Ratio Decidendi, ketika Daya Rasio dan Berpikir Logis Bukan Monopoli Kaum Sarjana Hukum

ARTIKEL HUKUM
Secara sederhana,”Ratio Decidendi” dimaknai sebagai "pertimbangan hukum", dan pertimbangan hukum tersebut harus bersifat logis, rasional, relevan, serta sistematis. Oleh karena itu dapat juga didefinisikan sebagai "rasio dibalik pemikiran hakim hingga tiba pada amar putusannya".
Melihat pendefinisian demikian, tentunyalah kita semua menjadi mahfum, bahwasannya bukan hanya kalangan hukum yang mampu berpikir logis. Hukum acara di pengadilan bersifat teknikalisasi, dalam arti hanya berbicara perihal prosedur, prosedur mana sejatinya dapat dipelajari dan dimengerti oleh semua kalangan karena memang peradilan menjadi hak dan dibuka bagi publik.
Untuk itu mari kita simak beberapa pemaknaan alternatif dari ratio decidendi, antara lain:
- Ratio decidendi is a legal rule derived from, and consistent with, those parts of legal reasoning within a judgment on which the outcome of the case depends. The process of determining the ratio decidendi is a correctly thought analysis of what the court actually decided—essentially, based on the legal points about which the parties in the case actually fought. All other statements about the law in the text of a court opinion—all pronouncements that do not form a part of the court's rulings on the issues actually decided in that particular case (whether they are correct statements of law or not)—are obiter dicta, and are not rules for which that particular case stands. The ratio decidendi is one of the most powerful tools available to a lawyer. With a proper understanding of the ratio of a precedent, the advocate can in effect force a lower court to come to a decision which that court may otherwise be unwilling to make, considering the facts of the case. (Dikutip dari https://en.wikipedia.org/wiki/Ratio_decidendi)
- Ratio Decidendi (Latin): reasons for a decision. The underlying and core principle of the law upon which a case is decided. Also ratione decidendi.  In Edmonton v Lovat, Justice Lee of the Court of Queen's Bench adopted these words from Halsbury: "The underlying principle is called the ratio decidendi, namely the general reasons given for the decision or the general grounds upon which it is based, detached or abstracted from the specific peculiarities of the particular case which gives rise to the decision. The concrete decision alone is binding between the parties to it, but it is the abstract ratio decidendi, as ascertained on a consideration of the judgment in relation to the subject matter of the decision, which alone has the force of law and which, when it is clear what it was, is binding; but, if it is not clear, it is not part of a tribunal's duty to spell out with difficulty a ratio decidendi in order to be bound by it, and it is always dangerous to take one or two observations out of a long judgment and treat them as if they gave the ratio decidendi of the case. If more reasons than one are given by a tribunal for its judgment, all are taken as forming the ratio decidendi." (Dikutip dari http://www.duhaime.org/LegalDictionary/R/RatioDecidendi.aspx)
- Ratio decidendi: The legal principles behind the court's decision. The Latin term 'ratio decidendi' means the 'rationale for a decision' and refers to that the part of the judgement which is delivered at the end of a case explaining the reasons for the decision. (Dikutip dari: http://www.lawmentor.co.uk/glossary/R/ratio-decidendi/)
- Ratio decidendi (plural rationes decidendi) is a Latin phrase meaning “the reason for the decision.” Ratio decidendi refers to the legal, moral, political and social principles on which a court’s decision rests. It is the rationale for reaching the decision of a case. It is binding on lower courts through the principle of Stare decisis. Ratio decidendi is a helpful tool for a lawyer. Ratio is a ruling on a point of law and the decision on a point of law depends on facts of a case. Culling out ratio from a judgment is difficult. A thorough reading of an entire judgment is required to identify a ratio. (dikutip dari: http://definitions.uslegal.com/r/ratio-decidendi/)
Ratio decidendi bersifat kasuistik, dalam arti berkaitan erat dengan kasus spesifik yang menjadi dasar menilai suatu perkara hukum yang terjadi untuk disimpulkan. Ia pun tidak bebas nilai, dalam arti aspek non hukum kerap menjadi bahan dalam membuat filter sudut pandang.
Secara falsafah, Mahkamah Agung Republik Indonesia selaku judex jure tidak berwenang membuat ratio decidendi. Hal ini terdengar cukup janggal, namun mengingat judex jure hanya memeriksa penerapan hukum, tidak memeriksa fakta maupun pembuktian apapun (secara ekstrem), maka patut kita simak kutipan berikut:
“READ THE WHOLE CASE: The ratio normally appears towards the end of a judgment, but unfortunately you can’t just skip to the end. It’s a bit like watching a mystery show; it’s harder to find the answer when you jump in part way through, so you’ll have to read the case in full.
“In its most basic format, a judgment starts by outlining the facts of the case, before considering the legal arguments presented to the court, and then making the decision.
“The ratio won’t be in the summary of the facts at the beginning but you do need to read the facts as the court’s decision on how the law applies may rest on some of the parties’ circumstances. The court’s analysis of the legal arguments is also essential reading, although the ratio will probably be located at the end of the legal analysis, just before the court makes its finding that the defendant is guilty, or the defendant was negligent, etc.”
“THE ‘AHA!’ MOMENT: The ratio is essentially the reason why the court reached a particular decision. The outcome of the case therefore depends on the ratio decidendi, so if you read something that makes you think you know which party is going to win (or lose) you may be in ratio territory. Going back to the crime show example, it’s a bit like watching a murder mystery and having a hunch as to whodunnit. (Dikutip dari http://www.survivelaw.com/index.php/blogs/study/1512-how-to-find-the-ratio-decidendi)
Hal ini tampak membingunkan dan merubuhkan konstruksi hukum yang selama ini mengisi mindset kalangan sarjana hukum di tanah air, seakan yurisprudensi yang valid ialah putusan Mahkamah Agung sebagai sumber rujukan preseden, namun secara falsafah MA RI tidak berwenang memeriksa alat bukti.
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu yang memeriksa dan mengadili perkara perdata dalam tingkat banding register No. 26/PDT/2012/PT.PALU tanggal 20 Juni 2012, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Pembanding semula Penggugat telah mengajukan memori banding, yang pada dasarnya Pembanding semula Penggugat tidak sependapat / keberatan dengan pertimbangan hukum (Ratio Decidendi) dalam Eksepsi serta prasangkaan-prasangkaan Majelis Hakim Tingkat Pertama dan  terhadap pokok perkara yang tidak dipertimbangkan oleh Pengadilan Negeri Poso;
“Menimbang, bahwa setelah Pengadilan Tinggi Palu membaca dan mempelajari secara seksama berkas perkara, berita acara persidangan, keterangan saksi-saksi dan surat-surat bukti yang diajukan oleh para pihak serta salinan resmi putusan Pengadilan Negeri Poso Nomor: 57/Pdt.G/2011/PN.Pso tanggal 05 April 2012 yang dimohonkan banding tersebut, dan juga membaca Memori Banding tertanggal 07 Mei 2012 dari Pembanding semula Penggugat dimana dalam memori banding tersebut, tidak ditemukan adanya hal-hal baru yang dapat melemahkan putusan Pengadilan Negeri Poso tersebut, karena yang dalam pertimbangan pertimbangan hukum pada Pengadilan Negeri Poso Nomor 57/Pdt.G/2011/PN.Pso tanggal 05 April 2012 telah memuat dan menguraikan dengan tepat dan benar semua keadaan, serta alasan-alasan yang menjadi dasar hukum dari putusannya;
“Menimbang, bahwa atas dasar pertimbangan tersebut di atas, maka Pengadilan Tinggi Palu berpendapat bahwa pertimbangan hukum Hakim Tingkat Pertama sudah tepat dan benar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku oleh karena itu pertimbangan tersebut dapat disetujui dan diambil alih oleh Pengadilan tingkat banding sebagai alasan dan pertimbangan hukum sendiri dalam memutus perkara ini ditingkat banding,
“Menimbang, bahwa sehubungan dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka putusan Pengadilan Negeri Poso Nomor: 57/Pdt.G/2011/PN.Pso tanggal 05 April 2012 tersebut harus dikuatkan.”
Putusan sumir yang serupa ditemukan pada putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 113/PDT/2014/PT.DKI tanggal 7 Juli 2014:
“Menimbang, bahwa Kuasa PEMBANDING semula TERGUGAT telah mengajukan memori banding yang pada pokoknya keberatan terhadap pertimbangan hukum (Ratio Decidendi) putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 333/PDT.G/2012/PN.JKT.PST tertanggal 18 April 2013;
“Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim Tingkat Banding memeriksa dengan seksama berkas perkara yang bersangkutan, yang terdiri dari berita acara persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, surat-surat bukti dan surat-surat lainnya yang berhubungan dengan perkara ini, salinan resmi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 333/PDT.G/2012/PN.JKT.PST tertanggal 18 April 2013, memori banding dari Pembanding, maka Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dari semua alasan keberatan-keberatan dalam memori banding yang diajukan Pembanding semula Tergugat yang terurai dalam memori bandingnya, ternyata telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya;
“Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim Tingkat Banding mencermati keberatan-keberatan PEMBANDING semula TERGUGAT tersebut dihubungkan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama, menurut Majelis Hakim Tingkat Banding, materi keberatan tersebut pada prinsipnya telah dipertimbangkan dengan benar dan berpendapat bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 333/PDT.G/2012/PN.JKT.PST tertanggal 18 April 2013 sudah tepat, benar dan adil serta beralasan hukum, karena itu diambil alih sebagai pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Banding dalam memutus perkara ini;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pada pertimbangan tersebut diatas, maka putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 333/PDT.G/2012/PN.JKT.PST tertanggal 18 April 2013 cukup beralasan untuk dipertahankan dan dikuatkan;
Dalam putusan tingkat banding perkara No. 48/Pdt.G/2015/PTA.Mdn tanggal 14 April 2015, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum:
“Menimbang, bahwa Hakim Majelis Tingkat Banding setelah membaca dan menelaah dengan seksama proses pemeriksaan dan pertimbangan hukum putusan perkara ini di Tingkat Pertama pada dasarnya secara subtansial dan yuridis telah mempedomani bunyi Pasal Pasal Perundang-undangan dan ketentuan hukum acara yang berlaku, kecuali dalam hal analisa pertimbangan hukum tentang fakta-fakta/alasan gugatan cerai yang didalilkan oleh Penggugat dengan saksi-saksinya dipandang perlu menyempurnakannya secara rasional melalui analisa sosiologis dan filosofis dalam bentuk ratio decidendi yang pertimbangan hukum selengkapnya diuraikan di bawah ini.
“Menimbang, bahwa namun demikian, terhadap dalil/alasan gugatan cerai Penggugat yang pada pokoknya menyatakan antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan/pertengkaran yang terus menerus haruslah dilihat dari fakta peristiwa seperti didalilkan Penggugat/Terbanding dalam surat gugatannya, khususnya poin 4 sampai 7 dan puncak dari perselisihan/pertengkaran dimaksud terjadi pada bulan Nopember 2014 yang klimaknya berpisah tempat tinggal (scheiding van tafel en bed) sampai sekarang, bahkan dari pihak keluarga telah berusaha mendamaikan, akan tetapi tidak berhasil, sebagaimana dalam surat gugatan Penggugat poin 8 sampai 10. Dan dari Tergugat tidak dapat didengar jawabannya karena tidak pernah lagi hadir di persidangan lanjutan, meskipun telah dipanggil sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
“Menimbang, bahwa ketidak hadiran Tergugat, patut diduga secara diam-diam telah membenarkan dalil-dalil gugatan Penggugat a quo, termasuk “sejak bulan Nopember 2014, Tergugat dan Penggugat sudah tidak seranjang lagi”. Realita dari keadaan tersebut patut diyakini sebagai pertanda kuat atas kebenaran pecahnya ikatan pernikahan (broken marriage) Penggugat dan Tergugat yang berakibat pada sulitnya membentuk rumah tangga bahagia sebagaimana tujuan perkawinan yang tercantum pada Pasal 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karenanya, perceraian merupakan pintu darurat (emergency exit) yang dipandang lebih baik bagi Penggugat/Terbanding dan Tergugat/Pembanding untuk keluar dari kesulitan yang berkepanjangan demi menemukan kehidupan yang diharapkan lebih menguntungkan kedua belah pihak di masa yang akan datang.
“Menimbang, bahwa dari analisa terhadap dalil/alasan gugatan cerai Penggugat dan tanpa adanya jawaban Tergugat, maka secara sosiologis cukup jelas memunculkan indikasi tentang ikatan hubungan perkawinan Penggugat dan Tergugat telah pecah (broken marriage), bahkan telah berbilang bulan berpisah tempat tinggal/tidak tidur seranjang (scheiding van tafel en bed), yang berakibat tidak terjadi lagi hubungan suami isteri yang secara filosofis merupakan hakikat dari keharmonisan/keutuhan ikatan suci pernikahan. Artinya, perslisihan telah menjadi fakta konkret sebagai premis mayor alasan perceraian dan berpisah tempat tinggal adalah salah satu premis minor alasan perceraian, sehingga telah terpenuhi rangkaian alasan cerai yang digugat oleh Penggugat untuk becarai dari Tergugat.
“Menimbang, bahwa dari analisa a quo, dihubungkan dengan keterangan seorang keluarga Pengggugat yang sekaligus jadi saksi, maka kesaksian dua (2) orang saksi Penggugat sebagaimana diuraikan dalam berita acara pemeriksaan Hakim Majelis Tingkat Pertama, dan kesaksian tersebut telah memenuhi ketentuan kesaksian secara formil dan materil, sesuai ketentuan Pasal 175, 308 ayat (1) dan 309 R.Bg, sehingga telah merupakan bukti yang sempurna atas kebenaran dalil/alasan gugatan cerai Penggugat/Terbanding.
“Menimbang, bahwa dari beberapa pertimbangan hukum tersebut di atas, ditemukan fakta konkret sebagai fakta hukum tentang tidak ada lagi kerukunan dan keharmonisan antara Penggugat/Terbanding dan Tergugat/Pembanding dalam mempertahankan keutuhan rumah tangganya, in casu perselisihan Penggugat/Terbanding dan Tergugat/Pembanding yang didalilkan oleh Penggugat/Terbanding adalah sebagai alasan perceraian yang sah menurut hukum yang berlaku;”
Ratio decidendi tidak harus berupa penjabaran panjang lebar, tidak juga bicara mengenai pasal, cukup bersikap logis semata. Mahkamah Agung yang memeriksa dan memutus perkara perdataa tingkat kasasi register No. 740 K/Pdt/2013 tanggal 27 Agustus 2013, membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Bahwa pertimbangan Judex Facti sudah tepat dan benar bahwa gugatan Penggugat kurang pihak karena tidak menggugat para warga masyarakat yang menjual tanahnya yang menjadi obyek sengketa kepada Penggugat, dan dilapangan Penggugat tidak dapat menunjukkan lokasi dan batas-batas tanah yang dibeli penggugat dari warga masyarakat;”
Mengingat suatu putusan pengadilan tidak hanya mengikat para pihak untuk Amar Putusan, namun juga mengikat mereka atas apa yang menjadi pertimbangan hukum Majelis Hakim sebelum sampai pada amar putusannya tersebut, maka pertimbangan hukum yang dinilai keliru atau kurang cermat dipertimbangkan, atau juga bahkan lalai untuk dipertimbangkan, dapat pula diajukan upaya hukum.
Konsepsi demikian kita temukan dalam putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Makassar perkara Nomor 18/B/2015/PT.TUN.MKS tanggal 19 Maret 2015, yang dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan:
“Menimbang, bahwa Tergugat telah mengajukan Memori Banding yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Kendari pada tanggal 28 Nopember 2014 yang pada pokoknya sependapat dengan pertimbangan hukum (Ratio Decidendi) sepanjang mengenai DALAM PENUNDAAN, sebagian DALAM POKOK SENGKETA sepanjang Pengambilalihan Tugas-Tugas dan Wewenang KPU Kabupaten Kolaka, namun tidak sependapat dan keberatan terhadap Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi) selain dan selebihnya; ...
“Menimbang, bahwa oleh karena Eksepsi Tergugat / Pembanding diterima oleh Majelis Hakim tingkat banding, maka terhadap gugatan Penggugat/Terbanding tentang Pokok Perkara tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut dan oleh karenanya Gugatan Penggugat haruslah dinyatakan tidak diterima;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.