KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Terbelit Prosedural Sengketa Hubungan Industrial

LEGAL OPINION 
Question: Apakah bisa, langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial tanpa harus diperibet oleh tetek-bengek bikin berita acara dengan perusahaan bahwa mediasi bipartit gagal, mana mau pengusaha tanda-tangan, lalu harus repot-repot ke Dinas Tenaga Kerja yang menghabiskan energi dan waktu untuk tripartit. Bisa tidak, langsung ajukan gugatan terkait hak saya selaku karyawan ke PHI tanpa semua prosedural itu?
Brief Answer: Saat ini, Pengadilan Hubungan Industrial baru hanya akan menerima dan memeriksa serta memutus sengketa hubungan industrial bila tahapan serta prosedural tersebut dipenuhi secara lengkap oleh buruh / pekerja yang hendak mengajukan upaya hukum. Dengan kata lain, ketika Disnaker memberi Anda surat rekomendasi setelah mediasi oleh Disnaker dinyatakan gagal oleh instansi tenaga kerja tersebut, barulah Anda dapat mengajukan gugatan kepada perusahaan tempat Anda bekerja.
PEMBAHASAN :
Dalam putusan uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) dalam register perkara Nomor 23/PUU-XIV/2016 tanggal 14 Juli 2016, yang diajukan oleh enam orang karyawan selaku Pemohon, adapun yang menjadi objek permohonan uji materiel ialah ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UU No.2/2004 yang berbunyi:
1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pemohon merasa bahwa frasa “peraturan perundang-undangan” merupakan frasa yang menyerupai “pasal karet”, sehingga praktis semua sengketa hubungan tenaga kerja menjadi kompetensi absolut Pengadilan Hubungan Industrial. Atas permohonan judicial review tersebut, MK RI membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, ... Bahwa apabila mencermati definisi “perselisihan hak” dalam Pasal 1 angka 2 jika dikaitkan dengan Pasal 2 huruf a dan Pasal 56 huruf a UU 2/2004 maka definisi “perselisihan hak” tersebut dimaksudkan untuk memperjelas objek perselisihan hak yang menjadi kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial. Apabila tidak ada pembedaan jenis perselisihan hak tersebut maka hal itu justru akan menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Negeri karena kedua pengadilan a quo mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan perselisihan hak.
“Dengan demikian, menurut Mahkamah masuknya frasa “ketentuan peraturan perundang-undangan” sebagai bagian dari definisi “perselisihan hak” dalam Pasal 1 angka 2 UU 2/2004 bila dikaitkan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya murah, hal itu justru lebih menguntungkan para Pemohon karena perselisihan hak tersebut dapat diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial sehingga dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat karena dianutnya sistem peradilan cepat (speedy trial), yakni selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari untuk tingkat pertama dan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari untuk Mahkamah Agung tanpa melalui upaya hukum banding di pengadilan tinggi. Selain itu, penyelesaian perselisihan melalui Pengadilan Hubungan Industrial, kepentingan para Pemohon atau pekerja/buruh telah terwakili dengan adanya satu hakim ad hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh pekerja/serikat buruh. Berbeda halnya bila frasa “ketentuan peraturan perundang-undangan” tidak masuk atau dihapus dari ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang a quo maka jika terjadi keadaan dimana tidak dipenuhinya hak buruh/pekerja karena adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan maka hal itu harus diselesaikan melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri yang memerlukan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit, sehingga justru lebih memberatkan pekerja/buruh, baik secara finansial maupun waktu.
“... UU 2/2004 telah mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara berjenjang, yaitu melalui perundingan bipartit, konsiliasi atau arbitrase, mediasi, dan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial. Artinya apabila terjadi perselisihan antara pengusaha dan pekerja/buruh tidak dapat langsung diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial, melainkan para pihak harus menempuh proses sebagaimana yang ditentukan tersebut. Apabila ternyata dalam praktik di lapangan petugas yang ditunjuk untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU 2/2004, hal tersebut bukanlah disebabkan oleh inkonstitusionalitas norma Undang-Undang a quo.
“Amar Putusan:
“MENGADILI:
“Menyatakan menolak permohonan para Pemohon.”
Dalam hal ini MK RI telah melakukan kebohongan terhadap publik. Dalam praktiknya, putusan kasasi sengketa hubungan industrial dapat memakan waktu tahunan akibat lambatnya proses pengiriman berkas perkara dari Pengadilan kepada Mahkamah Agung dan sebaliknya pengembalian berkas serta salinan putusan kepada pengadilan sebelum dikirimkan kepada para pihak yang bersengketa.
Bandingkan bila MK RI mengabulkan permohonan uji materil Pemohon, dimana untuk sebagian sengketa hubungan industrial dapat menjadi ranah kompetensi/yurisdiksi Pengadilan Negeri, maka buruh/pekerja dapat menempuh mekanisme “gugatan sederhana” (small claim court) dalam register khusus, tidak harus diperumit dengan birokrasi prosedural membuat berita acara tiada kesepakatan dengan pengusaha, mediasi oleh Disnaker yang berlarut-larut, hingga kasasi yang bertahun-tahun lamanya.
Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, yang merupakan dasar hukum small claim court pada Pengadilan Negeri, mengatur:
(1). Gugatan sederhana diajukan terhadap perkara cidera janji dan/atau perbuatan melawan hukum dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Tidak termasuk dalam gugatan sederhana adalah:
a. Perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan; atau
b. Sengketa hak atas tanah.
Yang menjadi kendala bagi buruh/pekerja mengajukan small claim court, ialah ketentuan Pasal 3 Ayat (2) PERMA No. 2 Tahun 2015 diatas, yang menyatakan bahwa bila sengketa diamatkan undang-undang kepada suatu peradilan khusus, maka Gugatan Sederhana tak dapat dilakukan, disamping keberlakuan “ganjil” Pasal 4 Ayat (3) PERMA No. 2 Tahun 2015 yang menyatakan: “Penggugat dan tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di daerah hukum Pengadilan yang sama.”
 Bila saja MK RI mengabulkan uji materil Pemohon, maka sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (3) PERMA No. 2 Tahun 2015, gugatan sederhana diputus paling lambat 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak hari sidang pertama. Sementara terhadap pihak yang hendak mengajukan upaya hukum, hanya terbuka upaya permohonan “keberatan” yang mana diputus oleh majelis hakim dari pengadilan negeri itu sendiri (sehingga tidak terjadi delay menyerupai pengiriman berkas dari PN ke MA layaknya kasasi putusan PHI) paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal penetapan Majelis Hakim. Dalam Gugatan Sederhana juga diberlakukan mediasi secara sederhana, namun tidak berlarut seperti prosedur menempuh PHI.
Penjelasan umum UU No.2/2004 menguraikan sebagai berikut:
1. Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di perusahaan swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara.
2. Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan.
3. Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih (bipartit).
4. Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
5. Perselisihan kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja atau Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian perselisihan melalui abitrase atas kesepakan kedua belah pihak hanya perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihannya melalui konsiliasi atau arbitrase, maka sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya perkara perselisihan hubungan industrial di pengadilan.
6. Perselisihan Hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau arbitrase namun sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi.
7. Dalam hal Mediasi atau Konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung.
9. Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung.
10.Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Sedangkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat di mintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
11.Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi pekerja / organisasi buruh.
12.Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
13.Untuk menegakkan hukum ditetapkan sanksi sehingga dapat merupakan alat paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.