Partial Judicial Review oleh Hakim PTUN terhadap Peraturan Dibawah Undang-Undang

ARTIKEL HUKUM
Uji materiil (judicial review) bukan menjadi monopoli kewenangan Mahkamah Konstitusi RI maupun Mahkamah Agung RI. Pada praktiknya, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) kerap melakukan uji materiil secara parsial, dalam arti hanya khusus terhadap peristiwa/sengketa konkret yang dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan diputus.
Berbeda dengan kewenangan MK RI maupun MA RI yang berwenang membatalkan suatu ketentuan hukum secara “umum”, maka Majelis Hakim PTUN “bisa jadi” berwenang membatalkan suatu peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap peraturan yang lebih tinggi hanya untuk sebatas perkara yang disidangkan dan diputus olehnya, sehingga sifatnya tidak membatalkan secara “umum”, namun secara “individual serta konkret”.
Untuk memudahkan pemahaman, SHIETRA & PARTNERS mengilustrasikan lewat putusan Pengadilan Tata usaha Negara Surabaya register perkara Nomor 48/G/2013/PTUN.Sby tanggal 12 September 2013, yang memutus Sengketa Tata Usaha Negara antara:
- Emperor Mines PTY Limited, korporasi badan hukum dari Negara Australia, selaku Penggugat; melawan
- Bupati Banyuwangi, Jawa Timur, selaku Tergugat;
- PT. Bumi Suksesindo, sebagai Tergugat II Intervensi-1;
- PT. Damai Suksesindo, sebagai Tergugat II Intervensi-2.
Dalam putusan tersebut, dua dari tiga hakim PTUN (mayoritas) menyatakan bahwa “gugatan tidak dapat diterima” karena objek sengketa yang berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP) bukan lagi atas nama pemegang IUP awal karena sudah dialihkan IUP tersebut oleh pemegang semula kepada pihak ketiga.
Sementara itu salah seorang hakim PTUN menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) yang menarik untuk disimak, yakni pokok sengketa bermula dari permohonan pemindahan IUP atas nama PT. Indo Multi Niaga (IMN) kepada otoritas (yakni Tergugat), meski pada saat bersamaan IMN terikat perjanjian investasi dengan Penggugat sehingga Penggugat yang notabene pemberi dana dengan hak konversi piutang dengan saham pada IMN merasa kepentingannya dirugikan oleh aksi korporasi IMN.
SHIETRA & PARTNERS menilai, keputusan hakim mayoritas telah tepat, karena Penggugat yang merupakan korporasi asing hendak menjadikan IMN sebagai boneka (nominee) mengingat saat itu Izin Kuasa Pertambangan tidak dapat dimiliki pihak asing, sehingga dibuatlah siasat berupa perjanjian pendanaan dengan hak konversi atas saham demikian.
Oleh hakim mayoritas PTUN dalam perkara ini, gugatan Penggugat dinyatakan “tidak dapat diterima” oleh karena berdasarkan doktrin “piercing the corporate veil”, menjadi jelas itikad tidak baik Penggugat yang hendak menjadikan badan hukum di Indonesia sebagai boneka belaka.
Adapun klaim Penggugat atas kerugian investasinya, dalam pandangan SHIETRA & PARTNERS, merupakan resiko setiap aksi korporasi, dimana Penggugat hanya dapat menggugat IMN ataupun melelang eksekusi agunan yang dijaminkan, karena pihak diluar IMN tidak memiliki keterkaitan ataupun hubungan apapun dengan Penggugat.
Jikalau pun benar perjanjian investasi itu eksis, dan Penggugat telah dirugikan, maka adalah IMN semata yang patut dijadikan tergugat oleh Penggugat, bukan justru menarik pihak ketiga yang beritikad baik sebagai tergugat yang mana akan menjadi modus perampokan oleh korporasi asing terhadap sumber daya ekonomi Indonesia.
Karena Penggugat memiliki intensi / itikad buruk untuk mengeruk kekayaan ekonomi dan kekayaan alam di Indonesia, maka jelas memiliki kepentingan terhadap IUP yang merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Namun SHIETRA & PARTNERS sependapat dengan hakim mayoritas, yang menyatakan bahwa tak semua “yang berkepentingan” yang dapat menggugat KTUN di hadapan PTUN.
Legal Standing untuk menggugat ke hadapan PTUN hanya dimiliki oleh mereka yang berkepentingan secara langsung dan kepentingan itu bersifat terang-benderang alias terbuka, bukan kepentingan yang sengaja dibuat terselubung sehingga menjadi sebuah tabir yang menyelubungi (corporate veil) guna mengecoh pihak otoritas seandainya tidak terjadi sengketa yang dapat menyingkap tabir nominee tersebut.
Karena hakim mayoritas menyatakan gugatan “tidak dapat diterima”, maka pokok perkara tidak diperiksa—meski para hakim mayoritas pun sebetulnya ingin menguji: “apakah dapat dibenarkan IUP dialihkan?”
Namun apa yang akan terjadi bila saja pokok perkara diperiksa dan diputus oleh para Majelis Hakim? Untuk itu menarik kita simak pertimbangan hukum hakim minoritas dalam dissenting opinion-nya bila saja pokok sengketa diperiksa dan diputus Majelis:
Menimbang, bahwa Hakim Anggota I sependapat dengan Hakim Ketua Majelis dan Hakim Anggota II mengenai objek sengketa yang akan dilanjutkan pengujian dari aspek keabsahan menurut hukum sebagaimana telah diuraikan diatas;
“Menimbang, bahwa di dalam gugatannya Penggugat mendalilkan bahwa penerbitan objek sengketa telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
“Menimbang, bahwa kewenangan penerbitan IUP, berdasarkan Pasal 37 huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan bahwa IUP diberikan oleh Bupati/Walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota;
“Menimbang, bahwa dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut diatas, maka kewenangan yang dimiliki oleh Tergugat adalah kewenangan untuk menerbitkan IUP, sedangkan objek sengketa adalah surat keputusan mengenai pemindahan IUP dan surat keputusan mengenai Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar dan Kepemilikan Saham. Atas hal tersebut, Hakim Anggota I berpendapat bahwa kewenangan untuk menerbitkan IUP yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidaklah sama dengan kewenangan untuk pemindahan IUP dan persetujuan perubahan Anggaran Dasar dan Kepemilikan Saham;
“Menimbang, bahwa atas dasar ketentuan tersebut, maka Hakim Anggota I berkesimpulan bahwa Tergugat tidak memiliki kewenangan secara materi (onbevoegheid ratione materie) untuk menerbitkan surat keputusan objek sengketa, sehingga dengan demikian penerbitan objek sengketa aquo mengandung cacat yuridis dari segi kewenangan oleh karenanya terhadap objek sengketa telah cukup beralasan hukum untuk dinyatakan tidak sah;
“Menimbang, bahwa untuk lebih mempertegas bahwa Tergugat tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan objek sengketa-objek sengketa, maka selanjutnya Hakim Anggota I akan mempertimbangkan dari segi substansi penerbitan objek sengketa aquo;
“Menimbang, bahwa Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang isinya sama dengan Pasal 7A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan menyebutkan: “Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain” dan Pasal 7A ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 menyebutkan: “Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan usaha yang 51% (lima puluh satu persen) atau lebih sahamnya tidak dimiliki oleh pemegang IUP atau IUPK”;
“Menimbang, bahwa sebelum menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut diatas sebagai alat uji, terlebih dahulu Hakim Anggota I akan mempertimbangkan apakah norma-norma sebagaimana disebutkan diatas telah bertentangan satu sama lain ataukah tidak, karena sesuai hierarki peraturan perundang-undangan, maka materi muatan peraturan perundang-undangan haruslah sesuai dan selaras satu sama lain sehingga tidak boleh bertolak belakang atau bertentangan satu sama lain, dan jika menurut hakekatnya telah terjadi pertentangan, maka berlakulah asas lex superiory derogate legi inferiory (peraturan perundang perundang-undangan yang lebih tinggi hierarkinya mengalahkan peraturan perundang undangan yang lebih rendah hierarkinya);
“Menimbang, bahwa hal tersebut didasarkan pada Pasal 7 ayat (2) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan bahwa “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki”. Didalam penjelasannya, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karenanya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tidak boleh bertentangan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
“Menimbang, bahwa secara authentik, Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana disebutkan diatas tidak memberikan penjelasan apapun, karena didalam penjelasannya menyatakan cukup jelas;
“Menimbang, bahwa para saksi ahli yang dimintai pendapat dalam perkara ini antara lain Profesor Abrar Saleng, Profesor Philipus Mandiri Hadjon dan Profesor Asep Warlan Yusuf sepakat bahwa sifat norma didalam 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut bersifat larangan, namun Profesor Asep Warlan Yusuf menyatakan bahwa larangan didalam Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut tidak bersifat mutlak, melainkan mengandung pengecualian sebagaimana lebih tegas diatur didalam Pasal 7A ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012;
“Menimbang, bahwa persoalan perbedaan pendapat memang muncul ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara pada tanggal 21 Februari 2012 khususnya terkait dengan adanya ketentuan didalam Pasal 7A ayat (2) sebagaimana disebutkan diatas terkait boleh atau tidaknya pemindahan IUP oleh pemegang IUP;
“Menimbang, bahwa untuk menyikapi perbedaan pendapat tersebut, Hakim Anggota I mengacu pada daya berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yaitu sejak tanggal diundangkannya peraturan perundang-undangan;
“Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berlaku sejak tanggal 12 Januari 2009 sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara berlaku sejak tanggal 21 Februari 2012;
“Menimbang, bahwa yang menjadi pertanyaan Hakim Anggota I adalah apakah sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 (dalam rentang waktu antara tanggal 12 Januari 2009 sampai dengan 20 Februari 2012), pemindahan IUP sudah diperbolehkan ? jika diperbolehkan, aturan mana yang membolehkannya ?
“Menimbang, bahwa dalam rentang waktu antara tanggal 12 Januari 2009 sampai dengan 20 Februari 2012 telah diterbitkan beberapa peraturan perundang-undangan dibidang pertambangan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang ternyata didalamnya tidak mengatur adanya ketentuan yang dapat ditafsirkan sebagai aturan yang membolehkan atau membolehkan dengan syarat dilakukannya pemindahan IUP;
“Menimbang, bahwa dengan kata lain sejak dilahirkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sampai dengan tanggal 20 Februari 2012, pemindahan IUP oleh pemegang IUP kepada pihak lain tidak diperbolehkan bahkan larangan tersebut bersifat mutlak karena tidak ada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lain yang memberikan peluang diperbolehkannya pamindahan IUP, dan pada masa itu Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak menimbulkan perbedaan pendapat;
“Menimbang, bahwa perbedaan pendapat perihal dapat atau tidaknya pemindahan IUP termasuk perbedaan pendapat di internal Kementerian ESDM (vide bukti T II Intv 1 dan 2-14 berupa berita di situs hukum online dan bukti P-31 berupa jawaban surat Sekretaris Dirjen Minerba), justru dipicu dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 khususnya ketentuan Pasal 7A ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012;
“Menimbang, bahwa pertanyaan Hakim Anggota I selanjutnya adalah apakah pemindahan IUP oleh pemegang IUP kepada pihak lain baru diperbolehkan setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2012, yang berarti telah terjadi pergeseran sifat bahkan hakekat atau setidak-tidaknya penyempitan makna dari Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang semula larangan pemindahan IUP menjadi diperbolehkannya pemindahan IUP dengan persyaratan ?
“Menimbang, bahwa sifat peraturan perundang-undangan adalah konsisten, sehingga tidak dimungkinkan terjadi perubahan atau pergeseran sifat dari larangan menjadi diperbolehkan dengan persyaratan, karena jika peraturan perundang-undangan bersifat tidak konsisten maka peraturan perundang-undangan tidak mengandung jaminan kepastian hukum sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 6 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
“Menimbang, bahwa dengan demikian meskipun saat ini telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, maka hakekat dari Pasal 93 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 selama belum mengalami perubahan oleh Peraturan Perundang-undangan yang sama atau yang lebih tinggi tingkat hierarkinya, maka hakekatnya tetap sama yaitu larangan sebagaimana pada masa sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2012;”
Sengketa demikian terjadi karena dibukanya kerancuan oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri, tanpa penegasan dalam penjelasan resmi yang melekat dalam Undang-Undang, apakah IUP dilekatkan pada objek area tambang ataukah kepada subjek penerima IUP.
Perkara tersebut sejatinya juga telah mengalihkan sengketa dari objek gugatan KTUN berupa SK Bupati tentang pengalihan IUP menjadi uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah yang menjadi payung hukum terbitnya SK Bupati. Bagaimana mungkin suatu keputusan pejabat TUN dapat dianggap bertentangan dengan hukum bila SK tersebut diterbitkan dengan memiliki suatu payung hukum? Perihal payung hukum itu bertentangan dengan undang-undang atau tidak, maka itu menjadi ranah uji materiil pada Mahkamah Agung. SHIETRA & PARTNERS menilai adanya kandungan motif “pengalihan isu” dalam gugatan Penggugat.
Potensi konflik peraturan perundang-undangan bersifat laten sehingga selalu terbuka potensi sengketa di kemudian hari. Norma hukum mengandung setidaknya tiga buah kemungkinan: kebolehan, larangan, dan/atau perintah. Namun peraturan teknis ataupun peraturan pelaksana dari suatu undang-undang, pada praktiknya kerap membuat norma hukum baru yang sama sekali tidak disinggung oleh undang-undang yang menjadi payungnya.
Ada juga pihak-pihak yang beragumentasi, jika peraturan pelaksana dari sebuah undang-undang tidak boleh membuat norma hukum baru tambahan, maka buat apa ada peraturan pelaksana? Jika undang-undang tersebut diasumsinya telah lengkap meski senyatanya masih terdapat berbagai pengaturan yang tidak diaturnya, maka dengan cara apa pemerintah mengisi “lubang/celah hukum” yang ada jika bukan dengan instrumen legal bernama Peraturan Pemerintah? Berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung kerap kali melakukan teknik penyempitan makna keberlakuan norma dalam suatu undang-undang.
Argumentasi tersebut membawa konsekuensi logis, bahwa sebuah peraturan yang agak abstrak seperti undang-undang menyisakan margin toleransi, sebagai berikut:
- Norma yang bersifat larangan: larangan ini berpotensi digeser marginnya oleh peraturan pelaksana dengan memberi beberapa pengecualian dan kerenggangan;
- Norma yang bersifat perintah: perintah ini dapat dibuat sedemikian rupa oleh peraturan pelaksana lewat berbagai pengkondisian, dalam arti penambahan atribut / “embel-embel” bahwa perintah tersebut hanya berlaku saat musim paceklik, sebagai contoh. Tidak jarang peraturan pelaksana memberikan celah izin maupun dispensasi;
- Norma yang bersifat kebolehan: kebolehan mana kemudian dapat digeser derajatnya oleh peraturan yang lebih teknis dengan mengatur bahwa kebolehan tersebut setelah melalui serangkaian prosedur, limitasi dalam satuan hari berupa kuota, persyaratan, dan retribusi sehingga kebolehan yang terbuka bebas menjadi agak terbatas ruang geraknya.
Oleh adanya kelentingan tersebut, maka hukum menjadi tak ubahnya pendulum haluan penyusun regulasi, dan kepastian hukum sejatinya menjadi demikian membias. Karena itu pula menjadi naif bila kewenangan uji materiil hanya melekat pada bahu para Hakim Konstitusi maupun Mahkamah Agung.
Sebagaimana diutarakan dalam putusan PTUN tersebut diatas, UU No. 4 Tahun 2009 diundangkan tanggal 12 Januari 2009 tidak membolehkan pemindahan IUP kepada pihak lain. Sementara itu PP No. 23 Tahun 2012 yang dibentuk tanggal 21 Februari 2012 membolehkan pemindahan IUP dengan persyaratan. Hasilnya? Perbedaan pendapat dan ketidakpastian hukum.
Memang menjadi dirasakan ganjil ketika salah seorang hakim PTUN tersebut diatas “menguji materiil” Peraturan Pemerintah terhadap Undang-Undang yang semestinya menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Selama Mahkamah Agung belum membatalkannya, maka Peraturan Pemerintah tersebut diasumsikan sah dan mengikat—mengikat secara umum, tidak selalu mengikat terhadap peristiwa kasuistik konkret seperti halnya dalam Uji Materil Parsial oleh para hakim PTUN maupun Pengadilan Umum.
Dalam penilaian SHIETRA & PARTNERS, sebenarnya seluruh anggota Majelis Hakim sepakat bahwa tindakan Bupati yang mengalihkan IUP adalah perbuatan melanggar undang-undang. Hanya saja gugatan perlu dibuat “tidak dapat diterima” agar tidak melegalkan praktik nominee oleh korporat asing di Indonesia. Praktik nominee kerapkali melecehkan wibawa hukum Indonesia, disamping penuh dengan tipu muslihat dan ketidakjujuran.
Penggugat yang demikian menghendaki IUP tersebut, sejatinya adalah melanggar hukum juga disaat bersamaan, karena pada saat itu hukum positif yang ada mengatur bahwa pihak asing tidak dapat memiliki Izin Kuasa Pertambangan. Jika memang Penggugat selaku korporat asing tersebut memiliki hubungan / kepentingan langsung dengan objek gugatan (IUP), maka apa bedanya dengan pihak asing memiliki Izin Kuasa dan Usaha Pertambangan yang dilarang hukum?
Menurut SHIETRA & PARTNERS, pelaku praktik nominee memang perlu diberikan ganjaran yang setimpal dengan praktik-praktik tidak sehat seperti demikian yang kerap terjadi, agar menjadi preseden tetap sehingga tiada lagi korporat asing yang hendak menjadikan perusahaan di Indonesia sebagai “boneka” belaka.
Dalam kasus diatas, korporat asing yang menggugat Pemda sejatinya hanya mengejar IUP untuk dikuasai dan dikeruk, bukan murni hendak menanamkan modal di Indonesia selaku investor asing. Kepastian hukum yang diberikan Otoritas/Pemerintah Indonesia, ialah dibukanya peluang bagi sang investor asing untuk menggugat badan hukum perseroan di Indonesia yang telah menjual/mengalihkan IUP tersebut ke hadapan Pengadilan Negeri setempat dan mengeksekusinya bila perlu.
Kita tak pernah tahu motif utama ataupun modus yang dipakai korporasi asing di Indonesia, apakah memang hendak menjalankan operasi tambang berdasarkan IUP ataukah memang hendak mengeruk keuntungan dengan menjual-belikan IUP yang diperoleh perusahaan nominee-nya di Indonesia.
Mungkinkah korporat asing tersebut yang memerintahkan secara rahasia kepada nominee-nya di Indonesia agar menjual IUP, sementara sang korporat asing akan menggugat dan merampok Negara Indonesia lewat permintaan ganti-ruginya baik ke hadapan pengadilan maupun arbitrase?
Inilah salah satu motif tersembunyi yang hendaknya mampu diantisipasi oleh hakim di Indonesia maupun arbitrase. Sejatinya bangsa Indonesia lebih harus mewaspadai Arbitrase asing, karena kerap kali modus penghisapan terhadap kekayaan ekonomi Indonesia bersumber dari berbagai putusan Arbitrase asing. Arbiter asing memiliki kecenderungan watak yang sama dengan kaum korporat kapitalistik.
Alih-alih “menge-rem” importasi investor asing dan memberdayakan potensi bangsa sendiri, Pemerintah RI saat ini justru menerapkan kebijakan yang demikian sangat longgar terhadap korporat asing dalam membenamkan kaki lebih dalam lagi di bumi Indonesia—seakan Indonesia akan kolaps tanpa adanya para korporat asing tersebut. Meski sejarah membuktikan, kompensasi yang diminta para korporat asing tersebut atas modal yang ditanamnya selalu harga yang terlampau mahal untuk kita bayar bersama. Dan hal ini telah dibuktikan sendiri oleh SHIETRA & PARTNERS.
Bisa jadi semua ini memang skenario belaka, mengingat korporat asing memang terkenal akan modus kelicikannya yang tidak etis seperti melakukan aksi korporat transfer pricing yang merongrong wibawa otoritas Negara Indonesia dan merugikan segenap rakyat akibat minimnya pendapatan negara secara real atas PPh badan hukum para investor asing demikian.
Hendaknya hakim-hakim di Indonesia tidak bersikap naif dan polos menghadapi para korporat asing yang mencoba menginjakkan kaki di Indonesia. Otoritas Indonesia tak boleh "jual-murah" di hadapan para korporat asing, namun tampil secara elegan dan cerdas.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.