaga.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Tangerang telah menjatuhkan putusan dengan register Nomor 302/Pdt.G/2014/PN.Tng pada tanggal 22 Januari 2015, yang amar putusannya berbunyi sebagai berikut:
DALAM POKOK PERKARA :
1 Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2 Menyatakan Para Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang menimbulkan kerugian bagi diri Penggugat;
3 Menyatakan Sah Jual Beli yang dilakukan antara Penggugat dengan PR Eni/Eni atas tanah seluas sebidang tanah Hak Milik Adat, Persil 47 D 40, seluas ± 40.058 M2 (empat puluh ribu lima puluh delapan meter persegi) yang terletak di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, dengan batas batas sebagai berikut: ...
4 Menyatakan sah dan berharga sita revindicatoir beslag terhadap Sertipikat Hak Milik No. 17/Tanjung Pasir atas nama PR. ENI yang saat ini dikuasai oleh Tergugat I hingga putusan terhadap perkara ini berkekuatan hukum tetap;
5 Memerintahkan kepada Tergugat I maupun pihak lain yang menguasai Sertipikat No. 17/ Tanjung Pasir atas nama PR. ENI, secara sah dan sukarela untuk menyerahkan Sertipikat tersebut kepada Penggugat sebagai Pemilik yang sah;
6 Membatalkan dan menyatakan tidak berlaku Penetapan Pengadilan Negeri Tangerang No. 1128/Pdt.P/2013/PN.TNG tanggal 2 Agustus 2013 dan Penetapan No. 1208/Pdt.P/2013/PN.TNG Tanggal 18 September 2013;
7 Menyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya batal dan tidak berlaku lagi Akta Pernyataan Waris No. 02, tanggal 04 November 2013, Akta Surat Keterangan Hak Mewaris 03/2013, tanggal 04 November 2013, dan Akta Kuasa Untuk Menjual No. 04 tanggal 13 Nopember 2013, yang dibuat oleh dan di hadapan Tergugat III ;
8 Menyatakan batal dan tidak berlaku Akta Pembebanan Hak Hipotik No. 01/Agr/HP/1984, tanggal 12 Maret 1984, yang dibuat oleh Tergugat V selaku PPAT;
9 Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk mengganti kerugian yang dialami oleh Penggugat, sebagai berikut :
a Kerugian Materiil Karena Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Para Tergugat sehingga Penggugat mengalami kerugian adalah sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) karena tidak dapat memproses penerbitan Sertipikat Hak Milik atas objek tanah yang telah dibeli selama kurang lebih 20 (dua puluh) tahun.
b Kerugian Immateriil sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan dasar perhitungan Penggugat sangat tertekan dan depresi akibat dari timbulnya permasalahan ini.”
Tergugat I dan II kemudian mengajukan upaya hukum banding, dengan dalil argumentasi:
-  Jual-beli antara Penggugat dengan ENI atas objek sengketa yang diikat dengan Akta Jual-Beli cacat hukum. Hal tersebut dikarenakan jual beli tersebut didasarkan pada Surat Girik Persil, padahal Surat Girik tersebut telah menjadi warkah, oleh karena Surat Girik tersebut telah dijadikan dasar penerbitan SHM No. 17/Tanjung Pasir tahun 1981. Seharusnya jual beli antara Terbanding I semula Penggugat dengan ENI atas objek sengketa tersebut didasarkan pada SHM No. 17/Tanjung Pasir;
- Kalaupun Penggugat mendalilkan SHM No. 17/Tanjung Pasir tersebut hilang, seharusnya ENI sebagai pemegang hak melaporkan kepada Badan Pertanahan Kabupaten Tangerang.
Penggugat mengajukan tanggapan atas Banding yang diajukan Tergugat, sebagai berikut:
- Proses jual-beli antara ENI dengan Penggugat atas objek sengketa adalah sah menurut hukum, karena dilakukan ENI sebagai orang yang berhak secara hukum atas objek sengketa, dan dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Camat, disaksikan oleh Lurah dan Sekretaris Desa, serta dilakukan oleh pemiliknya langsung;
- Ketika dilakukan jual-beli tersebut ENI mengaku SHM atas objek sengketa hilang dan telah dilakukan pemblokiran di BPN;
- Jual-Beli tersebut tidak perlu melibatkan Pembanding II semula Tergugat II karena Tergugat tidak berhak sama sekali atas objek sengketa, karena Tergugat II tidak ada hubungan dengan ENI;
- Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 206/Pdt.G/2014/PN.Tng menjadi jelas apa yang dilakukan oleh Tergugat II dengan mengaku sebagai anak dari PR.Eni, sedangkan Tergugat II adalah anak dari Harjalukita dan Ong Kow Nio adalah suatu perbuatan curang dengan itikat buruk mempunyai tujuan untuk menggelapkan objek tanah sengketa.
Terhadap permohonan Banding tersebut, Majelis Hakim Tingkat Banding membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terdapat 4 (empat) syarat agar jual beli dinyatakan sah, yaitu:
1. Syarat sepakat mengikatkan diri;
2. Syarat cakap;
3. Syarat hal tertentu;
4. Syarat sebab yang halal;
“Menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim Tingkat Banding, keempat syarat tersebut telah ada pada Akta Jual beli nomor 248/Kec.Tlg/1994 tanggal 31 Maret 1994. Akta Jual Beli tersebut mengungkapkan adanya fakta bahwa Pr. Eni sebagai penjual dan Terbanding I semula Penggugat sebagai pembeli telah mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli objek sengketa, kesepakatan tersebut dibuat dalam bentuk Akta Jual Beli dan dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Baik Pr. Eni sebagai penjual maupun Terbanding semula Penggugat sebagai pembeli adalah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum jual beli tersebut, karena telah dewasa, sehat pikiran dan tidak di bawah pengampuan. Sedangkan objek yang diperjual belikan adalah tertentu yaitu sebidang tanah hak milik adat Persil nomor 47D 40, SPPT Tahun 1993 nomor 490 terletak di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Serang, serta dituliskan batas-batasnya secara lengkap;
“Menimbang, bahwa disamping itu jual beli objek tersebut telah memenuhi sifat terang dan tunai, sebagaimana sifat jual beli tanah menurut hukum adat. Jual beli objek sengketa tersebut disaksikan oleh Kepala Desa Tanjung Pasir dan Sekretaris Desa Tanjung Pasir, serta diikat dalam Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah. Harga yang disepakati sebesar Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) diakui oleh PR Eni sebagai penjual telah diterima sepenuhnya dari Terbanding I semula Penggugat sebagai pembeli;
“Menimbang, bahwa alasan tidak mencantumkan status objek yang didasarkan pada Sertifikat Hak Milik Nomor 17/Tanjung Pasir Tahun 1981, oleh karena Sertifikat Hak Milik tersebut oleh PR.Eni sebagai pemilik dinyatakan hilang dan telah dilaporkan untuk diblokir. Hal tersebut sebagaimana bukti P.2 = bukti TT.1 berupa Buku Tanah Hak Milik Nomor 17/Tanjung Pasir. Kedua surat bukti tersebut menunjukan bahwa PR Eni meminta pemblokiran kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang (dahulu Kantor Agraria) melalui surat tanggal 5 Juli 1988, dan telah diagendakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang (dahulu Kantor Agraria) tanggal 18 Juli 1988 Nomor 11526-Dok.593 tanggal 20 Juli 1988;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim Tingkat Banding menilai alasan dalam Memori Banding yang menyatakan jual beli cacat hukum harus dikesampingkan karena alasan dalam Memori Banding tersebut justru tidak berdasar hukum;
“Menimbang, bahwa terhadap alasan Memori Banding yang menyatakan seharusnya jual beli objek sengketa tersebut melibatkan Terbanding II semula Tergugat II, Majelis Hakim Tingkat Banding tidak sependapat oleh karena Terbanding II semula Tergugat II tidak mempunyai hubungan hukum dengan PR Eni. Bahkan belakangan melalui Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 206/Pdt.G/2014/PN.Tng tanggal 23 Juli 2014 (bukti P.26) menjadi jelas bahwa tindakan yang dilakukan oleh Terbanding II semula Tergugat II dengan mengaku sebagai anak dari PR Eni, sedangkan Pembanding II semula Tergugat II adalah anak dari Harjalukita dan Ong Kow Nio adalah suatu perbuatan curang dengan tujuan menggelapkan sertifikat objek sengketa;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding setelah mencermati berkas perkara beserta turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 302/Pdt.G/2014/PN Tng tanggal 22 Januari 2015, Memori Banding serta Kontra Memori Banding, dengan menambahkan pertimbangan hukum terkait dengan alasan Memori Banding sebagaimana tersebut diatas, menilai bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama baik dalam Provisi, Eksepsi maupun Pokok Perkara adalah tepat dan benar;
“Menimbang, bahwa oleh karena itu pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama tersebut diambil alih dan dijadikan pertimbangan sendiri oleh Majelis Hakim Tingkat Banding dalam memutus perkara tersebut ditingkat banding;
“Menimbang, bahwa atas dasar pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim Tingkat Banding berkesimpulan bahwa putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 302/Pdt.G/2014/PN.Tng tanggal 22 Januari 2015 harus dipertahankan dan dikuatkan;
“M E N G A D I L I :
Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 302/Pdt.G/2014/PN.Tng tanggal 22 Januari 2015 yang dimohonkan banding tersebut.”
Ilustrasi kasus sebagaimana diangkat dalam bahasan diatas, dalam praktik kerap terjadi akibat tidak tertatanya sistem berkas dan dokumentasi Kantor Pertanahan. Bukan, bukan karena tidak tertatanya, namun karena kemauan dan itikad baik tidak terdapat pada benak para pejabat dan aparatur Kantor Pertanahan.
Acapkali terjadi, karut-marut pertanahan terjadi bukan diakibatkan mal-administrasi, tetapi terkandung unsur kesengajaan berupa kolusi aparatur yang berwenang di Kantor Pertanahan. Ketiadaan rasa tanggung jawab dan kejujuran menjadi bibit penyakit berbagai sengketa pertanahan di tanah air. Dan sayangnya, terus berulang dan kembali berulang tanpa tindakan tegas terhadap birokrasi di BPN.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.