Hakim Memiliki Kekuasaan untuk Mencampuri Isi Perjanjian

LEGAL OPINION
Question: Bagaimana bisa disebut sebagai kebebasan berkontrak bila senyatanya tiada kebebasan, dimana kerap terjadi hanya salah satu pihak yang mendominasi substansi kontrak dengan bentuk standar klausul baku yang hanya menguntungkan satu pihak dan memberatkan pihak lain? Bila kontrak tersebut tetap diterima, dengan sangat terpaksa tentunya, apakah itu artinya menjadi vonis “mati” bagi pihak yang lemah kedudukannya dalam kontrak? Apanya yang bebas, bila hanya bisa tunduk dan diwajibkan patuh terhadap segala aturan main pihak lawan, tanpa berdaya sama sekali pihak kami dibuatnya. Sebenarnya apakah debitor dilindungi oleh UU Perlindungan Konsumen? Apakah hukum di Indonesia tidak menganut prinsip “Iustum Pretium” yang mengharuskan suatu perjanjian dengan perikatan bertimbal balik mengatur prestasi dan kontra prestasi yang sama bobot nilainya?
Brief Answer: Keruwetan serta kompleksitas hukum perikatan perdata tampaknya dapat dijawab dengan merujuk Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1904 K/Sip/1982 tanggal 19 Januari 1984, yang saripatinya menggariskan bahwa “hakim memiliki kekuasaan untuk mencampuri isi suatu perjanjian”.
Mengenai “iustum pretium”, tampaknya tidak ada kesetaraan dan sepertinya posisi/status/kedudukan para pihak dalam kontrak memang tidak akan pernah setara. Stratifikasi sosial dan ekonomi masyarakat demikian majemuk dan kian terdiversifikasi. Sukar menemukan contoh hubungan perdata yang bersifat equal.
Untuk itulah pengadilan memainkan peran penting sebagai penerap kebijakan affirmative action yang memberlakukan “diskriminasi positif” bagi pihak yang dinilai lebih lemah. Namun prinsip affirmative action ini harus dipakai “sehemat mungkin” karena sangat sensitif isu—agar negara tidak dinilai menyerupai konsep negara komunis sebagai antinomi negara liberalis (dimana negara sama sekali tidak turut campur tangan terhadap perekonomian warga negara dan menyerahkannya pada mekanisme pasar the invisible hand cetusan Adam Smith).
Kebebasan berkontrak sebebas-bebasnya merupakan utopia belaka, sebuah mitos yang telah ditanggalkan berbagai negara beradab, yang mengasumsikan hukum tanpa negara (stateless law). Senyatanya kita hidup dalam hukum bernegara, dimana otoritas negara menjadi pengawas, penyusun kebijakan, sekaligus penengah dan pemutus segala aktivitas warga masyarakatnya. Dalam konteks Negara Kesejahteraan, negara lewat otoritasnya perlu tampil dalam setiap bidang keperdataan guna melindungi pihak yang lemah, dengan mengakui adanya ketimpangan kedudukan tersebut.
PEMBAHASAN :
Ende, merupakan sebuah kota kecil di pelosok Indonesia. Namun menarik mencermati putusan Pengadilan Negeri Ende register perkara perdata Nomor 13/PDT.G/2011/PN.END tanggal 24 Mei 2014, yang merupakan sengketa mengenai kontrak berisi klausula-klausula baku sepihak yang dinilai merugikan Penggugat, sementara itu hukum negara melarang klausula baku demikian sehingga Penggugat memandangnya sebagai suatu perbuatan melawan hukum oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lemah.
Sementara itu dalam bantahannya, pihak Tergugat menyatakan bahwa dalam prakteknya, klasula baku yang tercantum dalam berbagai kontrak standar atau perjanjian baku, banyak dilakukan dalam transaksi penjualan/kredit perumahan, kendaraan bermotor, asuransi, perbankan, dll. Hal ini biasanya untuk mempermudah transaksi perjanjian usaha.
Terjadi tarik-menarik argumentasi, sebagai bagian dari hukum yang memang diharuskan untuk terus berdialektika.
Hubungan yang dibangun atas dasar saling percaya dan saling menguntungkan, tampaknya itulah yang menjadi pendirian utama Majelis Hakim PN Ende ketika memandang suatu sengketa perikatan perdata yang dihadapkan padanya. Berdasarkan prinsip utama tersebut, Majelis Hakim kemudian membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang bahwa, perkembangan dalam praktek peradilan di Indonesia dewasa ini, telah muncul sebuah perspektif baru yang dapat dijadikan alasan untuk menuntut agar suatu perjanjian dibatalkan, yaitu, “Penyalahgunaan keadaan oleh salah satu pihak (misbruik van omstandigheden)”. Kemunculan alasan tersebut setidaknya didorong oleh pesatnya perkembangan dibidang hukum perjanjian dalam mengikuti irama kehidupan masyarakat modern dengan segala konsekwensinya;
“Menimbang bahwa, menurut penggugat bahwa dalam perjanjian kredit antara penggugat dengan tergugat telah diterapkan klausula-klausula baku sehingga menimbulkan ketidakseimbangan antara Penggugat dan Tergugat dalam perjanjian kredit;
“Menimbang bahwa, dalam lalu lintas pelaksanaan suatu perjanjian, terlepas dari siapapun yang mengadakan perjanjian tersebut dan jenis apapun perjanjiannya, jika ditanya apakah telah melaksanakannya dengan itikad baik, pasti masing-masingnya menyatakan bahwa mereka telah melaksanakannya dengan itikad baik. Tidak akan ada satupun dari pihak yang melaksanakan perjanjian itu, rela dan mau menerima begitu saja tuduhan dari salah satu pihak bahwa pihak yang lainnya telah tidak melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Masing-masing pihak cenderung mempertahankan argumentasinya, sehingga perseteruan diantaranya sulit diharapkan dapat terselesaikan oleh para pihak itu sendiri. Itulah sebabnya, persoalan yang dihadapi tersebut, sering berujung di pengadilan. Hakimlah—menurut ketentuan undang-undang—yang dianggap tahu akan hukumnya dalam menyelesaikan persoalan mereka, bahkan hakim memiliki kekuasaan untuk mencampuri isi dari suatu perjanjian;
“Menimbang bahwa, mencermati klausula perjanjian tersebut, terlihat adanya suatu hak istimewa pada Tergugat untuk sewaktu-waktu dapat menentukan sendiri besar piutang Tergugat, tanpa memberi ruang kepada Penggugat untuk menyatakan sikap atas besar piutang Penggugat yang ditetapkan Tergugat (kreditur). Juga penempatan klausula tersebut telah memberikan ruang kepada Tergugat untuk tidak menerima keberatan dari Penggugat dikarenakan pihak tergugat telah diberikan kuasa oleh Penggugat;
“Menimbang bahwa, klausula tersebut sebagai klausula baku / standar jelas memberikan kedudukan yang tidak seimbang antara Penggugat dan Tergugat dalam perjanjian kredit. Hal ini tidak sesuai dengan asas konsensualisme dimana pihak-pihak pembuat kontrak memiliki hak yang sama dalam kedudukannya membuat kesepakatan termasuk mengubah kesepakatan. Dengan klausula tersebut jelas telah memberikan posisi yang lebih kuat kepada Tergugat dalam perjanjian kredit tersebut ketimbang posisi Penggugat;
“Menimbang bahwa, hal tersebut di atas sesuai pula dengan kaidah hukum dalam Putusan PN Jakarta Pusat No. 62/Pdt.G/2009/PN.Jkrt.Pst tanggal 30 Juli 2009 yang menyatakan : tidak terpenuhinya syarat obyekif dalam suatu perjanjian disebabkan kausa yang tidak sahih dan adanya ketidakseimbangan kedudukan antara kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut, menimbulkan konsekuensi hukum bahwa perjanjian yang demikian itu adalah batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala konsekuensi hukumnya;
“Menimbang bahwa, pencantuman klausula baku tersebut adalah tindakan sepihak Tergugat dan tanpa mengindahkan kepatutan serta kelayakan yang harusnya dijalankan bank. Kekaburan yang terdapat pada klausula baku tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur: Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa atauran baru, tambahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya, Bertentangan Pula dengan ketentuan pasal 18 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur: Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Ketentuan yang sifatnya kabur seperti ini adalah tidak sesuai dengan nilai kepastian hukum dari suatu perjanjian, dan karenanya harus Batal Demi Hukum;
Menimbang bahwa, pada asasnya suatu perbuatan pemberian kuasa harus dilakukan dalam keadaan bebas dimana masing-masing pihak dapat berfikir secara jernih termasuk menyadari persyaratan-persyaratan yang mengikutinya dan akibat dari perbuatan pemberian kuasa tersebut;
“Menimbang bahwa, oleh karena berbentuk perjanjian standar, maka Tergugatlah yang telah menyiapkan perjanjian kredit tersebut, termasuk Tergugat yang berinisiatif mencantumkan klausula pemberian kuasa oleh Penggugat kepada Tergugat. Hal ini jelas tidak sejalan dengan prinsip dasar pemberian kuasa;
“Menimbang bahwa, Penggugat yang kedudukannya lemah, dalam keadaan yang tidak berdaya menerima saja syarat yang dicantumkan di dalam formulir perjanjian kredit itu oleh karena kebutuhan Penggugat untuk memperoleh kredit. Perjanjian standar merupakan perjanjian memaksa (dwangcontract) oleh karena terdapatnya pelanggaran atas sifat terbuka dan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata;
“Menimbang bahwa, TAN KAMELLO dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara berjudul Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, Tahun 2006 Halaman 11, mengatakan : …”Tekanan dari salah satu pihak melalui posisi inequality of bargaining power dapat mengakibatkan prestasi perjanjian tidak seimbang, dan hal ini melanggar asas iustum pretium. Perjanjian yang demikian menjadi cacat dan akibatnya dapat dibatalkan” (vernietigbaar, voidable);
“Menimbang bahwa, memang secara umum tidak terdapat paksaan yang nyata terlihat dilakukan oleh Tergugat, dimana Tergugat bersikap mempersilahkan Penggugat mengambil keputusan tanpa tekanan untuk menyetujui atau tidak berbagai klausula baku yang lebih menguntungkan Tergugat (take it or leave it). Hal ini bukan berarti tidak adanya keadaan terpaksa pada posisi Penggugat dalam membuat keputusan. Keadaan ini seharusnya sudah disadari oleh Tergugat dimana dengan pencantuman klausula baku yang tidak berimbang tersebut, akan menyulitkan Penggugat dalam membuat keputusan untuk menyetujui atau menolak tawaran klausula baku yang tidak menguntungkannya dalam perjanjian kredit tersebut;
“Menimbang bahwa, dari tindakan tergugat sebagaimana telah dipertimbangan diatas, melakukan penerapan klusula-klausula baku dalam perjanjian kredit, yang secara langsung membuat kedudukan tergugat lemah dihadapan Penggugat, sehingga penggugat tidak memiliki hak untuk mengajukan keberatan atas sikap-sikap tergugat selama dalam masa perjanjian kredit, hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung menurunkan kredibilitas penggugat sebagai seorang debitur), Majelis berkesimpulan bahwa perbuatan perbuatan tergugat tersebut menunjukkan sikap tidak hati-hatinya tergugat sebagai Bank dalam memelihara kepentingan penggugat selaku debitur (nasabah bank), yang harus dikualifikasi sebagai Perbuatan Melawan Hukum, yang pada akhirnya berakibat bukan hanya menciptakan ketidak-mampuan penggugat dalam memenuhi kewajibannya membayar angsuran kredit, tetapi lebih dari itu telah menimbulkan kerugian bagi pihak penggugat;
“Menimbang bahwa, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya bahwa sebagai akibat dari perbuatan tergugat menerapkan klausula-klausula baku, jelas menimbulkan kerugian bagi penggugat. Kerugian tersebut, dimana telah mempengaruhi seluruh kegiatan usaha dari penggugat yang bersifat merugikan, yang pada akhirnya berimbas pula pada tidak atau belum dilaksanakannya kewajiban penggugat selaku debitur untuk membayar angsuran kreditnya kepada tergugat. Dan belum atau tidak dibayarnya kewajiban penggugat tersebut, yang diikuti dengan berbagai teguran tentang tunggakan kredit oleh pihak tergugat, jelas sangat berpotensi memberi stigma negatif terhadap kredibilitas penggugat sebagai debitur. Karenanya menjadi wajar apabila penggugat mengalami kerugian yang bersifat immateriil sebesar Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
“Menimbang bahwa, dengan merujuk pada Pasal 4 huruf h Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan, “hak konsumen adalah untuk mendapatkan kompensasi, ganti-rugi dan atau penggantian, apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”; Demikian pula pada Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan, “pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian;”
Bercermin dari kasus ini pula kita menjadi mahfum, bahwasannya debitor fasilitas kredit termasuk dalam kategori “konsumen” sehingga terlindungi oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang melarang praktik kontrak standar/baku yang hanya menyisakan sedikit (atau tidak sama sekali) “ruang” bagi debitornya.
Sebagaimana hakekatnya mahkluk hidup, ruang gerak serta ruang nafas menjadi elemen dasariah sekaligus vital. Ketika “ruang” ini pun direnggut atau ditiadakan oleh sebuah perikatan perdata, maka sendi-sendi kemanusiaan tercerabut, dan hal tersebut membutuhkan peran negara lewat institusi pengadilannya mengambil-alih substansi perikatan guna memulihkan ruang gerak dan nafas setiap warga negaranya secara seimbang dan setara.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.