Pemutusan Hubungan Kerja Karyawan oleh Perusahaan Tanpa Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial

LEGAL OPINION
Question: Apakah boleh perusahaan mem-PHK buruh atau karyawannya secara sepihak, dengan alasan apapun, tanpa adanya penetapan dari PHI? Apakah direktur dilindungi pula oleh hak-hak layaknya seorang karyawan?
Brief Answer: Kecuali bila karyawan telah terbukti dinyatakan melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka sekalipun karyawan telah melakukan “kesalahan berat”, maka pihak pemberi kerja wajib mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawannya melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Namun terdapat satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa struktur manajerial dalam Perseroan Terbatas (PT) seperti Direksi maupun Dewan Komisaris, bukanlah karyawan yang tunduk pada hukum ketenagakerjaan, karena Direksi dan Dewan Komisaris adalah salah satu organ Perseroan Terbatas. Direksi dan Dewan Komisaris memiliki masa kerja yang limitatif, dalam arti dibatasi dalam Anggaran Dasar PT (biasanya lima tahun masa jabatan). Kedua, Direksi dan Dewan Komisaris adalah jabatan yang mana pejabatnya ditunjuk oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), sehingga Direksi dan Dewan Komisaris dapat dipecat sewaktu-waktu oleh RUPS tanpa dapat menimbulkan hak normatif layaknya buruk/karyawan. Sehingga dalam kasus dipecatnya seorang direktur suatu PT, tidak melahirkan hak atas pesangon bagi direktur tersebut.
Untuk lebih jelasnya lihat kasus PT. Jobs DB Indonesia yang pada tahun 2008 memecat secara tidak hormat Eddy Santoso Tjahja selaku mantan Direktur karena menyalahgunakan wewenang jabatannya dengan memeras tenaga serta waktu sumber daya manusia PT. Jobs DB Indonesia untuk kepentingan pribadi sang Direktur (Eddy Santoso Jjahja disaat bersamaan memiliki usaha pribadi sejenis dibidang recruitment pegawai bernama PT. Auditsi Utama serta PT. Metro Pacific sehingga memiliki conflict of interest). Eksploitasi tenaga kerja oleh Eddy Santoso Tjahja yang kini memimpin PT. Auditsi Utama, hingga kini tetap menggunakan cara-cara eksploitatif seperti tidak membayar Upah pekerja, tidak memberikan kontrak kerja, hingga praktik-praktik penipuan terhadap tenaga kerjanya sendiri.
PEMBAHASAN :
Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 418 K/PDT.SUS/2009 tanggal 6 Agustus 2009 antara:
- NENNY LORICA, selaku Pemohon Kasasi, dahulu Penggugat pada PHI; melawan
- PT. TAINAN ENTERPRISES INDONESIA, selaku Termohon Kasasi, dahulu Tergugat.
Adapun duduk perkaranya, Penggugat merupakan karyawan tetap pada Tergugat yang mulai bekerja sejak tahun 2002 pada divisi Quality Control hingga tahun 2005, dan 2005 hingga Maret 2008 dipindahkan ke bagian Finishing dengan upah Rp. 1.562.192;-. Sehingga total masa kerja selama 6 tahun 1 bulan.
Selama masa kerja tersebut, Penggugat tidak pernah mendapat surat peringatan dari Tergugat selama bekerja. Adapun tugas Penggugat pada bagian Finishing ialah mengecek barang yang telah selesai dijahit dan siap untuk diekspor.
Pada tahun 2008, Penggugat selalu membubuhkan tanda pada setiap barang yang telah selesai disortir olehnya, namun setelah Penggugat selesai memberikan tanda pada barang, barang langsung dicampur dengan barang lain dan di-packing. Pada saat paket barang tersebut dicek kembali sebelum dikirim, terdapat masalah terhadap kualitas barang dimana bekas jahitan pada barang masih belum sempurna, sehingga paket harus dibongkar kembali yang mengakibatkan barang terlambat dikirim pada konsumen.
Akan tetapi pada kualitas barang yang bermasalah tersebut, tidak terdapat satu pun tanda dalam label berupa inisial nama Penggugat yang telah diberikan oleh Penggugat, sehingga barang yang bermasalah tersebut bukan merupakan barang yang telah dicek oleh Penggugat.
Atasan Penggugat selaku kepala bagian produksi, memanggil Penggugat untuk meminta ganti-kerugian sebesar Rp. 200.000.000;- kepada perusahaan dengan alasan untuk mengganti beban biaya pengiriman barang melalui pesawat terbang dimana barang tersebut biasa dikirim melalui darat.
Atas permintaan tersebut, Penggugat menolak, karena semua barang yang telah disortir Penggugat dibubuhkan tanda berupa inisial nama Penggugat, sedangkan pada barang yang bermasalah tidak ditemukan tanda yang telah diberikan Penggugat.
Alhasil, pada tanggal 31 Maret 2008, Tergugat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak terhadap Penggugat secara lisan dan tanpa diberkan hak-haknya dengan alasan bahwa Penggugat telah melakukan kesalahan berat yang menyebabkan kerugian bagi Tergugat.
Penggugat mendalilkan, alasan “kesalahan berat” sebagai alasan pembenar untuk melakukan PHK sepihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenagakerja), telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004. Bahkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 yang salah satu butirnya mengatur:
Penyelesaian kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks) Pasal 158 ayat (1) maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
b. Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam hal terdapat alasan mendesak yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.”
Penggugat mendalilkan, berdasarkan kaidah tersebut diatas, maka unsur kesalahan berat yang dijadikan dasar oleh Tergugat selaku pengusaha untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja adalah tidak tepat, sehingga PHK terhadap Penggugat menjadi batal demi hukum.
Kaidah normatif sebenarnya telah jelas dan terinci dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Tanpa adanya pembinaan apapun, Tergugat seketika melakukan PHK sepihak. Adapun Penjelasan Resmi Pasal 151 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
“Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini adalah kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh.”
Tanpa diberikannya surat peringatan apapun, seketika Tergugat melakukan PHK, hal mana bertentangan dengan kaidah Pasal 161 UU ketenagakerjaan:
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Karena Penggugat menolak dilakukan perundingan bipartit maupun tripartit, maka Penggugat melayangkan gugatan ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial) sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial:
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Karena upaya penyelesaian secara bipartit dianggap gagal, Penggugat mencatatkan permasalahan ini ke Suku Dinas Tenaga Kerja di wilayah dimana tempat Penggugat bekerja di Jakarta Utara, secara tertulis melalui surat perihal Permohonan Pencatatan Perkara Hubungan Industrial antara Nenny Lorica melawan PT. Tainan, sebagaimana diatur Pasal 4 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004:
“Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.”
Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara kemudian mengadakan panggilan mediasi sebanyak tiga kali, dimana Tergugat tidak pernah hadir, sehingga melihat adanya itikad tidak baik tersebut, pada tgl 13 Oktober 2008 Suku Dinas Tenaga Kerja menerbitkan surat anjuran, dengan substansi:
1. Perusahaan PT. Tainan Enterprises Indonesia atas pengakhiran hubungan kerja dengan pekerja Sdri. Nenny Lorica memberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Para pihak agar memberikan jawaban secara tertulis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) setelah diterimanya anjuran ini;
3. Apabila kedua belah pihak atau salah satu pihak menolak anjuran, maka pihak yang menolak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat seusi Undang-Undang No. 2 Tahun 2004.”
Tidak hanya sampai disitu, Penggugat juga menuntut hak normatifnya atas “upah proses”. Berdasarkan Pasal 151 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan, pada pokoknya mengatur bahwa selama putusan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Dengan demikian Tergugat harus tetap melaksanakan kewajibannya untuk membayar upah selama proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial kepada Penggugat sampai dengan adanya putusan PHI yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) atas sengketa hubungan industrial yang timbul diantara Penggugat dan Tergugat.
Untuk itu berlaku ketentuan Pasal 156 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Terhadap gugatan tersebut PHI telah memutus dalam register perkara No. 321/PHI.G/2008/PN.JKT/PST tanggal 17 Februari 2009 dengan amar:
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;”
Penggugat yang dikalahkan, karena Tergugat berkilah bahwa Penggugat telah mengundurkan diri berdasarkan Pasal 168 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
“Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”
Penjelasan Resmi:
“Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini adalah pekerja/buruh telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada alamat pekerja/buruh sebagaimana tercatat di perusahaan berdasarkan laporan pekerja/buruh. Tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua paling sedikit 3 (tiga) hari kerja.”
Untuk itu Penggugat mengajukan kasasi, dan dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Agung menyebutkan:
Bahwa terlepas dari alasan-alasan Pemohon Kasasi, Mahkamah Agung berpendapat, judex facti telah salah menerapkan hukum, karena Tergugat tidak dapat membuktikan adanya surat panggilan untuk bekerja 2 (dua) kali secara patut sebagaimana diatur dalam Pasal 168 UU No. 3 Tahun 2003, dengan demikian Penggugat tidak dapat dikualifikasikan mengundurkan diri;
“Bahwa terhadap peristiwa hukum demikian maka adil dan beralasan hukum apabila diputus hubungan kerja dengan mendapat hak-haknya 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, ...”
Tiba pada amar putusannya, Mahkamah Agung memutuskan:
MENGADILI
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: NENNY LORICA tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadlan Negeri Jakarta Pusat No. 321/PHI.G/2008/PN.JKT.PST tanggal 17 Februari 2009;”
DAN MENGADILI SENDIRI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus secara hukum hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak tanggal 31 Maret 2008;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak kepada Penggugat yang jumlah dan perinciannya adalah sebagai berikut:
- Uang pesangon: 7 x Rp. 1.562.192;-
- Uang penghargaan masa kerja: 3 x Rp. 1.562.192;-
- Uang penggantian hak (penggantian perumahan, pengobatan, dan perawatan): 15% x (Rp. 10935.344 + Rp. 4.868.576;) = Rp 2.343.288;-
Jumlah = Rp. 17.965.208;-
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.
Kembali SHIETRA & PARTNERS garis-bawahi, khusus untuk kasus pemecatan Direksi maupun Dewan Komisaris oleh RUPS, maka Direksi maupun Dewan Komisaris tidak berhak atas pesangon atau sejenisnya, karena organ PT tidak tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Pengangkatan dan pemecatan terhadap Direksi maupun Komisaris menjadi hak prerogatif dari RUPS. Sehingga, sekalipun seorang Direktur tidak kembali diangkat untuk masa bakti tahun keenam, sebagai contoh, dirinya tidak dapat menuntut pesangon dari perusahaan.
Hak-hak normatif dalam UU Ketenagakerjaan hanya melekat pada setiap pegawai, pekerja, buruh, atau istilah lainnya yang bukan berkedudukan sebagai Direksi maupun Dewan Komisaris. Sebagaimana halnya para pemegang saham tak dapat mengklaim hak-hak normatif layaknya seorang buruh atas perseroan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.