Tiada Upah dan Tiada Lagi Penugasan oleh Perusahaan terhadap Pekerja Tetap, diartikan sebagai Pemutusan Hubungan Kerja

ARTIKEL HUKUM
Hingga kini masih kerap dijumpai pekerja / buruh yang merupakan karyawan tetap (PKWTT) di-upah berdasarkan sistem hasil produksi alias borongan—dimana sistem pengupahan bukan berdasarkan upah bulanan, namun upah hasil produksi. Pekerja/buruh dengan skema pengupahan demikian berpotensi tinggi untuk dikenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara terselubung oleh perusahaan, salah satunya ialah memutus atau mengalihkan pasokan order sehingga tiada produksi yang dapat dilakukan oleh buruh.
Salah satu skenario yang juga kerap dijumpai dalam praktik, dapat diilustrasikan secara tepat pada kasus dibawah ini yang akan sangat mengharukan para pembaca karena kedalaman rasa keadilan hakim yang mengadili dan memutus.
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas I A Bengkulu dalam putusannya Register Nomor 5/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bgl tanggal 24 Maret 2016 telah menjatuhkan putusan sengketa Perselisihan Hubungan Industrial antara:
- EDI SURYANTO, selaku Penggugat I;
- RIZAL ERLANGGA, sebagai Penggugat II; melawan
- PT. FERTO REJANG, selaku Tergugat.
Para Penggugat merupakan karyawan Tergugat yang bekerja sebagai sopir truk yang bertugas mengangkut batu bara, dimana Penggugat I maupun Penggugat II telah bekerja selama 5 tahun 8 bulan dengan upah dibayar sesuai dengan ritase yang diangkut setiap bulannya Rp. 5.000;- / rit untuk Colt Diesel, Rp. 50.000;- / rit untuk Fuso, Rp. 75.000;- / rit untuk Tronton.
Para Penggugat dan Tergugat membuat Kontrak Perjanjian Kerja jenis PKWT selama 6 bulan. Meski telah melampaui 6 bulan perjanjian kerja tersebut, pihak Tergugat tidak pernah memperpanjang perjanjian pekerjaan tersebut namun tetap mempekerjakan Para Penggugat dengan upah berdasarkan Ritase meski tidak memenuhi standar UMP (Upah Minimum Propinsi).
Selama masa kerja berlangsung, pihak Tergugat selaku pemilik perusahaan tidak pernah mendaftarkan karyawannya pada dinas instansi terkait, yang mana bertentangan dengan kaidah Pasal 13 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004.
Pada mulanya hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat berjalan lancar tanpa persoalan. Namun permasalahan timbul ketika pada bulan Maret 2015 Penggugat I jatuh sakit dan tidak dapat bekerja sehingga meminta izin untuk istirahat. Setelah sembuh, Penggugat I datang ke Pontianak untuk kembali bekerja, namun didapati mobil Truk yang biasa digunakan Penggugat I untuk bekerja tidak dapat digunakan karena ban Truk tersebut tidak ada, dimana dikatakan oleh Tergugat bahwa mobil Truk akan diperbaiki dulu sehingga Penggugat I diminta untuk menunggu hingga mobil Truk sudah siap dipakai kembali dan Tergugat akan memanggil kembali apabila mobil Truk sudah diperbaiki.
Setelah beberapa bulan Penggugat I tidak ada pekerjaan dan juga tidak ada panggilan ataupun pemberitahuan dari Tergugat, maka Penggugat I datang ke Pool dengan maksud untuk bekerja, dimana saat itulah Penggugat I mendapati mobil yang sering digunakan olehnya untuk bekerja sudah diperbaiki, namun mobil Truk tersebut kini digunakan oleh pekerja lain tanpa ada pemberitahuan sebelumnya dari pihak manajemen (Tergugat).
Sementara itu terhadap Penggugat II pada bulan Oktober 2015 secara tiba-tiba tidak dapat bekerja karena mobil Truk yang sering digunakan olehnya mengangkut batu bara, kini telah dijual oleh Tergugat tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, sehingga yang menjadi kewajiban Penggugat II untuk bekerja tidak dapat dilaksanakan.
Para Penggugat kemudian berulang kali menghubungi pihak manajemen pada Tergugat guna meminta klarifikasi status pekerjaannya, agar supaya dipekerjakan kembali, akan tetapi Tergugat tidak memperdulikan permintaan Para Penggugat.
Melihat bahwa Para Penggugat telah di-“PHK secara politis”, mereka mendatangi pihak manajemen pada Tergugat untuk meminta hak-hak normatif mereka sebagai buruh, termasuk pesangon, namun sia-sia.
Dikarenakan Para Penggugat sudah tidak dipekerjakan oleh Tergugat dan tidak jelas status kedudukannya, maka Para Penggugat meminta pada Tergugat untuk dibuatkan Surat Pengalaman Kerja yang akan digunakan untuk persyaratan bekerja di perusahaan lain—yang mana atas permintaan tersebut pada Oktober 2015 Tergugat menerbitkan Surat Pengalaman Kerja bagi Para Penggugat.
Sementara itu bila merujuk pada Surat Perjanjian Kerja, diatur bahwa pekerja akan menerima bonus setelah 3 (tiga) tahun bekerja dan tidak ada membuat kesalahan ataupun pelanggaran-pelanggaran yang diatur perusahaan, dimana besar bonus adalah sebesar Rp. 15.000.000;- setelah 3 (tiga) tahun bila ritase mencapai 35 Rit keatas atau minimal 35 Rit di bulan penerimaan bonus.
Setelah 3 tahun Para Penggugat bekerja dengan baik dengan harapan mendapat bonus, namun Tergugat tidak kunjung memberikan bonus sesuai Surat Perjanjian Kerja yang dibuat oleh pihak Tergugat itu sendiri, sehingga dikategorikan sebagai ingkar janji.
Atas tindakan Tergugat yang menggantungkan posisi Para Penggugat tanpa ada kejelasan serta hak, kewajiban, maupun perintah bekerja untuk Para Penggugat tidak diberikan, selain itu juga adanya Surat Pengalaman Kerja yang dikeluarkan oleh Tergugat, maka dapatlah dikatakan bahwa Tergugat telah mengeluarkan (alias mem-PHK) Para Penggugat dari perusahaan (Tergugat).
Para Penggugat yang telah bekerja selama 5 tahun 8 bulan oleh Tergugat, tidak pernah didaftarkan sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan. Selama itu pula Para Penggugat hanya pernah menerima Tunjangan Hari Raya (THR) setiap tahunnya sebesar Rp. 300.000;-.
Berdasarkan Pasal 10 Ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004, diatur bahwa: “Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Ttidak Tertentu (PKWTT).”—Dengan demikian status Para Penggugat telah beralih demi hukum menjadi Pekerja Tetap.
Secara tegas Para Penggugat menyatakan, hingga kini mereka tidak diberikan hak-hak normatif buruh, sehingga dapat dikatakan iktikad Tergugat untuk memberikan pesangon maupun iktikad untuk mempekerjakan kembali Para Penggugat sudah tidak ada lagi.
Penggugat melayangkan somasi, namun tidak ditindaklanjuti oleh Tergugat, sehingga Para Penggugat kemudian mencatatkan perselisihan hubungan industrial tersebut ke Dinas Tenaga Kerja Propinsi Bengkulu pada 8 Desember 2015. Selanjutnya Disnaker Provinsi Bengkulu melakukan klarifikasi dengan memanggil Para Penggugat dan Tergugat ke kantor Disnaker sehingga terjadi beberapa kali mediasi.
Atas mediasi tersebut, Disnaker pada tanggal 29 Januari 2016 telah menerbitkan anjuran tertulis atas nama Edi Suryanto maupun Rizal Erlangga, yang mana atas perselisihan hubungan industrial tersebut dianjurkan Disnaker agar Tergugat mempekerjakan Penggugat kembali.
Namun Para Penggugat menolak anjuran tersebut, oleh sebab dirasakan tidak sesuai dengan fakta hukum dimana tidak dipertimbangkannya nasib pekerja sehingga Para Penggugat tetap pada pendiriannya sgar hak-hak normatif mereka ditunaikan Tergugat.
Atas sengketa tersebut, Majelis Hakim PHI dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan:
“Menimbang, bahwa dikarenakan sudah tidak adanya lagi kepastian hukum tentang apakah Penggugat I masih dipekerjakan lagi oleh Tergugat atau sudah di PHK oleh Tergugat, maka Penggugat I mengajukan Perselisihan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kelas 1 A Bengkulu;
“Menimbang, bahwa sejak dijualnya truk yang biasa dipakai oleh Penggugat II dalam bekerja di perusahaannya Tergugat, maka terhadap Penggugat II tidak ada diberikan pekerjaan lagi oleh Tergugat walaupun Penggugat II sudah menanyakannya kepada pihak management di perusahaan Tergugat tentang pekerjaan Penggugat II apakah masih dipekerjakan lagi atau sudah diputus hubungan kerjanya (di PHK) oleh Tergugat. Dikarenakan tidak adanya kepastian hukum tentang pekerjaan Penggugat II tersebut di perusahaan Tergugat, maka Penggugat II menafsirkan telah terjadi Pemutusan Hubungan Kerja terhadap diri Penggugat II dan oleh sebab Penggugat II mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial;
“Menimbang, bahwa dikarenakan sudah tidak diberikan lagi pekerjaan oleh Tergugat kepada Penggugat, maka terjadilah Perselisihan PHK antara Tergugat dengan Para Penggugat;
“Menimbang, bahwa Tergugat ternyata memberikan Surat Pengalaman Kerja No. 71/SPK/FR/X/2015 kepada Penggugat II dengan masa kerja terhitung dari tanggal 03 Maret 2010 sampai dengan tanggal 06 Oktober 2015;
“Menimbang, bahwa ternyata pada bulan Maret 2015 sampai dengan bulan Oktober 2015 Tergugat tidak membayarkan hak atas upah Penggugat I, maka telah terjadi Perselisihan Hak antara Tergugat dengan Penggugat I;
“Menimbang, bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan;
“Menimbang, bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun (Pasal 59 Ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003);
“Menimbang, bahwa ternyata pekerjaan yang diberikan oleh Tergugat kepada para Penggugat adalah bukan pekerjaan yang bersifat sementara sebagaimana yang diamanatkan Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa jenis ataupun sifat pekerjaan yang diberikan oleh Tergugat kepada para Penggugat adalah sudah bukan lagi masuk di dalam kategori pekerjaan yang bersifat sementara, maka terhadap para Penggugat berubah status hukumnya dari PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) berubah menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, sesuai dengan amanat Pasal 59 ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak;
“Menimbang, para Penggugat menafsirkan bahwa perbuatan yang membiarkan tidak adanya kepastian hukum tentang pekerjaan para Penggugat di perusahaan Tergugat tersebut adalah merupakan Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja antara para Penggugat dengan Tergugat;
“Menimbang, bahwa dengan tidak diberikannya lagi pekerjaan kepada Penggugat II oleh pihak Tergugat, maka telah terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) antara Tergugat dengan Penggugat II yang dilakukan secara sepihak oleh Tergugat tanpa surat resmi atau tanpa tertulis;
“Menimbang, bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah;
“Menimbang, bahwa perjanjian kerja yang dibuat terhadap Penggugat I dilakukan oleh Tergugat setelah Penggugat I bekerja selama 7 (tujuh) bulan di perusahaan Tergugat;
“Menimbang, bahwa perjanjian kerja yang dibuat terhadap Penggugat II dilakukan oleh Tergugat setelah Penggugat II bekerja selama 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan di perusahaan Tergugat;
“Menimbang, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat terhadap para Penggugat di dalam hal pembuatan perjanjian kerja adalah melakukan perbuatan yang melawan hukum, yang mana para Penggugat sudah melaksanakan pekerjaannya terlebih dahulu baru dibuatkan perjanjian kerja, maka perbuatan Tergugat tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan RI yang berlaku;
“Menimbang, bahwa ternyata pada kenyataannya para Penggugat tetap dipekerjakan terus oleh Tergugat tanpa ada kejelasan tentang perpanjangan perjanjian kerja antara Tergugat dengan para Penggugat, sehingga ketentuan Pasal (3) ayat (1) di dalam perjanjian kerja antara Tergugat dengan para Penggugat menjadi cacat hukum dan ingkar janji;
“Menimbang, bahwa ternyata Tergugat mengeluarkan Surat Pengalaman Kerja untuk para Penggugat terhitung sejak tanggal 03 Maret 2010 sampai dengan tanggal 06 Oktober 2015, yang artinya para Penggugat sudah bekerja selama 5 (lima) tahun 8 (delapan) bulan di perusahaan Tergugat;
“Menimbang, bahwa pada kenyataannya para Penggugat dipekerjakan bukan sebagai Harian Lepas yang masa kerjanya adalah 21 (dua puluh satu) hari kerja dalam 1 (satu) bulan, akan tetapi kenyataannya para Penggugat dipekerjakan dengan sistem bulanan dan penggajiannya juga menggunakan sistem gaji bulanan walaupun realisasi pembayaran gaji dilakukan melewati waktu 1 (satu) bulan baru dibayarkan oleh Tergugat kepada para Penggugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang terjadi di lapangan para Penggugat dipekerjakan dengan sistem kerja bulanan dan sistem penggajian bulanan, maka status hukum dari para Penggugat seharusnya adalah sebagai Karyawan Tetap atau PKWTT di perusahaan Tergugat;
“Menimbang, bahwa Surat Pengalaman Kerja yang dikeluarkan oleh Tergugat dan diberikan kepada para Penggugat adalah merupakan bukti pengakuan dari Tergugat bahwa benar para Penggugat sudah bekerja di perusahaan Tergugat sejak tanggal 03 Maret 2010 sampai dengan tanggal 06 Oktober 2015;
“Menimbang, bahwa pengakuan merupakan salah satu alat bukti yang sah sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 284 R.Bg, maka secara hukum status hukum dari para Penggugat adalah sebagai Karyawan Tetap di perusahaan Tergugat dan harus mendapatkan Surat Pengangkatan sebagai Karyawan Tetap dari pihak Tergugat;
“Menimbang, bahwa ternyata status hukum PKWTT juga tidak dibuatkan secara tertulis oleh Tergugat kepada para Penggugat, maka terhadap para Penggugat berhak untuk mendapatkan Surat Pengangkatan Kerja oleh Tergugat yang wajib hukumnya bagi Tergugat untuk membuatkannya sesuai dengan amanat Pasal 63 UU No. 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa dikarenakan Tergugat tidak membuat Surat Pengangkatan terhadap para Penggugat sebagaimana diamanatkan pada Pasal 63 UU No. 13 Tahun 2003, maka terhadap Tergugat dapat dikenakan Sanksi Pelanggaran terhadap Pasal 188 UU No. 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa perjanjian kerja yang mensyaratkan masa percobaan adalah berlaku untuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), maka seharusnya para Penggugat sudah mendapatkan Surat Keputusan Pengangkatan para Penggugat menjadi Karyawan Tetap di perusahaan Tergugat;
“Menimbang, bahwa Tergugat tidak membayarkan hak atas gaji Penggugat I terhitung dari Bulan Maret 2015 sampai dengan Bulan Oktober 2015, maka Tergugat berkewajiban untuk membayar hak atas gaji Penggugat I tersebut sesuai dengan hak yang biasa diterima oleh Penggugat I pada bulan-bulan terakhir atau pada gaji yang diterima para Penggugat untuk 3 (tiga) bulan terakhir;
“Menimbang, bahwa setelah membaca secara cermat isi gugatan para Penggugat dan kemudian mendengar kesaksian dari Saksi Penggugat dan saksi dari Tergugat, maka nilai upah para Penggugat kurang dari Upah Minimum Propinsi (UMP) atau di bawah UMP, oleh karenanya menjadi bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim;
“Menimbang, bahwa untuk memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, maka pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh;
“Menimbang, bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan RI melarang Penguaha membayar Upah lebih rendah dari Upah Minimum sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003 (Pasal 90 UU No. 13 thn 2003);
“Menimbang, bahwa pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 dapat dikenakan sanksi sesuai dengan amanat Pasal 185 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa Pasal 91 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 menegaskan bahwa pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
“Menimbang, bahwa Pasal 91 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 menegaskan bahwa dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan;
“Menimbang, bahwa ternyata upah atau gaji para Penggugat yang dibayarkan oleh Tergugat tersebut adalah di bawah Upah Minimum Propinsi, maka Majelis Hakim menggunakan barometer UMP sebagai dasar hukum untuk pembayaran uang pesangon bagi para penggugat;
“Menimbang, bahwa ternyata setelah mendengar keterangan dari para saksi yang dihadirkan di dalam persidangan menyatakan bahwa para Penggugat tidak dimasukkan ke dalam Program BPJS oleh Tergugat;
“Menimbang, bahwa ternyata dari bukti surat yang dihadirkan oleh Kuasa Hukum Penggugat pada hari Selasa tanggal 08 Maret 2016 terbukti tidak adanya kepesertaan para Penggugat sebagai peserta BPJS Kesehatan, sehingga secara hukum para Penggugat berhak untuk mendapatkan ganti kerugian akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat;
“Menimbang, bahwa Uang Kompensasi yang diajukan oleh Kuasa Hukum para Penggugat dikarenakan tidak mengikutsertakan para Penggugat sebagai peserta BPJS Kesehatan dengan perhitungan Rp. 1.500.000;- X 5 % X 68 bulan masa kerja = Rp. 5.100.000;-, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkannya;
“Menimbang, bahwa permintaan Uang Kompensasi yang diajukan oleh Kuasa Hukum Para Penggugat sebagai uang konpensasi BPJS Kesehatan tersebut adalah masih sangat wajar untuk dipertimbangkan secara hukum, maka Majelis Hakim mengabulkan permintaan Uang Kompensasi tersebut;
“Menimbang, bahwa Kuasa Hukum para Penggugat juga mengajukan Uang Kompensasi untuk BPJS Ketenagakerjaan (JHT, JKK, JK, JP) yang tidak didaftarkan oleh Tergugat, yaitu dengan perhitungan Rp. 1.500.000;- X 10,47 % X 68 bulan masa kerja = Rp. 10.954.000;- adalah masih sebatas kewajaran, maka para Penggugat berhak untuk mendapatkannya, dan oleh karenanya akan menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim;
“Menimbang, bahwa Uang Kompensasi kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang diajukan oleh para Penggugat melalui Kuasa Hukum para Penggugat masih sangat wajar, maka Majelis Hakim mengabulkannya;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan perjanjian kerja pada Pasal 5 angka (4) tentang Hak dan Kewajiban Pihak Kedua disebutkan bahwa Pihak Kedua berhak menerima Bonus setelah 3 (tiga) tahun bekerja dengan catatan tidak ada kesalahan maupun pelanggaran-pelanggaran;
“Menimbang, bahwa ternyata Penggugat I sudah melewati batas ketentuan bekerja diatas 3 (tiga) tahun, maka terhadap Penggugat I berhak untuk mendapatkan bonus sebesar Rp. 13.000.000;- sesuai bonus yang diberikan (oleh Tergugat) kepada supir lainnya yang menggunakan mobil kecil;
“Menimbang, bahwa untuk Penggugat II menggunakan mobil besar dan baru, akan tetapi belum sempat menjalani kerja 3 (tiga) tahun dan belum lunas ternyata dengan sengaja mobil truk tersebut dijual oleh Tergugat sehingga faktor kesalahan ada pada Tergugat;
“Menimbang, bahwa faktor kesalahan yang mengakibatkan kesempatan Penggugat II untuk mendapatkan bonus hilang adalah akibat dari kesalahan Tergugat, maka terhadap Penggugat II berhak untuk mendapatkan bonus sesuai dengan perjanjian yang ditanda-tangani antara Tergugat dengan Penggugat II;
“Menimbang, bahwa ternyata masa kerja Penggugat II sudah melewati batas waktu lebih dari 3 (tiga) tahun, maka terhadap penggugat II berhak untuk mendapatkan bonus sesuai dengan kelasnya mobilnya truk yang besar yaitu berhak mendapatkan bonus sebesar Rp. 15.000.000;-
“Menimbang, bahwa peruntukan uang dwangsom biasanya dilakukan terhadap pekerja yang meminta untuk dipekerjakan kembali, sementara para Penggugat meminta untuk dibayarkannya uang pesangon. Oleh karenanya Majelis tidak mengabulkannya;
“Menimbang, bahwa ternyata para Penggugat juga mengajukan tuntutan untuk dijatuhkannya putusan serta merta, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkannya;
“Menimbang, bahwa Putusan Serta Merta (Uit Voerbar bij Vooraad) tidaklah sama dengan Putusan Sela;
“Menimbang, bahwa Putusan Serta Merta tidak diatur pada Hukum Acara Perselisihan Hubungan Industrial; (Note SHIETRA & PARTNERS: hakim PHI kerap merujuk pada HIR/R.Bg sebagaimana hakim PHI Bengkulu ini, dimana HIR/R.Bg sejatinya mengatur perihal “Uit Voerbar bij Vooraad”.)
“Menimbang, bahwa ternyata dalam waktu yang cukup lama tidak ada kabar berita tentang apakah para Penggugat masih dipekerjakan atau sudah di PHK oleh Tergugat dan kemudian management Tergugat sudah pula mengeluarkan Surat Pengalaman Kerja terhadap para Penggugat, sehingga berdasarkan fakta yang ada Majelis hakim berpendapat telah terjadi Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak dari Tergugat;
“Menimbang, bahwa T-4 adalah Surat Perjanjian Kerja antara Tergugat dengan Edy Suryanto (Penggugat I) yang digunakan oleh Tergugat melalui Kuasa Hukum Tergugat sebagai bantahan atas bonus yang tertuang pada Pasal 5 ayat (4) di dalam perjanjian kerja sesuai dengan T-4 dimaksud;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat bunyi dari klausul Pasal 5 ayat (4) tersebut menggantung tidak ada penjelasan berapa besarnya nilai bonus yang akan diberikan oleh Tergugat kepada para Penggugat setelah para Penggugat menjalani masa kerja 3 (tiga) tahun dan tanpa melakukan kesalahan maupun pelanggaran-pelanggaran;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat klausul Pasal 5 ayat (4) tersebut hanya dibuat sebagai janji-janji belaka sama halnya dengan klausul Pasal 3 ayat (4) tentang masa percobaan yang ditetapkan oleh perusahaan;
“Menimbang, bahwa seharusnya perjanjian kerja tersebut dibuat secara jelas dan lugas tentang besaran bonus yang akan diberikan bila sudah melewati waktu 3 (tiga) tahun yang ditentukan tanpa kesalahan tersebut
“Menimbang, bahwa ternyata uang bonus pernah diberikan oleh Tergugat kepada supir lainnya seperti pemberian uang bonus terhadap saksi Ismerdi pada tahun 2012 sebesar Rp. 13.000.000;- setelah mobil yang dipakainya lunas pembayaran selama 3 (tiga) tahun;”
Tiba pada penghujung, Majelis Hakim PHI telah menjatuhkan amar putusan:
“MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebahagiannya;
2. Menyatakan Putus Hubungan Kerja antara Tergugat dengan para Penggugat terhitung sejak putusan ini dibacakan;
3. Membayar hak-hak terhadap Penggugat I berupa:
1. Hak atas upah yang belum dibayarkan dari bulan Maret 2015 sampai dengan bulan Oktober 2015 selama 8 (delapan) bulan upah dengan perhitungan 8 x Rp. 1.350.000;- = Rp. 10.800.000;-
2. Uang Pesangon sesuai dengan Pasal 156 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 sebesar 6 X Rp. 1.350.000;- = Rp. 8.100.000;-
3. Uang Penghargaan sesuai dengan Pasal 156 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 sebesar 2 X Rp. 1.350.000;- = Rp. 2.700.000;-
4. Uang Penggantian Hak perumahan serta pengobatan sebesar 15 % (lima belas persen) dari Uang Pesangon = Rp. 15 % X Rp. 21.600.000;- = Rp. 3.240.000;-
5. Membayar Kekurangan Tunjangan Hari Raya (THR) sesuai dengan UMP pada tahun berjalan yaitu:
1. THR tahun 2010 = Rp. 750.000;- dikurangi Rp. 300.000; = Rp. 450.000;-
2. THR tahun 2011 = Rp. 815.000;- dikurangi Rp. 300.000;- = Rp. 515.000;-
3. THR tahun 2012 = Rp. 920.000;- dikurangi Rp. 300.000;- = Rp 630.000;-
4. THR tahun 2013 = Rp. 1.200.000;- dikurangi Rp. 300.000;- = Rp. 900.000;-
5. THR tahun 2014 = Rp. 1.350.000;- dikurangi Rp. 300.000;- = Rp. 1.050.000;-
6. THR tahun 2015 = Rp. 1.500.000;- dikurangi Rp. 300.000;- = Rp. 1.200.000;-
6. Uang Bonus sebesar Rp. 13.000.000;-
7. Penggantian uang BPJS Kesehatan Rp. 5.100.000;-
8. Penggantian Uang BPJS Ketenagakerjaan Rp. 10.954.000;-
Total hak yang harus dibayarkan oleh Tergugat kepada Penggugat I adalah sebesar Rp. 58.639.000;-
4. Membayar hak-hak terhadap Penggugat II berupa:
1. Uang Pesangon sesuai dengan Pasal 156 Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 sebesar 6 X Rp. 1.350.000;- = Rp. 8.100.000;-
2. Uang Penghargaan sesuai dengan Pasal 156 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 sebesar 2 X Rp. 1.350.000;- = Rp. 2.700.000;-
3. Uang Penggantian Hak perumahan serta pengobatan sebesar 15 % dari Uang Pesangon = 15 % X Rp. 9.800.000;- = Rp. 1.470.000;-
4. Membayar Kekurangan Tunjangan Hari Raya (THR) sesuai dengan tahun berjalan yaitu:
1. THR tahun 2010 = Rp. 750.000;- dikurangi Rp. 300.000;- = Rp. 450.000;-
2. THR tahun 2011 = Rp. 815.000;- dikurangi Rp. 300.000;- = Rp. 515.000;
3. THR tahun 2012 = Rp. 930.000;- dikurangi Rp. 300.000;- = Rp. 630.000;-
4. THR tahun 2013 = Rp. 1.200.000;- dikurangi Rp. 300.000;- = Rp. 900.000;-
5. THR tahun 2014 = Rp. 1.350.000;- dikurangi Rp. 300.000;- = Rp. 1.050.000;-
6. THR tahun 2015 = Rp. 1.500.000;- dikurangi Rp. 300.000;- = Rp. 1.200.000;-
5. Uang Bonus sebesar Rp. 15.000.000;-
6. Penggantian Uang BPJS Kesehatan sebesar Rp. 5.100.000;-
7. Penggantian uang BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp. 10.954.000;-
Total hak yang harus dibayarkan oleh Tergugat kepada Penggugat II adalah sebesar Rp. 48.069.000;-
5. Memerintahkan Tergugat untuk patuh pada putusan ini;
6. Dikarenakan perkara di bawah Rp. 150.000.000;- maka beban biaya ditanggung oleh Negara.”
Sudah saatnya kalangan pelaku usaha tidak lagi berpikir dapat bersikap curang terhadap hak-hak normatif karyawan. Tanpa karyawan yang berkarya, maka tiada akan pernah terbangun “dinasti” kekayaan kalangan pengusaha—“dinasti” mana dibangun selama ini melalui cucuran keringat para buruh.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.