KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Penggabungan Gugatan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum

LEGAL OPINION
Question: Apa benar, jika seandainya dalam kontrak tak diatur besaran nilai ganti-rugi atas keuntungan yang hilang bila pihak rekanan ingkar janji, maka artinya terhadap rekanan kami yang ingkar janji tersebut tidak dapat digugat ganti-rugi atas keuntungan yang hilang?
Brief Answer: Bila merujuk pada doktrin konservatif teks ilmu hukum yang ada, maka pihak yang dirugikan tak dapat menuntut ganti-rugi atas potensi keuntungan yang hilang bila seandainya perikatan dalam kontrak tak dilaksanakan oleh rekanan Anda sebagaimana mestinya.
Namun praktik peradilan tidaklah sekaku ataupun se-ekstrim demikian, karena dari berbagai pola putusan pengadilan terkait gugatan wanprestasi, Majelis Hakim dalam implementasinya memasukkan pula unsur-unsur “Perbuatan Melawan Hukum” sehingga permohonan ganti-rugi demikian dapat juga dikabulkan berdasarkan kepatutan dan yurisprudensi yang hidup dalam praktik peradilan di Indonesia.
PEMBAHASAN :
Dalam putusan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor 70/Pdt.G/2012/PN.Clp tanggal 02 April 2013 (telah berkekuatan hukum tetap) yang mengadili perkara gugatan perdata, dimana Tergugat berhutang kepada Penggugat berupa emas logam mulia seberat 5,4 kilogram senilai Rp. 2.500.000.000;- dimana terhadap hubungan hutang-piutang tersebut Tergugat mengakuinya dalam bentuk surat perjanjian hutang-piutang yang pengaturan pasal perikatannya sangat sederhana, tanpa menyebutkan perikatan ganti-rugi atas bunga, denda, juga tanpa pengaturan mengenai keuntungan yang hilang bila seandainya sang debitor ingkar janji.
Namun setelah melampaui jangka waktu pelunasan, Tergugat belum juga memenuhi janjinya mengembalikan emas tersebut. Karena Tergugat telah ingkar janji (wanprestasi), Penggugat mengajukan gugatan dengan merujuk pada hak bagi kreditor untuk menuntut segala kerugian, bunga, dan biaya yang diakibatkan oleh perbuatan ingkar janji tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata.
Kontrak merupakan “hukum yang menambah”, dalam arti bila substansi kontrak tidak mengatur sebaliknya, maka segala ketentuan hukum perdata tidak terkecuali KUHPerdata akan berlaku terhadap perikatan yang dibuat oleh para pihak.
Sebagai dasar pengajuan kerugian materiil, Penggugat mendalilkan bahwa dengan adanya perbuatan wanprestasi Tergugat, Penggugat mengalami kerugian materiil, karena apabila uang tersebut dijalankan untuk memutar roda usaha maka akan mendapatkan keuntungan sekitar 5 % per bulan dari uang senilai Rp. 2.500.000.000;-.
Yang juga cukup menarik dari perkara gugatan diatas, yang menjadi pihak Tergugat ialah dua orang, yakni Tergugat I selaku debitor yang meminjam emas dari Penggugat, dan Tergugat II selaku istri dari Tergugat I. Sementara itu Penggugat menggugat kedua orang Tergugat tersebut.
Namun Tergugat II menyatakan tiada ada hubungan hukum sama sekali dengan permasalahan hutang-piutang emas antara Penggugat dan Tergugat I. Oleh karenanya bila dalam permasalahan tersebut Tergugat II dikait-kaitkan dan disuruh ikut bertanggung jawab maka Tergugat II secara tegas menyatakan menolak dan tidak mau bertanggung jawab terhadap sesuatu yang tidak pernah diperbuat oleh Tergugat II.
Majelis Hakim menyadari, hukum perdata telah mengatur bahwa sejak perkawinan dilangsungkan maka demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri yaitu baik terhadap harta bergerak dan harta tidak bergerak, baik sekarang maupun yang akan ada di kemudian hari, termasuk pula atas segala beban hutang suami-istri masing-masing harus pula diperhitungkan menjadi tanggung jawab bersama.
Namun, tampaknya Majelis Hakim mencoba bersikap rasional dan relevan, mengingat Tergugat I kini tidak lagi diketahui keberadaannya, maka apakah semua beban akan ditanggung sang istri? Perhatikan pertimbangan hukum Majelis Hakim berikut:
“Menimbang, bahwa sebagaimana terkait dengan pertimbangan tersebut diatas dalam perkara ini Majelis Hakim berpendapat bahwa untuk menetapkan tanggung jawab mengenai sesuatu hutang, haruslah ditetapkan terlebih dahulu, apakah utang itu bersifat pribadi (prive) ataukah suatu hutang untuk keperluan bersama (gemeenschaps-schuld) dan apabila merupakan suatu hutang pribadi (prive) maka yang harus dituntut adalah suami/istri yang membuat hutang tersebut;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti P-1, P-2, P-3 maupun berdasarkan keterangan saksi ..., Saksi ... dan saksi ... yang diajukan oleh Penggugat dan dengan memperhatikan bukti tertanda T.II-1 telah terungkap fakta bahwa Tergugat II tidak terlibat dan tidak mengetahui perjanjian hutang yang dilakukan oleh Tergugat I dengan Penggugat dan Majelis berpendapat bahwa Hutang Tergugat I kepada Penggugat sebagaimana yang tertuang dalam Surat Pernyataan tanggal 29 Januari 2012, Surat Pernyataan tanggal 31 Mei 2012, dan Surat Pernyataan tanggal 20 Juni 2012 merupakan suatu hutang yang bersifat pribadi, oleh karena itu petitum angka 6 Gugatan Penggugat yang menuntut agar Menghukum Para Tergugat untuk menyerahkan kepada Penggugat berupa Emas Logam Mulia 24 karat seberat 5,4 kilogram atau senilai Rp. 2.500.000.000;-. Majelis Hakim berpendapat dapat dikabulkan sekedar untuk menghukum Tergugat I untuk menyerahkan kepada Penggugat berupa Emas Logam Mulia 24 karat seberat 5,4 kilogram atau senilai Rp. 2.500.000.000;-
Terkait permohonan ganti rugi yang diajukan Penggugat, dimana perikatan dan kontrak tak mengatur perihal ganti rugi akibat wanprestasi, menarik menyimak pertimbangan hukum Majelis Hakim berikut:
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Penggugat mengenai kerugian moril sebesar Rp. 2.000.000.000;- (dua milyar rupiah) Majelis berpendapat bahwa kerugian yang dapat dikira-kirakan atau diduga pada waktu perjanjian dibuat dan yang sungguh-sungguh dapat dianggap sebagai suatu akibat langsung dari kelalaian saja yang dapat dimintakan penggantiannya, oleh karenanya tuntutan penggugat mengenai kerugian moril tidak cukup beralasan dan tidak dapat diterima;
“Menimbang, bahwa oleh karena barang berupa emas milik Penggugat dipergunakan sebagai modal usaha, sedangkan ia tidak dapat mempergunakannya dari tanggal 29 Maret 2012 sampai dengan gugatan ini diajukan, sehingga Penggugat mengalami hilangnya keuntungan (interessen);
 “Menimbang, bahwa berkaitan dengan hal tersebut, di dalam Yurisprudensi No. 5096 K/Pdt/1998, tanggal 28 April 2000, dinyatakan: “ganti rugi atas hilangnya keuntungan yang diharapkan sesuai dengan rasa keadilan besarnya adalah 10% per tahun terhitung sejak gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri sampai hutang dilunasi” ;
“Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut maka diperhitungkan bunga sebesar 10 % per tahun, sehingga diperhitungkan bunga 0,8 % untuk setiap bulan, yaitu 0,8/100 x Rp. 2.500.000.000,- = Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dan mengenai tuntutan Penggugat yang menyatakan menghukum Para Tergugat membayar ganti kerugian materiil atas tidak dikembalikannya modal tersebut kepada Penggugat, Majelis berpendapat sebagaimana termuat dalam pertimbangan diatas bahwa oleh karena dalam perkara ini merupakan suatu hutang pribadi (prive) maka yang harus dituntut adalah suami/isteri yang membuat hutang tersebut oleh karena itu terhadap tuntutan Penggugat tersebut dapat dikabulkan sekedar untuk menghukum Tergugat I membayar ganti kerugian materiil atas tidak dikembalikannya modal tersebut kepada Penggugat sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) per bulan sejak gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap;
Putusan Pengadilan Negeri Cilacap ini telah berkekuatan hukum tetap karena tidak diajukan upaya hukum Banding oleh pihak Tergugat. Secara yuridis, segala hutang-piutang yang lahir saat perkawinan berlangsung, memang menjadi tanggung-jawab harta bersama pasangan suami-istri. Namun tiadanya persetujuan istri atas hutang yang dilakukan sang suami, perikatan hutang-piutang menjadi berpotensi tidak dapat dituntut dari harta bersama. Untuk itulah kerap kali lembaga perbankan mensyaratkan pihak istri/suami dari debitor untuk turut pula menandatangani akta kredit.
Meski menjadi rona baru dari berbagai praktik putusan pengadilan lain yang terbilang ekstreem/kaku memberlakukan ketentuan percampuran harta antara pasangan suami istri, putusan PN Cilacap ini terbilang responsif dalam mengakomodasi sanubari keadilan masyarakat, sama seperti tetap dikabulkannya ganti rugi akibat keuntungan yang hilang meski tidak diatur dalam kontrak hutang-piutang.
Dalam gugatan tersebut diatas sejatinya Penggugat telah mencampuradukkan konsepsi Gugatan Wanprestasi dengan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Permohonan ganti kerugian materiil dan immateriil merupakan ciri utama Gugatan Perbuatan Melawan Hukum.
Namun siapa perduli dengan teori klasik orthodoks yang kaku demikian?! Hukum bersifat membebaskan belenggu, bukan mengungkung kreatifitas dan elaborasi hakim dalam memutus.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.