ARTIKEL HUKUM
Mungkinkah hakim pada lingkungan peradilan umum melakukan uji materiil? Pertanyaan ini menggelitik sekaligus menjadi wacana baru, meski dalam praktik litigasi bukan merupakan hal baru.
Dalam praktiknya, sesekali dapat kita jumpai putusan pengadilan negeri yang merujuk UUD RI 1945 atau Konstitusi NKRI sebagai dasar rujukan norma hukum utama sebagai pertimbangan hukum ketika memeriksa dan memutus perkara yang dimajukan ke hadapannya.
Sebagai seorang Hakim yang baik, ia tidak akan merasa cukup disodorkan bunyi kaedah dalam undang-undang maupun peraturan tertulis lainnya. ia juga tidak akan puas dengan peraturan perundang-undangan tanpa menguji ke-sahih-an falsafah yang berdiri dibaliknya sebagai topangan utama validitas peraturan tertulis tersebut.
Simak putusan Pengadilan Niaga Surabaya yang memeriksa dan memutus perkara perlawanan perkara No. 06/Plw/Pailit/2015/PN.Niaga.Sby jo. Nomor 20/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby tanggal 19 Agustus 2015, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum dengan bunyi sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena prosedur dan tata cara Para Pelawan memperoleh ketiga objek sengketa tersebut didasarkan pada sebab yang sahih (ex pasal 1320 KUHPerdata) maka seketika itu, konstitusi (baca UUD RI 1945) memberikan perlindungan hukum atas hubungan kepemilikan ketiga apartemen milik Para Pelawan sehingga segala bentuk penerapan undang-undang dibawah UUD RI 1945 yang bertentangan dengan hubungan hukum yang dilindungi oleh konstitusi harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat;
Hingga saat ini, tidak terdapat satupun ketentuan hukum tertulis yang membatasi hakim untuk hanya berpedang dan merujuk pada undang-undang. Ketika hakim dihadapkan pada suatu permasalahan hukum, secara sistematis dirinya dapat melakukan filterisasi mulai dari aturan hukum dasar tertinggi, yakni Konstitusi RI, dilanjutkan pada undang-undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berada dibawah undang-undang.
Ketika hakim menemukan pengaturan terhadap peristiwa hukum konkret yang dipermasalahkan, baik dalam UUD RI 1945 maupun dalam undang-undang, maka berdasarkan prinsip lex superior derogat legi inferiori, maka memang dibenarkan secara yuridis bila hakim memilih untuk mengelaborasi serta mengikuti UUD RI 1945 alih-alih tunduk pada undang-undang.
Meski demikian, mayoritas hakim pengadilan umum masih membatasi diri merujuk pada undang-undang dan peraturan perundang-undangan dibawahnya, dengan melompati (skip atau by-pass) terhadap Konstitusi RI yang acapkali tidak pernah di-“sentuh” dalam pertimbangan hukumnya.
Secara perbandingan, dari 200 putusan pengadilan umum yang masuk pada program kerja eksaminasi SHIETRA & PARTNERS, hanya satu buah putusan yang menerapkan metodologi telaah “piramida” ini, dimana hakim akan merujuk terlebih dahulu pada filterisasi ketentuan dalam Konstitusi sebelum merujuk pada undang-undang.
Sudah saatnya kita mengubah mindset bahwasannya hanya Mahkamah Konstitusi yang perlu merepotkan diri menelaah pengaturan/kaedah normatif dalam UUD RI 1945.
Sebaliknya, SHIETRA & PARTNERS menemukan, para Hakim Konstitusi RI kerap bersifat naif, menolak permohonan uji materiel warga negara dengan alasan dasar permohonan Pemohon atau masalah konkret yang dialami dan diangkat Pemohon hanyalah permasalahan implementatif norma dalam praktik di lapangan. Dalam taraf ini, MK RI sedang berdiri diatas “menara gading”—sehingga seorang Hakim Pengadilan Negeri dapat lebih mulia, luhur, dan agung ketimbang seorang Hakim Konstitusi sebagaimana contoh putusan Hakim Pengadilan Niaga yang SHIETRA & PARTNERS kutipkan dimuka.
Sejujurnya, terdapat beragam aspek yang dapat dilakukan suatu “penemuan hukum” dalam praktik berhukum di negeri yang mengadopsi sistem keluarga hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia, dimana hakim ketika memutus perkara merujuk para ketentuan hukum tertulis (maupun tidak tertulis) sebagai suatu Premis Mayor, sementara kejadian aktual sebagai Premis Minor, dengan output berupa silogisme terpenuhi atau tidaknya suatu delik pidana, sebagai contoh.
Sistem peradilan konservatif demikian deterministik, dalam arti bagaikan proses “komputerisasi” input—output bagaikan mesin hukum, seolah peran seorang hakim dapat tergantikan oleh robot.
Terkadang, keadilan menjadi buah elaborasi suatu perasaan / sanubari sang hakim yang mampu “merasa”. Maka dari itu menjadi berbahaya ketika seorang hakim menjadi “mati rasa” karena demikian seringnya menjatuhkan hukuman pada seorang kriminil. Hakim demikian dapat menjelma robot hidup dimana terhadap kasus tindak pidana sekian dihukum penjara sekian tahun.
Kita pun sah-sah saja ketika mengajukan pertanyaan secara kritis: mungkinkah kita keluar dari “pakem” berhukum konservatif mengingat berbagai peraturan perundang-undangan yang masih dipakai Indonesia merupakan produk hukum Kolonial Belanda?
Penulis sejauh ini mendapati fakta, bahwa berbagai produk Kolonial tersebut bukannya tidak sanggup digantikan dengan regulasi baru buatan anak dalam negeri, namun adanya kepentingan politis dibaliknya yang membuat praktik berhukum di Indonesia berjalan stagnan.
Ambil contoh, suatu hari penulis meminta izin panitera pengganti pengadilan untuk memfoto surat kuasa penggugat di pengadilan guna mengajukan eksepsi terhadap legal standing kuasa hukum lawan, namun panitera tersebut melarang memfoto surat kuasa lawan dengan alasan hukum acara perdata tidak mengatur perihal kebolehan memfoto surat kuasa—meski anehnya, hukum acara perdata juga tidak mengatur bahwa panitera pengganti boleh menggunakan laptop dalam tugas kesehariannya di pengadilan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Hukum Acara Perdata, dan berbagai produk hukum lainnya, merupakan undang-undang yang dibentuk oleh Belanda ratusan tahun lampau, yang masih dianut Indonesia hingga kini. Bahkan tiada terjemahan versi resmi yang diakui Indonesia hingga sekarang.
Hal ini terjadi oleh sebab adanya kepentingan para sarjana hukum senior yang terancam kepentingannya bila berbagai produk hukum kolonial tersebut digantikan dengan undang-undang baru, karena sama artinya para sarjana hukum senior tersebut harus memulai belajar dari awal alias “NOL” kembali sehigga tidak dapat lagi bersikap besar kepala di hadapan para juniornya.
Itulah kelemahan utama profesi hukum. Regulasi berubah, maka memulai membangun argumentasi serta konstruksi logika hukum dari awal lagi seperti seorang sarjana hukum yang masih “hijau” baru keluar dari perguruan tinggi.
Amat langka adanya sarjana hukum di Indonesia yang mampu membuat pertanyaan-pertanyaan cerdas seperti: apakah mungkin bila kita mengajukan uji materiil ke hadapan Mahkamah Agung RI, dimana terhadap Peratuarn Daerah atau Peraturan Menteri yang hendak diuji materiil, sebagai misal, dibenturkan terhadap UUD RI 1945 alih-alih memohon Mahkamah Agung mengujinya terhadap undang-undang sebagaimana “pakem” selama ini?
Wacana dapat dikemukakan, namun praktik dapat mengakomodasinya atau juga tidak, namun yang terpenting ialah “benih ide” atau “gagasan” itu sendiri tidak boleh dibungkam terlebih di-“bonsai”.
Terdapat banyak praktik kebiasaan hukum maupun peradilan yang terjadi berdasarkan ide-ide kreatif yang sejatinya tidak memiliki pengaturan dalam aturan tertulis. Contoh, Surat Edaran Mahkamah Agung mengenai small claim court, tidak memiliki pengaturan dalam undang-undang, namun Surat Edaran ternyata lebih mumpuni ketimbang produk legislatif yang “imp*ten”. Kebutuhan dan kemendesakan telah membentuk hukum itu sendiri.
Masih amat langka pengajar hukum di Indonesia yang memahami pedagogi (ilmu / keterampilan mengajar) yang mampu mengembangkan sikap kritis dan kreatif dari para peserta didik alih-alih bersikap diktator dan otoriter anti kritik dan anti pertanyaan yang tidak mudah diterka yang dapat membuka fakta bahwasannya sang pengajar tidak menguasai ilmu hukum.
Seorang reformis, terbuka pada berbagai hal baru, khazanah baru, bahkan ranah baru. Pendidik yang berhasil adalah pendidik yang meng-“encourage” peserta didik untuk berpikir diluar “kotak” (think out of the box), menjadi pribadi yang dewasa dan berdikari dalam berpikir.
Sudah saatnya kita beralih dari paradigma "boleh tidak?" menuju "mengapa tidak?" Mencerdaskan bukan dilandasi oleh doktrinisasi, namun membebaskan potensi berpikir peserta didik dan bangsa pada umumnya.
Sudah saatnya kita beralih dari paradigma "boleh tidak?" menuju "mengapa tidak?" Mencerdaskan bukan dilandasi oleh doktrinisasi, namun membebaskan potensi berpikir peserta didik dan bangsa pada umumnya.
Tidak dibenarkan bila kita terus mewariskan sistem maupun teori hukum usang konservatif orthodoks yang tidak akomodatif terhadap kemajuan hukum, sebagaimana selama ini menjadi biang keladi stagnannya praktik hukum dan peradilan di Indonesia.
Para profesor hukum asyik mengutip dan mengadopsi teori-teori asing, dan sudah cukup bangga menerbitkan buku-buku yang subtansinya hanya sekedar kutip-mengutip teks-teks asing, bahkan tidak jarang penulis besar buku hukum yang hanya sekedar menerbitkan buku full copy-paste buku-buku sumber tanpa adanya metode ilmiah pengutipan footnote maupun sidenote, dengan cukup puas hanya memasukkan semua buku sumber tersebut pada Daftar Pustaka dan membodohi para siswa serta para pembacanya seakan buku tersebut adalah hasil buah pikir sang penulis yang sejatinya hanya kutip-mengutip yang secara tidak jujur diungkapkan sang penulis bahwa sejatinya tiada pemikiran orisinil dalam berbagai buku yang “ditulisnya” tersebut.
Bagi SHIETRA & PARTNERS, buku hukum semacam demikian bukanlah buku ilmiah hukum, namun hanya buku terjemahan dimana sang penulis telah melakukan kebodohan dan kebohongan terhadap publik dengan memberikan emblem nama sang penulis pada sampul buku.
Seorang intelek dan cendekia tidak pernah berbohong kepada publik, terlebih berdusta terhadap dirinya sendiri.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.