Mutasi Lokasi Tempat Kerja yang Tidak Manusiawi

LEGAL OPINION
Question: Apa benar perusahaan dapat menyatakan karyawan yang tidak setuju dengan mutasi yang tidak manusia sebagai suatu pembangkangan terhadap perintah atasan?
Brief Answer: Terdapat perbedaan yang lebar dan kontras antara “membangkang” dengan “minta dibangkang”. Bila undang-undang negara tidak diperkenankan memaksakan sesuatu yang tidak mungkin bagi warga negaranya, maka begitupula hubungan perdata dalam konteks ketenagakerjaan.
Perikatan kerja tunduk pada genus asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 KUHPerdata, sehingga tidak dapat salah satu pihak merubah syarat dan ketentuan kerja secara sepihak, semisal pihak perusahaan mengubah kebijakan lokasi kerja bagi seorang karyawannya. Dalam praktik, kerap terjadi PHK (pemutusan hubungan kerja) terselubung dengan memakai modus mutasi yang tidak manusiawi, sehingga mau tidak mau karyawan akan memilih mengundurkan diri—kecuali karyawan bersangkutan menggugat PHK ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
PEMBAHASAN :
Permasalahan hukum ketenagakerjaan mengenai mutasi yang sewenang-wenang menjadi isu yang selalu bergema dan bergaung sepanjang masa. Akan menjadi relevan bila kita mencermati putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pekanbaru dalam register perkara Nomor 05/Pdt. Sus-PHI//2016/PN.Pbr tanggal 30 Maret 2016, yang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan industrial dalam sengketa antara:
- Erikson Situmorang, yang merupakan karyawan PT. Inti Kamparindo Sejahtera, selaku Penggugat; melawan
- PT. INTI KAMPARINDO SEJAHTERA, selaku Tergugat.
Adapun yang menjadi duduk perkara, Penggugat merupakan karyawan tetap dan bekerja sebagai pemanen kelapa sawit pada perusahaan Tergugat. Pada tanggal 16 November 2013, Penggugat mendapat surat dari Tergugat, yang menerangkan bahwa Penggugat dimutasikan lokasi kerja serta dipindah-rumahkan.
Penggugat tidak keberatan pindah rumah ke lokasi baru tempat Penggugat di Mutasikan, karena apabila tidak pindah rumah maka Penggugat harus menambah uang bensin sepeda motor setiap harinya, namun karena anak Penggugat kebetulan sudah kelas VI SD yang sebentar lagi akan melaksanakan Ujian Nasional maka tidak memungkinkan lagi untuk dipindahkan sekolahnya, maka Penggugat menjumpai Pimpinannya meminta agar untuk sementara waktu sampai anaknya selesai Ujian Nasional diperbolehkan melaju setiap pagi dari tempat biasa ke tempat Penggugat dimutasikan, mengingat apabila harus pindah rumah maka terpaksa anaknya juga harus dipindahkan sekolahnya karena lokasi sekolah di lokasi awal sudah berbeda dengan Lokasi Sekolah di lokasi baru, yang mempunyai jarak + 15 KM.
Namun permohonan Penggugat didak disetujui oleh Tergugat. Tanggal 12 Desember 2013 dan tanggal 02 Januari 2014 Penggugat menerima Surat Peringatan I dan II dari Tergugat dengan alasan tidak pindah rumah, dan atas Surat Peringatan tersebut, maka Penggugat mencoba menjumpai dan berkonsultasi dengan Wali kelas dan Kepala Sekolah SD Danau Lancang tempat anaknya bersekolah, namun Wali Kelas dan Guru Kepala Sekolah menyarankan agar anaknya tidak dipindahkan karena sebentar lagi akan dilaksanakan Ujian Nasional dimana Nomor Induk Sekolah Nasional (NISN), Nomor Ujian dan juga lokasi tempat ujian Nasional sudah ditentukan oleh Dinas Pendidikan.
Bahwa atas saran Wali Kelas dan Kepala Sekolah tersebut, Penggugat kembali menjumpai Tergugat agar sampai anaknya selesai melaksanakan Ujian Nasional tetap diperbolehkan menempati rumah yang sedang ditempati dan berangkat kerja dengan melaju pakai sepeda motornya, namun permohonan Penggugat tersebut tetap tidak disetujui oleh Tergugat, seolah Tergugat tidak pernah merasakan mempunyai anak yang sekolah.
Seminggu kemudian tepatnya tanggal 08 Januari 2014 Tergugat kembali menyampaikan Surat Peringatan III kepada Penggugat dimana alasannya tetap karena tidak bersedia pindah rumah, padahal selama Penggugat bekerja melaju pakai sepeda motornya, tidak pernah terlambat atau mengganggu pekerjaannya, dan hal itu dilakukan Penggugat semata-mata karena menunggu selesainya anaknya yang sudah kelas VI SD melaksanakan Ujian Nasional.
Tanggal 26 April 2014, disaat anaknya masih melaksanakan Ujian Nasional, Tergugat justru menyampaikan Surat Pemutusan Hubungan  Kerja (PHK) kepada Penggugat dengan alasan tidak pindah rumah maka dianggap membangkang terhadap pimpinan maka di PHK terhitung tanggal 28 April 2014, padahal Penggugat telah menyampaikan bahwa yang bersangkutan tidak keberatan pindah rumah, dan alasan Penggugat yang telah dimohonkan kepada Tergugat hanya menunggu anaknya melaksanakan Ujian Nasional.
Surat Peringatan yang disampaikan oleh Tergugat kepada Penggugat tidak sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 161 Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dimana dalam Pasal 161 tersebut jelas pekerja dapat dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja apabila nyata-nyata Pekerja melakukan Pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, sedangkan Penggugat mempunyai alasan yang jelas karena anaknya akan melaksanakan Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dan Penggugat tidak pernah terlambat ke tempat kerja, ataupun tidak siap melaksanakan pekerjaannya, dan setiap harinya tetap bekerja seperti biasa lebih 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam dalam seminggu.
Penggugat dan Tergugat kemudian melakukan Perundingan Bipartit, namun tidak menghasilkan kesepakatan, karena Tergugat tetap tidak lagi bersedia mempekerjakan Penggugat, maka permasalahan ini dilimpahkan ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Kampar untuk di-mediasi, namun juga tidak membuahkan hasil karena Tergugat menghendaki PHK terhadap Penggugat.
Sejak Tergugat memberikan Surat PHK kepada Penggugat, maka Tergugat telah melarang Penggugat untuk melakukan pekerjaan sebagaimana biasanya sebelum Putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan, dan melakukan PHK tanpa penetapan dari Pengadilan Hubungan Industrial, dimana Tergugat juga tidak melakukan Skorsing, sehingga Penggugat tidak dapat melakukan Pekerjaannya bukan karena Penggugat tidak mau bekerja tetapi karena dilarang oleh Tergugat.
Tidak mau bekerja dengan dipaksa tidak dapat bekerja adalah dua konsepsi hukum yang saling bertolak-belakang dan memiliki konsekuensi yuridis masing-masing.
Penggugat kemudian merujuk Pasal 17 Keputusan Menteri Tenaga Keja Nomor KEP-150/MEN/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan:
(1) Sebelum ijin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial  sedangkan pengusaha tidak melakukan skorsing terhadap pekerja maka pengusaha dan pekerja harus tetap memenuhi segala kewajibannya.
(2) Dalam hal pekerja tidak dapat memenuhi segala kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) karena dilarang oleh pengusaha dan pengusaha tidak melakukan skorsing, maka pengusaha wajib membayar upah pekerja selama dalam proses sebesar 100 % (seratus per seratus).
Penggugat juga menuturkan, oleh karena Tergugat tidak bersedia lagi untuk mengerjakan Penggugat, serta telah melarang Penggugat untuk melakukan Pekerjaan, maka tidak mungkin lagi antara Penggugat dengan Tergugat terjalin hubungan kerja yang harmonis, maka Penggugat memohon kepada PHI yang memeriksa dan memutus agar menjatuhkan putusan berupa PHK dengan memberikan hak-hak normatif Penggugat.
Menjadi menarik ketika kita cermati pertimbangan hukum Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut:
“Menimbang, bahwa Mutasi merupakan Perintah dari Pengusaha yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh setiap Pekerja, sepanjang Perintah tersebut memenuhi Kriteria Kepatutan, Kelayakan dan Kewajaran;
“Menimbang, bahwa Perintah yang memenuhi Unsur/Kriteria Kepatutan adalah Perintah yang Patut dilakukan oleh seorang manusia sesuai dengan Jenis Kelamin, Kebiasaan dan Keahliannya serta Telah diatur dalam Ketentuan yang berlaku/Perjanjian Kerja, sedangkan Perintah yang memenuhi unsur Kelayakan dapat dilihat dari aspek Naik Turunnya Pengupahan/Pendapatan sesuai dengan sifat mutasi tersebut yakni Promosi, Demosi atau Paralel, disamping itu Perintah yang memenuhi Unsur/Kriteria Wajar untuk dipatuhi adalah kewajaran mutasi dari aspek lokasi kerja dan level jabatan serta tidak bertentangan dengan Hukum dan Ketentuan Umum yang berlaku;
“Menimbang, bahwa Mutasi kepada Penggugat telah memenuhi unsur / kriteria dimaksud, dan disamping itu, Penggugat pun telah menjalankan mutasi yang diperintahkan oleh Tergugat, maka Mutasi kerja tersebut haruslah dikategorikan sebagai Perintah yang Patut, Layak dan Wajar. Namun dalam perkembangannya, Perintah mutasi tersebut harus diikuti pula oleh Perintah untuk meninggalkan rumah dinas, yang dalam point ini Penggugat merasa keberatan, untuk mana Majelis akan mempertimbangkan Penolakan Penggugat pindah dari rumah dinas tersebut;
“Menimbang, bahwa Anak Penggugat sedang duduk di kelas VI Sekolah Dasar (SD) yakni jenjang terakhir dari Sekolah Dasar;
“Menimbang, bahwa Adalah hal yang patut untuk diketahui, bahwa murid sekolah pada tingkatan kelas VI SD, Kelas IX/III SMP dan Kelas XII/III SMA/SMU, tidak diperkenankan oleh Kepala Sekolah yang lama atau Kepala sekolah yang dituju, untuk pindah sekolah karena hal itu akan menyulitkan bagi si Murid dalam mengikuti perkembangan Pelajarannya dan menyulitkan bagi sekolah untuk menyesuaikan Level Pendidikan yang sudah berjalan di Sekolah yang baru terhadap murid baru, disamping itu, Proses Administrasi Perpindahan Murid pada Tingkatan Terakhir tersebut juga harus disertai dengan Proses Pendaftaran Perpindahan pada Dinas Pendidikan setempat, terkait dengan Pengeluaran Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) atau Ijazah yang akan dikeluarkan;
“Menimbang, bahwa Proses Perpindahan Anak Penggugat ke sekolah baru pada Kelas Terakhir dalam Jenjang Sekolah Dasar tersebut, sedemikian sulit dan riskannya sehingga dengan demikian wajarlah Bagi Penggugat untuk tidak memindahkan anaknya dari Sekolah lama ke Sekolah Baru;
“Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut, dihubungkan dengan Sarana Transportasi yang tersedia serta jauhnya jarak sekolah bagi seorang anak Sekolah Dasar, Majelis menyatakan bahwa alasan Penggugat untuk memohon tidak dilakukan pindah rumah sembari menunggu anaknya menyelesaikan Ujian Nasionalnya, patut untuk dipertimbangkan sebagai alasan yang logis, untuk mana Tergugat dapat mencarikan solusi yang terbaik;
“Menimbang, bahwa Hubungan Kerja merupakan Hubungan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh berdasarkan Perjanjian Kerja.
“Menimbang, bahwa Phrase Perjanjian Kerja mengisyaratkan adanya Kesetaraan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh yang tentunya dengan Paradigma yang bermotifkan Mutualisma atau saling menguntungkan. Dengan demikian pada tataran Implementatif, Kesetaraan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh dalam konteks Pengusaha membutuhkan pekerja/buruh yang Produktif sedangkan Pekerja/Buruh membutuhkan Pengusaha yang Solutif;
“Menimbang, bahwa Penggugat telah menunjukkan bahwa sejauh ini ia merupakan Karyawan yang Produktif sehingga terhadapnya tidak pernah diberikan Peringatan terkait menurunnya tingkat produktivitasnya sedangkan disisi yang sama Tergugat tidak menempatkan dirinya sebagai Pengusaha yang solutif sehingga dapat memberi jalan keluar terhadap Permasalahan yang dihadapi oleh Penggugat manakala ia harus pindah dari rumah dinas tersebut, sehingga dengan demikian Penolakan Penggugat untuk Pindah rumah, merupakan penolakan yang dapat ditolerir;
“Menimbang, bahwa Mutasi Pekerjaan merupakan Perintah yang berkaitan dengan Teknis Pekerjaan Penggugat sedangkan Perintah Pindah rumah tidak berkaitan langsung dengan Tingkat Produktivitas dan Teknis Pekerjaan, dengan demikian, Perintah Pindah rumah tidak dapat disetarakan kedudukannya dengan Perintah Mutasi terhadap Pekerjaan, sehingga Penolakan Penggugat terhadap permintaan Tergugat agar Penggugat pindah rumah, tidak dapat dikategorikan sebagai Pembangkangan atas Intruksi atau Perintah Pimpinan Perusahaan/Tergugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas, Majelis menyatakan PHK yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat dan seluruh Proses yang mendahuluinya yakni Pemberian Surat Peringatan I, II dan III atas Pembangkangan terhadap Perintah Pimpinan, Tidak Sah dan Batal Demi Hukum, untuk mana Petitum Butir 2 dan 3 Gugatan Penggugat, Dikabulkan;
“Menimbang, bahwa dengan Batalnya PHK yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat maka Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat seharusnya tetap berlangsung, namun dalam gugatannya dan dalam gugatan rekonvensinya Penggugat dan Tergugat menunjukkan kesepakatan dan keinginan yang kuat untuk mengakhiri Hubungan Kerja dimaksud, oleh karena itu Majelis Hakim, berdasarkan azas Ultra ne Petita yakni Mengabulkan lebih daripada Tuntutan, menyatakan Hubungan Kerja antara Pengugat dengan Tergugat Putus demi Hukum sejak Putusan ini dibacakan yakni tanggal 30 Maret 2016, untuk mana Petitum Butir 4 Gugatan Penggugat, Dikabulkan;
“Menimbang, bahwa dengan Putusnya Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat karena adanya Tuntutan dari Penggugat dan Tergugat dalam Gugatan maupun dalam Gugatan Rekonvensinya, maka hak-hak Penggugat atas PHK tersebut sesuai Pasal 164 ayat (3) yakni Uang Pesangon sebesar 2 (dua) kali Ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar 1 (satu) kali Ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan Petitum Butir 5 Gugatan Penggugat, sebagai berikut:
1. Bahwa dengan Putusnya Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak putusan ini dibacakan maka oleh karena itu berdasarkan Ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dihubungkan dengan Pasal (2) PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menyatakan bahwa Hak atas Upah timbul pada saat terjadinya Hubungan Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha dan berakhir pada saat Putusnya Hubungan kerja, dihubungkan dengan Ketentuan Pasal 93 ayat (2f) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dihubungkan pula dengan Butir 14 Jawaban Dalam Konvensi Tergugat yang mengakui adanya Larangan bekerja oleh Tergugat kepada Penggugat sejak PHK dilakukan oleh Tergugat, maka Tergugat harus membayar Upah Penggugat yang tidak dibayarkan dari sejak PHK dilakukan oleh Tergugat yakni Mei 2014 sampai dengan Putusan ini dibacakan 30 Maret 2016 sebesar 23 Bulan, namun dalam Petitum tersebut, Penggugat menuntut Tergugat untuk membayar Upah Selama Belum Ada Putusan hanya sebesar 6 (enam) bulan, maka berdasarkan azas Ultra ne Petita, Upah selama belum ada Putusan harus dibayar oleh Tergugat sebesar 6 (enam) bulan yakni 6 x Rp 2.127.000,-.= Rp 12.762.000,- ;
2. Bahwa karena Hubungan Kerja diputus oleh Majelis tanggal 30 Maret 2016, maka Hak atas Tunjangan Hari Raya Tahun 2015 diperhitungkan sebagai Komponen Hak Penggugat atas PHK;
3. Bahwa Hak atas Cuti yang belum diambil diakui oleh Penggugat sebanyak 6 Hari tahun 2013 dan 4 hari Tahun 2014, dan hal tersebut tidak dibantah oleh Tergugat dengan Pembuktian sebagai Pemegang Kewenangan Adminsitrasi di Perusahaan, untuk mana Tahun 2015 diperhitungkan sebagai 12 Hari dan Tahun 2016 sebagai 3 Hari, sehingga total Hak Cuti Penggugat menjadi = 25 hari;
4. Bahwa dalam Perhitungan Besaran Perkalian Pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja, Majelis Hakim berpedoman kepada Hak Pesangon yang dihubungkan dengan Masa Kerja sampai dengan Putusan dibacakan;”
Yang paling menarik, Penggugat hanya meminta hak normatif sebesar Rp. 47.857.500,-. Namun Majelis Hakim berdasarkan pertimbangan hukum diatas membuat kalkulasi dengan total nilai yang harus dibayarkan kepada Penggugat ialah sebesar Rp. 63.490.950;- (alias terjadi ultra-petitum, mengabulkan melebihi apa yang diminta dalam gugatan).
Tiba pada penghujung, Majelis Hakim PHI menjatuhkan amar putusan dengan bunyi:
“MENGADILI :
“DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat Dalam Konvensi untuk sebahagian;
2. Menyatakan Hubungan Kerja antara Penggugat Konvensi dan Tergugat Konvensi Putus sejak Putusan ini dibacakan;
3. Menghukum Tergugat Konvensi untuk membayarkan secara Tunai dan Sekaligus, Hak-hak Penggugat Konvensi akibat Pemutusan Hubungan Kerja yang nilai seluruhnya berjumlah Rp. 63.490.950,- (Enam Puluh Tiga Juta Empat Ratus Sembilan Puluh Tiga Ribu Sembilan Ratus Lima Puluh Rupiah)."
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.