Asas Spontane Vernietiging, Fungsi Evaluasi dan Korektif

LEGAL OPINION
Question: Apakah pemerintah memang benar memiliki kewenangan sewaktu-waktu mencabut izin yang telah kami (warga negara / korporasi) peroleh?
Brief Answer: Sebagai penerbit Keputusan Tata Usaha Negara, pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan surat keputusan tersebut setelah melewati suatu evaluasi atau langkah koreksi. Warga negara atau badan hukum yang izinnya dicabut dapat mengajukan gugatan terhadap pembatalan / pencabutan ke hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Majelis Hakim PTUN-lah yang kemudian akan memeriksa dan memutuskan apakah pencabutan surat keputusan pemberian izin adalah sesuai asas umum pemerintahan yang baik ataukah tidak.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan PTUN Samarinda yang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara register perkara Nomor 31/G/2010/PTUN-SMD tanggal 3 Maret 2011, antara:
- PT. RIDLATAMA TAMBANG MINERAL, sebagai Penggugat; melawan
- BUPATI KUTAI TIMUR, sebagai Tergugat; dan
- PT. KALTIM NUSANTARA COAL, selaku Tergugat II Intervensi.
Isi gugatan pada pokoknya adalah mohon dinyatakan batal atau tidak sah serta memerintahkan Tergugat untuk mencabut Objek Sengketa berupa Surat Keputusan Tergugat No. 540.1/K.443/HK/V/2010 tanggal 4 Mei 2010 tentang pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksploitasi Penggugat, seluas 10.000 Ha, yang terletak di Kabupaten Kutai Timur.
Sementara itu Para Tergugat dalam bantahannya menyatakan bahwa penerbitan Obyek Sengketa adalah dilakukan secara prosedural dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) menyebutkan:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Setiap peraturan mengenai pemberian izin suatu bidang usaha tertentu, mengatur pula ketentuan mengenai keadaan yang mengakibatkan izin tersebut dapat dicabut, tidak terkecuali perihal konsesi pertambangan merujuk pada Pasal 119 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara:
“IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya apabila:
a. Pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan,
b. Pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, atau
c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.”
Pasal 20 ayat (1) huruf c Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Timur Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Ijin Usaha Pertambangan Daerah, yang mengatur:
“Suatu IUP berakhir karena dicabut oleh Bupati dan/atau pejabat lain yang berwenang karena melanggar ketentuan yang berlaku sebagaimana yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di bidang pertambangan atau pemegang IUP tidak memenuhi kewajiban yang tercantum dalam IUP yang bersangkutan.”
Surat Keputusan Bupati Kutai Timur tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) tersebut dapat ditemukan fakta hukum dalam konsiderans dasar penerbitannya yang menyebutkan:
“Pemberian Izin Usaha Pertambangan Tahap Eksploitasi ini disertai dengan kewajiban-kewajiban sebagai berikut: ... j. Bupati Kutai Timur berwenang untuk membatalkan/mencabut secara sepihak IUP walaupun masa berlakunya belum habis:
- apabila usaha ini tidak memberikan hasil sebagaimana mestinya;
- apabila Pemegang IUP tidak memenuhi ketentuan-ketentuan / kewajiban kewajiban yang tercantum dalam keputusan ini;”
Berdasarkan Laporan Identifikasi Khusus dari Inspektorat Khusus Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan bulan, Menteri Kehutanan telah menerbitkan surat yang ditujukan kepada Bupati Kutai Timur, yang pada pokoknya meminta kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur untuk membatalkan IUP atas nama PT. Ridlatama Tambang Mineral karena adanya indikasi kegiatan Penyelidikan Umum dan atau Eksplorasi pertambangan di wilayah kawasan hutan sebelum ada izin dari Menteri Kehutanan, sehingga patut diduga telah terjadi tindak pidana bidang kehutanan.
Perihal mengenai instruksi pembatalan/pencabutan IUP dimaksud, telah mendapat telaah Staf dari Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Kutai Timur dan telaah staf dari Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur serta telah pula dibahas dalam Rapat Pembahasan Dinas Teknis/Instansi terkait di Kabupaten Kutai Timur.
Areal/lahan atas IUP Penggugat, sebagian adalah merupakan kawasan hutan oleh karena itu pemegang IUP dalam kawasan hutan harus mempunyai Izin Pinjam Pakai dari Menteri Kehutanan sebelum melaksanakan kegiatannya. Namun Penggugat telah melakukan kegiatan eksplorasi dan atau penyelidikan umum sebelum mendapatkan Izin Pinjam Pakai dari Menteri Kehutanan.
Disamping itu, areal IUP Penggugat tumpang tindih dengan areal atas IUP Eksplorasi Tergugat II Intervensi sebagaimana hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan RI. Keberadaan IUP eksplorasi milik Tergugat II Intervensi lebih dahulu diberikan.
Berdasarkan telaah staf dari Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur kepada Bupati Kutai Timur (incasu Tergugat) adalah mendukung pengenaan sanksi bagi perusahaaan yang tidak memenuhi prosedur, ketentuan dan peraturan serta perundang-undangan yang berlaku dalam hal penggunaan kawasan hutan dan izin pinjam pakai kawasan hutan.
Majelis Hakim kemudian merumuskan permasalahan hukum, sebagai berikut:
1. Siapakah yang berwenang menetapkan suatu wilayah ditetapkan menjadi kawasan hutan atau bukan kawasan hutan?
2. Apakah wilayah yang telah ditetapkan menjadi kawasan hutan dapat digunakan untuk kegiatan pertambangan?
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, terdapat pengaturan:
“Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”
Pasal 38 ayat (1) UU Kehutanan:
“Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan didalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.”
Penjelasan ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU Kehutanan menyebutkan:
“Kepentingan pembangunan diluar kehutanan yang dapat dilaksanakan didalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan, dilarang. Kepentingan pembangunan diluar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.”
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan mengatur:
“Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.”
Berdasarkan dasar legalitas Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan tersebut, Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diatur didalam Pasal 1 angka 1 yaitu:
“Pinjam Pakai kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan tersebut.”
Pasal 2 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008, disebutkan:
“Pinjam Pakai kawasan hutan dilaksanakan atas dasar izin Menteri.”
Selanjutnya di dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008 diatur:
“Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.”
Diatur lebih lanjut didalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008:
“Kawasan hutan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan yaitu hanya kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.”
Majelis Hakim sebelum sampai pada amar putusannya, membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, ... Majelis Hakim berpendapat menurut hukum bahwa kawasan hutan dapat digunakan untuk kegiatan pertambangan sepanjang pemegang IUP telah mendapatkan izin pinjam pakai oleh Menteri Kehutanan dalam melakukan kegiatan pertambangannya;
“Menimbang, berdasarkan fakta hukum diatas, Majelis Hakim berpendapat menurut hukum bahwa oleh karena Penggugat dalam melaksanakan kegiatan pertambangannya tidak mempunyai dasar legalitas Izin Pinjam Pakai dari Menteri Kehutanan maka Penggugat dinilai tidak memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang didalam konsideran Memutuskan perihal Kedua huruf f Surat Keputusan Bupati Kutai Timur Nomor: 188.4.45/118/HK/III/2009, tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksploitasi kepada PT. Ridlatama Tambang Mineral, seluas 10.000 Ha, yang terletak di Kecamatan Busang dan Kecamatan Telen, Kabupaten Kutai Timur dan Penggugat telah pula melanggar ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang mengatur bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri”;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim berpendapat menurut hukum bahwa tindakan Tergugat mengeluarkan obyek sengketa aquo yakni Surat Keputusan Tergugat Nomor: 540.1/K.443/HK/V/2010 tanggal 4 Mei 2010, tentang Pencabutan Keputusan Bupati Kutai Timur Nomor: 188.4.45/118/HK/III/2009, tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksploitasi kepada PT. Ridlatama Tambang Mineral, seluas 10.000 Ha, yang terletak di Kecamatan Busang dan Kecamatan Telen, Kabupaten Kutai Timur (vide bukti P-5 = T-7) telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan pula apakah obyek sengketa dikeluarkan telah mengabaikan Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik ataukah tidak?, sebagaimana dalil Penggugat didalam gugatannya;
“Menimbang, bahwa Pasal 3 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme mengatur bahwa di dalam negara hukum, harus diutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara, bahwa dengan demikian A-Contrarionya adalah setiap kebijakan penyelenggaraan negara yang tidak memiliki landasan hukum haruslah dinyatakan batal;
“Menimbang, bahwa menurut Prof. Dr. Philippus M. Hajjon, SH dkk dalam bukunya “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia” Penerbit Gajah Mada University Press Yogyakarta Tahun 1994 halaman 274-277 menyebutkan pada pokoknya asas kecermatan dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik mensyaratkan suatu keputusan harus diambil dengan cermat, meneliti semua fakta yang relevan dan memasukkan pula semua kepentingan yang relevan kedalam pertimbangannya. Dalam rangka ini asas kecermatan dapat mensyaratkan bahwa yang berkepentingan didengar, sebelum mereka dihadapkan pada suatu keputusan yang merugikan. Suatu kewajiban mendengar hanya ada, sejauh mendengar ini ada manfaatnya, kalau dari ketentuan-ketentuan atau kebijaksanaan tetap (aturan-aturan kebijakan) dapat disimpulkan bagaimana seharusnya ketetapannya dan disamping itu fakta-fakta telah pasti, maka asas kecermatan tidak mensyaratkan mendengar, selain itu asas pemberian alasan dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik menghendaki bahwa suatu keputusan harus dapat didukung oleh alasan-alasan yang dijadikan dasarnya;
“Bahwa tindakan Tergugat dalam mengeluarkan obyek sengketa aquo juga bermakna menurut hukum bahwa Tergugat tidak hanya mempunyai kewenangan sebagaimana diamanahkan oleh ketentuan perundang-undangan namun juga mempunyai fungsi evaluatif terhadap kewajiban-kewajiban Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksploitasi atas nama Penggugat (vide bukti P-4) yang harus dipenuhi sedangkan berdasarkan fakta hukum tersebut diatas Penggugat tidak memenuhinya, hal demikian dalam doktrin hukum administrasi negara dikenal dengan istilah asas spontane vernietiging yang artinya badan Pemerintah (incasu Tergugat) berwenang melakukan evaluasi terhadap keputusan keputusan yang telah diterbitkan dan apabila ditemukan cacat/pelanggaran maka dapat dilakukan pembatalan/pencabutan;
“Bahwa Tergugat telah pula melakukan fungsi koreksi sesuai asas spontane vernietiging terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkannya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim berpendapat menurut hukum tindakan Tergugat mengeluarkan obyek sengketa aquo yakni Surat Keputusan Tergugat Nomor: 540.1/K.443/HK/V/2010 tanggal 4 Mei 2010, tentang Pencabutan Keputusan Bupati Kutai Timur Nomor: 188.4.45/118/HK/III/2009, tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksploitasi kepada PT. Ridlatama Tambang Mineral, seluas 10.000 Ha, yang terletak di Kecamatan Busang dan Kecamatan Telen, Kabupaten Kutai Timur (vide bukti P-5 = T-7) telah sesuai pula dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik;
M E N G A D I L I :
DALAM POKOK PERKARA :
1. Menolak gugatan Penggugat;
2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 272.000,- (Dua ratus tujuh puluh dua ribu rupiah).”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.