Cermati Formulasi Petitum Permohonan / Gugatan sebagai Penutup Argumentasi

ARTIKEL HUKUM 
Bagaikan klaim pelaku pengedar vaksin palsu, bahwa isi vaksin palsu adalah cairan infus “yang tidak berbahaya”, maka sejatinya terdapat pergeseran tanggung-jawab moril maupun hukum dengan penggunaan frasa demikian. Dapat terjadi, vaksi racun ular dan tetanus yang ternyata palsu, berujung pada maut ketika seseorang yang diberi vaksin palsu berasumsi bahwa dirinya telah kebal racun ular maupun tetanus. Alhasil, antibodi tak terbentuk dan dirinya tewas karena terkena bisa ular ataupun terinfeksi tetanus karena efek plasebo dari vaksin palsu tidak selamanya efektif.
Dari ilustrasi tersebut, kita dapat melihat segala kejadian hukum dari dua sudut: dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dalam artikel kali ini, SHIETRA & PARTNERS mengangkat isu hukum yang penuh dilematika, ketika antibodi justru menyerang sel yang sehat layaknya sindrom lupus, begitulah sistem jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan justru kontra-produktif terhadap hak dan kepentingan buruh / pekerja.
Pada tanggal 28 Juli 2016 Mahkamah Konstitusi RI telah memutuskan permohonan uji materil (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) yang diajukan oleh seorang karyawan suatu perseroan di Karawang, sebagaimana tertuang dalam register perkara Nomor 119/PUU-XIII/2015.
Pemohon merupakan ketua serikat buruh yang konsen terhadap hak-hak normatif buruh. Sejak diberlakukannya UU BPJS pada tahun 2015, pada saat itu pula pemotongan upah sebesar 1% dari upah diberlakukan, yang dinilai Pemohon merugikan kalangan buruh sehingga Pemohon yang merupakan seorang buruh jelas memiliki legal standing (kepentingan hukum).
Yang dipermasalahkan Pemohon, ialah keberlakuan Pasal 4 UU BPJS yang menegaskan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan berbagai prinsip, yang salah satunya dalam butir (g) disebutkan bahwa “kepesertaan bersifat wajib.
Mengapa frasa pada butir (g) tersebut diatas telah merugikan hak Pemohon? Pada awalnya sebelum diberlakukan BPJS, kaum buruh telah memperoleh jaminan kesehatan sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 2015 jaminan perlindungan kesehatan 100% yang dijamin oleh pihak Perusahaan dengan pelayanan kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan perlindungan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS.
Adapun sifat kontraproduktif ketentuan Pasal 4 huruf (g) UU BPJS dalam frasa “kepesertaan bersifat wajib” sehingga Pemberi Kerja / Pengusaha berasumsi bahwa perusahaan bila tidak mengikutsertakan karyawannya pada BPJS Kesehatan maka akan mendapat sanksi administrasi sebagaimana diamksud dalam Pasal 17 ayat (2) UU BPJS, yang dapat berupa teguran tertulis, denda, dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
Pihak pengusaha pun dihadapkan pada posisi dilematis, hendak memberi perlindungan kesehatan yang lebih baik bagi pekerjanya, dimana dalam menentukan kebijakan maka pihak perusahaan selaku pemberi kerja dihadapkan pada dua pilihan dilematis: mengikuti norma yang sudah disepakati dengan pekerja dalam perjanjian kerja bersama perihal asuransi kesehatan non BPJS, disisi lain pengusaha tersandera dengan hadirnya UU BPJS akibat ancaman-ancaman sanksi dari pemerintah.
BPJS Kesehatan di mata para pekerja, penggunaan fasilitas kepesertaan dari BPJS sangat menyulitkan bagi para pesertanya, mulai dari prosedur, fasilitas kesehatan, sampai dengan fasilitas obat yang dijamin, yang lebih menyulitkan lagi, kepesertaan BPJS tidak dapat digunakan di luar fasilitas kesehatan yang sudah ditentukan oleh BPJS dimana para pesertanya tidak memiliki kebebasan apapun untuk memilih dan sepenuhnya dibuat tunduk oleh otoritas BPJS yang mana belum tentu pro terhadap buruh.
Dalam Kesepakatan Kerja Bersama antara perusahaan dengan para buruh, dalam salah satu pasalnya tentang pemeliharaan kesehatan telah disepakati pengaturan sebagai berikut:
a. Pada dasarnya pemeliharaan kesehatan pekerja beserta keluarganya adalah merupakan tanggung jawab pekerja yang bersangkutan;
b. Perusahaan menyadari sepenuhnya bahwa perlu diberikan perhatian dan bantuan yang layak dan wajar terhadap pemeliharaan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya agar dapat menciptakan ketenangan dalam bekerja;
c. Untuk pekerja tetap tunjangan pengobatan dan perawatan kesehatan, diberikan kepada pekerja yang bersangkutan dan keluarganya, yang dimaksud dengan keluarga pekerja disini adalah jaminan kesehatan yang menjadi tanggungan perusahaan 3 (tiga) orang anak;
d. Jika istri-suami pekerja, bekerja dan memperoleh tunjangan pengobatan/kesehatan di tempatnya bekerja (bagi dirinya dan atau anak-anaknya), maka perusahaan hanya akan membayar kekurangannya dari hak yang seharusnya diperoleh dari perusahaan. Untuk manfaat kesehatan setara Jamsostek (suami), maka anak-anaknya dapat didaftarkan di BMJ untuk jaminan kesehatannya dengan melampirkan surat keterangan yang syah;
e. Jika suami-istri bekerja dalam 1 (satu) perusahaan, maka tanggungan keluarga dibebankan kepada pekerja dengan jabatan yang lebih tinggi.
f. Setiap pekerja akan diberikan kartu peserta Asuransi yang dikeluarkan oleh General Affair yang digunakan untuk keperluan berobat pekerja dan keluarganya.
i. Tindakan-tindakan medis yang khusus (operasi, opname, bersalin, dsb), harus benar-benar didasari oleh alasan medis yang kuat dan disahkan oleh Dokter/rumah sakit.
Sementara mengenai besaran biaya pengobatan yang terdapat dalam Perjanjian Kerja Bersama antara perusahaan dengan para buruh dari tempat Pemohon bekerja, ialah dengan skema sebagai berikut (bandingkan dengan BPJS Kesehatan yang menerapkan sistem paket bagaikan voucher pulsa telepon seluler, yang mana membatasi besaran layanan yang dapat diberikan dokter maupun instalasi obat rumah sakit):
a. Pekerja yang bersangkutan sebesar 100%;
b. Keluarga pekerja yang berhak sebesar 90%;
c. Bersalin atau gugur kandungan sebesar 100%.
Pemohon mengutarakan, Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat dan disahkan dengan penuh kebesaran hati dari manajemen perusahaan bagi kepentingan para buruhnya, merupakan Hak Asasi Buruh yang tidak dapat diamputasi oleh undang-undang sekalipun.
Bagaimana pun, pada titik ini SHIETRA & PARTNERS telah melihat fakta yuridis bahwa terhadap hak normatif buruh maka yang menjadi rujukan utama ialah UU Ketenagakerjaan, dimana PKB pun tunduk dan diakui keberlakuannya oleh UU Ketenagakerjaan, sehingga menjadi absurb ketika UU BPJS mengintervensi UU Ketenagakerjaan, sehingga menjadi overlaping pengaturan. Otoritas BPJS yang melakukan intervensi hak normatif buruh dapat digugat secara perdata maupun ke hadapan PTUN karena telah mencampuri domain UU Ketenagakerjaan tanpa wewenang.
Fakta sosial yang diangkat ke permukaan oleh Pemohon, ialah sejak diberlakukannya secara keras kewajiban mendaftarkan para pekerjanya pada BPJS Kesehatan, menyebabkan pihak pemberi kerja tidak bisa memilih penyelenggara jaminan sosial lain.
Disayangkan, Pemohon lupa mencantumkan dalil argumentasi utama, bahwa yang sebenarnya diamputasi haknya untuk memilih ialah kalangan buruh/pekerja itu sendiri yang mana asuransi kesehatan pekerja adalah kepentingan utama pekerja/buruh itu sendiri sehingga menjadi aneh ketika diberlakukan melawan kepentingan buruh/pekerja, sehingga motifnya menjadi dipertanyakan.
Kini SHIETRA & PARTNERS akan membongkar motif utama dibalik keberlakuan secara keras BPJS Kesehatan yang merupakan alat/instrumen politis belaka, karena sistem jaminan kesehatan nasional merupakan isu strategis guna memobilisasi dukungan politik warga negara.
Pemerintah yang menjabat hendak menciptakan citra ditengah masyarakat, bahwasannya pemerintah memperhatikan nasib dan kesehatan para penduduknya. Namun anggaran bagi program BPJS Kesehatan bukan digelontorkan dari anggaran negara, namun dikutip dari peramporkan terhadap para pekerja baik sektor swasta maupun negeri.
Untuk iuran peserta mandiri, tidak sampai seratus ribu rupiah sudah akan mendapatkan pelayanan kelas satu dari instansi kesehatan milik pemerintah. Namun bila hitungannya ialah “persentase”, maka bisa jadi dan besar kemungkinan karyawan akan dikutip guna subsidi silang bagi peserta BPJS Mandiri.
Jika karyawan mendapat upah bulanan sebesar Rp5.000.000;- (lima juta rupiah) sebagai contoh, maka pemerintah setidaknya mendapatakan hasil “jarahan/rampokan” dari pekerja tersebut yakni sebesar 5% (4% dari pemberi kerja + 1% dari iuran pekerja) x Rp. 5.000.000;- = Rp. 250.000;- (dua ratus lima puluh ribu).
Dengan kata lain, pemerintah telah merampok hak normatif buruh dan digunakan sebagai dana berjalannya program BPJS dimana pemerintah tampil bak pahlawan penolong rakyat yang membutuhkan pelayanan kesehatan murah sebagai alat sempurna untuk menggalang dukungan rakyat pada pejabat pemerintahan yang berdiri dibelakang keberlakuan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan sejatinya adalah produk politisasi.
Singkat kata, kalangan buruh/pekerja dan pengusaha yang dipaksa untuk mendanai program BPJS Kesehatan, sementara yang mendapat ketenaran di mata publik ialah petinggi pemerintahan itu sendiri. Inilah yang disebut sebagai kebijakan hukum sebagai produk politisasi.
Sama tidak etisnya dengan pelaku usaha yang menjual produk dengan embel-embel sebagian dari keuntungan akan didonasikan, dan ketika konsumen berdana, maka sang pengusaha memang akan melakukan aksi sosial, namun aksi sosial tersebut mengatasnamakan diri sang pengusaha itu sendiri sebagai alat sempurna yang gratis bagi promosi brand usaha miliknya sebagai “sangat baik hati dan penuh sosial” yang mana CSR sebenarnya harus bersumber dari dana kas perusahaan itu sendiri, bukan dari dana donasi pihak lain.
Kembali pada argumentasi pihak Pemohon, bahwasannya pihak perusahaan sudah melindungi Pemohon dan keluarganya selaku pegawai dan melaksanakan jaminan kesehatan selama 25 tahun dengan asuransi yang berkelas internasional dimana pun para buruh berada dapat digunakan dengan tidak dibebani biaya ataupun iuran sepeser pun dari upah para pekerjanya. Dengan kata lain sebelum diberlakukan UU BPJS, seluruh biaya pengobatan ditanggung 100% oleh pihak perusahaan.
Bukti komitmen dari pihak perusahaan, ialah tidak berubahnya perlindungan penuh selama 25 tahun hingga pada akhirnya perlindungan total itu sirna sejak diberlakukannya UU BPJS secara tidak arif dan membuta.
Hal-hal yang menyangkut jaminan dan pemeliharaan kesehatan di tempat Pemohon bekerja, sudah melebihi standar kelayanan mendasar yang ditentukan oleh UU Ketenagakerjaan (frasa “mendasar” adalah tambahan penulis), maka dengan demikian terbukti keberlakuan UU BPJS Kesehatan telah mengamputasi hak perlindungan Pemohon.
Sementara ini, sebagaimana kita ketahui bersama, ketika suami-istri bekerja dan dikutip potongan iuran berdasarkan persentase dari upah, maka sejatinya terjadi pengutipan berganda karena baik suami maupun istrinya dikutip besaran persentase serupa.
Namun Pemohon membuat kekeliruan fatal ketika menyatakan bahwa frasa “kepesertaan bersifat wajib” agar dinyatakan batal demi hukum dimana BPJS tidak dapat memaksakan setiap warga negara untuk menjadi peserta jaminan sosial, sehingga pemberi kerja dan pekerjanya bebas memilih dalam perlindungan jaminan kesehatan—inilah celah yang dibuka oleh pihak Pemohon itu sendiri karena Hakim Konstitusi dapat berasumsi bahwa bisa saja pihak pengusaha beritikad buruk dengan tidak menyertakan para buruhnya dalam program asuransi manapun jika kepesertaan BPJS bersifat sukarela semata.
Adapun petitum pihak Pemohon (yang jelas akan ditolak) berbunyi sebagai berikut:
“Menyatakan Pasal 4 huruf (g) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara jaminan Sosial (Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 116) khususnya dalam frasa “Kepesertaan bersifat wajib” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.”
Formulasi petitum tersebut kurang menunjukkan kecerdasan sementara strategi dalam merumuskan petitum sangat krusial. Alhasil, kaum buruh/pekerja harus membayar mahal untuk asuransi kesehatan BPJS berdasarkan sistem “persentase” serta “down grade”, dimana uji materil menuju titip anti klimaks ketika Majelis Hakim Konstitusi “gagal ngudeng” dengan permasalahan laten BPJS terhadap “karyawan” bukan terhadap “rakyat” semata dimana sebenarnya terhadap karyawan berlaku UU serta asas-asas Ketenagakerjaan bukan UU BPJS dengan segala asas-asasnya.
Tiba pada amar putusan sebagaimana dapat diterka, Mahkamah Konstitusi menyatakan pendiriannya:
“AMAR PUTUSAN
“Mengadili,
“Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.”
Pemerintah bagaikan menanam “b*m waktu” dengan menyandera buruh/pekerja maupun pihak pemberi kerja dengan mewajibkan kepesertaan BPJS yang membawa konsekuensi down grade perlindungan bagi buruh yang telah dilindungi oleh program asuransi yang lebih baik. Ketika pada akhirnya hal-hal buruk terjadi secara masif dan massal, siap-siap saja terjadi gugatan class action dimana para buruh akan menggugat pihak pemerintah karena telah mengamputasi hak mereka untuk memilih terutama ketika benar-benar terjadi kerugian secara perdata seperti kematian yang terjadi dalam pelayanan BPJS yang menjelma kepastian “pasti mati”.
Dari sudut pandang ini, pemerintah yang justru memaksakan kehendak bagi buruh dengan mengamputasi kepentingan buruh itu sendiri, sejatinya merupakan model pemerintah k*munisme. Dalam titik inilah, kita patut mempertanyakan motif pemerintah dibalik terbentuknya BPJS yang demikian deterministik dan mengamputasi hak memilih buruh/pekerja.
Disayangkan Pemohon kurang mengelaborasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang merupakan dasar atau cikal bakal terbitnya UU BPJS. Asuransi dalam konsep hukum diartikan sebagai “alih resiko”. Pasal 19 UU No. 40 Tahun 2004:
(1) Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas.
(2) Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Pasal 2 UU No. 40 Tahun 2004:
“Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”—Kita patut mempertanyakan, dimana manfaatnya bila terjadi “down grade”?
Penjelasan resmi Pasal 2 UU No. 40 Tahun 2004:
“Asas kemanusiaan berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat manusia. Asas manfaat merupakan asas yang bersifat operasional menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif. Asas keadilan merupakan asas yang bersifat idiil. Ketiga asas tersebut dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan program dan hak peserta.”
Pasal 3 UU No. 40 Tahun 2004:
“Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.”
Penjelasan resmi Pasal 3 UU No. 40 Tahun 2004:
“Yang dimaksud dengan kebutuhan dasar hidup adalah kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”—Kita menjadi berhak mempertanyakan, apakah layak bila BPJS berbuah kontraproduktif berupa “down grade” yang mana berlawanan dengan kepentingan buruh/pekerja itu sendiri.
Penjelasan resmi Pasal 4 UU No. 40 Tahun 2004:
“Prinsip kepesertaan wajib dalam ketentuan ini adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.”
Artinya, BPJS sejatinya hanya dapat dimaknai bersifat wajib bagi penduduk yang tidak/belum memiliki perlindungan dasar atas kesehatannya. Ketika buruh/pekerja telah mendapat perlindungan asuransi kesehatan, maka perlindungan dasar pada falsafahnya telah dimiliki sang buruh.
Memberikan perlindungan mendasar dengan memaksakan untuk di level dasarkan merupakan dua hal yang saling berbeda serta bertolak-belakang.
Kecuali BPJS Kesehatan dapat membuktikan pelayanannya lebih unggul serta lebih baik dari program asuransi kesehatan lainnya. Begitupula ketika penduduk non pekerja yang telah mengikuti program asuransi non BPJS, maka adalah pelanggaran hak asasi manusia ketika warga negara diamputasi haknya untuk memilih dan dipaksakan untuk mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS. Adalah pemborosan bila warga dipaksa untuk pada akhirnya harus membayar iuran BPJS sementara warga memilih untuk tetap menggunakan fasilitas asuransi kesehatan non BPJS.
Jika saja SHIETRA & PARTNERS yang dipercayakan untuk mengajukan uji-materil bagi kalangan pekerja/buruh, maka SHIETRA & PARTNERS akan meminta agar Pasal 4 UU BPJS maupun UU sejenis lainnya hanya sah (conditionally constitutional) bila dimaknai sebagai “kepesertaan bagi pekerja/buruh yang tidak/belum dilindungi program asuransi kesehatan lainnya yang lebih baik, adalah bersifat wajib.”
Jika saja SHIETRA & PARTNERS yang dipercayakan sebagai kuasa Pemohon Uji Materiil, tentulah akhir ceritanya akan berbeda.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.