Kerugian Hukum akibat Mempailitkan Debitor

LEGAL OPINION
Question: Apa yang terjadi bila kami selaku kreditor pemegang jaminan kebendaan memilih untuk memailitkan debitor yang wanprestasi terhadap perjanjian atas fasilitas kredit yang kami berikan, ketimbang repot sendiri mengurus parate eksekusi terhadap agunan milik debitor yang cidera janji tersebut?
Brief Answer: Kerap dijumpai praktik kurator nakal yang memungut berbagai pungutan liar yang menyimpang dari aturan hukum disamping perkara kepailitan sangat “keruh” oleh berbagai kepentingan dari kreditor dengan kriteria preferen maupun para kreditor konkuren. Mempailitkan debitor hanya menjadi the last resort bila tiada lagi agunan debitor yang tersisa untuk di parate eksekusi.
Permasalahan kedua, tak semua hakim pada tingkat Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung yang benar-benar memahami konsepsi Hukum Kepailitan yang diperumit dengan konsepsi tiga jenis kriteria kreditor. Dalam praktik, masih dijumpai persepsi yang salah-kaprah mengenai perbedaan konsepsi “Kreditor Preferen” dan “Kreditor Separatis” sehingga alhasil resiko bagi Kreditor Separatis menjadi amat tinggi—terlebih bila sang Kreditor Separatis tidak mengajukan pailit atas pemberi agunan, namun oleh pihak ketiga yang bisa jadi diajukan oleh Kreditor Konkuren yang tidak memiliki jaminan pelunasan hutang apapun untuk dieksekusi.
Yang paling rawan ialah sengketa tarik-menarik kepentingan antara Kreditor Separatis melawan Kreditor Preferen yang merasa paling berhak atas harta kekayaan debitor (dalam pailit). Meski secara doktrinal Kreditor Separatis berada pada posisi puncak, namun dalam praktik kerap terjadi putusan pengadilan yang menurunkan peringkat Kreditor Separatis sebagai dibawah posisi Kreditor Preferen.
Anda selaku Kreditor Separatis perlu memahami, bahwa pailitnya debitor justru akan menyedot banyak energi, perhatian, serta waktu bahkan emosi. Penulis secara pribadi menilai, memailitkan debitor hanya akan menguntungkan kurator.
PEMBAHASAN:
Mengenai keruh serta menjadi ilustrasi kompleksitas disamping mahalnya biaya ekonomi menjatuhkan debitor dalam keadaan pailit, tepat kiranya merujuk pada contoh kasus putusan Mahkamah Agung RI tingkat Peninjauan Kembali (PK) perkara perlawanan terhadap pemberesan boedel pailit yang dilakukan oleh kurator kepailitan (prosedur renvoi) register Nomor 49 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 26 Juni 2014, antara:
I. PT. BANK SBI INDONESIA, sebagai Pemohon PK I, semula Pemohon Kasasi I, dahulu Pelawan I;
II. KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING EMPAT, sebagai Pemohon PK II, semula Pemohon Kasasi II, dahulu Pelawan II; terhadap
- Kurator PT. KIZONE INTERNATIONAL (Dalam Pailit), selaku Termohon PK, semula Termohon Kasasi, dahulu Terlawan; dan
1. KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE MADYA PABEAN A TANGERANG, selaku Kreditor Preferen;
2. CV SARI RASA dan CITA RASA, selaku Kreditor Konkuren;
3. GREEN TEXTILE, selaku Kreditor Konkuren;
4. PT. GREEN TEXTILE Co. Ltd., selaku Kreditor Konkuren;
5. PUK SP TSK-SPSI PT. KIZONE INTERNATIONAL, selaku Kreditor Preferen;
... sebagai Para Turut Termohon PK, semula Para Turut Termohon Kasasi, dahulu Para Pelawan.
Bank SBI Indonesia dalam (gugat) perlawanannya menguraikan, Terlawan selaku kurator telah mengumumkan “Laporan Penerimaan, Pengeluaran dan Pembagian Tahap II (akhir) Kepailitan PT. Kizone International (Dalam Pailit) Perkara Nomor 13/Pailit/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst.” (Laporan Terlawan) di Pengadilan Niaga Jakarta, dimana di dalam laporan tersebut terdapat banyak biaya yang tidak jelas pertanggung-jawabannya dan juga terdapat porsi yang seharusnya diberikan kepada Pelawan, namun oleh Terlawan diberikan kepada kreditor lain.
Dasar pembagian yang digunakan oleh Terlawan dirasa tidak sesuai dengan hak Pelawan selaku Kreditor Separatis. Berdasarkan upaya hukum ini, Pelawan mengajukan keberatan / perlawanan terhadap daftar pembagian yang terdapat dalam laporan Terlawan.
Pengajuan keberatan / perlawanan yang diajukan oleh Pelawan sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh Terlawan dalam pengumumannya di dua harian surat kabar yang menyebutkan:
“... Bagi Kreditor dalam kepailitan PT. Kizone International (Dalam Pailit) yang berkeberatan atas daftar pembagian tahap kedua dimaksud, dapat mengajukan perlawanan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal pengumuman ini.”
Perlawanan ini memiliki landasan ketentuan Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Kewajiban Utang (UU Kepailitan):
“... Kreditor dapat melawan daftar pembagian tersebut dengan mengajukan surat keberatan disertai alasan kepada Panitera Pengadilan, dengan menerima tanda bukti penerimaan.”
Pada tahun 2010 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kantor Wilayah Banten (DJBC Banten) telah menerbitkan Surat Penetapan Pabean (SPP) yang ditujukan kepada kepada PT. Kizone untuk membayar tagihan pabean sebesar Rp131.801.000,00.
Namun pada tahun 2011, Dirjen Bea dan Cukai Kantor Kantor Wilayah Banten kembali menerbitkan Surat Penetapan Pajak (SPP) yang ditujukan kepada kepada PT. Kizone dengan jumlah yang berkali-kali lebih besar dari tagihan semula yang hanya sebesar Rp131.801.000,00 menjadi sebesar Rp2.913.849.857,14.
Biaya-biaya yang terdapat dalam komponen diatas, disinyalir merupakan biaya-biaya yang sudah ditagihkan oleh Kantor Bea dan Cukai yang jumlah tagihan keseluruhannya hanya sebesar Rp131.801.000,00. Namun dalam hitungan 11 (sebelas) hari, Kantor Bea dan Cukai kembali menagihkan kepada Terlawan biaya pajak yang harus dibayar oleh PT. Kizone sebesar Rp 2.913.849.857,14.
Penetapan pajak kurang bayar tersebut, keduanya menagihkan komponen yang sama dan masing-masing hanya berjarak 11 (sebelas) hari antara satu dengan yang lainnya dinilai telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang merugikan Pelawan.
Terlawan dinilai tidak perlu mencadangkan biaya sebesar Rp 2.913.849.857,14 untuk Kantor Bea dan Cukai, namun demi hukum seharusnya diberikan kepada Bank SBI sebagai bagian dari penjualan aset yang dijaminkan oleh PT. Kizone kepada Bank SBI.
Keberatapan lainnya, Terlawan mendasarkan pembagian kepada para buruh ex PT. Kizone berdasarkan ketentuan Pasal 39 Ayat (2) UU Kepailitan yang mengatur:
“Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.”
Pelawan I (Bank SBI) mendalilkan, maksud pengaturan Pasal 39 Ayat (2) UU Kepailitan diatas, hanya menyebutkan bahwa upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Yang dimaksud dengan utang harta pailit, artinya seluruh hak-hak yang dituntut oleh karyawan tersebut dan telah diakui oleh Terlawan dimasukkan sebagai catatan didalam utang harta pailit. Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan sama sekali tidak mengatur secara definitif, implisit ataupun eksplisit bahwa upah yang terutang tersebut harus menjadi beban Pelawan selaku Kreditor Separatis.
Bank SBI juga mendalilkan, perihal tidak adanya kewajiban Kreditor Separatis menanggung beban upah terutang dari karyawan, merupakan kaedah hukum yang bersumber dari putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 18/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Oktober 2008 (Putusan MK RI), dimana salah satu kutipan pertimbangan putusannya menyebutkan:
“Bahwa pelaksanaan hak-hak Kreditor Separatis a quo tidaklah dapat dikatakan sebagai perlakuan yang tidak adil dan tidak layak dalam hubungan kerja (hubungan antara buruh dan pengusaha), karena dalam hubungan kerja dimaksud, buruh tidak kehilangan hak-hak atau upahnya.”
Pelawan selaku Kreditor separatis berdasarkan ketentuan Pasal 1134 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari karyawan PT. Kizone, yang berbunyi:
“Gadai dan hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istimewa kecuali dalam hal-hal dimana oleh Undang-undang ditentukan sebaliknya.”
Jika Terlawan mendasarkan pembagian upah karyawan PT. Kizone berdasarkan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun UU Ketenagakerjaan tersebut sama sekali tidak mengatur dan tidak menjelaskan bahwa upah buruh harus dibayarkan terlebih dahulu mengalahkan Pelawan selaku Kreditor Separatis.
Kreditor Separatis dinilai memiliki hak lebih tinggi dari upah buruh PT. Kizone sehingga seharusnya Terlawan tidak mencadangkan dana cair sebesar Rp3.507.380.240,60 bagi buruh PT. Kizone, tetapi seharusnya diberikan kepada Pelawan selaku Kreditor Separatis.
Pelawan juga keberatan terhadap pembagian kepada Kreditor Konkuren sebesar Rp107.705.916,75 karena kreditor pemegang jaminan memiliki hak yang diutamakan atas pembayaran. Merujuk pada jumlah tagihan Pelawan kepada Terlawan adalah sebesar Rp26.354.012.026,76 dan berdasarkan rencana pembagian boedel pailit oleh Terlawan, Pelawan hanya memperoleh hasil penjualan jaminan yang diikat dengan hak tanggungan sebesar Rp13.108.819.746,63—artinya Pelawan belum mendapatkan seluruh tagihan yang ditagihkan kepada Terlawan. Padahal Pelawan selaku Kreditor Separatis, belum mendapatkan seluruh hak pelunasannya.
Pelawan juga mengajukan keberatan terhadap pencadangan Terlawan atas jumlah biaya kepailitan, biaya pengakhiran kepailitan, serta cadangan biaya perkara karena dinilai tidak sesuai dengan undang-undang. Memang sangat tidak logis bila biaya ATK, korespondensi, dan operasional sehari-hari saja harus diambil dari boedel pailit, karena seharusnya Terlawan dapat mencadangkan biaya tersebut dari imbalan jasa Terlawan (fee kurator).
Pelawan menolak angka sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk cadangan biaya perkara yang terdapat dalam laporan Terlawan, karena dinilai sangat berlebihan, karena jika pun ada perkara berlanjut atas diumumkannya rencana pembagian boedel pailit oleh Terlawan, maka para Kreditorlah yang akan mengajukan keberatan ke Pengadilan.
Contohnya dalam perkara ini, Pelawan selaku Kreditor Separatis keberatan atas rencana pembagian boedel pailit oleh Terlawan maka Pelawan-lah yang mengurus seluruh proses administrasi perlawanan ini. Adalah resiko Terlawan selaku kurator yang menggantikan peran dan tugas debitor pailit.
Adapun yang menjadi pokok permintaan Bank SBI, ialah agar pengadilan membatalkan daftar pembagian yang terdapat dalam laporan Terlawan, khususnya untuk bagian-bagian seperti yang dikemukakan Pelawan, serta agar jumlah yang Pelawan mohonkan untuk dibatalkan diatas, untuk dimasukkan dan ditambahkan kepada porsi atau bagian Pelawan selaku Kreditor Separatis.
Sementara itu Pelawan II selaku Kantor Pelayanan Pajak mengklaim haknya sebesar Rp371.369.949,16 untuk piutang yang bersifat preferen dan sebesar Rp29.917.355,38 untuk piutang yang bersifat konkuren. Kantor Pajak memandang bahwa hak pelunasan atas piutang pajak lebih tinggi daripada piutang kreditor lainnya.
Posisi Kurator memang serba salah, karena digugat baik oleh Kreditor Separatis, Kreditor Preferen, maupun Kreditor Konkuren. Dari fakta persidangan, terungkap bahwa agunan dilelang eksekusi oleh Kurator, sehingga Kurator menolak klaim yang diajukan oleh Bank SBI mengenai keberatannya atas biaya-biaya kepailitan, yang mana telah dibayar oleh Kurator dengan menggunakan dana pribadi Kurator sendiri.
Biaya kepailitan, merupakan piutang yang harus dilunasi terlebih dahulu, sebagaimana ketentuan Pasal 191 UU Kepailitan, yang berbunyi:
“Semua biaya kepailitan dibebankan kepada setiap benda yang merupakan bagian harta pailit, kecuali benda yang menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 telah dijual sendiri oleh Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya.”
Sementara itu terhadap klaim Kantor Pajak, Kurator merujuk pada ketentuan Pasal 21 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, menyebutkan:
Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu dua tahun sejak tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat keputusan Keberatan, putusan banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam jangka waktu dua tahun tersebut surat paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi atau diberikan penundaan pembayaran.”
Pengadilan Niaga Jakarta kemudian memberikan putusan Nomor 13/Pailit/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 23 Februari 2012, dengan pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa, terhadap keberatan tersebut majelis mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa menurut KUHPdt dan UU kepailitan, tagihan eks karyawan termasuk tagihan yang didahulukan pelunasannya dan termasuk utang harta yang kedudukannya sejajar dengan biaya kepailitan dan fee kurator;
• Mengabulkan perlawanan keberatan Pemohon VII untuk sebagian;
• Menetapkan Pemohon VII berhak atas pembagian harta pailit PT. Kizone International (Dalam Pailit) sebesar Rp6.427.153.433,00 (enam miliar empat ratus dua puluh tujuh juta seratus lima puluh tiga ribu empat ratus tiga puluh tiga rupiah);
• Membatalkan daftar pembagian yang telah dibuat Kurator yang telah diumumkan oleh Kurator pada tanggal 24 Januari 2012;
• Memerintahkan Kurator untuk memverifikasi ulang tagihan Pelawan (Pemohon) III sebesar Rp2.913.849.875,00 (dua miliar sembilan ratus tiga belas juta delapan ratus empat puluh sembilan ribu delapan ratus tujuh puluh lima rupiah);
• Menolak keberatan Pemohon Keberatan I, II, III, IV, V, VI;
• Membebankan biaya permohonan pada boedel pailit.”
Pelawan mengajukan upaya hukum kasasi, dimana amar putusan Mahkamah Agung RI Nomor 252 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 25 September 2012 sebagai berikut:
“Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: I. PT. BANK SBI INDONESIA dan II. KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING EMPAT tersebut.”
Terhadap upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Bank SBI dan Kantor Pajak, yang salah satu keberatannya ialah Imbalan Jasa / fee Kurator sebesar 10% dari total nilai harta pailit yang terjual, karena tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia No. 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator Dan Pengurus (peraturan yang berlaku pada saat itu), yang mengatur fee kurator atas pemberesan adalah sebesar 8% (delapan persen) untuk nilai harta sampai dengan Rp50 miliar. Mengingat harta pailit PT. Kizone yang terjual dengan harga Rp25.515.000.000,00 (dibawah Rp50 miliar), maka kurator hanya dapat memungut imbalan jasa atas penjualan pabrik PT. Kizone sebesar 8% (delapan persen).
Pemohon PK juga menolak biaya imbalan jasa penjualan sebesar 2,5% dari Nilai Harta Pailit Jaminan Terjual. Pasal 3 Kep.Menkeh RI Nomor M.09-HT 05.10 Tahun 1998 sebagaimana telah dirubah dengan Pasal 3 Permenkumham Nomor 1 Tahun 2013 mengatur sebagai berikut:
 (1) Selain imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kurator dapat menerima imbalan lain yang berasal dari penjualan harta yang dikuasai kreditur lain atau pihak ketiga yang eksekusinya ditangguhkan.
(2) Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah paling banyak 2,5% (dua satu perdua persen) dihitung dari penjualan harta yang dikuasai kreditur lain atau pihak ketiga yang eksekusinya ditangguhkan.
Pelawan mendalilkan, “imbalan lain” yang dimaksud diatas adalah terhadap penjualan harta kreditur lain, bukannya terhadap harta debitor yang dijaminkan kepada kreditur separatis. Adalah suatu hal yang memang tidak rasional, terhadap harta pailit harus dibebani jasa penjualan sebesar 2,5%, mengingat penjualan harta pailit adalah sudah merupakan tugas / kewajiban kurator dalam tahap pemberesan dan untuk tugas/kewajiban kurator tersebut telah diberikan imbalan fee kurator yang nilainya tidak sedikit.
Sehingga apabila imbalan jasa penjualan 2,5% dibebankan juga kepada hasil penjualan harta pailit (harta milik debitur pailit), maka total imbalan jasa Kurator menjadi 12,5% atau sebesar Rp3.189.375.000,00 (tiga miliar seratus delapan puluh sembilan juta tiga ratus tujuh puluh lima rupiah), dimana hal tersebut bertentangan dengan rasa keadilan—dan juga bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan ketika hal itu dilakukan kurator tatkala banyak kreditor lain termasuk para buruh yang tidak mendapat pelunasan seluruh piutangnya.
Pasal 3 Permenkumham Nomor 1 Tahun 2013 (regulasi yang berlaku saat perkara terjadi), menyebutkan bahwa imbalan jasa penjualan paling banyak 2,5% (dua satu perdua persen) dihitung dari penjualan harta yang dikuasai kreditur lain atau pihak ketiga, jadi bisa saja Majelis Hakim menetapkan dibawah 2,5% (dua satu perdua persen) mengingat kondisi tagihan para kreditor dalam proses kepailtan PT. Kizone banyak yang belum mendapat pelunasan.
Bank SBI medalilkan pula, sejak awal kedudukan kreditor separatis yang didasarkan pada jaminan hak tanggungan telah mengurangi hak debitor atas harta / aset yang dijadikan jaminan, yang menyebabkan aset tidak dapat lagi dipandang sebaqai hak milik debitor secara mutlak, karena aset telah dibebani Hak Tanggungan, yang mengurangi keleluasaan debitor untuk bertindak terhadap objek jaminan sebagai pemilik semu (pseudo eigenaar).
SHIETRA & PARTNERS akui, kurator memiliki resiko hukum tersendiri, oleh karena Kantor Pajak yang juga mengajukan Peninjauan Kembali mendalilkan posisi haknya sesuai Pasal 21 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nemer 16 Tahun 2009, yang mengatur:
"Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut."
 Terhadap permohonan Peninjauan Kembali tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Terhadap Permohonan Peninjauan Kembali I: Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama alasan peninjauan kembali tanggal 4 Maret 2013 dan jawaban alasan peninjauan kembali tanggal 18 Maret 2013 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Juris dan Judex Facti telah melakukan kekeliruan yang nyata dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa berdasarkan fakta yang sebenarnya PT. Kizone / Pelawan VII memiliki hutang pada Pemohon Peninjauan Kembali I sebesar Rp26.354.012.026,76 dengan jaminan Sertifikat Hak Tanggungan yang telah dilelang sejumlah Rp25.515.000.000,00 sedangkan Pemohon Peninjauan Kembali I hanya mendapat pembagian Rp10.325.219.087,73 yang selebihnya untuk buruh Rp6.427.153.433,00, Kurator Rp2.041.200.000,00 dan PPN Rp637.875.000,00, yang keseluruhannya berjumlah Rp19.431.447.520,73, yang berarti masih ada kelebihan yang harus menjadi hak dari Pemohon Peninjauan Kembali I, yaitu Rp25.515.000.000,00 dikurangi Rp19.431.447.520,73 yaitu Rp6.083.552.479,27 yang harus diserahkan pada Pemohon Peninjauan Kembali I;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali I PT. BANK SBI INDONESIA tersebut dan membatalkan putusan Mahkamah Agung Nomor 252 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 25 September 2012 Jo. putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 13/Pailit/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 23 Februari 2012, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar sebagaimana akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I
“Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali II KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING EMPAT tersebut;
Mengabulkan permohanan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali I PT. BANK SBI INDONESIA tersebut;
“Membatalkan putusan Mahkamah Agung Nomor 252 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 25 September 2012 Jo. putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 13/Pailit/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 23 Februari 2012;
MENGADILI KEMBALI
1. Mengabulkan perlawanan Pelawan I untuk sebagian;
2. Membatalkan Daftar Pembagian yang telah dibuat oleh kurator yang telah diumumkan oleh kurator pada tanggal 24 Januari 2012;
3. Menyerahkan hasil penjualan aset pabrik milik PT. Kizone Internasional (Dalam Pailit) harus diserahkan kepada Pemohon Peninjauan Kembali setelah dikurangi biaya kepailitan dan fee kurator sebesar 8 % (sesuai ketentuan Pasal 2 Permenkumham Nomor 1 Tahun 2013), yaitu sebesar Rp25.515.000.000,00 - Rp19.431.447.510,73 = Rp6.083.552.479,27 (enam miliar delapan puluh tiga juta lima ratus lima puluh dua ribu empat ratus tujuh pulah sembilan rupiah koma dua puluh tujuh sen);
4. Merevisi fee kurator menjadi sebesar 8 % (sesuai ketentuan Pasal 2 Permenkumham Nomor 1 Tahun 2013) dan membatalkan imbalan jasa penjualan sebesar 2,5 % (dua satu perdua persen) karena tidak sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 Permenkumham Nomor 1 Tahun 2013 serta tidak memenuhi rasa keadilan;
Secara yuridis, dalam kasus tersebut diatas Bank SBI sebenarnya telah kehilangan statusnya sebagai Kreditor Separatis, oleh sebab agunan telah jatuh dalam boedel pailit dan dilakukan pemberesan oleh kurator karena objek agunan ditelantarkan oleh Bank SBI itu sendiri. Piutang buruh memiliki hierarkhi lebih preferen ketimbang piutang kantor pajak sesuai prinsip welfare state.
Namun yang menarik dari perkara tersebut diatas, kurator tidak dibenarkan mengutip secara ganda imbalan pemberesan dengan mengutip pula fee penjualan atas aset boedel pailit meski Peraturan Menteri Hukum dan HAM memberikan hak untuk itu bagi kurator.
Imbalan jasa pemberesan oleh kurator telah melingkupi seluruh peran dan tanggung jawabnya atas proses pemberesan boedel pailit. Tampaknya musuh terbesar para kreditor ialah ketamakan kalangan kurator itu sendiri, yang dalam perkara diatas mengutip 12,5 % dari nilai terjual lelang yang mencapai dua puluh lima miliar Rupiah. Kurator tetap merasa tidak cukup dengan 8 % x Rp. 25.000.000.000;- yang mencapai nilai sebesar dua miliar Rupiah sebagai imbalan jasa.
Perkara ini mencerminkan biasnya pemahaman Hakim Agung sekalipun atas konsepsi Kreditor Konkuren vs. Kreditor Preferen vs. Kreditor Separatis. Fakta hukum yang semestinya diungkap, apakah status Kreditor Separatis turun (demosi) menjadi Kreditor Konkuren semata setelah agunan jatuh dalam boedel pailit?
Jika agunan jatuh dalam pailit karena ditelantarkan Kreditor Separatis sehingga pemberesan dilakukan oleh kurator, maka tidaklah keliru pembagian oleh kurator. Yang telah lalai ialah kreditor pemegang jaminan kebendaan itu sendiri.
Bila memang kurator dalam laporan pemberesan melakukan mark-up biaya kepailitan, semisal biaya pengumuman koran untuk dimulainya dan diakhirinya keadaan pailit, sejatinya dapat diajukan tuntutan pidana penggelapan oleh kreditor yang hak pelunasannya pupus akibat berbagai penggelembungan biaya oleh pihak kurator.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.