KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Upah Proses Vs. Asas NO WORK NO PAID, Antinomi dalam Sengketa Hubungan Industrial Karyawan dan Majikan

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya seorang karyawan / buruh yang rencananya akan di-PHK oleh perusahaan, berhak atau tidak atas "uang proses" menurut hukum di Indonesia? Bagaimana dengan “no work no paid”? Perusahaan mendalilkan, saya tak berhak atas upah skorsing, karena saya telah dipecat bukan di-skors.
Brief Answer: Bedakan antara “PHK secara Politis” dan “PHK secara Yuridis”. Yang disebut dengan “PHK secara Politis”, ialah PHK sepihak perusahaan terhadap buruh / karyawannya, tanpa melalui prosedur pendaftaran permohonan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) setempat. PHK sepihak bukanlah PHK dalam arti yuridis, karena belum sah, namun hanya PHK secara politis. Terhadap PHK secara politis, adalah wajar bila karyawan berhak atas “Upah Proses”, karena karyawan bukanlah tidak mau bekerja, namun tidak mampu bekerja karena “pintu” perusahaan telah ditutup baginya alias skorsing itu sendiri.
Prinsip “no work no paid” hanya berlaku dalam konteks bila perusahaan mendaftarkan permohonan PHK pada PHI, sementara itu pihak perusahaan tidak memberi surat PHK apapun langsung pada sang karyawan kecuali relaas panggilan sidang dari PHI, dan sang karyawan yang belum di-PHK secara politis sejatinya masih dapat memasuki areal perusahaan dan berkarya seperti biasa, namun memilih untuk tidak lagi masuk kerja dan hanya menunggu putusan PHI, maka prinsip “no work no paid” berlaku.
Skenario ketiga, bila permohonan PHK didaftarkan oleh pengusaha kepada PHI sementara secara pararel disaat bersamaan terhadap karyawan tersebut diberikan surat atau pernyataan PHK yang merupakan PHK secara politis, artinya karyawan tersebut telah diasingkan dari perusahaan, sehingga karyawan tidak lagi memiliki tempat berpijak di perusahaan tersebut, maka niat sang karyawan untuk tetap bekerja seperti sehari-harinya patut mendapat “Upah Proses”; hanya saja tidak mampu bekerja lagi di tempat tersebut karena “pintu pagar” perusahaan telah tertutup baginya secara politis mupun secara psikologis.
PEMBAHASAN :
Dalam konsep sengketa hubungan industrial, terdapat antinomi nilai antara “Upah Proses” dan “no work no paid”. Dalam sengketa hubungan industrial, pihak buruh/karyawan senantiasa menuntut “Upah Proses” dengan alasan dirinya hendak bekerja mencari nafkah, namun perusahaan menutup akses itu secara tidak sah baik berbentuk surat PHK, skorsing—baik skorsing secara lisan, secara politis, secara intimidasi, maupun skorsing tertulis. Dari sudut pandang pengusaha, bagaimana mungkin membayar gaji karyawan yang tidak mengerjakan apapun di perusahaan?
Retorika tersebut bila kita uraikan, maka akan tampak jejaring sebagaimana tampak dalam kemungkinan-kemungkinan berikut:
1. Karyawan yang dipecat atau di-skorsing, tidak sepakat atas pemecatan atau skorsing tersebut—modus yang lebih canggih dari kalangan pengusaha nakal ialah “merumahkan” karyawan dengan hanya separuh gaji tiap bulannya agar karyawan memilih untuk mengundurkan diri agar mencari pekerjaan baru (merumahkan sebenarnya termasuk kategori skorsing, dan skorsing dapat menjadi alasan sah permohonan PHK dari karyawan terhadap perusahaan, yang melahirkan hak pesangon)—sehingga hendak kembali tetap bekerja pada perusahaan tempatnya biasa bekerja, namun secara politis, sosial, maupun kedudukan yang lebih berkuasa, mengakibatkan karyawan tidak dapat memasuki tempat kerja, atau alasan sejenis, senyatanya karyawan kategori ini berhak untuk menuntut “Upah Proses” karena no work no paid” baru berlaku bila niat untuk tidak masuk kerja ada pada pihak karyawan. Sementara bila niat untuk tidak lagi mempekerjakan karyawan ada pada pihak pengusaha, maka “Upah Proses” adalah hak karyawan;
2. Karyawan merasa antipati terhadap perusahaan yang memecatnya secara sepihak, sehingga memilih untuk tidak lagi mengabdikan diri / berkarya sebagai karyawan atas perusahaan tersebut, maka karyawan tersebut hanya berhak atas uang pesangon, uang penggantian hak, serta uang penghargaan kerja;
3. Apakah karyawan tersebut menganggur atau sudah mendapat pekerjaan baru saat proses sengketa di PHI maupun kasasi, bukan isu yang relevan, mengingat tiada kepastian atas putusan pengadilan sementara sumber nafkah harus terus berlanjut demi memastikan kelanjutan hidup buruh serta keluarganya tersebut;
4. Bila perusahaan tidak mau memberikan skorsing dalam bentuk tertulis, maka karyawan dapat mengadu pada pihak Dinas Tenaga Kerja, agar dilakukan perundingan Tripartit, dimana perihal skorsing tersebut menjadi ter-“akta”-kan. Bila pengusaha tidak hadir atas undangan Dinas Tenaga Kerja, diartikan tuduhan karyawan atas adanya skorsing atas dirinya dapat diasumsikan benar adanya sehingga “Upah Proses” layak dikabulkan—sehingga tidak dapat dibenarkan lagi alasan PHI menolak “Upah Proses” dengan alasan tiada surat tertulis mengenai skorsing atas diri sang karyawan;
5. Dalam konteks Pengusaha telah menyimpangi kaidah proses pemutusan hubungan kerja, dengan hanya secara lisan atau tertulis memutuskan hubungan kerja tanpa dimohonkan ke PHI, maka PHK tersebut tidak sah secara hukum, hanya saja PHK tersebut eksis secara politis di internal manajemen perusahaan. Karyawan yang mendapat surat PHK, pada dasarnya menjadi bukti konkret bahwa perusahaan sudah tidak lagi menerima kehadiran atas karyawan yang dipecatnya tersebut, sehingga “Upah Proses” layak diminta dan dikabulkan, mengingat keingingan untuk memutus hubungan kerja dan tiada kontribusi selama sesudahnya bukanlah bersumber dari inisiatif karyawan yang di-PHK sepihak.
Norma hukum terkait telah diberikan makna secara konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi lewat putusan MK RI Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011. Pemohon judicial review atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu.
Dalil Pemohon Uji Materiil, selama ini tidak adanya penafsiran yang tegas dan jelas terhadap Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam hal kelak terjadinya suatu perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja. Adapun bunyi Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003:
Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) di atas, maka para pihak dalam hubungan industrial (baik itu pengusaha maupun buruh) harus tetap melaksanakan hak serta kewajiban masing-masing seakan belum efektif terjadi PHK, sehingga di sisi lainnya para pihak juga masih harus tetap memperoleh hak-haknya selama masih berperkara dan menunggu turunnya putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan. SHIETRA & PARTNERS menyebutkan dengan masa "perang dingin".
Perhatikan salah satu petikan argumentasi Pemohon berikut:
“Bila ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut dikaitkan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut, maka terdapat potensi ketidakpastian hukum bagi pekerja dalam perolehan hak-haknya selama proses penyelesaian perselihan hubungan industrial belum diputus (in kracht van gewijsde). Hal ini terjadi dengan mengingat bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) berupaya memberikan jaminan dan perlindungan bagi buruh untuk tetap menerima upahnya selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial masih berlangsung, padahal putusan itu sendiri bersifat inkracht bisa terjadi di pengadilan hubungan industrial ataupun sampai dengan putusan kasasi atau peninjauan kembali di Mahkamah Agung;”
“Bahwa dalam praktek, pengadilan hubungan industrial mengenai kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja beserta hak-hak lainnya selama proses persidangan ditemukan beberapa penafsiran, ada yang menafsirkan upah proses hanya pada tingkat pengadilan hubungan Industrial tapi ada juga yang menafsirkan sampai berkekuatan hukum tetap;”
Salah satu contoh putusan yang dirujuk Pemohon ialah Putusan dalam perkara Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 07/G/2008/PHI.Smda antara PT. Total E&P Indonesie dengan Ir. Rommel Ginting menyatakan bahwa:
Mengadili:
Dalam Provisi:
Mengabulkan tuntutan provisi dari Penggugat
Memerintahkan kepada Penggugat untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh Tergugat setiap bulan sebesar Rp 31.884.090,- (tiga puluh satu juta delapan ratus delapan puluh empat ribu sembilan puluh rupiah) sejak bulan November 2007 sampai putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.
Putusan tersebut diatas mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) pada saat keluarnya Putusan Kasasi Nomor 839 K/PDT.SUS/2008 pada tanggal 11 Februari 2009 dalam perkara a quo. Namun ternyata mengenai pengertian mempunyai kekuatan hukum tetap pihak pengusaha dalam hal ini, pihak PT. Total E&P Indonesie belum juga membayarkan hak-hak pekerja yang bersangkutan karena adanya perbedaan penafsiran tentang putusan yang berkekuatan hukum tetap. Perusahaan beranggapan bahwa yang dimaksud dengan inkracht adalah saat keluarnya keputusan PHI Nomor 07/G/2008/PHI.Smda, pada bulan April 2007.
Pemohon kembali mendalilkan, berdasarkan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Majelis Hakim dalam suatu perkara dapat mengeluarkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayarkan upah-upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh pekerja atau buruh. Masalah ketidak-pastian hukum justru timbul manakala putusan perselisihan hubungan industrial tidak tercapai inkracht dalam peradilan tingkat pertama / pengadilan hubungan industrial, dimana para pihak mengajukan upaya hukum pada tingkatan yang lebih tinggi (Mahkamah Agung).
Tiba pada amar putusannya, MK RI memutuskan:
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
3. Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Sebagai penutup, SHIETRA & PARTNERS hendak kembali menegaskan, tanpa adanya “PHK secara Politis” maka karyawan/buruh tetap perlu menjalankan aktifitas kerjanya seperti sedia kala hingga “PHK secara Yuridis” terbit oleh Pengadilan Hubungan Industrial, agar buruh berhak atas “Upah Proses/Skorsing”.
Kecuali bila tiada “PHK secara Politis”, dimana pengusaha tetap membiarkan karyawan/buruh bekerja seperti biasa sementara permohonan PHK terhadap karyawan didaftarkan kepada PHI, namun karyawan/buruh memilih untuk mangkir kerja, berlakulah asas “no work no paid”.
Sehingga idealnya, tiada lagi “PHK secara Politis” oleh kalangan pengusaha yang dapat menjadi bumerang bagi perusahaan itu sendiri. Biarkan juru sita pengadilan menyampaikan relaas permohonan PHK terhadap karyawan bersangkutan dan PHI yang memutuskan perkara PHK tersebut. Sementara selaku karyawan, tiada alasan mangkir selama tiada “PHK secara Yuridis”.
Dengan demikian, diharapkan seluruh kalangan pengusaha tidak lagi menerapkan kebijakan “PHK secara Politis” baik secara lisan maupun tertulis. Hanya “PHK secara Yuridis” yang diakui sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia.
Tanpa bermaksud menyederhanakan masalah, seyogianya Mahkamah Agung tidak bersifat antipati terhadap putusan MK, mengingat bila tiada “PHK secara Politis” maka karyawan/buruh tetap bekerja seperti biasa hingga putusan PHK telah berkekuatan hukum tetap, maka “Upah Proses” memang menjadi hak karyawan/buruh.
Bila kalangan pengusaha telah memberi “PHK secara Politis” saat perkara hubungan industrial masih menempuh upaya hukum kasasi, maka adalah kesalahan pihak pengusaha itu sendiri karena telah mencegah karyawannya untuk bekerja seperti biasa.
Mahkamah Agung RI semestinya memberi teguran secara keras kepada kalangan pengusaha agar tidak lagi melakukan praktik “PHK secara Politis”, yang mana bila tetap dilakukan maka akan menjadi kesalahan pihak pengusaha itu sendiri. Untuk itu MA RI perlu mengadopsi putusan MK RI secara konsisten sebagai suatu unifikasi praktik peradilan.
Kecuali, bila tanpa adanya “PHK secara Politis”, karyawan/buruh mangkir kerja, barulah perusahaan dapat melakukan kebijakan “no work no paid”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.