Pencemaran Nama Baik dalam Dunia Maya

LEGAL OPINION
Question: Apa pedoman utama agar aman berekspresi serta beraspirasi di media sosial tanpa cemas akan ancaman pidana UU ITE? Adakah contoh kasus korporasi yang terkait hal ini?
Brief Answer: Hal utama, hendaknya komentar tidak bersifat spekulatif. Bila masih asumsi atau praduga “mentah”, nyatakan secara tegas dan eksplisit bahwa tudingan yang dilakukan adalah dugaan belaka, seperti penggunaan frasa “disinyalir”, “terdapat dugaan”, “terindikasi”, dsb yang tidak bersifat tendensius atau main hakim sendiri.
Hal kedua, bila yang Anda komentari adalah oknum suatu instansi yang mana masyarakat umum sudah mengetahui sosok dari oknum tersebut, pernyataan kritis yang dapat Anda arahkan ialah kepada instansi tempat oknum tersebut bernaung, agar tidak menjadi celah bagi sang oknum menyatakan telah terjadi pencemaran nama baik terhadap pribadi sang oknum. Bagaimana pun instansi bertanggung jawab atas segenap pegawai dibawah atapnya, dan setiap pejabat di instansi tersebut hanya dapat membuat putusan ataupun penetapan dengan mengatasnamakan instansi, bukan mengatasnamakan pribadi sang pejabat, namun jabatan dalam instansi. Bila dalam kapasitas sang oknum belaka sebagai individu, tentunya ia tak punya kewenangan membuat kebijakan, putusan, ataupun penetapan—terlebih memiliki imunitas.
Ketika yang dikritisi ialah kebijakan, putusan, ataupun penetapan yang dihasilkan olehnya, maka kritisme yang dialamatkan ialah sebatas kepada instansi itu sendiri, siapapun pejabat struktural yang sedang menjabat. Singkatnya, hanya jabatan yang memiliki kewenangan membuat kebijakan, putusan, ataupun penetapan. Maka ketika yang dikritisi ialah kebijakan, putusan, ataupun penetapan, maka yang sejatinya tengah diserang ialah jabatan, bukan sang pejabat.
Hal ketiga, ialah harus adanya motif mulia dibalik kritisme yang dilancarkan, semisal guna memperingatkan publik untuk waspada agar tidak jatuh korban serupa, agar masyarakat mendapat fakta yang jujur dan sesungguhnya sehingga dapat membuat pilihan yang baik bagi masing-masing anggota masyarakat.
Hal keempat, usahakan untuk tidak menyebut nama dari pihak yang dituding oleh opini ataupun komentar kita. Cukup gunakan “inisial tindakan” (bukan inisial nama), seperti sang “papa minta saham” kini menjadi ketua partai politik dan mengajukan uji materiil guna menghapus rekam jejak kotornya. Mengapa cara terakhir ini efektif?
Jika seseorang mengaku bahwa dirinyalah yang dimaksud sebagai sang “papa minta saham”, secara tidak langsung ia mengakui perbuatan tercela yang dituduhkan (“minta saham”), dan ia harus terlebih dahulu menyerahkan dirinya untuk dihukum pidana atas perbuatannya bersikap koruptif/kolutif sebagaimana “diakuinya” tersebut, barulah ia memiliki legal standing untuk menuntut pencemaran nama baik terhadap dirinya yang sejatinya sedari awal ia memang tidak lagi memiliki nama baik yang tersisa untuk dipertahankan.
PEMBAHASAN :
Salah satu aturan hukum mengenai rambu kebebasan berekspresi dalam dunia maya yang perlu mendapat perhatian, disamping pengaturan dalam Pasal 310 KUHP, terutama terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, dimana Pasal 27 UU ITE mengatur:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Ancaman hukuman diatur dalam Pasal 45 Ayat (1) UU ITE:
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
SHIETRA & PARTNERS akan secara hati-hati merujuk pembaca pada putusan Peninjauan Kembali kasus pemidanaan yang dihadapi Prita Mulyasari atas tuduhan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Rumah Sakit OMNI, mengingat terdapat potensi berbagai putusan Mahkamah Agung dikemudian hari yang akan menyimpang dari pola putusan PK Prita Mulyasari, sehingga kaedah dalam putusan Prita ditakutkan dapat mengecoh masyarakat yang mengira dapat melakukan hal serupa namun ternyata Hakim Agung dikemudian hari memiliki pendirian yang berbeda—perhatikan pula kondisi sosial masyarakat saat perkara pidana OMNI vs. Prita bergulir, dimana dukungan publik terhadap Prita demikian deras mendesak MA RI dalam mengambil kebijakan pragmatis.
Untuk itu tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS memberikan ilustrasi hukum secara lebih moderat, yang diwakili secara sempurna dalam putusan Pengadilan Negeri Cianjur Nomor 182/PID.Sus/2015/PN.Cjr tanggal 7 Desember 2015 dengan Erick Limar didudukkan sebagai Terdakwa terhadap dakwaan Pasal 27 UU ITE tentang pencemaran nama baik dalam dunia digital.
Peristiwa ini bermula pada tanggal 12 April 2014, Terdakwa selaku Direktur PT. Yong Kharisma Utama Jaya meminta asistennya untuk mengirimkan surat edaran resmi perusahaan tertanggal 01 April 2014 yang ditandatangani oleh Lim Tjie Liong (Direktur Utama PT. Yong Kharisma) kepada Miswanto selaku sales freelance PT. Yong Kharisma untuk disampaikan kepada para konsumen PT. Yong Kharisma.
Surat tersebut ditujukan kepada seluruh pelanggan perseroan, yang pada pokoknya berbunyi:
“Bersama ini kami beritahukan kepada seluruh customer PT. Yong Kharisma Utama jaya bahwa saudara Nyoman Yudi Saputra yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Marketing di PT. Yong Kharisma Utama Jaya terhitung sejak 01 Maret 2014 sudah tidak menempati jabatan tersebut. Apabila setelah tanggal tersebut di atas saudara Nyoman Yudi Saputra melakukan transaksi kepada customer-customer dengan mengatasnamakan PT. Yong Kharisma Utama Jaya maka transaksi tersebut tidak diakui dan di luar tanggung jawab PT. Yong Kharisma Utama Jaya. Demikian untuk diketahui.”
Atas arahan Terdakwa, asistennya men-scanning surat tersebut via komputer dan dengan akun email resmi perusahaan mengirimnya kepada Miswanto. Alasan Terdakwa meminta asistennya mengirimkan surat tersebut kepada Miswanto, dengan dasar adanya hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT. Yong Kharisma sebagaimana Risalah Rapat tanggal 29 Januari 2014 yang salah satu hasil rapat memutuskan perubahan susunan Direksi dan Dewan Komisaris perseroan, dimana sebelumnya Nyoman Yudi Saputra menjabat selaku Direktur I, kemudian dalam RUPS diputuskan memberhentikan Nyoman Yudi Saputra dari jabatan Direktur I, dan menjadikan Terdakwa sebagai Direktur I (Marketing).
Jaksa Penuntut Umum mendalilkan, hasil RUPS tanggal 29 Januari 2014 tersebut belum mengikat dan belum sah karena baru diaktakan pada tanggal 26 Februari 2014 oleh notaris, yang mana notaris dimaksud kemudian memberitahukan perubahan data perseroan ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui aplikasi sistem administrasi badan hukum Kemenkumham pada tanggal 11 Maret 2014, ditindaklanjuti pengiriman dokumen pendukung tanggal 24 Maret 2014 yang kemudian tanggal 04 April 2014 mendapat pemberitahuan dari Kemenkumham bahwa terdapat perbedaan data yang ada pada Kemenkumham sehingga proses input harus diulang.
Selanjutnya pihak notaris melakukan input ulang pemberitahuan perubahan data perseroan PT. Yong Kharisma dan barulah kemudian pada tanggal 02 Juni 2012 Kemenkumham menerima pemberitahuan perubahan data perseroan tersebut.
Proses pemberitahuan perubahan data perseroan tersebut telah melewati tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana yang diharuskan dalam ketentuan Pasal 94 ayat (7) jo. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengakibatkan hasil RUPS tanggal 29 Januari 2014 menjadi tidak sah dan batal demi hukum, juga sesuai dengan keterangan Ahli Perseroan Terbatas dari pihak Jaksa yang berpendapat bahwa dianggap tidak pernah ada RUPS sehingga konsekuensinya Nyoman Yudi Saputra masih berstatus sebagai Direktur I PT. Yong Kharisma.
Oleh karena hasil RUPS PT. Yong Kharisma tanggal 29 Januari 2014 belum sah secara hukum sehingga secara hukum belum terjadi perubahan susunan Direksi perseroan, sehingga status Nyoman Yudi Saputra masih berstatus sebagai Direktur I perseroan, dengan demikian perbuatan Terdakwa yang meminta asistennya mengirimkan surat edaran kepada agen salesnya pada tanggal 12 April 2014, yang berakibat substansi surat tersebut mengandung unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Nyoman Yudi Saputra.
Seorang ahli bahasa, Andika Dutha Bachari, berpendapat untuk pihak Jaksa Penuntut, dengan menyatakan:
“Sdr. Nyoman Yudi Saputra per tanggal 01 Maret 2014 tidak lagi menjabat sebagai Direktur I (Direktur Marketing)” berarti bahwa proposisi (makna) pertama yang dinyatakan dalam surat tersebut adalah informasi yang tidak benar dan keliru dan bohong sebab hasil RUPS yang merupakan dasar pencabutan jabatan Sdr. Nyoman Yudi Saputra sebagai Direktur Marketing secara normatif tidak memiliki kekuatan hukum untuk diakui sebagai kebenaran normatif karena hasil RUPS belum dilaporkan kepada Menteri Hukum dan HAM;”
Jaksa menyimpulkan, dengan demikian perbuatan Terdakwa yang meminta disebarkan berita yang tidak benar isinya menyatakan tidak lagi mengakui kewenangan Nyoman Yudi Saputra bertindak atas nama Perseroan, meski senyatanya Nyoman Yudi Saputra masih berstatus sebagai Direktur I PT. Yong Kharisma, dapat dipandang sebagai bentuk penghinaan, fitnah, ataupun pencemaran nama baik.
Surat edaran tersebut juga dinilai bertendensius merendahkan harkat martabat Nyoman Yudi Saputra, tanpa adanya itikad baik untuk melindungi kehormatan Nyoman Yudi Saputra dari pandangan orang lain karena dalam surat tersebut tidak mengungkap fakta bahwa Nyoman Yudi Saputra diberi kapasitas baru sebagai Komisaris Perseroan.
Dakwaan Jaksa menyebutkan, Surat Edaran tersebut menyatakan setelah tanggal 01 Maret 2014 segala transaksi yang dilakukan oleh Nyoman Yudi Saputra tidak diakui dan diluar tanggung jawab PT. Yong Kharisma, sehingga menyiratkan adanya asumsi bagi publik bahwa secara faktual Nyoman Yudi bermasalah dengan perusahaan dan/atau dipecat secara tidak hormat dari perusahaan sehingga tidak berhak lagi menangani urusan perusahaan.
Tuduhan Jaksa Penuntut diperkeruh oleh pendapat Taruli, S.H., Ahli Informasi dan Transaksi Elektronik sewaan Jaksa, yang menyebutkan bahwa perbuatan Terdakwa adalah dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi secara elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Perkara yang sebenarnya “sepele” ini terjadi akibat salah kaprah dari pihak Nyoman Yudi Saputra, bahwasannya seakan jabatan Direktur adalah bagaikan jabatan karyawan/buruh/pekerja yang mana unsur utama sengketa ialah perihal “gaji” yang tidak terbayarkan sejak penghentian jabatan—sebagaimana kerap kali salah kaprah ini terjadi dalam banyak perkara gugatan lainnya. Mengangkat dan memecat anggota Direksi dan Dewan Komisaris merupakan hak prerogatif RUPS, dan sifatnya imperatif.
Meski UU PT menyatakan sahnya perubahan anggaran dasar ataupun pergantian Direksi dan Dewan Komisaris adalah pada tanggal efektif didaftarkannya perubahan Anggaran Dasar tersebut pada Kemenkumham, sehingga terbit SK Pengesahan dan/atau notifikasi dari Kemenkumham, namun menurut SHIETRA & PARTNERS, keputusan RUPS bersifat mengikat untuk internal meski belum terdaftar pada instansi Kemenkumham.
Konstruksi berpikir demikian berangkat dari fakta aktual bilamana seorang Direktur kedapatan menyalahgunakan jabatannya, seperti menggelapkan data rahasia perseoran, menyalahgunakan kekuasaannya dengan memeras tenaga sumber daya manusia perseroan demi kepentingan usaha pribadi sang Direktur, maka Dewan Komisaris maupun RUPS Luar Biasa dapat membuat keputusan untuk mencopot pejabat Direktur tersebut secara seketika dan efektif saat itu juga meski pemecatan tersebut belum terdaftar pada Kemenkumham.
Dalam kebijakan dan keputusan suatu perusahaan, bisa jadi terkandung unsur urgensi, seperti halnya seorang polisi menangkap seorang pelaku kejahatan yang tertangkap tangan melakukan kejahatan, meski sang polisi belum mengantungi surat tugas dari kepala Polsek setempat untuk menangkap.
Pendaftaran perubahan susunan Direksi dan Dewan Komisaris, bersifat mengikat pihak eksternal perseroan ketika telah mendapat Surat Keputusan (SK) Notifikasi dari Kemenkumham. Namun ketika RUPS membuat resolusi/keputusan, sejak saat itu juga resolusi berlaku bagi internal perseroan, dengan syarat tunda bagi pihak eksternal hingga saat perubahan susunan tersebut didaftarkan pada otoritas. Memang SHIETRA & PARTNERS akui, kelalaian terdapat pada pihak perseroan karena tidak segera mendaftarkan resolusi RUPS tepat pada waktunya sehingga berpotensi kadaluarsa.
Pihak notaris dalam kesaksiannya di persidangan mengungkapkan, pada tanggal 7 Mei 2014 notaris telah menginput kembali data Pendaftaran Perubahan Anggaran Dasar PT. Yong Kharisma, yang ditanggapi pihak Kementerian pada tanggal 12 Mei 2014 bahwa tidak terdapat keberatan atas pendaftaran tersebut, sehingga notaris mengirim kembali data tersebut pada 28 Mei 2014.
Kemenkumham kemudian memberikan jawaban atas pemberitahuan perubahan data PT. Yong Kharisma pada tanggal 02 Juni 2014 yang mana subtansinya berbunyi:
“Sesuai dengan data dalam Data Isian Akta Notaris Model III yang disimpan di dalam database Sistem Administrasi Badan Hukum dan Salinan Akta Notaris Nomor 10 tanggal 26 Februari 2014 yang dibuat dan disampaikan oleh Notaris Patricia Tirta Isoliani Ginting, SH berkedudukan di Kotamadya Bandung beserta dokumen pendukungnya, yang diterima tanggal 28 Mei 2014, mengenai Pemberitahuan Perubahan Susunan Pengurus, Perubahan Alamat Lengkap Perseroan, PT. berkedudukan di Cianjur—Kabupaten Cianjur, telah diterima dan dicatat di dalam database Sistem Administrasi Badan Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.”
Selanjutnya Lim Tjie Liong selaku Direktur Utama PT. Yong Kharisma dihadirkan ke persidangan sebagai saksi, yang memberi kesaksian bahwa terbitnya surat edaran tersebut dilatar-belakangi adanya penggelapan uang perusahaan yang dilakukan oleh Nyoman Yudi Saputra sehingga guna mencegah potensi kerugian yang lebih besar pada perseroan, maka Terdakwa membuat surat edaran tersebut yang konsep surat edaran tersebut dibuat oleh Terdakwa namun dengan sepengetahuan saksi selaku Direktur Utama.
Sang Dirut kemudian memberikan kesaksian, menurut pengaduan pihak lain, Nyoman Yudi Saputra telah mark up harga hidrolik dari harga per unit Rp. 70.000.000;- menjadi Rp. 90.000.000;-. Selain itu surat edaran tersebut dibuat lalu dikirim melalui via email, sebenarnya atas permintaan saksi Miswanto sekaligus memberitahukan seluruh customer adanya perubahan susunan Direksi PT. Yong Kharisma sehingga tidak akan terjadi kesalahan dalam melakukan transaksi dan untuk mencegah timbulnya resiko yang nantinya akan merugikan pihak perusahaan dibidang industri karoseri.
Diuraikan pula, sejak 1 Maret 2014, Nyoman Yudi tidak lagi masuk kantor di PT. Yong Kharisma, justru Nyoman Yudi tersebut membuat perusahaan yang sama dibidang industri karoseri yakni PT. Sarana Bina Tria di Cimenteng.
Sang Dirut pun turut membaca dan menandatangani surat edaran tersebut, karena subtansinya dinilai sang Dirut telah tepat.
Tuntutan pidana ini tergolong spektakuler, mengingat Jaksa Penuntut menghadirkan segudang “ahli”, mulai dari seorang pakar forensic linguistic dengan berbagai istilah yang canggih, dua orang Doktor hukum dari Universitas yang berbicara panjang lebar mengenai hukum perseroan terbatas yang sebenarnya dapat dibaca sendiri oleh hakim dari undang-undang karena keterangan saksi hanya sekadar repetisi bunyi undang-undang; yang mana kesemua “ahli” tersebut menyudutkan Terdakwa lewat berbagai asumsi spekulasi yang terlampau berani untuk dilontarkan oleh pihak yang mengaku sebagai intelektual/akademisi.
SHIETRA & PARTNERS menyayangkan, semangat akademis dan intelek yang imparsial, menjelma “tentara bayaran” yang menggempur secara tendensius membela yang menyewa. Dalam putusan ini, keberpihakan para Doktor sekaligus Dosen Fakultas Hukum tersebut amat terlihat kentara.
Tidak kurang tiga orang “ahli” yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut, menggurui dan menceramahi hakim, meski adagium hukum menyatakan: Hakim mengetahui hukumnya! Alhasil, timbul antipati dan sinisme Majelis Hakim. Rentetan spekulasi “ahli” berbuah kontradiktif terhadap kedudukan tuntutan dari sang Jaksa itu sendiri.
Merasa belum cukup, Jaksa Penuntut menggempur Terdakwa dengan keterangan dari “ahli” keempat yakni seorang pakar komunikasi yang sama sadistiknya dengan keterangan ketiga “ahli” dari pihak Penuntut (membuat hakim makin bertambah bosan).
Terkadang kita patut merasa herank, pada mereka yang mengaku sebagai “ahli”, merasa lebih tahu mengenai fakta kejadian ketimbang para pihak yang terlibat langsung di lapangan. Para “ahli” dapat berbicara lebih banyak dari fakta yang ada, dan jauh lebih spekulatif yang hanya membuat keruh duduk persoalan.
Sementara itu Terdakwa menghadirkan saksi dari pihaknya, yakni seorang staf bagian keuangan dan penagihan pada PT. Yong Kharisma, bahwa dirinyalah yang melakukan pengetikan surat edaran tersebut atas perintah dari Dirut perseroan, dimana sang Dirut memberi instruksi yang disampaikan secara lisan mengenai poin-poin yang harus termuat dalam surat edaran tersebut. Setelah dibuat, maka draf surat tersebut diberikan kepada sang Dirut untuk ditandatangani yang selanjutnya ia berikan kepada Terdakwa. (NOTE: Sejauh ini kita dapat melihat, adanya inkonsistensi antara keterangan yang diberikan sang Dirut dengan keterangan saksi ini.)
Adapun keterangan dari Terdakwa di persidangan, 1 (satu) minggu setelah dilakukan RUPS Luar Biasa, Terdakwa memberitahukan hasil keputusan rapat para pemegang saham tersebut kepada Miswanto dan lima orang lainnya selaku customer dan sales freelance perseroan. Terdakwa menyampaikan pada mereka, bahwa untuk selanjutnya urusan marketing agar berhubungan langsung kepada Terdakwa. Miswanto mengatakan pada Terdakwa, jika dirinya sedang menawarkan produk ke salah satu dealer namun untuk kepercayaan konsumen maka Miswanto meminta kepada Terdakwa harus ada penegasan dalam bentuk surat jika Nyoman Yudi tidak lagi menjabat selaku Direktur I (Marketing) perseroan.
Terhadap gempuran dakwaan Jaksa Penuntut beserta keempat “ahli” yang menghujam posisi Terdakwa, Terdakwa membuat nota pembelaan (pleidooi), yang pada pokoknya hendak menyampaikan, bahwa email yang dipakai untuk mengirim ialah email perseroan (sehingga merupakan aksi korporasi selaku badan hukum), dan orang yang bertanggung jawab atas keberadaan surat tersebut adalah Lim Tjie Liong selaku Dirut (Direktur Utama) yang menandatangani surat edaran tersebut—namun faktanya sang Dirut tidak dijadikan tersangka.
Terdakwa menyatakan pula, unsur pencemaran nama baik dalam kasus ini sama sekali tidak ada karena didalam surat edaran tidak tertuang kata-kata seperti “pencuri, penipu, pembohong”, dsb, yang masuk dalam kategori pencemaran nama baik. Surat edaran merupakan media komunikasi kebijakan internal perusahaan bagi pihak yang hendak melakukan hubungan hukum dengan perusahaan.
Surat edaran tidak lagi memiliki sifat pemberitaan jika justru tidak diedarkan, dan format baku Anggaran Dasar Perseroan biasanya tertuang bahwa antar anggota Direksi tidak terdapat pembagian tugas, maka pembagian tugas menjadi kewenangan Dirut. Dalam surat edaran, Dirut telah menyatakan bahwa Nyoman Yudi tidak lagi berwenang dibidang marketing, maka itulah hukum internal perusahaan yang berlaku sebagai suatu kebijakan, sekalipun perubahan susunan Direksi belum sah berlaku.
Sekalipun bersifat internal, namun berhubung pihak customer memiliki hubungan hukum dengan perseroan, maka kebijakan internal memiliki kaitan pula secara eksternal, layaknya Surat Edaran Mahkamah Agung yang tetap saja mengikat para pihak yang bersengketa di Pengadilan.
Atas dakwaan maupun tuntutan Jaksa Penuntut, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
Menimbang, untuk menilai suatu surat edaran mengandung unsur penghinaan atau pencemaran nama baik harus dilihat secara kontekstual dengan peristiwa yang melatarbelakanginya dan tujuan surat edaran itu dibuat bukan semata-mata dari isi surat edaran yang dibuat, kalau dicermati secara seksama substansial surat edaran baik dalam proposisi pertama maupun proposisi kedua tersebut dibuat tidak bermaksud untuk menghina atau mencemarkan nama baik seseorang incasu saksi Nyoman Yudi Saputra namun semata-mata dilakukan Terdakwa dalam rangka untuk memperoleh kepercayaan customer tentang eksistensi Terdakwa selaku Direktur I (Marketing) PT. Yong Kharisma Utama berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) karena selama ini seluruh customer PT. Yong Kharisma Utama Jaya hanya melakukan transaksi jual-beli industri karoseri hanya pada saksi Nyoman Yudi Saputra dan selain itu saksi Nyoman Yudi Saputra membuat perusahaan yang serupa dengan PT. Yong Kharisma Utama jaya dibidang karoseri yakni PT. Sarana Bina Tria;
“Sehingga untuk mengurangi kesalahan dalam transaksi jual-beli dan untuk mencegah timbulnya resiko yang nantinya akan merugikan pihak perusahaan dibidang industri karoseri sekaligus dalam rangka memberikan pelayanan yang maksimal dan optimal pada seluruh customer PT. Yong Kharisma Utama Jaya maka sangatlah wajar apabila di dalam Surat edaran tersebut ada kalimat jika, “Apabila setelah tanggal tersebut di atas saudara Nyoman Yudi Saputra melakukan transaksi kepada customer-customer dengan mengatasnamakan PT. Yong Kharisma Utama Jaya maka transaksi tersebut tidak diakui dan di luar tanggung jawab PT. Yong Kharisma Utama Jaya”;
“Menimbang, bahwa selain hal tersebut diatas untuk terpenuhi dalam sub unsur ini dimana konten yang berisi penghinaan atau pencemaran nama baik harus dapat diakses oleh khalayak umum secara terbuka seperti media milis atau website;”
Bagaimana reaksi Majelis Hakim terhadap serentetan tudingan para “ahli” yang diajukan Jaksa Penuntut? Perhatikan kutipan pertimbangan hukum Majelis Hakim berikut yang mengkuliahi balik para “ahli” tersebut:
“Menimbang, oleh karena itu Majelis hakim tidak sependapat dengan keterangan 3 (tiga) orang ahli yang diajukan Jaksa Penuntut Umum incasu ahli Andhika Dutha bachari, S.Pd. Mhum, ahli Taruli, S.H. dan ahli Dr. Eva Achani Zulfa, SH. MH., yang pada pokoknya dapat disimpulkan jika Surat Edaran tersebut pada proposisi pertama adalah informasi yang tidak benar, keliru, dan bohong sedang proposisi kedua mengandung sangat tendensius bermaksud menghina dan/atau mencemari nama baik saksi Nyoman Yudi Saputra. Sehingga konten dalam email yaitu Surat Edaran mengandung unsur pencemaran nama baik sehingga melanggar Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Transaksi Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE);
“Menimbang, bahwa Majelis hakim berpendapat keterangan 3 (tiga) orang ahli diatas terkesan subjektif sehingga merugikan Terdakwa, dimana Para Ahli sebelum memberikan keterangan dari tingkat penyidikan sampai didepan persidangan selain membaca UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE seharusnya juga membaca dan berpedoman pada Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali Nomor 225 PK/PID.SUS/2011 tanggal 17 September 2012 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1269/Pid.B/2009/PN.TNG tanggal 29 Desember 2009 atas nama Terdakwa Prita Mulyasari. Dimana dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang menyatakan bahwa setelah keluar dari Rumah Sakit Bintaro Terdakwa mengirim email ke beberapa temannya dengan subjek, “Penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang”. Maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang menyatakan jika bahwa email Terdakwa sebagaimana tersebut diatas tidak bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik karena kalimat tersebut adalah kritik dan demi kepentingan umum agar masyarakat terhindar dari praktik-praktik rumah sakit dan/atau dokter yang tidak memberikan pelayanan medis yang baik terhadap orang sedang sakit yang mengharapkan sembuh dari penyakit, sehingga akhirnya Terdakwa Prita Mulyasari dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat kasus Prita Mulya Sari hampir similar (serupa) dengan perkara Terdakwa Erick Limar dalam perkara a quo yakni sama-sama bertujuan bukan menghina atau mencemarkan nama baik seseorang. Dimana Prita Mulyasari sebagai pasien hanya yang memberikan saran dan kritik terhadap Rumah Sakit Omni Internasional bertujuan agar pasien lain tidak mempunyai permasalahan sama seperti dirinya sedangkan Terdakwa Erick Limar selaku Direktur I (Marketing) PT. Yong Kharisma Utama Jaya bertujuan untuk memberitahukan kepada customer tentang perubahan Direksi pada PT. Yong Kharisma Utama Jaya sehingga customer tidak terjadi kesalahan dalam melakukan transaksi dibidang industri karoseri dan mencegah timbulnya resiko yang akan merugikan perusahaan nantinya. Sedangkan perbedaannya jika kasus Prita Mulyasari secara terang-benderang menyatakan kalimat secara lugas yakni “Penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang” sedangkan kasus Terdakwa Erick Limar serangkaian kalimat tidak bersifat lugas masih dalam batas kewajaran yakni, “Apabila setelah tanggal tersebut di atas saudara Nyoman Yudi Saputra melakukan transaksi kepada customer-customer dengan mengatasnamakan PT. Yong Kharisma Utama Jaya maka transaksi tersebut tidak diakui dan di luar tanggung jawab PT. Yong Kharisma Utama Jaya”. Selain itu perbedaan yang lain jika kasus Prita Mulyasari konten email tersebut dikirim ke beberapa temannya sedangkan dalam kasus Terdakwa Erick Limar konten email hanya dikirim padaa satu orang yakni saksi Miswanto;
“Menimbang, bahwa selanjutnya karena surat edaran tersebut dibuat berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS-LB), maka terhadap RUPS-LB menurut ahli Prof. Dr. Tan Kamello, SH. MS. menyatakan jika RUPS-LB tanggal 29 Januari 2014 PT. Yong Kharisma Utama jaya dianggap tidak pernah melaksanakan RUPS-LB dan rapat dimaksud batal demi hukum karena telah melampaui waktu 30 (tiga puluh) hari;
“Menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim keterangan ahli Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS tersebut diatas terkesan subjektif sehingga merugikan Terdakwa selaku Direktur I (Marketing) berdasarkan hasil RUPS-LB tanggal 29 Januari 2014. Karena didalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak ada satupun pasal yang menyatakan batal demi hukum jika hasil RUPS-LB didaftarkan atau diberitahukan kepada menteri Hukum dan HAM RI melebihi 30 hari;
“Justru Majelis Hakim berpedoman pada Surat Kementerian Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor AHU-AH.01.10-18805 jika hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Yong Kharisma Utama Jaya sudah diterima dan dicatat dalam database Sistem Administrasi Badan Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan pencatatan ini bersifat administrasi guna melengkapi dokumen perseroan dan tidak mempunyai akibat hukum apapun;”
Satu hal yang menarik dari putusan ini, terdapat sebuah kaedah hukum yang dibentuk, bahwasannya ketentuan jangka waktu paling lambat mendaftarkan keputusan RUPS pada otoritas, memberi hak bagi otoritas untuk menolak pendaftaran perubahan Anggaran Dasar yang telah melewati batas jangka waktu 30 hari. Namun, otoritas dapat tidak menggunakan hak tolaknya, dengan tetap menerima dan mengabulkan pendaftaran sekalipun telah melewati batas jangka waktu 30 hari.
Selama dalam tempo jangka waktu, adalah hak warga negara untuk dilayani, namun bila lewat dari batas jangka waktu tersebut maka menjadi hak bagi otoritas untuk menolak. “Hak” dapat dipakai juga dapat tidak digunakan, baik oleh publik maupun oleh otoritas. Fakta hukum: tiada terdapat ketentuan dalm UU PT bahwa otoritas wajib menolak bila jangka waktu telah terlampaui. Inilah yang disebut dengan kebijakan / diskresi.
Majelis Hakim melanjutkan pertimbangan hukumnya yang penuh nuansa kearifan (yang terbukti melampaui para intelek) yang secara komprehensif menyebutkan:
“Menimbang, bahwa selain itu terhadap hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) tanggal 29 Januari 2014 sejak ditandatangani pemegang saham kemudian diaktakan notaris sampai dengan didaftarkan diterima dan dicatat dalam database Sistem Administrasi Badan Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tidak ada pihak lain termasuk saksi Nyoman Yudi Saputra yang merasa keberatan baik secara lisan maupun tertulis terhadap hasil RUPS-LB tersebut terbukti saksi Nyoman Yudi Saputra menandatangani hasil Risalah Rapat dan RUPS-LB tanggal 29 Januari 2014, jadi selama tidak ada keberatan terhadap hasil RUPS-LB tanggal 29 Januari 2014 maka RUPS-LB tanggal 29 Januari 2014 tersebut harus diikuti dan dilaksanakan oleh para pihak yang membuat dan menandatanganinya;
“Menimbang, ... hasil Rapat Umum Pemegang Saham PT. Yong Kharisma Utama Jaya berlaku secara internal ketika Rapat Umum Pemegang Saham ditutup dan ditandatangani pemegang saham dan berlaku secara eksternal ketika Risalah Rapat dijadikan menjadi Akta Notaris dan bagi pihak yang merasa keberatan terhadap Rapat Umum Pemegang Saham tersebut sebaiknya tidak menandatangani Risalah Rapat dan Rapat Umum Pemegang Saham tersebut;
“Menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim keterangan 2 (dua) orang saksi (yang diajukan pihak Terdakwa) yang meringankan (a de charge) tersebut ternyata orang mengetahui dan mengalami sendiri peristiwa tersebut bahkan saksi Rikardo Christianto orang yang membuat dan mengetik surat edaran tersebut dan saksi Nuryana mengetahui risalah RUPS tanggal 29 Januari 2014 tersebut, dimana kedua orang tersebut yang mengetahui dan mengalami sendiri peristiwa tersebut idealnya dijadikan saksi (yang memberatkan, a charge) oleh Jaksa Penuntut Umum dalam memperkuat pembuktian dalam Tuntutannya namun justru kedua orang tersebut dijadikan saksi meringankan (a de charge) oleh Terdakwa;
“Selain itu kalau dicermati kedudukan saksi Rikardo Christianto dan saksi Muh Heri Wibowo dalam perkara aquo mempunyai kualitas dan peran yang sama incasu sama-sama terlibat dalam surat edaran tersebut, namun yang dijadikan Terdakwa justru Muh Heri Wibowo dan Erick Limar saja sedangkan Lim Tjie Liong Alias Yongki yang menandatangani surat edaran maupun Rikardo Christianto yang membuat dan mengetik surat edaran dan saksi Miswanto yang menerima surat edaran melalui akses via email dan memberitahukan pada orang lain justru tidak dijadikan Terdakwa dalam perkara aquo. Sehingga wajar apabila Penasehat hukum Terdakwa dalam nota pembelaannya menyatakan penyidik dalam perkara ini tidak profesional. Sehingga terkesan perkara ini disatu sisi tebang pilih namun di sisi lain kurangnya petunjuk yang diberikan Jaksa Penuntut Umum kepada Penyidik dalam proses ditingkat penyidikan;”
Dalam kesimpulannya, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap didepan persidangan, maka sub unsur ke-3 tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam perkara aquo tidak terpenuhi;
“Menimbang, bahwa oleh karena salah satu unsur dalam dakwaan Alternatif Pertama Penuntut Umum tidak terpenuhi, maka sub unsur selanjutnya tidak perlu dipertimbangkan kembali dan Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan Alternatif Kesatu tersebut;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan adagium, “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah dan sesuai adagium “geen straf zonder schuld” artinya tiada hukuman tanpa kesalahan serta adagium “in dubio pro reo” artinya jika ragu atau tidak yakin akan kesalahan Terdakwa, maka lebih baik Terdakwa dibebaskan dari segala kesalahannya;”
Tiba pada penghujung, Majelis Hakim menjatuhkan amar putusan:
MENGADILI
1. Menyatakan Terdakwa Erick Limar, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Dakwaan Alternatif Kesatu dan Kedua Jaksa Penuntut Umum;
2. Membebaskan Terdakwa Erick Limar oleh karena itu dari segala Dakwaan Alternatif Kesatu dan kedua Jaksa Penuntut Umum;
3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya;”
Jika saja para “ahli” dan “pakar” dari universitas papan atas serta instansi bergensi yang dihadirkan oleh Jaksa menjadi hakim yang memutus perkara kriminalisasi ini, pastilah putusan akan bersifat memenangkan yang “menyewa”. Tidak heran bila kita kemudian mendengar istilah “kegenitan kaum intelektual yang berliang di atas menara gading yang angkuh dan munafik”. Para “ahli” dan “pakar” tersebut tidak mungkin tidak tahu perkara OMNI versus Prita Mulyasari yang fenomental dan menjadi landmark decision. Terdapat garis pembeda antara “tidak tahu” dengan “pura-pura tidak tahu”. Terjadi desersi intelektual, dimana para “ahli” membuat malu diri mereka sendiri.
Kembali pada psinsip “niat batin” (mens rea), apakah hendak menjatuhkan nama “baik” (yang belum tentu “baik”) suatu pihak ataukah guna memperingatkan pihak-pihak ketiga agar waspada dan tidak menjadi korban serupa, adalah dua hal yang saling berbeda, meskipun tindakan luar lahiriah (actus reus) tampak seperti pencemaran nama baik.
Sekalipun actus reus terbukti sebagai perbuatan mencemarkan nama baik, namun bila tidak didukung bukti konkret adanya niat batin yang buruk, namun dengan berhati mulia hendak memperingatkan pihak-pihak ketiga untuk waspada, maka mens rea yang akan menjadi faktor penentu. Sama seperti tindakan sipil yang menggunakan senjata tajam menyerang lawannya guna membela diri, maka niat batin membela diri tersebut menjadi alasan pemaaf bagi penggunaan senjata tajam yang melukai lawannya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.