LEGAL
OPINION
Question: Apakah pengusaha dapat memutus hubungan kerja
dengan karyawannya dengan alasan disharmoni? Jika memang demikian, lantas apa
yang menjadi hak normatif bagi pihak karyawan yang di-PHK?
Brief Answer: Disharmoni telah menjadi salah satu alasan pemutusan
hubungan kerja (PHK) dalam praktik (best
practice) peradilan di Indonesia. PHK dengan dasar alasan disharmoni,
mewajibkan pemberi kerja memberi 2 (dua) kali nilai pesangon normal bagi
buruh / pekerja bersangkutan.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengketa hubungan industrial
register perkara No. 405 K/Pdt.Sus-PHI/2013tanggal 29 Oktober 2013, antara:
- WIDODO EDI SEKTIANTO, selaku Pemohon
Kasasi, semula Tergugat; melawan
- PT. Angkutan Sungai dan
Penyeberangan Indonesia Ferry (PT. ASDP Indonesia Ferry) (Persero), sebagai Termohon
Kasasi, dahulu Penggugat.
Pada tahun 1999 Tergugat diangkat sebagai Pegawai di lingkungan Penggugat.
Sebelum diangkat, Tergugat menandatangani Surat Pernyataan tertanggal 12
Desember 1997 yang berisi antara lain:
1). Bahwa apabila Tergugat diangkat sebagai Calon Pegawai/Pegawai PT.
ASDP (Persero) akan bersedia ditempatkan di seluruh Cabang PT. ASDP (Persero)
di wilayah Republik Indonesia;
2). Tergugat bersedia dituntut di Pengadilan apabila dikemudian hari
terbuktikan pernyataan Tergugat tersebut tidak benar;
3) Tergugat bersedia menerima segala tindakan yang ditetapkan oleh PT.
ASDP (Persero) apabila dikemudian hari terbukti pernyataan Tergugat tersebut
tidak benar.
Pada tahun 2010 Tergugat diangkat sebagai Staf Ahli Direksi. Kemudian
pada tahun 2011, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara menerbitkan Kebijakan Pengurusan
dan Pengawasan BUMN, yang pada pokoknya meniadakan jabatan staf ahli ataupun
staf khusus Direksi.
Menindaklanjuti ketentuan tersebut, Penggugat melakukan perubahan
Struktur Organisasi perusahaan, yang menegaskan tidak ada lagi jabatan Staf
Ahli Direksi. Penggugat selanjutnya melakukan alih tugas pejabat di lingkungan
perusahaan terhadap 57 pejabat, yang salah satunya adalah Tergugat untuk
kemudian dipromosikan kedalam jabatan struktural sebagai General Manager/Kepala
Cabang.
Terkait alih tugas ini, diinstruksikan kepada para General Manager Cabang
agar melakukan serah terima jabatan (cut
off) dan berdasarkan Surat Direksi, para General Manager tersebut yang
salah satunya adalah Tergugat agar segera aktif bekerja di tempat yang baru.
Namun demikian, Tergugat menolak untuk menjabat sebagai General Manager
Cabang. Atas penolakan tersebut dengan alasan bahwa dirinya adalah ketua
Serikat Pekerja sehingga harus ditempatkan di kantor pusat sesuai Anggaran
Dasar Serikat Pekerja (AD SP).
Berhubung mediasi bipartit deadlock,
maka berlanjut pada perundingan tripartit yang mana Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta
Pusat mengeluarkan Anjuran tertulis, yang berisi sebagai berikut:
- Pendapat Sdr. Widodo Edi
Sektianto bahwa pekerja memilik hak untuk diajak berunding terlebih dahulu
sebelum dimutasikan sehubungan dengan posisinya sebagi Ketua Umum SP-IF tidak
dapat dipertimbangkan;
- Kebijakan mutasi yang
ditempuh manajemen murni melaksanakan perintah Menteri BUMN dan tidak ada kaitannya
dengan eksistensi maupun kepengurusan SP-IF;
- Mutasi merupakan Hak
Prerogatif dari pihak perusahaan, dengan demikian mutasi pada kasus ini tidak
dapat diperselisihkan;
- Bahwa patut disayangkan, Sdr.
Widodo Edi Sektianto seharusnya menyadari selaku Pekerja yang telah menandatangani
Surat Pernyataan bersedia ditempatkan di Kantor Cabang PT. ASDP Indonesia Ferry
(Persero) di seluruh Indonesia hendaknya memenuhi perintah mutasi/alih tugas tersebut. Selain itu, Pekerja hendaknya
dapat memilah secara jernih kewajiban pokoknya selaku Pekerja PT. ASDP Indonesia
Ferry (Persero) dengan tugas sampingannya selaku Ketua Umum SP-IF;
- Mediator dapat memahami
penolakan Sdr. Widodo Edi Sektianto berkonsekuensi menimbulkan sanksi
indisipliner.
Mediator sependapat dengan Penggugat dan sama sekali tidak membenarkan
adanya alasan dari Tergugat untuk menolak mutasi dan atau tidak mematuhi
perintah jabatan, namun di dalam anjurannya Mediator justru menganjurkan
Penggugat untuk bersedia tetap memperkerjakan Tergugat, hal mana menunjukkan
ketidak-konsistennya mediator—sehingga berujung pada gugatan Penggugat dalam
upaya PHK terhadap Tergugat.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat memberi
putusan Nomor 241/PHI.G/2012/PN.JKT.PST, tanggal 16 Mei 2013 dengan
pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang bahwa Anggaran Dasar
SP-IF tidak sama dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Oleh karena
ketentuan dalam PKB tidak mengatur bahwa Ketua Umum SP-IF harus berkedudukan di
Kantor Pusat serta tidak mengatur bahwa Ketua Umum SP-IF tidak dimutasi ke
daerah, maka ketentuan Anggaran dasar SP-IF tersebut tidak mengikat bagi
perusahaan/Penggugat;
"Menimbang bahwa
memperhatikan keterangan saksi di dalam persidangan, Majelis Hakim tidak
menemukan fakta bahwa mutasi dilakukan sebagai upaya Penggugat menghambat
aktivitas SP-IF;
"Menimbang bahwa oleh
karena Majelis Hakim tidak menemukan bukti yang menunjukkan Mutasi terhadap
Tergugat sebagai upaya menghambat kegiatan serikat pekerja sebagaimana diatur
dalam Pasal 28 Undang-Undang No.21 Tahun 2000, maka mutasi yang dilakukan oleh
Penggugat sebagai Hak Prerogative Penggugat yang dilaksanakan untuk mematuhi
kebijakan Kementerian BUMN, sehingga mutasi mana sah menurut hukum;
“Menimbang bahwa oleh karena
pada saat mutasi mana dilakukan tidak terdapat fakta berupa larangan dari
penggugat yang dapat menghambat Tergugat menjalankan roda organisasi sebagai
Ketua Umum SP-IF dan pada bagian lain peran tergugat sebagai pengurus
serikat pekerja tidak dihalang-halangi sebelum dan pasca mutasi, maka cukup
alasan bagi majelis hakim menyatakan bahwa mutasi terhadap tergugat dilakukan tidak
dapat dikualifikasi sebagai Union Busting, sebab saksi Penggugat bernama
Sugeng Purwono yang juga Ketua Umum SP-IF menyatakan bahwa Penggugat tidak
mengurangi kebebasan SP-IF menjalanan organisasi serta tidak mengurangi
fasilitas SP-IF setelah Tergugat di mutasi dan di PHK;
"Menimbang bahwa hukum
otonom dan hukum heteronom tidak ada yang melarang Penggugat sebagai pengusaha
melaukan Mutasi terhadap Tergugat. Ketentuan dalam pasal 28 Undang-Undang
No.21 Tahun 2000 hanya melarang pengusaha melakukan mutasi terhadap pengurus
dan anggota serikat pekerja apabila tindakan itu bersifat sebagai pembalasan
yang akhirnya mengancam dan menghambat kegiatan organisasi pekerja;
"Menimbang bahwa dalam
praktik penyelesaian perselisihan hubungan Industrial ada kalanya pengusaha
melakukan PHK dengan cara bertentangan dengan Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang
No.13 Tahun 2003, namun pengadilan memutus hubungan kerja dengan kompensasi
pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak";
"Menimbang bahwa karena
Majelis Hakim menyatakan putus hubungan kerja Penggugat dan Tergugat bukan
karena melakukan pelanggaran disiplin berat tetapi karena alasan disharmonisasi,
maka dalam pengakhiran hubungan kerja ini Majelis Hakim mewajibkan Penggugat
membayar kepada Tergugat uang pesangon 2 kali Pasal 156 ayat
(2), uang penghargaan masa kerja Pasal 156 ayat (3), uang penggantian hak
Pasal 151 ayat (4) Undang-Undang No.13 Tahun 2003";
“DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat
terhitung sejak putusan ini diucapkan;
3. Mewajibkan Penggugat membayar kepada Tergugat berupa uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, uang pengganti cuti tahunan dan upah
proses sebesar Rp184.779.870 (seratus delapan puluh empat juta tujuh ratus
tujuh puluh sembilan ribu delapan ratus tujuh puluh rupiah);
4. Mewajibkan Penggugat menerbitkan surat pengalaman kerja kepada
Tergugat;”
Tergugat mengajukan upaya hukum, dimana terhadap permohonan kasasi
tersebut Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:
“Bahwa alasan-alasan tersebut
tidak dapat dibenarkan, karena meneliti dengan seksama, Memori Kasasi tanggal
12 Juni 2013 dan Kontra Memori Kasasi tanggal 3 Juli 2013 dihubungkan dengan
pertimbangan putusan Judex Facti dalam hal ini putusan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata tidak salah dalam
menerapkan hukum dan telah memberikan pertimbangan yang cukup dan benar, karena
dari fakta-fakta persidangan telah ternyata sudah tidak ada lagi
keharmonisan dalam hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat, oleh karenanya
adalah beralasan untuk memutus hubungan kerja antara Pengugat dengan
Tergugat dan dengan menghukum Penggugat membayar hak normatif dari Tergugat
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Judex Facti dalam amar putusannya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Widodo Edi Sektianto tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I:
“Menolak permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi: WIDODO EDI SEKTIANTO tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.