Hakim Tidak Selalu Mengabulkan PHK yang Diajukan Buruh / Pekerja

LEGAL OPINION 
Question: Apabila karyawan mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja ke pengadilan, apakah pengadilan dipastikan akan mengabulkan keinginan karyawan untuk dinyatakan putus hubungan kerja dengan perusahaan disertai pesangon?
Brief Answer: Hendaknya kalangan buruh / pekerja memahami, menggugat pemberi kerja ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tak serta-merta permintaan agar dinyatakan putus hubungan kerja akan dikabulkan Majelis Hakim. Meski secara sosiologis agak janggal juga bila hubungan kerja yang sudah tidak harmonis masih terus dipertahankan, yang tentunya akan berdampak kontraproduktif terhadap masing-masing pihak.
Guna memastikan agar gugatan buruh / karyawan yang hendak mendapat dan memperjuangkan hak normatifnya seperti pesangon, pastikan bahwa setidaknya sang buruh/pekerja mendapat surat keterangan PHK atau setidaknya mendapat secarik surat pengalaman kerja sebagai bukti konkret bahwa dirinya memang telah diputus hubungan kerja oleh pemberi kerja (secara politis meski belum sempurna secara yuridis), sebelum mengajukan gugatan PHK disertai pesangon dan hak-hak normatif lainnya ke PHI.
Sekalipun buruh / pekerja berada di pihak yang benar dan diculasi, namun sikap cerdas diperlukan dalam memperjuangkan hak-haknya. Untuk itu strategi berlitigasi menjadi penting untuk dicermati, dipersiapkan, serta diantisipasi.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi sengketa hubungan industrial hingga tingkat kasasi pada Mahkamah Agung RI register perkara Nomor 357 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 14 Juni 2016 berikut ini berikut dapat memberikan gambaran mengenai pendirian hakim atas permohonan PHK oleh pihak buruh/pekerja, yang terjadi antara:
- WENDA RICIE TANGKOWIT, selaku Pemohon Kasasi, dahulu Penggugat; melawan
- CV. PROMEDIA, selaku Termohon Kasasi, dahulu Tergugat.
Dalam gugatannya Penggugat mendalilkan, dirinya bekerja pada Tergugat sejak bulan Agustus 2008 dan berakhirnya hubungan kerja sejak tanggal 4 Juli 2013 dengan cara lisan. Sejak tanggal 2 sampai dengan 3 Juli 2013 anak Penggugat sakit yang menyebabkan Penggugat tidak masuk kerja.
Tanggal 4 Juli 2013 Penggugat hendak masuk kerja tetapi kemudian mendapat bentakan dari Tergugat sembari disodorkan surat pernyataan untuk ditandatangani tetapi Penggugat tidak bersedia menandatangani karena surat pernyataan tersebut berisikan peraturan perusahaan yang bertentangan dengan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku dan dinilai merugikan Penggugat.
Tergugat beranggapan Penggugat bukan lagi karyawan sejak tidak menandatangani surat pernyataan tersebut dan tidak dipekerjakan pada Tergugat. Maka Penggugat merasa telah dipermalukan atas sikap Tergugat dan telah diputus hubungan kerja sepihak tanpa ada penyelesaian hak-hak sesuai perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku.
Penggugat telah berupaya untuk menyelesaikan permasalahan dengan Tergugat sejak tanggal 5 Juli 2013 dan tanggal 8 Juli 2013 tetapi Tergugat mengatakan pada Penggugat bahwa Penggugat telah mengganggu dan membuang waktu Tergugat sehingga tidak terjadi perdamaian.
Penggugat menambahkan, PHK secara lisan bukan hanya diberlakukan pada Penggugat melainkan juga pada pekerja yang lain dengan cara sewenang-wenang dengan mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku bahkan pekerja dibuat tidak nyaman dan merasa kesejahteraan dan upahnya tidak sesuai sehingga memilih mengundurkan diri.
Tergugat selaku pengusaha tidak pernah patuh pada ketentuan kewajiban menyertakan pekerjanya pada program asuransi ketenagakerjaan dengan tidak menerima keterangan dokter yang memeriksa Penggugat kalau Penggugat sakit dan tidak bekerja tanpa ada pengembalian biaya pengobatan.
Selama Penggugat bekerja kurang lebih 5 (lima) tahun pada Tergugat tidak pernah mengikutsertakan Penggugat dalam kepesertaan asuransi ketenagakerjaan sehingga sewaktu sakit Penggugat berobat ke Puskesmas dan mendapat ijin dokter untuk istirahat tapi tetap saja dipotong upah baik sakit ijin dan/atau tidak masuk tanpa alasan.
Berdasarkan pengakuan, Tergugat tidak menerima Penggugat untuk bekerja kembali dan pada tanggal 4 Juli 2013 karena Penggugat tidak menandatangani surat pernyataan yang berisikan peraturan perusahaan maka dianggap oleh Tergugat bukan karyawan lagi, sebab peraturan perusahaan harus disahkan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Manado.
Adapun yang menjadi pokok tuntutan Penggugat terhadap Tergugat, ialah agar dinyatakan Penggugat telah di-PHK oleh Tergugat, menyatakan Penggugat berhak atas upah proses, serta menghukum Tergugat membayar pesangon atas PHK tersebut.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Manado telah memberikan putusan Nomor 18/G/2013/PHI Mdo. tanggal 17 Juni 2014 yang amarnya sebagai berikut:
“Dalam Pokok Perkara
1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Penggugat masih bekerja pada perusahaan Tergugat, dengan memerintahkan Tergugat memanggil secara patut kepada Penggugat sejak putusan ini dinyatakan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sampai selama 30 (tiga puluh) hari kerja;”
Meski dinyatakan dapat tetap bekerja, Penggugat selaku karyawan kemudian mengajukan upaya hukum berupa kasasi. Meski demikian terhadap permohonan kasasi Penggugat, Majelis Hakim Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 1 Juli 2014 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Manado tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa sebagaimana pertimbangan Judex Facti setelah menilai alat-alat bukti benar bahwa perselisihan antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi hanya karena adanya kesalahpahaman dalam pelaksanaan hubungan kerja “merasa diberikan pemutusan hubungan kerja (PHK)”, bukan mengenai tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak sebagaimana maksud ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004;
“Bahwa lagi pula pertimbangan Judex Facti a quo bersesuaian dengan anjuran mediator yang menyatakan hubungan kerja berlanjut;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi WENDA RICIE TANGKOWIT, tersebut harus ditolak;
MENGADILI :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon KasasiWENDA RICIE TANGKOWIT, tersebut.”
Namun bukan berarti putusan Mahkamah Agung tersebut diatas menjadi “harga mati”. Jika memang benar dalil Penggugat bahwa terjadi kolusi antara mediator Disnaker dengan pihak pengusaha, dimana perusahaan jelas telah memutuskan hubungan kerja dengan cara tidak menerima Penggugat yang telah datang tanggal 5 dan 8 Juli 2013 di perusahaan dengan mendapat perlakuan dari Tergugat yang memarahi, membentak, dan mengusir Penggugat, bahkan tidak menyertakan pula program kesehatan bagi karyawannya—maka bukan diartikan sikap pengusaha demikian dapat dibenarkan oleh hukum.
Ketika pemberi kerja lalai menjalankan amar putusan yang memerintahkan Tergugat memanggil secara patut kepada Penggugat sejak putusan ini dinyatakan mempunyai kekuatan hukum tetap sampai selama 30 hari kerja, namun ketika pengusaha tidak juga memanggil sang karyawan secara patut untuk kembali bekerja, maka sang karyawan dapat kembali mengajukan gugatan dengan dalil bahwa perusahaan telah lalai menjalankan perintah pengadilan sebagai pokok sengketa baru, sehingga gugatan baru berikutnya tidak akan berpotensi tidak diterima dengan alasan nebis in idem.
Penulis tidak memungkiri, kerap buruh / pekerja mendapat penculasan dari pihak pemberi kerja. Posisi dominan pihak pengusaha sudah seyogianya menjadikan hakim memiliki pendirian untuk asas praduga yang lebih berat kearah kepentingan buruh/pekerja guna mengimbangi ketimpangan posisi dominan pengusaha terhadap buruh / pekerjanya (affirmative action alias diskriminasi positif).
Menyimpan api dalam sekam, ketika hubungan kerja dibangun diatas landasan ketidakharmonisan. Itulah yang mungkin telah dilakukan Mahkamah Agung dalam ilustrasi kasus yang diangkat sebagaimana tertuang diatas. Ketika pekerja/buruh bukan lagi dipandang sebagai aset perusahaan yang berharga, namun dipandang sebelah mata sebagai “benalu”, maka sejatinya itulah “neraka dunia”. Hubungan kerja yang baik dibangun diatas pilar itikad baik kedua belah pihak sebagai prasyarat mutlak.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.