Perusahaan hanya dapat Mengajukan Gugatan PHK terhadap Buruh, Bukan Permohonan Penetapan PHK ke PHI

LEGAL OPINION
Question: Apakah benar pengusaha yang hendak mem-PHK buruh secara hukum, hanya cukup mengajukan permohonan penetapan dari PHI? Bukankah ini terdengar absurb?
Brief Answer: Pra (sebelum) Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 20/PUU-XIII/2015 tanggal 30 November 2015, memang benar pengusaha cukup mengajukan permohonan ke PHI dengan produk berupa “penetapan”.
Namun pasca putusan MK Nomor 20/PUU-XIII/2015 tanggal 30 November 2015 tersebut, pengusaha wajib mengajukan PHK terhadap karyawannya dengan bentuk “gugatan”, bukan “permohonan penetapan”—sehingga berlaku seluruh asas persidangan hukum acara perdata untuk gugatan biasa, bukan permohonan penetapan atas perselisihan pemutusan hubungan kerja.
PEMBAHASAN :
Dalam perkara uji materil yang diajukan oleh sembilan orang pekerja dari berbagai perusahaan, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya register Nomor 20/PUU-XIII/2015 tanggal 30 November 2015, dimohon menguji kaidah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Pihak Pemohon memandang hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 81 UU No. 2/2004, yang berbunyi:
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.”
Adapun letak ketidakpastian hukumnya ialah ketentuan Pasal 151 ayat (2), ayat (3), dan Pasal 152 ayat (1) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana bila pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara yuridis, maka pengusaha wajib mendapatkan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dengan cara mengajukan permohonan (voluntair) penetapan pemutusan hubungan kerja.
Akan tetapi keberadaan UU No. 2/2004 yang mengatur tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial, sekaligus sebagai dasar pembentukan lembaga penyelesaian perselisihan (yakni PHI), menyatakan penyelesaian perselisihan PHK, adalah melalui mekanisme gugatan (contentiosa) sebagaimana diatur pasal 81 UU No. 2/2004.
Ketidak-adilan dirasakan manakala bila pengusaha melakukan PHK secara sepihak tanpa keterlibatan PHI, maka buruh/pekerja justru diwajibkan mengajukan gugatan terhadap perusahaan atas perselisihan terkait PHK tersebut. Sebaliknya, bila pengusaha hendak mem-PHK buruh, pengusaha cukup mengajukan permohonan ke PHI sehingga dianggap Pemohon sebagai pro pengusaha dan timpang terhadap beban kalangan buruh.
Mengingat sebagian besar kalangan buruh tidak berpendidikan tinggi terlebih memiliki latar belakang hukum, maka adalah suatu kesukaran tersendiri mengajukan gugatan. Pemohon meminta agar buruh cukup mengajukan permohonan, alih-alih gugatan, dimana tidak akan direpotkan oleh asas persidangan, serta tidak berlarut layaknya hukum acara gugatan perdata lengkap dengan replik, duplik, dsb, tanpa mengurangi hak termohon untuk didengarkan keterangannya di persidangan, layaknya praktik Pengadilan Niaga. Dengan demikian pekerja/buruh tidak lagi dibebankan untuk dapat merumuskan gugatan contentiosa yang menerapkan seluruh asas-asas persidangan.
Pasal 151 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan berbunyi:
“Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”
Kerancauan berikutnya tampak dalam ketentuan Pasal 152 UU Ketenagakerjaan:
1. Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
2. Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan (dengan buruh dimaksud) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
3. Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
Keganjilan berikutnya, penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam UU No. 2/2004 hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi, tanpa diperiksa oleh hakim dalam tingkat banding, yang tidak lain merupakan praktik hukum acara perdata yang diterapkan untuk memeriksa dan mengadili sengketa permohonan (voluntair), bukan gugatan contentiosa.
Pemohon mengutip fakta dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI tahun 2013, dari 2.991 perkara PHI, 2.641 diantaranya merupakan perkara yang diajukan oleh buruh yang terpaksa harus mengajukan gugatan karena perusahaan mem-PHK mereka secara sepihak tanpa melibatkan PHI.
Ketimpangan yang mencolok ialah perihal beban pembuktian. Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur, barangsiapa yang mendalilkan maka dia yang harus membuktikan, merupakan sesuatu yang menyulitkan buruh yang kerap tidak menguasai fisik alat bukti praktik kotor yang dilakukan oleh pengusaha, seperti kerap terjadi: tidak diberikan surat skorsing, tidak diberikan perjanjian kerja, slip upah, kartu tanda karyawan, bahkan tiada surat pemutusan hubungan kerja itu sendiri (PHK lisan).
Kita simak salah satu kutipan argumentasi Pemohon berikut:
Penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim melalui gugatan yang diajukan oleh buruh, akibat pemutusan hubungan kerja sepihak yang dilakukan oleh pengusaha, dan pengusaha tersebut tidak pula mengajukan gugatan, pada praktiknya justru berakhir pada tidak jelasnya kelanjutan hubungan kerja buruh itu sendiri, ketika Pengadilan Hubungan Industrial menolak gugatan buruh karena minimnya bukti-bukti yang dimiliki.”
Pemohon mengutip salah satu contoh konkret, bagaimana PHI Tanjung Pinang dalam perkara PHK antara PT. Samudera Oceaneering selaku Pemohon (voluntair) dengan Karolina Dengen selaku Termohon dengan menerbitkan Penetapan yang memberi izin kepada pengusaha tersebut untuk mem-PHK karyawannya tersebut.
Maka dari itu, Pemohon meminta agar MK menyatakan untuk sengketa PHK di PHI, cukup berbentuk permohonan, bukan gugatan, sehingga tidak memberatkan buruh agar tidak terkesan hanya kalangan pengusaha yang diistimewakan oleh suatu undang-undang.
Singkatnya, bila saja penyelesaian perselisihan PHK diselesaikan melalui permohonan (voluntair), yang mekanismenya lebih sederhana karena tidak perlu menerapkan seluruh asas persidangan namun tetap memberi kesempatan kepada termohon (pengusaha) untuk didengar keterangannya, maka pekerja tidak lagi dibebani untuk merumuskan gugatan contentiosa yang menerapkan seluruh asas persidangan.
Terhadap Permohonan Uji Materiil tersebut, MK RI secara sumir dan secara ngawur justru memaknai permohonan Uji Materiil sebagai permohonan Uji Materiil terhadap kompetensi relatif PHI—yang sama sekali bukan substansi yang dibahas dan menjadi objek keberatan Pemohon Uji Materiil.
Secara absurb MK RI pun membahas hal yang tidak disinggung sebagai objek keberatan, dengan mengutip ketentuan Pasal 57 UU No. 2/2004 yang berbunyi:
“Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini.”
Perhatikan pertimbangan hukum MK RI yang “tidak nyambung” berikut ini:
“Menimbang, ... Oleh karena itu, dalam dalam hubungan ini Mahkamah sependapat dengan Presiden (Pemerintah) yang menyatakan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 81 UU 2/2004 merupakan pengecualian dari asas umum yang berlaku dalam Pasal 118 HIR dan pasal 148 Rbg yang pada dasarnya menentukan bahwa gugatan diajukan oleh penggugat kepada ketua pengadilan negeri di tempat tergugat berdomisili. Artinya, seandanya tidak ada Pasal 81 UU 2/2004, jika para Pemohon hendak mengajukan gugatan perselisihan hubungan industrial maka gugatan itu harus diajukan ke pengadilan di tempat tergugat berdomisili, sehingga ketentuan Pasal 81 UU 2/2004 justru menguntungkan atau meringankan para Pemohon.”
Meskipun demikian, tampaknya Uji Materiil Pemohon memenangkan satu poin yang jauh lebih penting lagi. Bagaikan bermain biliard, menepuk satu bola demi memasukkan bola lain ke dalam “lubang” yang disasar, MK RI tampaknya bersikap khilaf dengan dengan membuat penafsiran konstitusional terhadap definisi makna “permohonan” dalam UU No. 13/2003, dengan bunyi pertimbangan hukum MK RI berikut:
Bahwa lebih jauh, perkara permohonan hakikatnya hanyalah berkaitan dengan kepentingan sepihak saja (for the benefit of one party only). Dalam perkara permohonan tidak ada sengketa dengan pihak lain (without dispute or differences with another party) dan tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan melainkan bersifat mutlak (ex-party). Dengan hakikat perkara permohonan yang demikian, dalam konteks permohonan a quo maka jelas hal itu tidak mungkin dapat diterapkan di dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja. Artinya, perkara pemutusan hubungan kerja tidak mungkin dikonstruksikan sebagai permohonan. Sebab, dalam perkara pemutusan hubungan kerja jelas terkandung adanya unsur sengketa (disputes) antara para pihak, setidak-tidaknya di antara dua pihak, dan permasalahan hukumnya hanya dapat diselesaikan secara kontradiktoir yang memberi hak dan kesempatan kepada para pihak untuk membantah dalil-dalil penggugat dan tergugat—mekanisme demikian tidak mungkin dapat dilaksanakan dalam persidangan perkara permohonan.
Artinya, pasca putusan MK RI tersebut diatas, permohonan penetapan PHK oleh pengusaha harus dimaknai dan diartikan sebagai pengajuan gugatan PHK oleh pengusaha terhadap karyawannya ke hadapan PHI, lengkap dengan asas-asas hukum acara perdata utuh dalam HIR dan RBg layaknya gugat-menggugat biasa.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.