Perbudakan Manusia dan Mineral Konflik, suatu Refleksi Dibalik Layar Indahnya Kemilai Emas & Intan

ARTIKEL HUKUM
Bila kalangan di Indonesia sedang menggandrungi tren “halal” lifestyle—makanan halal dan ada makanan yang diharamkan, bahwa kini minyak wangi pun ada yang halal dan yang haram—maka tren global dunia-dunia maju sedang memfokuskan pada hukum filterisasi produk hasil perbudakan manusia dan mineral konflik, seperti embargo terhadap produk-produk dari negara dengan indeks penghargaan terhadap sumber daya tenaga kerja yang rendah.
Banyak diantara kita yang tidak menyadari peredaran mineral konflik maupun produk-produk yang diolah dengan metode eksploitasi sumber daya manusia, karena lemahnya hukum di Indonesia. Sebagai contoh, mungkin saja cincin atau kalung emas yang Anda kenankan merupakan produk mineral konflik yang mana proses pendulangan, pemurnian, hingga penjualannya telah membawa dan memakan banyak korban berjatuhan, seperti rusaknya ekosistem dan daya dukung alam, konflik sosial, dan rusaknya tataran sosial masyarakat.
Rumor menyebutkan, kaum ibu rumah tangga penduduk Papua, berdoa agar sang suami yang pergi mencari emas tidak akan mendapatkan emas, karena bila sang suami menemukan emas, maka kemungkinan sang suami tidak akan pernah pulang. Ilustrasi tersebut menjadi salah satu cerminan dampak yang dihasilkan dari proses produk mineral logam mulia yang kini terpajang di toko-toko.
Salah satu kisah mineral konflik yang cukup terkenal, ialah perihal “blood diamond”. Tidak salah bila dinamakan “blood diamond”, di negara Afrika yang menjadi sumber pendulangan permata intan bewarna merah tersebut, bertumpahan banyak darah manusia dalam arti sesungguhnya dibalik sebuah kemilau sang permata merah. Perbudakan manusia hingga eksploitasi tenaga buruh pembunuhan demi meraih permata tersebut telah memakan banyak korban di negara-negara sumber pendulangan permata.
Bila ditarik lebih jauh, minyak bumi pun sejatinya menjadi sumber aneksasi negara satu terhadap negara lain. Kita dapat melihat bagaimana serangan militer dan politik diarahkan kepada negara-negara timur-tengah demi menguasai sumber-sumber sumur minyak dan kedekatan politik dengan penyuasa ladang minyak tersebut.
Tidak hanya minyak bumi, minyak kelapa sawit yang juga sering dijuluki sebagai “cruel palm oil”, telah merusak hutan gambut di Pulau Sumatera dan Kalimantan akibat ulah korporasi penguasa industri sawit.
Reklamasi teluk utara Jakarta, yang kini gencar mendapat banyak kecaman karena merusak sumber daya ekosistem bawah laut serta mengancam mata pencaharian nelayan, meruapkan salah satu bukti bahwa penguasaan hak atas tanah pun dapat merupakan bentuk-bentuk sumber konflik.
Sengketa tanah dalam sejarahnya menjadi sumber konflik paling masif sejak dahulu kala bahkan menjelma bahaya laten karena menyerupai “bom waktu” bila tidak terdapat intervensi otoritas negara. Banyak kita jumpai kasus pemegang hak guna usaha terlibat konflik dengan kalangan petani, dimana penguasaan tanah dikuasai oleh suatu hegemoni partikelir tertentu.
Kini, aset tanah dan real estate menjadi “bahan gorengan” para spekulan dan cukong tanah, bahkan mafia tanah, sehingga harga tanah dan rumah menjadi demikian mahal sementara banyak warga Indonesia yang pada akhirnya memilih untuk menyingkir hidup di pinggiran atau bahkan hanya mampu mengontrak.
Bila terhadap penguasaan tanah masih tetap di-liberalisasikan seperti saat ini, dalam arti kalangan pengusaha serta cukong/pemodal dibiarkan “menggoreng” harga, bahkan menentukan harga berada di tangan swasta, yang mana acapkali berbagai hak atas tanah dikuasasi segelintir pihak bermodal, maka konflik sosial hanya tinggal menunggu waktu.
Konflik antara petani dan angkatan tentara bersenjata dalam memperebutkan lahan tani, merupakan kisah klasik. Praktis hanya aspek pertanahan yang masih demikian dileberalisasikan di Indonesia, seakan otoritas negara tak berkutik dalam proses pengadaan lahan untuk kepentingan umum karena pemerintah terdesak untuk membayar ganti-rugi tanah dengan harga pasar yang mana harga pasar ditentukan oleh mekanisme swasta dan spekulan—dan bila pemerintah harus diwajibkan membayar dengan harga pasar, artinya otoritas negara kalah menghadapi swasta dan para spekulan.
Berbagai sengketa di pengadilan, rata-rata ialah perihal sengketa perdata gugatan tanah. Hal ini tidak mengherankan, oleh sebab “papan” menjadi salah satu kebutuhan pokok kehidupan layak bagi manusia selain “sandang” dan “pangan”—yang ironisnya aspek “papan” ini demikian kurang mendapat perhatian pemerintah.
Kini kita beralih pada topik “perbudakan manusian”. Banyak diantara kita tidak menyadari, bahwa bisa jadi berbagai produk rumah tangga yang kita konsumsi merupakan hasil perbudakan manusia. Pada hakekatnya perbudakan manusia bukanlah isu baru, namun baru beberapa dekade belakangan isu ini mendapat sorotan tajam di beberapa negara maju.
Perbudakan manusia merupakan sebuah istilah bagi praktik penghisapan sumber daya manusia atau pekerja oleh suatu pihak ataupun korporasi yang bersifat tidak seimbang dan cenderung menyerap takaran keringat yang luar biasa bagi setiap individu sang pekerja.
Beberapa ciri perbudakan manusia sebagaimana dihimpun dan dicatat SHIETRA & PARTNERS dalam praktiknya:
1. Jam kerja yang melampaui ketentuan peraturan perundang-undangan tanpa kompensasi upah lembur;
2. Satu pekerja dipekerjakan di berbagai payung perusahaan dengan hanya menerima satu gaji dari satu perusahaan saja—hal ini biasa terjadi pada perusahaan model Grub Usaha;
3. Pemotongan unsur upah oleh penguasaha, seperti komponen “uang makan” yang baru akan dibayar setelah satu tahun karyawan tersebut bekerja meski regulasi menyatakan uang makan menjadi komponen upah yang wajib dibayar kepada buruh setiap bulannya;
4. Adanya pekerja kontrak (PKWT) selama lebih dari tiga tahun. Bahkan bank-bank swasta besar menerapkan pola PKWT langsung selama tiga tahun dimuka tanpa ada teguran ataupun perhatian dari dinas tenaga kerja;
5. Adanya masa percobaan yang dijadikan celah hukum guna Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dimana masa percobaan tersebut dikonstruksikan dengan istilah “kinerja akan ditinjau setiap tiga bulan” yang tidak lain ialah praktik PHK secara terselubung;
6. Adanya masa percobaan dalam perjanjian kerja model PKWT;
7. Dimutasinya karyawan pada badan hukum lain yang mana dapat merugikan karyawan;
8. Dimutasinya karyawan pada divisi lain yang sesuai latar belakang keterampilan maupun minat sang karyawan, ataupun dimutasi pada lokasi kerja yang jauh guna membuat karyawan tidak betah sehingga memilih mengundurkan diri;
9. Disalahgunakannya lembaga “Kebebasan Berkontrak”—dan ini menjadi modus paling lazim;
10. Pembayaran upah dibawah upah minimum sektoral maupun regional;
11. Bobot serta tanggung jawab kerja yang tinggi tidak sesuai dengan gaji;
12. Praktik “pencurian ilmu” dengan dalih adanya lowongan kerja (praktik licik kalangan perusahaan yang terjadi secara masif secara tidak etis). Berhati-hatilah terhadap berbagai lowongan kerja bagi para pencari kerja, karena belum tentu sang pembuka lowongan tersebut hendak merekrut karyawan. Sering terjadi, pengusaha hendak mencuri ilmu dengan cara mengecoh pencari kerja dengan kedok dibukanya lowongan kerja, dimana ketika pencari kerja memasukkan lowongan, terjadi proses interview yang merupakan ajang bagi pengusaha untuk mencuri ilmu secara cuma-cuma;
13. Tidak dibayarkannya hak-hak normatif karyawan semisal asuransi kesehatan serta jaminan hari tua dan pensiun bagi karyawannya tersebut;
14. Human trafficking dan perbudakan asusila;
15. Outsourcing;
16. Digunakannya tenaga-tenaga lepas seperti mahasiswa aktif pada universitas yang mana menggantikan peran dan fungsi karyawan tetap universitas yang diminimkan;
17. Dosen / guru yang memerintah siswanya untuk mengerjakan suatu pekerjaan dimana sang siswa tidak dapat menolak karena sungkan;
18. Atasan yang memerintahkan bawahan menyerahkan bungkusan berisi uang suap kepada suatu koruptor dimana bila sang karyawan tertangkap tangan oleh KPK, maka sang atasan akan cuci-tangan;
19. Pegawai Negeri Sipil atau Pejabat Negara yang melakukan pungutan liar ataupun bentuk-bentuk pemerasan lainnya terhadap masyarakat;
20. Jam kerja hingga 24 jam bagi pembantu rumah tangga (PRT) dimana hingga kini tiada payung hukum bagi perlindungan kalangan profesi tersebut;
21. Lingkungan kerja yang mengancam keselamatan sang pekerja, tanpa pengaman, tanpa masker bagi pekerja pabrik;
22. Pekerja anak yang seringkali dieksploitasi sebagai pengemis;
23. Petani gurem; dsb.
Mengenai wajib militer, masih kontroversi, apakah dapat disebut sebagai perbudakan manusia atau tidak, sehingga tidak kami kategorikan dalam kotak manapun.
Perihal instrumen hukum, tampaknya otoritas negara bersikap defensif dan amat lemah dalam penerapannya menegakkan regulasi terkait ketenagakerjaan, dimana kalangan pengusaha selalu berdalih: “Bila Dinas Tenagakerja memaksa kami mengikuti UMR, maka kami tutup pabrik saja. Apakah Dinas Tenaga Kerja mau menanggung hidup ribuan karyawan yang kami pecat?”
Acapkali terjadi, meski karyawan tidak menyetujui peraturan perusahaan maupun syarat dalam perjanjian kerja yang hanya memberatkan dirinya, toh dirinya tetap tunduk dan melibatkan diri sebagai karyawan karena tidak punya pilihan lain atau daya tawar yang rendah. Di saat bersamaan, kalangan pengusaha berada di-“atas angin” dengan menyatakan tiada komplain dari karyawan karena mereka tidak juga mengundurkan diri.
Pada tahap ini, hukum benar-benar “mati kutu” dibuat kalangan pemodal kuat demikian. Pada titik ini pula, kalangan hukum harus memberi tempat lebih lebar kepada kalangan ekonom dalam mencetak para entrepreneur baru agar mampu berdikari, swadaya, dan mandiri.
Cara lainnya, hentikan pembelian terhadap produk-produk hasil "perbudakan manusia" maupun "mineral konflik".
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.