Cara Pembuatan serta Aspek Hukum Somasi (Surat Teguran / Peringatan), Panduan Praktis bagi Orang Awam

LEGAL OPINION
Question: Apakah somasi hanya dapat diajukan oleh kalangan sarjana hukum dalam arti kami selaku pengusaha harus menyewa jasa sarjana hukum setiap kali kami hendak mensomasi pihak yang telah melanggar janji dalam kontrak dengan kami? Seperti apa bentuk dan cara pembuatan somasi?
Brief Answer: Somasi dapat diajukan oleh siapa saja, setiap warga negara. Bahkan somasi dapat juga diajukan terhadap instansi pemerintahan yang tidak bekerja secara semestinya. Somasi adalah surat korespondensi biasa yang menguraikan maksud teguran secara tertulis. Tidak terdapat ketentuan hukum yang mengatur mengenai format baku somasi. Pada hakekatnya, bahasa somasi ialah bahasa yang hendak menegur atau mengingatkan pihak lawan agar tidak lagi melalaikan tanggung jawabnya serta menghormati dan patuh pada perikatan, dengan harapan perikatan dapat dijalankan dengan harmonis dan secara semestinya.
PEMBAHASAN :
Somasi dapat diajukan kepada pihak yang telah melanggar kontrak/perjanjian, melalaikan kontrak, ataupun terhadap pihak yang telah melanggar hukum maupun pihak yang menimbulkan kerugian pada pihak lain, baik karena lalai maupun disengaja yang mana tidak memulihkan hak korban atas ganti-rugi dan/atau pemulihan harkat serta martabatnya.
Tak semua somasi diajukan untuk meminta ganti-rugi. Somasi juga dapat dilayangkan agar suatu pihak yang mencemarkan nama baik korban, meminta maaf secara terbuka dengan menerbitkan permohonan maaf dalam sebuah harian surat kabar. Atau teguran agar perikatan dilaksanakan.
Bilamana somasi didasari oleh suatu perbuatan melawan hukum suatu pihak, sehingga korban memiliki hak menerbitkan somasi dalam hal pelaku tidak memulihkan hak dan kerugian yang diderita korban, sebagai contoh A tertabrak oleh B sehingga mengalami cidera, namun B kemudian lalai/abai membayar biaya pengobatan A sesuai kesepakatan saat B meminta maaf ketika A tertabrak olehnya, maka dasar hukum bagi A mengajukan somasi, ialah:
- Pasal 1365 KUHPerdata: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
- Pasal 1366 KUHPerdata: “Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Dalam konteks Perbuatan Melawan Hukum (PMH), somasi bukanlah prasyarat sebelum mengajukan gugatan PMH ke hadapan pengadilan terhadap pihak pelaku. Jikalaupun Tergugat kemudian mendalilkan bahwa Penggugat belum memberi somasi, maka Penggugat dapat mendalilkan, bahwa saat diadakan mediasi di pengadilan, Penggugat telah memitna Tergugat untuk membayar ganti-rugi, namun tidak juga diindahkan sehingga terjadi dead-lock, dan dead-lock tersebut sudah merupakan bukti yang cukup bahwa Tergugat beritikad tidak baik terhadap apa yang menjadi kewajibannya.
Bila somasi didasari atas cidera janji (wanprestasinya) pihak debitor ataupun pihak lain dalam kontrak perdata, maka yang menjadi dasar teguran yang diajukan oleh penerbit somasi ialah adanya hak penerbit yang belum/tidak dilaksanakan oleh pelaku cidera janji, antara lain:
- Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata): “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
- Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
- Hukum pun telah memberikan suatu perluasan makna sebuah perjanjian, lewat pengaturan Pasal 1339 KUHPerdata: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”
- Pasal 1449 KUHPerdata: “Perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.”
- Pasal 1464 KUHPerdata: “Jika pembelian dibuat dengan memberi uang panjar tak dapatlah salah satu pihak meniadakan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya.”
- Pasal 1233 KUHPerdata: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.”
- Pasal 1234 KUHPerdata: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
- Pasal 1241 KUHPerdata: “Apabila perikatan tidak dilaksanakannya, maka si berpiutang boleh juga diakasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanannya atas biaya si berutang.”
- Pasal 1242 KUHPerdata: “Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran itu dan karena itu pun saja, wajiblah ia akan penggantian biaya, rugi, dan bunga.”
- Pasal 1254 KUHPerdata: “Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal, dan berakibat bahwa perjanjian yang digantungkan padanya, tak berdaya.
Apakah somasi dalam konteks cidera janji menjadi prasyarat mutlak diajukannya gugatan wanprestasi ke hadapan pengadilan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hendaknya kita ajukan pertanyaan berikut:
1. Bila jelas Tergugat memiliki itikad buruk, seperti melakukan pelanggaran berat terhadap perjanjian, adakah memberikan somasi akan dapat menyadarkan pelaku?
2. Bila Tergugat jelas tidak lagi mampu melaksanakan kewajiban dalam kontrak, apakah somasi masih memiliki relevansi untuk diterbitkan terhadap Tergugat?
3. Bila kontrak telah secara tegas dan tersirat kontrak/perjanjian menentukan jangka waktu pelaksanaan perikatan didalamnya, namun telah lewat waktu dan Tergugat masih belum juga melaksanakan, bukankah sudah merupakan suatu bukti konkret bahwa Tergugat telah lalai?
4. Bila kontrak berisi perikatan bahwa Tergugat dilarang melakukan sesuatu sementara dalam praktiknya Tergugat justru melakukan apa yang dilarang tersebut, bukankah pelanggaran tersebut sudah merupakan bukti itikad tidak baik pihak Tergugat?
5. Bila Penggugat menghendaki agar kontrak dibatalkan karena sudah tidak berminat melanjutkan perikatan dengan Tergugat yang telah lalai, maka apa yang menjadi relevansi somasi?
Bagaimana cara merumuskan somasi? Pada dasarnya secara yuridis tak terdapat bentuk ataupun format baku dari somasi / surat teguran / peringatan. Tidak juga terdapat ketentuan tertulis yang menyatakan somasi harus diterbitkan sebanyak tiga kali. Sama juga tiadanya aturan hukum bahwa somasi menjadi monopoli hak sarjana hukum. Hanya hukum kebiasaan niaga yang dalam praktiknya menerbitkan somasi wanprestasi sebanyak tiga kali, dengan masing-masing jeda selama paling tidak 1 (satu) minggu dengan somasi berikutnya. Akan tetapi somasi dalam hukum ketenagakerjaan memiliki karakteristik yang khusus.
Masing-masing somasi perlu disesuaikan dengan karakteristik perikatan. Panduan utamanya, somasi disusun sebagaimana para kalangan pengusaha menerbitkan surat-menyurat korespondensi biasa, hanya saja perlu diperhatikan beberapa unsur/elemen pokok berikut yang perlu dicantumkan ke dalam surat somasi, antara lain:
1. Tanggal serta kota diterbitkannya surat somasi;
2. Nomor surat adalah fakultatif, tidak harus ada;
3. Perihal, tertulis “SOMASI”, “SURAT PERINGATAN”, atau “TEGURAN”, baik somasi pertama, kedua, maupun ketiga, dengan menyebutkan surat serta tanggal somasi sebelumnya ketika menyusun somasi berikutnya;
4. Identitas serta alamat pihak yang ditujukan somasi;
5. Pokok perikatan yang menjadi dasar pelanggaran, seperti Surat Perjanjian nomor sekian tentang sekian, dsb;
6. Rincian pelanggaran atau kelalaian (harus serinci dan sedetail mungkin);
7. Harapan atau tuntutan yang diajukan oleh penerbit somasi (wajib serinci dan sedetail mungkin agar tidak terjadi bias makna / salah kaprah / multi-tafsir);
8. Ancaman bila pelaku cidera janji masih tidak juga mengindahkan somasi;
9. Batas waktu bagi pelaku untuk menunaikan perikatan;
10. Tanda tangan serta identitas penerbit somasi.
11. Dalam praktik, materai tidak perlu disertakan dalam somasi. Ketiadaan materai tidak mengakibatkan surat somasi menjadi cacat hukum.
12. Dikirimkan dengan pos tercatat mauun tanda terima kurir.
13. Lampiran bukti bila ada.
14. Contact person bila pihak yang cidera janji hendak berkorespondensi.
15. Fotokopi surat somasi tersebut sebagai arsip guna pembuktian di persidangan.
Somasi berwujud “to the point”, dalam arti tidak berbasa-basi layaknya surat proposal penawaran kerja-sama. Namun tetap harus dilandasi bahasa yang sopan serta santun.


Baca juga selengkapnya dalam:
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.