Dimutasi Kerja Sewenang-Wenang

LEGAL OPINION
Question: Dahulu ketika saya mulai masuk bekerja sebagai karyawan, perseroan terbatas yang harus saya tangani hanya beberapa buah. Kini grub usaha milik pemberi kerja berkembang pesat menjadi puluhan badan usaha. Rasanya tidak fair terhadap hak dan kewajiban saya yang harus dibebani beban tanggung-jawab atas keinginan pengusaha yang tiada habisnya. Secara hukum bagaimana posisi hak dan kewajiban saya selaku karyawan? Jika seperti ini terus, bisa jadi bos saya itu akan mendirikan seratus PT dimana lagi-lagi karyawan yang sama akan disuruh untuk menjadi pekerja rangkapnya.
Brief Answer: Ajukan permohonan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dengan alasan telah dialih / dirangkap-kerjakan kepada berbagai badan hukum tanpa mendapat hak normatif atas masing-masing badan hukum yang dijadikan bobot kerja Anda, dan Anda berhak untuk menuntut dua kali ketentuan nilai pesangon normal. Logikanya, alih kerja / mutasi sepihak ke badan usaha lain saja oleh pihak pengusaha adalah tidak sah, meski satu grub usaha, maka terlebih dirangkap bobot tugaskan.
PEMBAHASAN:
Sengketa hubungan industrial berikut ini sangat menarik sekaligus insipiratif bagi banyak kalangan pekerja di tanah air yang kerap dijadikan objek penghisapan tenaga manusia lewat praktik rangkap bobot kerja.
Sebelum kita masuk pada bahasan, sebagaimana telah sering SHIETRA & PARTNERS ungkapkan, bahwasannya Grub Usaha bukanlah badan hukum. Konsep badan hukum yang dikenal di Indonesia ialah badan hukum Perseroan Terbatas (PT), bukan Grub Usaha. Artinya, masing-masing PT adalah badan hukum yang berdiri sendiri dan manunggal—dengan hak dan kewajibannya masing-masing.
Terhadap karyawan yang tercatat namanya pada Dinas Tenaga Kerja kabupaten/kota setempat sebagai karyawan PT. A, sebagai contoh, tak dapat secara serta-merta diberikan beban kerja untuk dan demi kepentingan PT. B atau badan hukum lainnya. Ketika pelanggaran ini terjadi, maka karyawan yang merasa keberatan dapat menuntut PHK ke hadapan PHI disertai hak pesangon 2 (dua) kali ketentuan normal.
Dalam hukum ketenagakerjaan serta hukum perusahaan, karyawan bukan “melihat” siapa bos/owner dari perusahaan, tetapi memiliki hubungan hukum antara pekerja dengan badan hukum, karena badan hukum adalah entitas hukum itu sendiri.
Dalam putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi register perkara Nomor 339 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 26 Mei 2016, antara:
- NUKE WAHYU WIDIYANTI, selaku Pemohon Kasasi, semula Tergugat; melawan
- PT SANGWOO INDONESIA, selaku Termohon Kasasi, semula Penggugat.
Adapun duduk perkara, Penggugat (PT. Sangwoo Indonesia) merupakan satu grub dengan PT Sang Wan Dinasindo. Penggugat mendalilkan, sekitar tahun 2000 Tergugat melamar pada PT Sang Wan Dinasindo yang satu grup dengan Penggugat, ditempatkan pada bagian administrasi.
Pimpinan manajemen melihat adanya kebutuhan Penggugat akan karyawan pada bagian administrasi GA, sehingga manajemen membuat kebijakan dengan melakukan mutasi terhadap Tergugat untuk bekerja pada Penggugat terhitung sejak tanggal 1 Juni 2002 sampai dengan tanggal 13 Maret 2014.
Tergugat telah bekerja selama 11 tahun 9 bulan pada Penggugat dengan upah sebesar Rp3.770.000,00; tetapi Tergugat masih sering melakukan kesalahan sehingga atasan Tergugat sering menegur Tergugat. Atas kinerja Tergugat, Penggugat mengeluarkan kebijakan untuk melakukan mutasi Tergugat kembali ke PT Sang Wan Dinasindo untuk bekerja di bagian staf produksi terhitung mulai tanggal 15 Maret 2014 sesuai dengan Surat Mutasi Karyawan tertanggal 13 Maret 2014.
Pagi harinya pada tanggal 14 Maret 2015, Tergugat datang melapor ke bagian HRD PT Sang Wan Dinasindo, namun siang harinya Tergugat pulang dengan alasan Tergugat hendak minta surat mutasi dari Penggugat.
Sejak tanggal 15 Maret 2014, Tergugat tidak pernah datang lagi untuk bekerja meskipun PT Sang Wan Dinasindo grup Penggugat sudah melakukan 3 (tiga) kali panggilan. Tergugat juga tidak datang untuk bekerja pada Penggugat, Tergugat hanya mengirimkan Surat Pernyataan yang ditandatangani Tergugat yang pada pokoknya Tergugat mohon diberhentikan.
Bahwa Tergugat telah melakukan upaya mediasi di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bekasi dan telah diterbitkan Surat Anjuran tanggal 10 Maret 2015 oleh Disnaker yang substansinya sebagai berikut:
1) Pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha PT Sangwoo Indonesia dengan pekerja Nuke Wahyu dilakukan terhitung sejak akhir bulan Februari 2015;
2) Agar pihak Pengusaha PT Sangwoo Indonesia memberikan kepada pekerja Sdr. Nuke Wahyu berupa:
a. Uang Pesangon sebesar 2 kali 9 bulan upah;
b. Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar 5 bulan upah;
c. Uang Penggantian perumahan, pengobatan serta perawatan sebesar 15% dari jumlah uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja;
d. Upah selama tidak dipekerjakan sampai dengan bulan Februari 2015;
3) Besar Upah untuk menghitung Uang Pesangon, Uang Masa Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak beserta hak-hak lainnya tidak boleh lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten Bekasi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/Kep.1581-Bangsos tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2015.
Penggugat menolak Anjuran Disnaker sebagaimana terurai diatas dengan alasan:
a) Tergugat pada awalnya bekerja pada PT Sang Wan Dinasindo;
b) Tergugat menerima mutasi dari PT Sang Wan Dinasindo kepada Penggugat dan menjalani mutasi tersebut selama 11 tahun 9 bulan;
c) Penggugat melakukan mutasi kembali Tergugat kepada PT Sang Wan  Dinasindo yang merupakan grup Penggugat, dimana pada awalnya Tergugat bersedia dan melapor kepada pimpinan di PT Sang Wan Dinasindo;
d) Penggugat telah memanggil Tergugat agar bekerja kembali pada Penggugat, namun Tergugat tetap tidak masuk kerja dan memberikan Surat Pernyataan yang pada pokoknya minta diberhentikan;
e) Penggugat dengan Tergugat telah putus hubungan kerja karena Tergugat telah mengundurkan diri;
f) Tergugat telah bekerja pada perusahaan lain.
Bahwa Tergugat tidak masuk kerja 5 (lima) hari berturut-turut tanpa alasan/keterangan tertulis kepada perusahaan (Penggugat) sebagai bukti yang sah sehingga perbuatan Tergugat dianggap sebagai mangkir sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) Perjanjian Kerja Bersama Tergugat dengan Organisasi Karyawan Tergugat tahun 2014.
Bahwa PT Sang Wan Dinasindo grup Penggugat sudah melakukan 3 (tiga) kali panggilan secara patut terhadap Tergugat tetapi Tergugat tetap tidak masuk kerja, maka hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus karena Tergugat diskualifikasi mengundurkan diri sesuai ketentuan Pasal 33 ayat 2 Perjanjian Kerja Bersama Tergugat dengan Organisasi Karyawan Tergugat tahun 2014, yang berbunyi:
”Apabila pekerja mangkir 5 (lima) hari berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis dan telah dipanggil secara patut oleh Pengusaha dan tertulis 2 (dua) kali oleh Pengusaha dapat diputus hubungan kerja karena didiskualifikasi mengundurkan diri.”
Tergugat yang telah mangkir selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi bukti yang sah dan telah dipanggil 2 (dua) kali oleh Penggugat secara patut dan tertulis, maka berdasarkan ketentuan Pasal 168 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja dapat diputus karena Tergugat didiskualifikasikan mengundurkan diri, dengan (hanya) menerima dari Penggugat berupa Uang Penggantian Hak dan Uang Pisah.
Selain menanggapi dalil-dalil Penggugat, Tergugat memberikan tanggapan sekaligus gugatan balik (rekonpensi). Adapun bantahan Tergugat, selama 12 (dua belas) tahun Tergugat bekerja, tidak pernah sekalipun Tergugat mendapat teguran maupun Surat Peringatan (SP), itu artinya kinerja Tergugat selama bekerja di perusahaan adalah baik adanya.
Pada tanggal 17 Februari 2014 Tergugat dipanggil oleh Mr. Kim Jung Hoon (General Manager PT Sangwoo Indonesia) ke ruang meeting, lalu Tergugat dimarahi oleh beliau tanpa sebab yang jelas dan Tergugat langsung dimutasi dengan alasan tidak bisa bekerja.
Pada tanggal 18 Februari 2014 jabatan Tergugat sebagai staf HRD langsung digantikan oleh staf HRD yang baru, dan setelah adanya pergantian tersebut Penggugat tidak memberikan posisi jabatan apapun kepada Penggugat dan dengan status kerja yang tidak jelas (Note SHIETRA & PARTNERS: inilah yang disebut dengan “PHK secara politis”).
Tergugat telah berkali-kali meminta kejelasan status kerjanya kepada pihak Penggugat, namun pihak Penggugat  tidak menanggapinya dan mengacuhkan begitu saja, sehingga Tergugat merasa dilecehkan dan dipermalukan di hadapan karyawan yang lain, yang menjatuhkan harga diri dan membuat psikis merasa tertekan.
Pada tanggal 13 Maret 2014, Penggugat menerbitkan Surat Mutasi kepada Tergugat, adapun kutipan redaksi Surat Mutasi dimaksud adalah sebagai berikut:
“Atas nama management PT Sangwoo Indonesia, maka dengan ini kami memutuskan saudari (Nuke Wahyu) dipindahkan/dimutasikan kebagian sebagaimana tersebut dibawah ini:
- Dari Bagian : Administrasi GA PT Sangwoo Indonesia;
- Ke Bagian : Administrasi GA PT Sangwan Dinasindo;
- Berlaku mulai : tanggal 13 Maret 2014;
- Alasan dimutasi : Rotasi Karyawan.
Tindakan mutasi tersebut diatas adalah dari PT Sangwoo Indonesia kepada PT Sangwan Dinasindo, dimana proses mutasi tersebut diantara 2 (dua) badan hukum yang berbeda, jelaslah bahwa tindakan mutasi yang dilakukan Penggugat tersebut diatas menurut hukum dapat dikualifikasikan sebagai tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Perselisihan timbul ketika PT Sangwoo Indonesia memutasi Tergugat dari bagian Administrasi GA PT Sangwoo Indonesia dimutasi ke bagian Administrasi GA PT Sangwan Dinasindo, dimana mutasi yang seharusnya adalah perpindahan pekerja dari satu bagian/lini ke bagian lain dalam satu perusahaan, namun faktanya mutasi yang dilakukan Tergugat Rekonvensi adalah mutasi antara perusahaan yang berbeda badan hukumnya.
Surat Panggilan Nomor 09/SWI-HRD/06-2015 yang dilayangkan Penggugat kepada Tergugat adalah tidak sah dan merupakan akal-akalan saja, seolah-olah Tergugat dianggap mengundurkan diri dan atau mangkir karena tidak hadir bekerja, namun sesungguhnya tindakan tersebut dilakukan Penggugat adalah semata-mata untuk menghindari pembayaran Uang Pesangon kepada Tergugat, dan faktanya Surat Panggilan dimaksud tidak sesuai dengan aturan hukum Ketenagakerjaan, dimana Surat Panggilan tersebut dilayangkan pada tanggal 8 Juni 2015, setelah dikeluarkannya Surat Anjuran Disnaker, tertanggal 10 Maret 2015 oleh Mediator Hubungan Industrial Disnaker. Disini kita sudah dapat melihat itikad buruk pengusaha.
Terhadap gugatan tersebut PHI Bandung telah memberikan putusan Nomor 141/Pdt.Sus PHI/2015/PN.Bdg., tanggal 3 Desember 2015 yang amarnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus karena Tergugat dikualifikasikan mengundurkan diri sebagaimana dimaksud Pasal 168 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Memerintahkan Penggugat untuk membayar Uang Pisah kepada Tergugat sebesar Rp3.770.000,00 (tiga juta tujuh ratus tujuh puluh ribu rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana kemudian Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 27 Desember 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 20 Januari 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung telah salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Pemohon Kasasi dimutasi oleh Termohon Kasasi pada tanggal 13 Maret 2014 dari administrasi GA PT Sangwoo Indonesia ke administrasi GA PT. Sangwan Dinasindo dengan alasan mutasi adalah rotasi karyawan, oleh Pemohon Kasasi mutasi tersebut ditolak karena mutasi ke perusahaan lain (PT. Sangwan Dinasindo), namun pada saat itu Termohon Kasasi memarahi Pemohon Kasasi dan mengusir Pemohon Kasasi keluar dari perusahaan (PT Sangwoo Indonesia) dan Pemohon Kasasi dilarang masuk kantor serta disuruh stand by di pos security (Bukti T4), oleh karena itu Pemohon Kasasi tidak datang lagi bekerja, karena diusir paksa keluar dari perusahaan;
- Bahwa sejak tanggal 15 Maret 2014 Pemohon Kasasi/Tergugat tidak pernah masuk kerja lagi di PT Sangwan Dinasindo, walaupun Termohon Kasasi/Penggugat telah mengirimkan surat panggilan sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu melalui surat tanggal 20 Maret 2014, 22 Maret 2014 dan 23 Maret 2014, akan tetapi ternyata Pemohon Kasasi tidak pernah menerimanya (termasuk tanda terima tercatat dari kantor pos atau jasa pengiriman lainnya). Apalagi surat pemanggilan tersebut dilakukan oleh PT Sangwan Dinasindo yang tidak memiliki hubungan kerja dengan Termohon Kasasi (PT Sangwoo Indonesia), oleh karena itu Pemohon Kasasi tidak dapat dinyatakan telah melakukan mangkir, apalagi mengundurkan diri, karena PT Sangwoo Indonesia dengan PT Sangwan Dinasindo berbeda badan hukum;
- Bahwa karena itu surat mutasi Nomor 01/SWI/SK/03-2014 tanggal 13 Maret 2014 yang dikeluarkan oleh Termohon Kasasi adalah tidak sah, karena itu Pemohon Kasasi mengajukan permohonan PHK kepada Termohon Kasasi sesuai ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c juncto Pasal 169 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu Uang Penggantian Masa Kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi NUKE WAHYU WIDIYANTI tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 141/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg., tanggal 3 Desember 2015, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I:
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi NUKE WAHYU WIDIYANTI tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 141/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg., tanggal 3 Desember 2015;
MENGADILI SENDIRI
Dalam Konvensi :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi putus karena menolak mutasi, karena itu demi keadilan sesuai ketentuan Pasal 100 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 jo Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009, maka diberikan uang pesangon 1 x Pasal 156 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Menghukum Penggugat untuk membayar hak-hak Tergugat, sebagai berikut:
- Uang Pesangon: 1 x 9 x Rp3.770.000,00 = Rp33.930.000,00
- Uang Pengganti Masa Kerja: 1 x 4 x Rp3.770.000,00 = Rp15.080.000,00 +
Jumlah = Rp49.010.000,00
- Uang Pengganti Hak : 15 % x Rp49.010.000,00 = Rp 7.351.500,00 +
Total = Rp56.361.500,00 (lima puluh enam juta tiga ratus enam puluh satu ribu lima ratus rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
Dalam Rekonvensi:
 “Menolak gugatan rekonvensi dari Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya;”
Menanggapi perkara tersebut diatas, keanehan kasasi mengabulkan gugatan konpensi alih-alih rekonpensi disamping Mahkamah Agung keliru untuk tidak memberi pesangon dua kali nilai ketentuan karena PHK sepihak oleh pengusaha mengakibatkan hak pekerja untuk menerima dua kali nilai pesangon normal, penulis menilai bahwa pihak pengusaha hanya mampu melihat faktor pekerja sebagai faktor mesin belaka yang tidak memiliki perasaan serta tidak memiliki espektasi sehingga merasa dapat diperlakukan sesuka hati pengusaha seperti praktik mutasi kerja.
Sengketa hubungan industrial kerapkali dipicu oleh praktik ketimpangan antara prinsip “take and give”. Hak dan kewajiban yang tidak berimbang berimbas selain pada tidak optimalnya produktivitas, juga terbukti berujung pada sengketa di PHI yang hanya membuka aib dari sang pengusaha itu sendiri—dikalahkan oleh buruhnya sendiri disamping Disnaker akan kian antipati terhadap sang pengusaha. Hendaknya kalangan pengusaha tidak melupakan, kerajaan bisnisnya dibangun diatas keringat pekerja/buruh.
Pada dasarnya setiap buruh/pekerja hendak bekerja dengan damai dan tenang selama hak normatif mereka untuk menafkahi hidup keluarga dipahami dan dihargai oleh pengusaha. Praktis tiada akan ada benih-benih sengketa selama kalangan pengusaha memahami prinsip yang paling mendasar dalam hubungan interpersonal ini—yang sayangnya masih belum tampak pada diri kalangan pengusaha di tanah air.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.