Akta Jual Beli Wajib Memuat Kuasa Mutlak bagi Pembeli Tanah

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya teori mengenai “asas terang dan tunai” dalam ilmu hukum agraria nasional, dalam praktiknya apakah diakui dan diterapkan pula oleh berbagai pendirian pengadilan? Mengapa praktik yang selama ini pada saat jual-beli tanah, format baku kalangan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) selalu dinyatakan bahwa peralihan terjadi saat harga jual-beli dibayar lunas? Rasanya ini tidak matching antara teori dan praktik. Jika begitu, maka manakah yang keliru dan mana yang seharusnya diluruskan?
Brief Answer: Peralihan hak atas tanah di Indonesia memberlakukan “asas terang” (di hadapan pejabat yang berwenang membuat akta tanah) serta “asas tunai / kontan” (adanya uang panjar sekalipun belum lunas). Mahkamah Agung RI cukup memahami prinsip hukum agraria yang diadopsi dari hukum adat nasional. Justru itulah, berbagai kalangan notaris dan PPAT kerap salah kaprah dalam menyusun redaksional akta pengikatan maupun jual-beli hak atas tanah—seolah peralihan hak baru sahih saat transaksi tersebut dibayar lunas.
PEMBAHASAN:
Menjadi masalah baru, jika pembeli belum juga melunasi down payment (DP) harga jual-beli, lantas peralihan hak atas tanah dinyatakan telah sempurna, lantas apa yang kemudian terjadi?
Jawab: pihak penjual hanya dapat menggugat sisa harga yang belum dilunasi—bukan menggugat pembatalan peralihan hak, dan penjual dapat pula mengajukan sita jaminan atas objek tanah tersebut selama belum dibebani kepentingan pihak ketiga seperti Hak Tanggungan ataupun telah dibeli oleh pihak ketiga yang beritikad baik. Pada titik itulah, status penjual dikonvesi demi hukum menjadi seorang kreditor konkuren.
Timbul kemudian pertanyaan baru: yang dirumuskan dalam gugatan, adalah gugatan wanprestasi ataukah gugatan “perbuatan melawan hukum”?
Jawab: Isu mengenai disparitas konsepsi gugatan wanprestasi (contractual liabilities) dan gugatan perbuatan melawan hukum (tortious liabilities) sudah tidak relavan lagi untuk diperdebatkan ataupun dipermasalahkan. Formulasikan gugatan dengan konten baik wanprestasi maupun unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Kini keduanya dapat diakomodasi dalam satu berkas gugatan berdasarkan praktik peradilan kontemporer sebagaimana praktik pradilan di Belanda yang tidak lagi memisahkan keduanya secara kaku.
Sebagai ilustrasi, tepat kiranya merujuk putusan Mahkamah Agung RI atas sengketa gugatan perdata dalam tingkat kasasi register perkara Nomor 2980 K/Pdt/2009 tanggal 12 September 2012, dihakim ketuai oleh Hakim Agung Valerine J.L. Kriekhoff, serta Hakim Anggota Takdir Rahmadi dan Soltoni Mohdally, merupakan sengketa pertanahan antara:
- TESSA HANDRA, selaku Pemohon Kasasi, semula Terbanding, dahulu pada Pengadilan Negeri sebagai Penggugat; melawan
- JACKY CARDOSH LAIMUSLO, selaku Termohon Kasasi, semula Pembanding, dahulu Tergugat.
Dalam gugatannya, Penggugat mendalilkan, tanggal 15 Mei 2007 terjadi Pengikatan Jual-Beli rumah toko (ruko) antara Penggugat dengan Tergugat, dimana Tergugat telah mengikatkan diri untuk menjual dan menyerahkan kepada Pihak Penggugat sebuah ruko yang berdiri diatas sebidang tanah Hak Guna Bangunan (HGB) No. 755/Gunung Sahari Selatan. Terjadi kesepakatan harga jual-beli atas objek tanah yakni sebesar Rp575.000.000,- dengan rincian:
a. Pembayaran Pertama yaitu sebesar Rp50.000.000,- yang telah dibayarkan oleh Penggugat kepada Tergugat pada tanggal 8 Februari 2007;
b. Pembayaran Kedua sebesar Rp30.000.000,- yang telah dibayarkan oleh Penggugat kepada Tergugat guna mengurus biaya administrasi kepada Kantor Lelang Negara. Karena mengingat sertifikat atas objek perkara berada di bawah Hak Tanggungan penguasaan Bank Rakyat Indonesia (Persero), berdasarkan Pembebanan Hak Tanggungan Peringkat I No. 953/1998 tanggal 29 Juni 1998;
c. Pembayaran Ketiga yaitu sebesar Rp320.000.000,- yang telah dibayarkan oleh Penggugat kepada Tergugat pada tanggal 15 Mei 2007;
d. Pembayaran keempat yaitu sebesar Rp175.000.000,- akan dibayarkan setelah realiasi pencairan kredit kepemilikan rumah yang diajukan oleh Penggugat kepada Bank Niaga, karena hal itu telah disepakati oleh Tergugat dengan Penggugat dengan syarat bahwa Tergugat segera mencabut/mengangkat blokir sertifikat objek perkara tersebut di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Pusat. Ternyata pengangkatan/pencabutan blokir tidak dilakukan oleh Tergugat hingga pembayaran yang ke-4 sebesar Rp175.000.000,- belum dapat dilaksanakan dan permohonan kredit pun ditunda pencairannya oleh Bank Niaga. Setelah ada pernyataan penundaan pencairan pinjaman (kredit) dari Bank Niaga Tergugat segera mengangkat blokir tersebut agar Tergugat dapat menguasai kembali sertifikat tanah dan bangunan yang telah diadakan pengikatan jual belinya dengan Penggugat.
Segala biaya-biaya untuk menebus dan meroya sertifikat tanah agar bisa terbebas dari hak tanggungan pihak Bank, Penggugat telah melunasi semua hutang kredit Tergugat, dan setelah sertifikat dibebaskan oleh Penggugat disepakati oleh Penggugat dan Tergugat untuk dititipkan kepada pihak Notaris yang membuat Akte Pengikatan Jual Beli (APJB) antara Penggugat dengan Tergugat.
Sesuai dengan Perjanjian, Tergugat menjamin akan mengurus seluruh surat-surat yang diperlukan sehubungan dengan pelaksanaan jual-beli atas objek perkara serta Tergugat menjamin tidak ada hak-hak yang akan muncul atau hak-hak orang lain atas tanah dan bangunan (objek perkara) kepada Penggugat.
Tergugat menjamin kepada Penggugat, tentang apa yang dijual dan diserahkan (objek perkara) adalah:
a. betul adalah hak Tergugat, dan hanya Tergugat yang berhak penuh untuk memindah-tangankannya;
b. tidak dikenakan sesuatu sitaan atau menjadi tanggungan untuk sesuatu perhutangan dan tidak dibebani oleh ikatan-ikatan lain berupa apapun juga;
c. baik sekarang maupun dikemudian hari Penggugat tidak akan mendapat tuntutan dari pihak lain yang menyatakan mempunyai hak terlebih dahulu atau turut mempunyai hak atasnya, karenanya Tergugat dengan ini membebaskan Penggugat mengenai hal hal tersebut.
Tergugat berjanji kepada Penggugat dengan dibuat pengikatan jual-beli Tergugat tidak berhak lagi untuk memberikan jaminan, menyewakan, menjual atau dengan cara lain apapun/memberikan hak apapun atas tanah dan bangunan (objek perkara) tersebut kepada pihak lain.
Kenyataannya setelah sertifikat ditebus atau dibayar oleh Penggugat kepada pihak Bank untuk membebaskan dari beban ikatan Hak Tanggungan dan setelah disepakati untuk dititipkan kepada pihak Notaris, namun Tergugat secara diam-diam mengambil kembali sertifikat objek perkara tersebut tanpa sepengetahuan dan seizin Penggugat yang mana dapat dianggap sebagai menguasai secara melawan hukum (Note penulis: bila melihat dari kacamata “asas terang dan tunai”, tindakan tersebut termasuk tindak pidana penggelapan).
Sementara itu pihak Tergugat selaku penjual mendalilkan, bahwa gugatan sang pembeli adalah keliru mengenai objek karena Penggugat adalah bukan pemilik objek perkara, karena Penggugat baru melakukan Pengikatan Jual-Beli, belum masuk pada AJB. Adapun yang menjadi bunyi APJB, antara lain:
“Pembayaran keempat yaitu sebesar Rp175.000.000,- (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) akan dibayarkan setelah realisasi pencairan kredit kepemilikan rumah yang diajukan oleh pihak kedua atau selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari) terhitung sejak penandatanganan akta ini, setiap keterlambatan pembayaran tersebut akan dikenakan denda sebesar Rp300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) per harinya adapun ketentuan tersebut hanya berlaku selama 14 (empat belas hari) apabila telah lewat 14 hari maka pihak kedua dianggap membatalkan Perjanjian ini.”
Dari klausul diatas, kita dapat melihat adanya ciri “perikatan bersyarat”, namun bukan berarti perikatan jual-beli menjadi gugur dengan lewatnya waktu 30 sebagaimana dinyatakan diatas. SHIETRA & PARTNERS selama ini menilai ganjil praktik kalangan notaris/PPAT, dimana peralihan hak atas tanah sejatinya dapat disempurnakan cukup dengan berlandaskan “asas terang dan tunai”, tidak harus lunas seketika itu juga.
Praktis, APJB sebenarnya hanya perlu ketika pada suatu daerah dimana akan dilakukan jual-beli tiada terdapat PPAT, dimana notaris cukup membuat APJB yang memiliki substansi Kuasa Mutlak didalamnya untuk kemudian dibawa oleh pembeli selaku penerima kuasa mutlak dalam APJB guna menghadap PPAT yang berwenang pada yurisdiksi objek tanah terletak. Atau ketika pihak penjual berada pada propinsi yang berbeda dengan letak tanah yang akan dijual, barulah relevan APJB diberlakukan.
Ketika “asas terang dan tunai” ini terjadi, sejatinya dalam APJB tersebut dapat seketika itu juga diatur mengenai pemberian kuasa mutlak untuk melakukan peralihan hak atas nama pihak penjual kepada pihak pembeli.
Salah kaprah praktik kalangan notaris pembuat APJB inilah yang kemudian melahirkan salah kaprah berantai yang berujung pada banyaknya salah kaprah ditengah masyarakat, tidak terkecuali pihak Tergugat selaku penjual, yang timbul asumsi dan citra pikiran mereka, bahwasannya peralihan hak atas tanah baru dapat sempurna terjadi bila jual-beli tanah telah dibayar lunas.
Praktik yang benar (namun tidak pernah ditemui penulis di lapangan), setiap APJB wajib memuat Kuasa Mutlak bagi pembeli untuk membalik-nama hak atas tanah. Mengapa demikian? Pertama, setiap APJB pastilah memuat unsur “uang panjar”. Kedua, asas tunai sejatinya telah konkret sehingga dapat disempurnakanlah “asas terang” dengan menghadap PPAT. Ketika praktik yang benar ini diberlakukan oleh kalangan notaris pembentuk APJB, maka sejatinya berbagai sengketa pertanahan dapat dihindari.
Pihak pembeli yang memberikan dana panjar bagi penjual untuk melunasi hutang yang diikat Hak Tanggungan pun sudah merupakan bukti konkret “asas tunai” yang cukup disempurnakan dengan “asas terang” berupa Kuasa Mutlak yang terkandung dalam APJB agar pembeli dapat membalik-nama sertifikat hak atas tanah di hadapan PPAT.
Masalah dalam perkara diatas sesungguhnya sangatlah sederhana. Bila saja notaris memahami asas tersebut, dirinya akan menyerahkan asli sertifikat tanah serta merumuskan Kuasa Mutlak dalam APJB agar peralihan hak dapat disempurnakan oleh pembeli, sehingga tiada lagi salah kaprah ataupun penyalahgunaan oleh pihak penjual sebagaimana dalam contoh kasus ini. Ingat, bukan hanya pihak pembeli yang berpotensi dapat berbuat nakal, namun pihak penjual pun dapat beritikad buruk. Sehingga sejatinya kalangan notaris/PPAT cukup merumuskan akta sesuai asas “terang dan tunai” secara konsisten dan konsekuen.
Kembali pada dalil pihak penjual, Penggugat tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk melunasi sisa Pembayaran kepada Tergugat sebesar Rp175.000.000,- meskipun Tergugat telah melakukan teguran berulang-ulang kepada Penggugat untuk segera melunasi sisa pembayaran tersebut sampai 1 bulan setelah masa tenggang waktu pelunasan habis.
Agak mengherankan ketika pihak penjual mendalilkan, apabila telah lewat 14 hari belum juga harga jual-beli dilunasi maka pembeli dianggap membatalkan perjanjian jual-beli. Namun disisi lain penjual mendalilkan, denda keterlambatan per hari Rp300.000,- bila pembeli lalai melunasi harga jual-beli. Dinyatakan gugur namun kemudian disandingkan dengan denda keterlambatan. Jika perikatan diasumsikan gugur, lantas keterlambatan untuk apa yang dijadikan dasar pengenaan denda?
Penjual mengajukan gugatan balik (rekonpensi), dengan tuntutan agar semua dana yang telah masuk pada dirinya otomatis menjadi miliknya meski perikatan dinyatakan gugur. Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan, yaitu putusannya No. 283/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst tanggal 16 Juli 2008, dengan amar sebagai berikut:
“Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan sita jaminan terhadap tanah dan bangunan rumah toko yang telah diletakkan sah dan berharga;
3. Menyatakan bahwa tanah dan bangunan rumah toko (objek perkara) adalah milik Penggugat yang sah;
4. Menyatakan bahwa pengikatan jual beli yang telah dilakukan oleh Tergugat dan Penggugat adalah sah demi hukum;
5. Menghukum Penggugat untuk membayar sisa harga sebesar Rp175.000.000,- (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) kepada Tergugat;
6. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan tanah dan bangunan rumah toko (objek jual beli) secara bebas dan aman kepada Penggugat;
7. Menghukum Penggugat dan Tergugat untuk menyelesaikan proses jual beli pada PPAT/Pejabat Pembuat Akta Tanah;”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Negeri tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan putusannya No. 157/Pdt/2009/PT.DKI.JKT tanggal 21 Juli 2009 yang amarnya sebagai berikut:
• Menerima permohonan banding dari Pembanding, semula Tergugat tersebut di atas;
Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 283/Pdt.G/2007/PN.JKT.PST, tanggal 16 Juli 2008 yang dimohonkan pemeriksaan dalam tingkat banding tersebut di atas;
“MENGADILI SENDIRI:
“Dalam Eksepsi:
• Mengabulkan eksepsi Pembanding semula Tergugat;
• Menyatakan gugatan Terbanding semula Penggugat kabur dan tidak jelas;
“Dalam Pokok Perkara:
• Menyatakan gugatan Terbanding semula Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi tidak dapat diterima;”
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana dalam memori kasasinya Penggugat menyinggung beberapa hal, antara lain:
“Batalnya perjanjian tersebut memang sengaja dilakukan oleh Termohon Kasasi dengan cara tidak mencabut/mengangkat blokir sertifikat atas objek sebagaimana tersebut di atas sampai melewati waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian sehingga permohonan kredit yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi tidak dapat dicairkan oleh Bank Niaga. Dengan demikian pembayaran keempat sebesar Rp175.000.000,- (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) yang merupakan sisa pembayaran dari jual beli objek sebagaimana tersebut di atas tidak dapat dilaksanakan oIeh Pemohon Kasasi;
“Bahwa Pemohon Kasasi telah mengeluarkan biaya-biaya untuk menebus dan meroya sertifikat atas objek tanah dan bangunan sebagaimana tersebut di atas agar terbebas dari hak tanggungan atas pinjaman Termohon Kasasi kepada Bank Rakyat Indonesia cabang segitiga senen dimana pada saat itu sertifikat atas objek tersebut akan segera dilelang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta II dan kemudian disepakati sertifikat tersebut dititipkan kepada Notaris Winarto Wiryomartani, SH.,MHum akan tetapi secara diam-diam Termohon Kasasi mengambil kembali sertifikat dari Notaris tersebut dan menguasainya secara melawan hukum;
“Bahwa sertifikat atas objek sebagaimana tersebut di atas disimpan di Kantor Notaris Winarto Wiryomartani, SH dengan suatu tujuan untuk dipergunakan oleh Pemohon Kasasi sebagai jaminan pinjaman kredit pada Bank Niaga Jakarta Pusat untuk pelunasan sisa pembayaran jual beli atas objek tersebut sebagaimana telah disepakati antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi akan tetapi Termohon Kasasi tidak mencabut/mengangkat pemblokiran Sertifikat atas objek tanah dan bangunan tersebut di atas;
“Bahwa berdasarkan kesaksian saksi Mulyadi (Pegawai Badan Pertanahan Nasional Jakarta Pusat) dan saksi Ferry Zalyanto (Pegawai Notaris Arry Supranto) pada persidangan dimana kedua saksi tersebut menyatakan bahwa Termohon Kasasi belum melakukan pencabutan pemblokiran atas sertifikat HGB No. 755/Gunung Sahari Selatan sehingga saat ini masih berada dalam keadaan terblokir di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Pusat;
“Bahwa apa yang terjadi adalah merupakan “permainan” akal-akalan yang dilakukan oleh Termohon Kasasi yang dengan sengaja tidak mencabut blokir sertifikat atas objek sebagaimana tersebut di atas sampai dengan melewati jangka waktu pembayaran yang harus dilakukan oleh Pemohon Kasasi. Jika Termohon Kasasi beritikad baik dengan mencabut/mengangkat blokir atas sertifikat tersebut di Kantor Badan Pertanahan Nasional Jakarta Pusat, maka pembayaran tahap ke empat dapat dilaksanakan oleh Pemohon Kasasi;
“Dan dengan dalih telah lewatnya jangka waktu, Termohon Kasasi secara sepihak menyatakan perjanjian tersebut batal, padahal nyata-nyata lewatnya jangka waktu, lalu tidak adanya pencairan kredit dari Bank Niaga sehingga tidak terlaksananya pembayaran tahap ke empat adalah memang telah “di skenario kan” oleh Termohon Kasasi;
Terhadap kasasi yang dimohonkan pihak pembeli, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum yang penting untuk kita simak bersama, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Mengenai alasan kasasi huruf a s/d huruf e:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut dapat dibenarkan karena Judex Facti/Pengadilan Tinggi telah salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
• Bahwa Judex Facti/Pengadilan Tinggi terlalu kaku dalam menilai surat gugatan Penggugat, padahal ada tuntutan subsider untuk menyimpulkan apakah gugatan a quo tentang perbuatan melawan hukum atau wanprestasi;
• Bahwa proses jual beli telah terjadi akan tetapi masih ada syarat-syarat tertentu yang masih harus dipenuhi sehingga pernyataan Judex Facti tentang syahnya “pengikatan jual beli” a quo adalah berdasarkan hukum dan pihak Penggugat diberikan pula kewajiban agar “melunasi” sisa pembayarannya;
• Bahwa telah terjadi kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex Facti/Pengadilan Tinggi karena telah “menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima”, dengan alasan gugatan kabur, padahal secara nyata surat gugatan Penggugat tersebut adalah cukup jelas serta bersesuaian antara posita dan petitumnya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Tessa Handra dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 157/Pdt/2009/PT.DKI.JKT tanggal 21 Juli 2009 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 283/Pdt.G/2007/PN.JKT.PST tanggal 16 Juli 2008 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: TESSA HANDRA tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 157/Pdt/2009/ PT.DKI.JKT tanggal 21 Juli 2009 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 283/Pdt.G/2007/PN.JKT.PST tanggal 16 Juli 2008;
MENGADILI SENDIRI :
Dalam Konvensi:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan sita jaminan terhadap tanah dan bangunan rumah toko yang telah diletakkan sah dan berharga;
3. Menyatakan bahwa pengikatan jual-beli yang telah dilakukan oleh Tergugat dan Penggugat adalah sah demi hukum;
4. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan tanah dan bangunan rumah toko (objek jual-beli) secara bebas dan aman kepada Penggugat;
5. Menghukum Penggugat dan Tergugat untuk menyelesaikan proses jual-beli pada PPAT/Pejabat Pembuat Akta Tanah;
6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
Dalam Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
2. Menghukum Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi untuk membayar sisa harga sebesar Rp175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) kepada Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi;
3. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selain dan selebihnya.”
Dari putusan diatas, kita dapat melihat bagaimana Mahkamah Agung mampu memilah konsep hukum pertanahan mengenai asas terang dan tunai, dimana peralihan hak telah dapat disempurnakan lewat menghadap PPAT, sementara selebihnya menjadi hubungan hukum hutang-piutang antara penjual dan pembeli.
Bila ditilik lebih dalam lagi, sebenarnya pihak BPN memiliki keterlibatan nyata, karena blokir hak atas tanah hanya berlaku efektif selama 30 hari (bukan kata penulis, tapi kata peraturan perundang-undangan terbitan BPN itu sendiri, yang mana juga dilanggar oleh BPN itu sendiri). Terlebih bila hak atas tanah dibebani Hak Tanggungan, blokir oleh debitor jelas memiliki niat batin yang buruk, sehingga menjadi mengherangkan bila BPN membenarkan permohonan blokir debitor tersebut (penulis kerap menjumpai anomali irasional ini dalam praktik di Kantor Pertanahan).
Pada medio awal tahun 2015, penulis pernah menyempatkan diri menjumpai Kantor Pertanahan administrasi Jakarta Pusat, menghadap Kepala Seksi yang membidangi sengketa serta perkara pertanahan. Perihal blokir ini pula yang khusus menjadi topik perbincangan dan tujuan kunjungan penulis. Namun apa daya, pejabat yang memegang kekuasaan serta wewenang ini bersikukuh memiliki hukum versinya sendiri dengan menyatakan bahwa blokir berlaku permanen layaknya putusan provisionil seorang hakim—meskipun bisa jadi hakim menolak tuntutan putusan provisi dari pemilik tanah, itu pun bila pemilik tanah mengajukan gugatan.
Dengan kata lain, sengketa dalam perkara tersebut tidak akan ada, bila BPN tidak membuka diri untuk melakukan kolusi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.