Force Majeur dalam Hubungan Industrial

LEGAL OPINION 
Question: Apakah dapat dibenarkan pihak pengusaha mem-PHK pekerjanya dengan alasan keadaan kahar (force majeur)?
Brief Answer: Dapat saja, namun amat berisiko tinggi karena hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) maupun Hakim Agung memberlakukan kebijakan unsur keadaan kahar dalam hubungan industrial dengan sangat limitatif serta selektif guna menghindari penyalahgunaan oleh kalangan pemberi kerja. Jika pengadilan menilai unsur-unsur keadaan kahar tidak terpenuhi, maka PHK oleh pihak pemberi kerja akan dianggap sebagai melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja / buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengketa hubungan industrial register perkara Nomor 435 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 30 Juli 2015, yang terjadi antara:
- CV. GEMILANG ARTHA PRIMA, sebagai Pemohon Kasasi, semula Tergugat; melawan
- ZAENAL MAS KOWIM, FARIZTIYO, dan MOCH. ARIFIN, selaku para Termohon Kasasi, semula para Penggugat.
Para Penggugat telah bertahun-tahun bekerja pada Tergugat, mendadak di-PHK namun pesangon yang diberikan tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, maka Penggugat tetap berpatokan bahwa Tergugat melakukan pemutusan hubungan kerja berdasarkan efisiensi kerja.
Apabila itu yang menjadi alasannya—karena efisiensi—maka menurut Penggugat semestinya Tergugat memberi kompensasi uang pesangon berdasarkan Pasal 164 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi sebagai berikut dibawah ini :
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/Buruh, karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian dua tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan effisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Karena Penggugat diberikan uang pesangon yang besarannya tidak sesuai dengan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan diatas, maka Penggugat menghadap Disnaker. Adapun yang menjadi anjuran tertulis Mediator Hubungan Industrial dinas tenaga kerja pemerintah kota Surabaya tertanggal 14 Nopember 2013, antara lain:
“Agar Pengusaha memberikan kepada Sdr. Zaenal Mas Kowim, Sdr. Moch. Arifin dan Sdr. Fariztyo, uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003.”
Karena Tergugat memutus hubungan kerja secara sepihak, maka Penggugat tidak bisa bekerja seperti biasanya dan karena itu Penggugat tetap mengajukan upah (proses) selama tidak dipekerjakan secara sepihak oleh Tergugat, karena Tergugat memutus hubungan kerja secara tanpa penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan untuk itu Penggugat mengajukan upah proses selama tidak dipekerjakan masing-masing 6 (enam) bulan, terhitung mulai tidak dikerjakan. Penggugat tampaknya sudah cukup familier dengan pendirian para hakim yang cenderung hanya memberi upah proses maksimum 6 bulan alih-alih meminta diberikan hingga putusan berkekuatan hukum tetap.
Terhadap gugatan pihak Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya kemudian menjatuhkan putusan Nomor 134/G/2014/PHI.Sby., tanggal 16 Maret 2015, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti T-1a, T-1b, T-3a, T-3b dan keterangan saksi tersebut, maka Majelis berpendapat bahwa benar telah terjadi pengurangan wilayah/outlet dari Tergugat sebagai dampak adanya kebijakan dari PT. Unilever Indonesia,Tbk.”
“Menimbang, bahwa terhadap alasan Tergugat yang menyatakan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja oleh Tergugat kepada Penggugat sebagai akibat pengurangan wilayah distribusi karena kebijakan dari PT. Unilever adalah karena keadaan memaksa (force majeur) maka majelis berpendapat bahwa alasan Tergugat tersebut tidak beralasan dan tidak dapat dibenarkan secara hukum dan harus dikesampingkan. Majelis berpendapat bahwa suatu keadaan/kondisi dapat dikatakan force majeur seperti yang diatur dalam Pasal 1244—1245 KUH Perdata adalah apabila ada suatu keadaan yang menyebabkan suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu hubungan hukum tidak dapat dilaksanakan, antara lain diakibatkan oleh:
1. Bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, banjir);
2. Kebakaran, perang, huru-hara, pemogokan dan epidemi;
3. Tindakan pemerintah dibidang moneter yang menyebabkan kerugian luar biasa;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka Majelis berpendapat bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat kepada Penggugat bukan karena keadaan memaksa (force majeur) akan tetapi merupakan pengurangan karyawan atau efisiensi, sehingga atas Pemutusan Hubungan Kerja tersebut Tergugat telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Ketentuan Pasal 155 (1), (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, oleh karenanya Majelis berpendapat bahwa atas petitum Penggugat angka 3 dan angka 4 cukup beralasan hukum dan patut untuk dikabulkan.
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat dinyatakan putus terhitung sejak putusan ini dibacakan yaitu tanggal 16 Maret 2015;
3. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 155 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 164 ayat (3);
4. Menghukum Tergugat sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 164 ayat (3) untuk membayar tunai uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah Penggugat selama tidak dipekerjakan dengan dibatasi hanya selama 6 (enam) bulan saja masing-masing untuk:
i. Sdr. Zaenal Mas Kowim sebesar Rp34.452.000,00;
ii. Sdr. Fariztiyo sebesar Rp54.462.000,00;
iii. Sdr. Moch. Arifin Sebesar Rp30.450.000,00;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;”
Dengan kata lain, keberlakuan Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta Pasal 1245 KUHPerdata telah dipersempit makna keberlakuannya. Adapun kaedah orisinil dari kedua pasal tersebut:
- Pasal 1244 BW: "Jika ada alasan untuk itu siberhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila tidak membuktikan bahwa hak tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya."
- Pasal 1245 BW: "Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya apabila karena keadaan memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan suatu perbuatan yang terlarang."
Merasa keberatan atas pendirian PHI yang membatasi keberlakuan kedua pasal KUHPerdata mengenai keadaan kahar (yang memang tampak sumir dan rawan disalahgunakan), Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana kemudian Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 10 April 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 29 April 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex Facti yang dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya tidak salah dalam menerapkan hukum, pertimbangan sudah tepat dan sudah benar untuk mengabulkan gugatan Penggugat sebahagian didasari pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Tergugat tidak dapat membuktikan bahwa PHK sepihak atas diri para Penggugat karena keadaan Force Majeur sebagaimana yang ditentukan Undang-Undang, oleh karenannya PHK harus disertai dengan kompensasi sebagaimana ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi CV. GEMILANG ARTHA PRIMA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi CV. GEMILANG ARTHA PRIMA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.