Tindak Pidana Jaminan Fidusia, Sanksi Penggelapan dan Penipuan dalam KUHP serta Perbedaannya Ancaman Sanksi dalam Undang-Undang Fidusia

LEGAL OPINION
Question: Jika objek jaminan fidusia dioper-tangankan oleh debitor kepada pihak lain tanpa seizin terlebih tanpa sepengetahuan penerima jaminan fidusia (kreditor pemberi fasilitas kredit), maka terhadap debitor tersebut apakah terancam sanksi pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ataukah ketentuan sanksi pidana dalam UU Fidusia? Dengan lain perkataan, kapankah terhadap debitor dapat dikenakan pasal penggelapan dalam KUHP, dan kapankah debitor dapat dijerat penggelapan berdasarkan UU Fidusia?
Brief Answer: Pada dasarnya delik penipuan maupun penggelapan tersangkut paut dengan objek jaminan fidusia serta kepentingan kreditor pemegang jaminan fidusia, baik tindak pidana penipuan maupun penggelapan hakim secara taat asas wajib merujuk pada ketentuan ancaman sanksi pidana pada UU Fidusia. Namun ketika objek jaminan belum diikat sempurna jaminan kebendaan, maka UU Fidusia tak dapat diberlakukan bilamana saat kejadian tindak pidana terjadi jaminan fidusia belum didaftarkan secara sah. Kemungkinan kedua berlakunya KUHP, ialah pihak selain kreditor pemegang jaminan kebendaan yang menjadi saksi pelapor atas tindak pidana penggelapan maupun penipuan yang dilakukan pelaku yang dimajukan sebagai terdakwa, semisal kendaraan milik seseorang ternyata dipinjam untuk digadaikan sang pelaku.
PEMBAHASAN :
Bila kita bandingkan keempat jenis kemungkinan ancaman sanksi pidana dalam ketentuan berikut:
- Pasal 372 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
- Pasal 378 KUHP: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
- Pasal 35 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia: “Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).”
- Pasal 36 UU Fidusia: “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).”
Berdasarkan asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis—ketentuan yang lebih khusus / spesifik menutup keberlakuan norma hukum yang bersifat umum / general—maka secara teoretis KUHP sudah tidak dapat lagi diberlakukan terhadap perkara jaminan fidusia, mengingat:
- Pasal 378 KUHP tentang penipuan (ancaman pidana penjara 4 tahun) sebenarnya telah diatur secara lebih spesifik oleh Pasal 35 UU Fidusia (dengan ancaman pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun); serta
- Pasal 372 KUHP tentang penggelapan (ancaman pidana 4 tahun) telah diatur secara spesifik dalam Pasal 36 UU Fidusia (dengan ancaman pidana paling lama 2 tahun).
Namun mari kita simak praktik di pengadilan, yang acapkali menyimpang dari kaedah dasar tersebut. Dalam putusan Pengadilan Negeri Purworejo Nomor 15/Pid/Sus/2015/PN.Pwr tanggal 18 Maret 2015 dimana yang menjadi pelapor ialah PT. ADIRA Finance selaku pemegang jaminan fidusia. Jaksa/Penuntut Umum mendakwa dengan dakwaan alternatif, sehingga Majelis Hakim dapat memilih untuk langsung memeriksa dan memutus salah satu dari berbagai pasal yang didakwakan.
Adapun yang menjadi dakwaan pertama ialah Pasal 36 UU Fidusia, sementara yang menjadi dakwaan kedua ialah Pasal 372 KUHP. Majelis Hakim langsung memeriksa dakwaan kedua, dengan melompati dakwaan pertama.
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim memerhatikan fakta hukum bahwa Terdakwa diminta oleh rekannya (yang juga menjadi tersangka) untuk mengajukan kredit atas nama Terdakwa (pinjam nama, modus yang kerap terjadi) dengan dijanjikan imbalan berupa uang. Terdakwa kemudian menandatangani dokumen kredit kendaraan bermotor, yang setelahnya mengalihkan objek kredit yang diikat jaminan fidusia tersebut kepada rekannya tersebut.
Pembayaran angsuran kredit menjadi macet, sehingga Terdakwa didatangi pegawai Kreditor, dimana kemudian Terdakwa menjelaskan jika dirinya hanya dipinjam nama oleh rekannya untuk membeli sepeda motor tersebut melalui kredit. Atas perbuatan Terdakwa tersebut hakim menemukan adanya niat dan sikap batin dalam dirinya dengan maksud agar Terdakwa dapat memperoleh imbalan uang dan menikmati uang tersebut untuk keperluan sehari-hari.
Hakim menyatakan, perbuatan Terdakwa yang mau namanya dipinjam untuk pengajuan kredit kendaraan dengan janji imbalan uang, yang karenanya Terwakwa mau saja menandatangani dokumen-dokumen kredit hingga akhirnya kendaraan dikirim padanya dan oleh Terdakwa kemudian diserahkan kepada rekannya tanpa ijin ataupun sepengetahuan kreditor, jelas hal demikian selain bertentangan dengan undang-undang juga melanggar kaidah hukum yang tidak tertulis seeprti kesusilaan, kepatutan, dsb.
Terhadap unsur ketiga dari pasal penggelapan (“mengaku sebagai milik sendiri barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”), Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum:
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut maka terbukti bahwa terdakwa dengan menandatangani dokumen-dokumen pengajuan kredit sepeda motor ... yang diajukan ... atas namanya hingga Terdakwa menerima sepeda motor itu, Terdakwa tidak menerangkan kepada Adira keadaan atau kondisi yang sebenarnya, sehingga perbuatan Terdakwa termasuk dalam kategori mengaku sebagai pemilik atau pembeli dari sepeda motor ... tersebut;
“Menimbang, bahwa sepeda motor ... dalam kekuasaan Terdakwa bukanlah hasil kejahatan karena Terdakwa menggunakan persyaratan dan telah menandatangani dokumen-dokumen pengajuan kredit ke Adira dan telah disetujui hingga akhirnya sepeda motor diserahkan dari dealer ke Terdakwa. Mengenai janji imbalan uang dari ... juga berdasarkan fakta hukum belum dibayarkan saat diserahkan sepeda motor itu dari Dealer ke Terdakwa dan baru dibayarkan imbalan tersebut setelah Terdakwa menyerahkan sepeda motor itu kepada ... di Pasar Sejiwan;
“Menimbang, bahwa dengan demikian unsur ketiga (dari) pasal (penggelapan dalam KUHP) ini telah terpenuhi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas, maka semua unsur dari unsur dakwaan alternatif kedua tersebut telah terpenuhi, maka perbuatan Terdakwa telah terbukti secara sah dan ditambah keyakinan Majelis Hakim bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana Penggelapan seperti dalam dakwaan alternatif kedua tersebut dan karenanya Terdakwa harus dijatuhi hukuman setimpal dengan perbuatannya dana dakwaan kesatu tidak perlu dipertimbangkan lagi dan oleh karena dakwaan alternatif kedua telah terbukti, maka dakwaan alternatif pertama tidak perlu dibuktikan lagi;"
Jika ditelaah secara yuridis formil, pertimbangan dan putusan hakim yang memilih dakwaan penggelapan pasal KUHP ketimbang UU Fidusia hanya dibenarkan bila niat debitor untuk mengalihkan objek fidusia kepada pihak ketiga setelah akad kredit terjadi, bukan sebelum atau saat ditanda-tanganinya akad kredit. Niat batin (mens rea) menjadi kunci menentukan tempus delicti, sehingga semestinya titik berat pertimbangan bukan diarahkan pada saat kendaraan objek jaminan fidusia dialihkan kepada pihak ketiga (actus reus), namun saat niat jahat itu pertama kali diketahui.
Tiba pada amar putusannya, Majelis Hakim memutuskan:
“Memperhatikan Pasal 372 KUHP, serta ketentuan hukum lain yang berkaitan dengan perkara ini:
MENGADILI
1. menyatakan terdakwa ... telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENGGELAPAN”;
2.  menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjaran selama 10 (sepuluh) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;
Sementara itu dalam perkara tindak pidana atas objek fidusia yang diputus oleh Pengadilan Negeri Sumedang Nomor 130/Pid.B/2013PN.Smd tanggal 10 September 2013, dimana terhadap Terdakwa mendapat dakwaan yang disusun secara alternatif subsidiaritas, yakni:
Kesatu
Primair: Pasal 35 UU Fidusia.
Subsidair: Pasal 36 UU Fidusia.
Atau
Kedua: Pasal 372 KUHP.
Perkara ini menjadi ilustrasi betapa pentingnya jaminan kebendaan diikat secara sempurna. Sebelum mengupas duduk perkara, terdapat dua fakta hukum yang perlu digarisbawahi, yakni:
- Perjanjian Pemberian Pembiayaan dibentuk pada tanggal 23 September 2011;
- Jaminan Fidusia didaftarkan kepada Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia (qq. Kemenkumham) pada tanggal 28 Mei 2012.
Pada tanggal 23 September 2011, terdakwa membeli kendaraan secara kredit dengan pembiayaan dari PT. Artha Asia Finance, lewat Akta Perjanjian Pembiayaan pada hari itu juga sementara Jaminan Fidusia baru didaftarkan pada tanggal 28 Mei 2012.
Setelah terdakwa mencicil angsuran sampai dengan angsuran keempat pada bulan Februari 2012, terdakwa secara sepihak tanpa seizin kreditornya, mengalihkan kendaraan tersebut kepada pihak ketiga, meski terdakwa menyadari kendaraan tersebut belum dilunasi kreditnya.
Setelah terjadinya pengalihan kendaraan, angsuran tidak pernah lagi dibayarkan. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim yang langsung memeriksa dakwaan Pasal 372 KUHP, menyatakan:
“Menimbang, bahwa oleh karena waktu dilakukannya tindak pidana (tempus delicti) dalam perkara ini sesuai dengan dakwaan Penuntut Umum dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan adalah terjadi pada hari Jum’at tanggal 10 Pebruari 2012 sekitar pukul 18.00 WIB, sedangkan pendaftaran dan pencatatan jaminan Fidusia dilakukan 20 Mei 2012 sesuai dengan Sertifikat Jaminan Fidusia No. W8-0031001 AH.05.01.TH.2012/STD yang dikeluarkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia Republik Indonesia, Kantor Wilayah Jawa Barat, maka sesuai Pasal 14 ayat (2) dan (3) jo. Pasal 13 ayat (3) Undang-Rndang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pada intinya menyatakan bahwa Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia yang salinannya termuat dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sehingga dengan demikian Jaminan Fidusia atas obyek 1 (satu) unit mobil roda 4 (empat) merk Mitsubishi Nomor Polisi D 8378 TG dengan Pemberi Fidusia atas nama PT. ARTHA ASIA FINANCE belum lahir/belum berlaku ketika tindak pidana dalam perkara ini dilakukan oleh terdakwa, sehingga hakim akan mempertimbangkan dakwaan alternatif kedua melanggar Pasal 372 KUHP;
“Menimbang, bahwa dalam praktik peradilan dan menurut doktrin, kesengajaan tanpa sifat tertentu diperbedakan beberapa gradasinya menjadi:
1. Kesengajaan sebagai maksud (oorgmerk);
2. Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan (opzetbij zekerheids of noodzakelijkheids bewustzijn);
3. Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus eventualis);
“Sehingga pengertian 'dengan sengaja' diperluas, tidak hanya berarti apa yang benar-benar dikehendaki atau diinsyafi oleh pelaku, tetapi juga hal-hal yang mengarah atau berdekatan dengan kehendak atau keinsyafan itu;
“Menimbang, bahwa “memiliki” menurut arrest Hoge Raad 16 Oktober 1905 dan 26 Maret 1906 ialah pemegang barang yang menguasai atau bertindak sebagai pemilik barang tersebut, dalam hal ini berlawanan dengan hukum yang mengikat padanya sebagai pemegang barang itu;
“Menimbang, bahwa menurut Memorie van Toelichting mengenai pembentukan Pasal 372 KUHPidana “menguasai secara melawan hukum” yang merupakan terjemahan dari perkataan “wederrechtelyk zich teeigent” ditafsirkan sebagai “menguasasi sesuatu benda seolah-olah ia adalah pemilik dari benda tersebut, padahal ia bukanlah pemiliknya”;
"Menimbang, bahwa oleh karena seluruh unsur dakwaan kedua telah terpenuhi maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan” dan harus dipidana;”
Tiba pada amar putusannya, Majelis Hakim menjatuhkan vonis:
“Memperhatikan Pasal 372 KUHP serta peraturan perundang-undangan lain yang berkenaan dalam perkara ini;
MENGADILI :
1. Menyatakan terdakwa ... telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “Penggelapan”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karenanya dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan;”
Terkadang, “sudut pandang” saksi/korban pelapor menjadi penentu utama, apakah terhadap pelaku akan dijerat dengan pasal pidana dalam KUHP ataukah sanksi pidana dalam UU Fidusia. Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 25/Pid.B/2015/PN.KPn tanggal 09 Maret 2015 berikut menjadi ilustrasi yang relevan.
Terdakwa mendatangi kediaman pemilik kendaraan dengan maksud hendak meminjam BPKB kendaraannya selama dua minggu. Akan tetapi tanpa seizin maupun sepengetahuan pemilik kendaraan, BPKB tersebut dijadikan jaminan hutang di PT. Astra Sedaya Finance (ACC) dengan alasan permohonan pembiayaan secara kredit untuk pembelian mobil sehingga seolah-olah terdakwa telah membeli kendaraan dari showroom mobil bekas yang ternyata fiktif.
Bersama dengan seorang oknum marketing ACC, pelaku merekayasa permohonan kredit sehingga seolah-olah terdakwa membeli kendaraan bekas dari sebuah showroom agar ACC dapat menyetujui permohonan pembiayaan kendaraan.
Permohonan pembiayaan pembelian kendaraan yang diajukan oleh terdakwa melalui oknum marketing internal ACC, kemudian disetujui oleh ACC, sehingga terdakwa menerima pencairan kredit dengan kewajiban mengangsur.
Oleh karena terdakwa tidak membayar angsuran, ACC melakukan penagihan ke alamat sesuai BPKB kendaraan, sehingga pemilik kendaaraan merasa terkejut karena tidak pernah menjaminkan kendaraan miliknya.
Dakwaan jaksa berbentuk alternatif Pasal 372 KUHP atau Pasal 378 KUHP. Dalam kasus ini, saksi pelapor ialah korban pemilik kendaraan, bukan pihak kreditor pemegang jaminan kebendaan, sehingga UU Fidusia tidak tampil—meski terhadap objek tindak pidana telah diikat sempurna sebagai jaminan fidusia.
Majelis Hakim memeriksa dakwaan Pasal 372 KUHP, dengan pertimbangan hukum berikut:
“Menimbang, bahwa menurut yurisprudensi yang dimaksud dengan memiliki berarti menguasasi suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang dimiliki atas benda itu (Putusan MA No. 69 K/Kr/1959 tgl 11-8-1959), atau juga menguasai sesuatu barang bertentangan dengan sifat dari hak dijalankan seseorang atas barang-barang tersebut (Putusan MA No. 83 K/Kr/1956 tgl 8-5-1957);
“Menimbang, bahwa terdakwa telah menguasai selanjutnya memasukkan BPKB milik saksi ... tersebut ke PT. ACC bertentangan dengan sifat dari hak yang dimiliki atas benda tersebut yaitu terdakwa tidak memiliki hak untuk menjadikan BPKB milik saksi ... tersebut sebagai jaminan kepada PT. ACC sehingga dengan menjaminkan BPKB milik saksi ... tersebut, terdakwa mendapatkan uang yang digunakan untuk kepentingan pribadinya;
“Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Kesatu yaitu melanggar Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
MENGADILI:
1. Menyatakan terdakwa ... , bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan”;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan;”
Begitupula perkara pidana dalam putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Nomor 110/PID/B/2016/PN.Bdg tanggal 17 Maret 2016, dimana terhadap terdakwa yang justru menggadaikan kendaraan pinjaman, diajukan dakwaan alternatif Pasal 372 KUHP atau Pasal 378 KUHP, dimana Majelis Hakim menjatuhkan vonis berdasarkan Pasal 372 KUHP.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Slawi Nomor 48/Pid.Sus/2014.PN.Slw tanggal 07 Mei 2014, pihak Jaksa hanya membuat satu dakwaan (dakwaan tunggal), yakni “pemberi fidusia mengalihkan barang yang menjadi objek fidusia tanpa persetujuan tertulis telebih dahulu dari penerima fidusia” sebagaimana diancam pidana Pasal 36 UU Fidusia.
Terdakwa membeli kendaraan melalui fasilitas kredit dari PT. Arjuna Finance, yang kemudian diikat jaminan fidusia. Setelah dua kali angsuran, terdakwa gagal bayar yang lalu menjual objek jaminan tersebut kepada pihak ketiga tanpa izin tertulis dari penerima jaminan fidusia.
Terhadap unsur kedua Pasal 36 UU Fidusia “yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia”, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa unsur kedua dalam dakwaan ini menurut Majelis Hakim adalah unsur alternatif sehingga jika salah satunya terpenuhi dengan satu perbuatan, maka dianggap unsur tersebut telah terpenuhi.
“Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tunggal tersebut.”
Sementara itu dalam putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 119/Pid.Sus/2013/PN.Kdr tanggal 18 November 2013, terdakwa mendalilkan bahwa dirinya selaku debitor yang mengalihkan objek jaminan fidusia tanpa izin kreditor sebagai masalah perdata semata, namun Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan:
“Menimbang, ... perbuatan Terdakwa adalah merupakan perbuatan pidana dan bukan keperdataan meskipun perbuatan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa tersebut terjadi pada saat adanya hubungan perjanjian pembiayaan yang diikat dengan jaminan fidusia antara Terdakwa dengan pihak finance, dengan demikian pembelaan tersebut haruslah ditolak;”
Bagaimana dengan status kendaraan yang menjadi objek jaminan fidusia? Perhatikan pertimbangan hukum Majelis Hakim berikut:
“Menimbang, bahwa khusus berkaitan dengan barang bukti berupa 1 (satu) unit mobil Mitsubishi Kuda tahun 2002 warna biru nomor polisi ... dan 1 (satu) uni mobil Toyota Avanza tahun 2006 warna silver nomor polisi ... , Majelis Hakim telah menetapkan agar dikembalikan kepada pihak finance dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa mobil tersebut statusnya dalam perjanjian pembiayaan konsumen yang diikuti dengan perjanjian fidusia antara Terdakwa dengan pihak finance adalah merupakan benda jaminan fidusia;
- Bahwa kegunaan mobil tersebut sebagai jaminan fidusia adalah untuk menjamin pelunasan hutang/pinjaman terdakwa kepada pihak finance apabila terdakwa tidak sanggup membayar lagi hutangnya kepada finance atau apabila terjadi wanprestasi;
- Bahwa mobil tersebut sebagai benda jaminan fidusia seharusnya berada dalam penguasaan terdakwa sebagai pihak pemberi fidusia sampai dengan hutangnya kepada finance lunas, dan terdakwa dilarang untuk mengalihkan benda jaminan tersebut kepada pihak lain tanpa persetujuan pihak finance selaku penerima fidusia;
- Bahwa karena Terdakwa telah terbukti mengalihkan mobil yang menjadi benda jaminan fidusia tersebut kepada orang lain dan telah terbukti di persidangan Terdakwa juga tidak lagi membayar/mengansur ke pihak finance sehingga menurut Majelis Hakim adalah sangat tepat dan adil apabila mobil tersebut dikembalikan kepada pihak finance untuk memenuhi pelunasan hutang Terdakwa agar pihak finance tidak mengalami kerugian yang lebih besar lagi.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.