Bipartit Bukan Prasyarat Mutlak Mengajukan Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial

LEGAL OPINION
Question: Saya ill-feel terhadap bos, ingin rasanya menggugat PHK disertai pesangon ke PHI. Tapi saya malas untuk berunding bipartit dengan perusahaan, karena sudah jelas tidak ada itikad baik dari perusahaan. Seperti mengemis saja. Saya lebih suka untuk langsung membawa masalah ini ke Disnaker. Bisakah cara tersebut menjadi langkah awal untuk memperkarakan sikap sewenang-wenang pemberi kerja kepada kami selaku karyawan?
Brief Answer: Perundingan Bipartit bukanlah prasyarat mutlak untuk mengajukan gugatan ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terhadap pemberi kerja. Yang menjadi prasyarat mutlak ialah risalah perundingan bipartit atau tripartit, sehingga sifatnya adalah opsional memilih salah satunya sebelum menempuh sengketa di PHI. Hal ini merupakan best practice “penghalusan hukum” oleh hakim, mengingat kesukaran yang dijumpai para buruh / pekerja dalam praktiknya akibat tidak kooperatifnya pihak pengusaha.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan kasasi sengketa hubungan industrial register perkara Nomor 58 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 19 Mei 2016, antara:
- TONNY PANJAITAN, sebagai Pemohon Kasasi, semula Penggugat; melawan
- PT. INDOLAMPUNG PERKASA, selaku Termohon Kasasi, semula Tergugat.
Penggugat bekerja pada Tergugat sebagai Accounting Manager dengan masa kerja selama 18 tahun. Penggugat dipanggil menghadap Direktur Tergugat berkaitan dengan permasalahan keuangan perusahaan. Penggugat diminta untuk mengundurkan diri dari pekerjaan atau akan diproses secara hukum. Karena Penggugat yakin tidak bersalah dan tidak terlibat dalam masalah keuangan yang terjadi maka Penggugat menyatakan menolak mengundurkan dan siap diproses secara hukum.
Tanggal 22 April 2015 Penggugat melaporkan masalah gaji yang tidak dibayar kepada Mediator pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Tulang Bawang. Mediator Disnaker kemudian mengeluarkan Anjuran dengan substansi agar Tergugat membayarkan gaji Penggugat dari bulan November sampai dengan kini.
Sebagai tanggapannya, Tergugat menyanggah dengan mendalilkan, ketentuan Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (UU PHI), yang menyatakan:
“Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaian terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.”
Sementara itu Pasal 4 UU PHI, mengatur:
1. Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 3, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
2. Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.
Tergugat dengan demikian dalam eksepsinya mendalilkan, gugatan Penggugat cacat formil karena tidak didahului prosedur berupa langkah perundingan bipartit. Atas dasar argumentasi tersebut, Tergugat menyatakan anjuran Mediator Disnaker Kabupaten Tulang Bawang merupakan hasil mediasi yang cacat hukum karena tidak didahului perundingan bipartit yang dibuktikan tiadanya risalah perundingan bipartit.
Terhadap gugatan tersebut PHI Tanjung Karang kemudian memberikan putusan Nomor 13/Pdt.Sus.PHI/2015/PN Tjk., tanggal 7 Oktober 2015 yang amarnya sebagai berikut:
“Dalam Eksepsi:
1. Mengabulkan eksepsi Tergugat sebagian;
2. Menyatakan gugatan Penggugat prematur;
Dalam Pokok Perkara:
1. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard);
2. Membebankan biaya perkara sebesar Rp276.000,00 (dua ratus tujuh puluh enam ribu rupiah) kepada Penggugat;”
PHI telah membenarkan argumentasi Tergugat, sehingga atas putusan tersebut, Penggugat mengajukan upaya hukum Kasasi, dimana Penggugat mengajukan argumentasi bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004 apabila diterjemahkan secara kaku maka hal tersebut akan selalu digunakan sebagai alibi oleh Para Pengusaha setiap kali menghadapi perselisihan dengan para Pekerja/Buruh, cukup dengan pihak pengusaha selalu menghindari perundingan bipartit atau menolak menandatangani risalah perundingan bipartit.
UU No. 2 Tahun 2004 mengatur penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Tidak akan pernah tercapai hal tersebut, manakala pihak perusahaan mempersulit bahkan menghindar tatkala akan dilakukan perundingan bipartit.
Didalilkan pula, kewenangan untuk menyatakan sah atau tidaknya suatu penetapan atau keputusan pejabat tata usaha negara bukan menjadi kewenangan Majelis Hakim PHI. Untuk itu Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa sekalipun Judex Facti salah menerapkan hukum menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena belum diadakan bipartit namun karena Pasal 83 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang berlaku sebagai hukum acara tidak mengatur mengenai kedudukan hukum lembaga bipartit dalam pengajuan gugatan, undang undang hanya mensyaratkan adanya risalah mediasi atau anjuran mediator, sehingga sudah semestinya Judex Facti harus memeriksa pokok perkara.
“Bahwa, dalam perkara ini setelah mempertimbangkan alat bukti dengan saksama bahwa Pemohon Kasasi selaku Badan Pengawas dan kemudian menjabat Pjs Ketua Koperasi telah melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian keuangan koperasi milyaran rupiah akibat dari pembuatan rekayasa dokumen yang tidak sah dari penerima data kredit/karyawan perusahaan;
“Bahwa atas kerugian tersebut selaku pengurus gaji Pemohon Kasasi sementara dibekukan, tidak dibayarkan kepada Pemohon Kasasi, melainkan dibayarkan ke koperasi untuk menutup kerugian (vide Bukti T-23);
“Bahwa perbuatan tidak membayarkan gaji Pemohon Kasasi dapat dibenarkan sesuai ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian: “Pengurus baik bersama-sama maupun sendiri menanggung kerugian yang diderita koperasi karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya;
“Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas seharusnya gugatan Penggugat/Pekerja sekarang Pemohon Kasasi harus ditolak, namun dalam upaya hukum kasasi ini Pengusaha/Termohon Kasasi tidak keberatan atas putusan Judex Facti, maka dalam rangka tertib hukum acara maka putusan Judex Facti tersebut harus dikuatkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: TONNY PANJAITAN tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I:
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi TONNY PANJAITAN tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.