Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Kasus Pertanahan selain Melalui Jalur Litigasi Peradilan Umum

LEGAL OPINION
Question: Adakah lembaga resmi alternatif lain selain pengadilan untuk mengatasi sengketa pertanahan antar warga negara? Jika ada, bagaimana mekanisme dan tata laksananya agar masyarakat dapat memiliki kepastian hukum tanpa harus selalu diselesaikan oleh pengadilan yang tentunya akan memakan waktu karena sengketa pertanahan tidak dapat dilakukan melalui mekanisme pengajuan gugatan sederhana (small claim court)?
Brief Answer: Sebenarnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (BPN) itu sendiri merangkap sebagai lembaga mediasi penyelesaian kasus pertanahan sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dimana bila terjadi kesepakatan antar pihak yang bersengketa, BPN akan menerbitkan Akta / Perjanjian Perdamaian (van dading). Perjanjian Perdamaian tersebut didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat. Disamping itu, BPN pun memiliki beberapa kewenangan prerogatif terkait sengketa sertifikat ganda maupun permasalahan prosedur pelayanan pertanahan yang menimbulkan sengketa.
Hanya saja sejak diaturnya fungsi BPN ini, baik dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara, hingga terbitnya Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan maupun Peraturan Kepala BPN Nomor 12 Tahun 2013 tentang Eksaminasi Pertanahan dan Hak Pengelolaan, menemui realita bahwa regulasi tersebut efektif hanya “pasal mati” dalam arti tidak diimplementasikan oleh kalangan birokrasi BPN itu sendiri.
Hal tersebut patut disayangkan, mengingat regulasi telah memberi sarana, namun secara implementasi tercatat tidak produktif—sebagaimana pengamatan dan pengalaman penulis bersentuhan dengan kalangan pejabat pertanahan—dikarenakan faktor keengganan, ketidakmauan, hingga faktor politis dari kalangan birokrat lembaga internal BPN itu sendiri.
Kini, Kementerian Agraria kembali melakukan deregulasi sengketa pertanahan, dengan menerbitkan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (Permenag No. 11 Tahun 2016) sebagai pengganti regulasi-regulasi sebelumnya dibidang sengketa pertanahan.
Bila Permenag No. 11 Tahun 2016 tersebut kembali menemui realita tidak efektif dalam keberlakuannya karena ketiadaan kemauan dari lembaga eksekutif yang berwenang dibidang “papan” (salah satu kebutuhan pokok disamping pangan dan sandang) tersebut, maka BPN RI sudah saatnya dirombak total dalam arti sesungguhnya. Kepala BPN silih-berganti, namun mental birokrasi di dalamnya cenderung stagnan.
PEMBAHASAN :
Sebelum kita membahas secara mendalam regulasi Permenag No. 11 Tahun 2016, perlu kita kenali bersama beberapa terminologi yang akan kerap dijumpai, antara lain:
1. Kasus Pertanahan adalah Sengketa, Konflik, atau Perkara Pertanahan untuk mendapatkan penanganan penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan.
2. Sengketa Tanah yang selanjutnya disebut Sengketa adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.
3. Konflik Tanah yang selanjutnya disebut Konflik adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.
4. Perkara Tanah yang selanjutnya disebut Perkara adalah perselisihan pertanahan yang penanganan dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.
5. Pengaduan adalah laporan atau keberatan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan, kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / BPN atas kasus pertanahan.
6. Paparan adalah diskusi yang dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang / BPN dalam rangka penanganan dan/atau penyelesaian Kasus Pertanahan.
7. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa dan konflik melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
8. Mediator adalah pihak yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa atau konflik tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
9. Tanah Aset adalah tanah Barang Milik Negara/Daerah dan/atau aset Badan Usaha Milik Negara/Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
10. Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang selanjutnya disebut Tanah Negara, adalah tanah yang tidak dilekati sesuatu hak atas tanah dan bukan merupakan Hak Pengelolaan Milik Negara/Daerah dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah.
11. Penggunaan Tanah adalah pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.
12. Kementerian Agraria dan Tata Ruang / BPN, yang selanjutnya cukup disebut Kementerian, adalah Kementerian yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan.
13. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, yang untuk selanjutnya cukup disebut Menteri, adalah Menteri yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan.
14. Direktorat Jenderal (Ditjen) adalah unsur pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanakan kebijakan di bidang penyelesaian sengketa, konflik dan perkara agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang dan tanah.
15. Direktur Jenderal (Dirjen) adalah Pimpinan Unit Kerja Eselon I pada Ditjen.
16. Kantor Wilayah BPN adalah instansi vertikal BPN di Provinsi yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Menteri.
17. Kepala Kantor Wilayah (yang dalam praktik sering disebut sebagai “Kakanwil”) adalah Pimpinan Unit Kerja Eselon II pada Kantor Wilayah BPN.
18. Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal BPN di Kabupaten/Kota yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah BPN.
19. Kepala Kantor Pertanahan (sering juga disebut “Kakan”) adalah Pimpinan Unit Kerja Eselon III pada Kantor Pertanahan.
20. Kepala Bidang (yang kerap disebut “Kabid”) yang dimaksud dalam  regulasi ini ialah pejabat di Kantor Wilayah BPN yang mempunyai tugas mengkoordinasikan dan melaksanakan pembinaan teknis penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan.
21. Kepala Seksi (dalam praktik sering juga disebut sebagai “Kasie”) yang dimaksud dalam regulasi ini merupakan pejabat di Kantor Pertanahan mempunyai tugas menyiapkan bahan dan melakukan kegiatan penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan.
Pasal 2 Permenag No. 11 Tahun 2016 menyatakan:
(1) Penyelesaian Kasus Pertanahan, dimaksudkan untuk:
a. mengetahui riwayat dan akar permasalahan Sengketa, Konflik atau Perkara;
b. merumuskan kebijakan strategis penyelesaian Sengketa, Konflik atau Perkara; dan
c. menyelesaikan Sengketa, Konflik atau Perkara, agar tanah dapat dikuasai, dimiliki, dipergunakan dan dimanfaatkan oleh pemiliknya.
(2) Penyelesaian Kasus Pertanahan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan mengenai penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Penyelesaian Sengketa dan Konflik dilakukan berdasarkan:
a. Inisiatif dari Kementerian (peran pers dan Pemda menjadi penting sebagai pewarta berita dan sebagai pelapor disamping fungsi monitoring internal Kementerian Agraria itu sendiri); atau
b. Pengaduan masyarakat.
Dalam melaksanakan penyelesaian Sengketa dan Konflik berdasarkan inisiatif dari Kementerian, Kementerian melaksanakan pemantauan untuk mengetahui Sengketa dan Konflik yang terjadi dalam suatu wilayah tertentu, secara rutin oleh Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Dirjen terhadap pengaduan atau pemberitaan pada surat kabar terkait Sengketa dan Konflik. Dalam hal hasil pemantauan perlu ditindaklanjuti, Menteri atau Kepala Kantor Wilayah BPN memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan untuk melakukan kegiatan penyelesaian Sengketa dan Konflik.
Dalam melaksanakan penyelesaian Sengketa atau Konflik berdasarkan Pengaduan masyarakat, Kementerian menerima Pengaduan terkait Sengketa dan Konflik dari masyarakat. Pengaduan sebagaimana dimaksud diatas disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan secara tertulis, melalui loket pengaduan, kotak surat atau website Kementerian. Dalam hal Pengaduan disampaikan kepada Kantor Wilayah BPN dan/atau Kementerian, berkas Pengaduan diteruskan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pengaduan paling sedikit memuat identitas pengadu dan uraian singkat kasus, dan harus dilampiri dengan fotokopi identitas pengadu, fotokopi identitas penerima kuasa dan surat kuasa apabila dikuasakan, serta data pendukung atau bukti-bukti yang terkait dengan pengaduan. (Note: Pengaduan dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Permenag No. 11 Tahun 2016)
Pengaduan yang telah memenuhi syarat yang diterima langsung melalui loket Pengaduan, kepada pihak pengadu diberikan Surat Tanda Penerimaan Pengaduan. Dalam hal berkas pengaduan tidak memenuhi syarat, maka petugas mengembalikan berkas pengaduan kepada pihak pengadu dengan memberitahukan kekurang-lengkapan berkas Pengaduan secara tertulis. (Note: Surat Tanda Penerimaan Pengaduan dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Permenag No. 11 Tahun 2016.)
Setelah Pengaduan diterima, petugas yang bertanggungjawab dalam menangani pengaduan melakukan pemeriksaan berkas Pengaduan. Dalam hal berkas pengaduan telah memenuhi syarat, petugas menyampaikan berkas Pengaduan kepada pejabat yang bertanggung jawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara pada Kantor Pertanahan, yang selanjutnya pejabat dimaksud mengadministrasikan pengaduan dimaksud ke dalam Register Penerimaan Pengaduan.
Setiap perkembangan penyelesaian Sengketa, Konflik dan Perkara dicatat dalam Register Penyelesaian Sengketa, Konflik dan Perkara dengan melampirkan bukti perkembangan dimaksud dan/atau dilakukan pengadministrasian data melalui sistem informasi Sengketa, Konflik dan Perkara.
Perkembangan penyelesaian Sengketa, Konflik dan Perkara dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN setiap 4 (empat) bulan sekali dan ditembuskan kepada Menteri.
Sistem informasi tersebut terintegrasi antara Kementerian, Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan, serta merupakan sub-sistem dari Pusat Data dan Informasi Kementerian.
Berdasarkan hasil pemantauan dan/atau Pengaduan yang telah di-administrasikan, pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara pada Kantor Pertanahan melakukan kegiatan pengumpulan data, yang dapat berupa:
a. data fisik dan data yuridis;
b. putusan peradilan, berita acara pemeriksaan dari Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, Komisi Pemberantasan Korupsi atau dokumen lainnya yang dikeluarkan oleh lembaga/instansi penegak hukum;
c. data yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pejabat yang berwenang;
d. data lainnya yang terkait dan dapat mempengaruhi serta memperjelas duduk persoalan Sengketa dan Konflik; dan/atau
e. keterangan saksi.
Pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara pada Kantor Pertanahan, kemudian melakukan:
a. validasi terhadap data yang kebenarannya dinyatakan oleh pejabat atau lembaga yang menerbitkan atau pencocokan dengan dokumen asli;
b. permintaan keterangan saksi yang dituangkan dalam Berita Acara, dalam hal data yang diperoleh berasal keterangan saksi.
Setelah pelaksanaan kegiatan pengumpulan data, pejabat tersebut melakukan analisis, untuk mengetahui pengaduan tersebut merupakan kewenangan Kementerian atau bukan kewenangan Kementerian. Adapun Sengketa atau Konflik yang menjadi kewenangan Kementerian Agraria/BPN, meliputi:
a. kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas;
b. kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat;
c. kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah;
d. kesalahan prosedur dalam proses penetapan tanah terlantar;
e. tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu alas haknya jelas terdapat kesalahan (alias sertifikat ganda, sebagaimana kerap dijumpai dalam praktik);
f. kesalahan prosedur dalam proses pemeliharaan data pendaftaran tanah;
g. kesalahan prosedur dalam proses penerbitan sertifikat pengganti;
h. kesalahan dalam memberikan informasi data pertanahan;
i. kesalahan prosedur dalam proses pemberian izin;
j. penyalahgunaan pemanfaatan ruang; atau
k. kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan.
Sengketa dan Konflik selain diatas, bukan merupakan kewenangan Kementerian dan menjadi kewenangan instansi lain, meski pada butir (k) diatas, terbuka “kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan” yang cukup bias makna.
Dalam hal Sengketa dan Konflik merupakan kewenangan Kementerian Agraria, pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara melaporkan hasil pengumpulan data dan hasil analisis kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Dalam hal Sengketa dan Konflik bukan merupakan kewenangan Kementerian, maka pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara menyampaikan penjelasan secara tertulis kepada pihak pengadu, juga memuat pernyataan bahwa penyelesaian Sengketa dan Konflik diserahkan kepada pihak pengadu.
Dalam hal Sengketa atau Konflik bukan kewenangan Kementerian, Kementerian dapat mengambil inisiatif untuk memfasilitasi penyelesaian Sengketa atau Konflik melalui Mediasi.
Setelah menerima laporan, Kepala Kantor Pertanahan menyampaikan hasil pengumpulan data dan analisis, kepada:
a. Kepala Kantor Wilayah BPN, dalam hal keputusan pemberian hak, konversi/penegasan/pengakuan, pembatalan hak atas tanah yang menjadi objek Sengketa dan Konflik diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan; atau
b. Menteri, dalam hal:
1) keputusan pemberian hak, konversi/penegasan/pengakuan, pembatalan hak atas tanah atau penetapan tanah terlantar yang menjadi objek sengketa dan konflik diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri; dan/atau
2) Sengketa dan Konflik termasuk dalam karakteristik tertentu, meliputi:
a. menjadi perhatian masyarakat;
b. melibatkan banyak pihak;
c. mempunyai nilai yang tinggi baik dari segi sosial, budaya, ekonomi, kepentingan umum, pertahanan dan keamanan; dan/atau
d. permintaan instansi yang berwenang atau penegak hukum.
Setelah menerima hasil pengumpulan data dan hasil analisis, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri memerintahkan pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara untuk menindaklanjuti proses penyelesaiannya.
Dalam hal terdapat Sengketa atau Konflik yang perlu ditangani oleh Tim, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri dapat membentuk Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil pengumpulan data dan hasil analisis dari Kantor Pertanahan.
Pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara atau Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik, mempunyai tugas:
a.     melakukan pengkajian dan pemeriksaan lapangan;
b.    melakukan paparan, apabila diperlukan; dan
c.     menyusun serta menyampaikan Laporan Penyelesaian
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis, pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara atau Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik, melakukan pengkajian, yang dilakukan untuk mengetahui pokok masalah, penyebab terjadinya, potensi dampak, alternatif penyelesaian dan rekomendasi penyelesaian Sengketa dan Konflik.
Pengkajian tersebut dilakukan terhadap:
a.     kronologi Sengketa atau Konflik; dan
b.    data yuridis, data fisik, dan data pendukung lainnya.
Dalam hal hasil pengkajian diperlukan data tambahan, maka dilengkapi dengan melakukan:
a. pencarian data secara mandiri; atau
b. meminta data kepada para pihak.
Dalam melaksanakan pengkajian, dilakukan pemeriksaan lapangan, dimana pejabat yang berwenang/petugas pemeriksa lapangan disertai dengan Surat Tugas. Dalam keadaan tertentu, pemeriksaan lapangan dapat didampingi oleh pihak Kepolisian. Kegiatan pemeriksaan lapangan, meliputi:
a. penelitian atas kesesuaian data dengan kondisi lapangan;
b. pencarian keterangan dari saksi-saksi dan/atau pihak-pihak yang terkait;
c. penelitian batas bidang tanah, gambar ukur, peta bidang tanah, gambar situasi/surat ukur, peta rencana tata ruang; dan/atau
d. kegiatan lainnya yang diperlukan.
Hasil kegiatan pemeriksaan lapangan kemudian dituangkan dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lapangan dan ditandatangani oleh petugas dan para saksi. Berdasarkan hasil pengkajian dan hasil pemeriksaan lapangan, dapat dilakukan Paparan.
Namun  Paparan sebagaimana harus tetap dilaksanakan dalam hal:
a. Sengketa dan konflik termasuk dalam karakteristik tertentu; atau
b. Sengketa dan Konflik ditangani oleh Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik.
Paparan itu sendiri memiliki tujuan untuk:
a. menghimpun masukan pendapat para peserta Paparan;
b. mempertajam pengkajian Sengketa dan Konflik; dan
c. memperoleh kesimpulan dan saran.
Adapun yang menjadi Peserta Paparan:
a. pegawai/pejabat dari Kementerian, Kantor Wilayah BPN dan/atau Kantor Pertanahan atau anggota Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik; dan/atau
b. instansi terkait, akademisi, unsur masyarakat dan/atau pemerhati/pegiat agraria dan penataan ruang, apabila diperlukan.
Paparan dicatat dalam Notulen Paparan dan ditandatangani oleh Pimpinan Paparan dan notulis. Hasil Paparan dibuatkan Berita Acara Paparan yang ditandatangani oleh Pimpinan Paparan dan perwakilan dari peserta paparan.
Pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara atau Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik membuat Laporan Penyelesaian Kasus Pertanahan, yang merupakan rangkuman hasil kegiatan penyelesaian Sengketa atau Konflik. Laporan Penyelesaian Kasus Pertanahan merupakan satu kesatuan dengan Berkas Penyelesaian Sengketa dan Konflik yang dimulai dari Pengaduan, Pengumpulan data, Analisis, Pengkajian, Pemeriksaan Lapangan, dan Paparan.
Pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara atau Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik, menyampaikan Laporan Penyelesaian Kasus Pertanahan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri.
 Setelah menerima Laporan Penyelesaian Sengketa dan Konflik, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri menyelesaikan Sengketa dan Konflik dengan menerbitkan:
a. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah;
b. Keputusan Pembatalan Sertifikat;
c. Keputusan Perubahan Data pada Sertifikat, Surat Ukur, Buku Tanah dan/atau Daftar Umum lainnya; atau
d. Surat Pemberitahuan bahwa tidak terdapat kesalahan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3).
Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah, merupakan pembatalan terhadap hak atas tanah, tanda bukti hak dan daftar umum lainnya yang berkaitan dengan hak tersebut. Sementara Keputusan Pembatalan Sertifikat, merupakan pembatalan terhadap tanda bukti hak dan daftar umum lainnya yang berkaitan dengan hak tersebut, dan bukan pembatalan terhadap hak atas tanahnya—semisal pembatalan Sertifikat yang merupakan sertifikat ganda yang tidak valid.
Keputusan Perubahan Data yang menyebabkan perlu adanya perubahan data pada Keputusan Pemberian Hak atau Keputusan konversi/penegasan/pengakuan, maka:
a. Menteri, melakukan perbaikan terhadap keputusan pemberian hak;
b. Kepala Kantor Wilayah, melakukan perbaikan terhadap keputusan pemberian hak atau Keputusan konversi/penegasan/pengakuan hak dimaksud.
Penerbitan Keputusan dilakukan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja untuk Kepala Kantor Wilayah BPN, atau paling lama 14 (empat belas) hari kerja untuk Menteri, sejak Laporan Penyelesaian Sengketa dan Konflik diterima.
Dalam hal diatas satu bidang tanah terdapat tumpang-tindih sertifikat hak atas tanah, Menteri atau Kepala Kantor Wilayah BPN sesuai kewenangannya menerbitkan Keputusan pembatalan sertifikat yang tumpang-tindih, sehingga diatas bidang tanah tersebut hanya ada 1 (satu) sertifikat hak atas tanah yang sah.
Keputusan-keputusan tersebut diatas disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan disertai dengan Berkas Penyelesaian Sengketa dan Konflik sesuai dengan kewenangan pembatalan.
Dalam hal penyelesaian Sengketa dan Konflik berupa penerbitan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah atau Keputusan Pembatalan Sertifikat, pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan kewenangan pembatalan.
Kewenangan pembatalan terdiri atas:
a. Menteri, untuk pemberian hak yang keputusannya diterbitkan oleh Menteri atau Kepala Kantor Wilayah BPN, dan Sengketa dan Konflik dengan karakteristik tertentu sebagaimana telah diuraikan diatas;
b. Kepala Kantor Wilayah BPN, untuk pemberian hak yang keputusannya diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan (yang dilakukan atas nama Menteri dan dilaporkan kepada Menteri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak keputusan pembatalan diterbitkan).
Penerbitan keputusan pembatalan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri yang menyelesaikan Sengketa dan Konflik dengan menerbitkan  Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah ataupun Keputusan Pembatalan Sertifikat, tidak berarti menghilangkan/menimbulkan hak atas tanah atau hak keperdataan lainnya kepada para pihak.
Pada dasarnya, Keputusan penyelesaian Sengketa atau Konflik mengenai Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah, Keputusan Pembatalan Sertifikat, Keputusan Perubahan Data pada Sertifikat, Surat Ukur, Buku Tanah dan/atau Daftar Umum lainnya, ataupun Surat Pemberitahuan bahwa tidak terdapat kesalahan administrasi, dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Dalam hal Keputusan berupa Pembatalan Hak Atas Tanah, Pembatalan Sertifikat atau Perubahan Data, Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan pejabat yang berwenang untuk memberitahukan kepada para pihak agar menyerahkan sertifikat hak atas tanah dan/atau pihak lain yang terkait dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja. Dalam hal jangka waktu tersebut berakhir dan para pihak tidak menyerahkan sertifikat, Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan Pengumuman mengenai pembatalan hak atas tanah, pembatalan sertifikat atau perubahan data, di Kantor Pertanahan dan balai desa/kantor kelurahan setempat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, yang mana setelah itu Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan pejabat yang berwenang menindaklanjuti keputusan mengenai pembatalan, perubahan data sertifikat, atau sebagainya.
Dalam hal Keputusan berupa pembatalan hak atas tanah, pejabat yang berwenang melakukan pencatatan mengenai hapusnya keputusan pemberian hak, sertifikat, surat ukur, buku tanah dan Daftar Umum lainnya, pada Sertifikat hak atas tanah, Buku Tanah dan Daftar Umum lainnya.
Dalam hal Keputusan berupa pembatalan sertifikat, pejabat yang berwenang melakukan pencatatan mengenai hapusnya hak pada Sertifikat, Buku Tanah dan Daftar Umum lainnya.
Dalam hal Keputusan berupa perubahan data pada sertifikat, pejabat yang berwenang melakukan perbaikan pada Sertifikat, Surat Ukur, Buku Tanah atau Daftar Umum lainnya.
Setelah dilakukan perbaikan, sertifikat diberikan kembali kepada pemegang hak atau diterbitkan sertifikat pengganti.
Dalam hal Keputusan berupa Surat Pemberitahuan pengaduan atau permohonan tidak dapat dilaksanakan atau tidak terdapat kesalahan administrasi, Kepala Kantor Pertanahan meneruskan Surat Pemberitahuan kepada para pihak dan/atau pihak lain yang terkait, disertai dengan penjelasan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
Penerbitan atau peralihan hak atas tanah sebagai tindak lanjut pelaksanaan pembatalan hak atas tanah, pembatalan sertifikat atau perubahan data, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan—sehingga tidak terbuka peluang penyimpangan ataupun penyalahgunaan wewenang diskresi pembatalan maupun perubahan data sertifikat tanah.
Dalam hal tanah objek Sengketa dan Konflik merupakan aset Barang Milik Negara/Daerah dan/atau aset Badan Usaha Milik Negara/Daerah, maka pelaksanaan pembatalan hak atas tanah dan/atau pemberian hak atas tanah dilakukan setelah adanya penghapusan aset/aktiva tetap dari instansi yang bersangkutan—dengan demikian, jika yang bersengketa adalah BUMN/B ataupun Pemda terhadap sipil, bukan diartikan pihak sipil selalu dikalahkan.
Keputusan mengenai pembatalan ataupun perubahan data pada sertifikat, wajib dilaksanakan kecuali terdapat alasan yang sah untuk menunda pelaksanaannya (Pasal 33 Ayat (1) Permenag No. 11 Tahun 2016). Dengan demikian tidak dibenarkan tindakan abai petugas pertanahan yang membiarkan keberatan masyarakat menggantung tanpa tindak lanjut dan tanpa kepastian.
Alasan yang sah bagi pejabat Kantor Pertanahan untuk menunda penyelesaian, antara lain: (Pasal 33 Ayat 2 Permenag No. 11 Tahun 2016)
a.     sertifikat yang akan dibatalkan sedang dalam status diblokir atau disita oleh kepolisian, kejaksaaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya; atau
b.    tanah yang menjadi obyek pembatalan menjadi obyek hak tanggungan; atau
c.     tanah telah dialihkan kepada pihak lain. (Note SHIETRA & PARTNERS: ketentuan ini harus dibaca dan dimaknai sebagai: “Bila tanah telah dialihkan kepada pihak ketiga yang beritikad baik. Pihak ketiga yang beritikad tidak baik, tidak dilindungi oleh hukum.)
Dalam hal tanah yang menjadi obyek pembatalan sedang dalam status diblokir atau disita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya, maka pelaksanaan pembatalan ditunda. Penundaan ini dilakukan dengan ketentuan: (Pasal 34 Permenag No. 11 Tahun 2016)
a. apabila status blokir dan tidak ditindaklanjuti dengan penetapan sita dari pengadilan, maka penundaan dilakukan sampai dengan jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dilakukan pencatatan blokir atau sampai adanya pencabutan blokir dari pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya sebelum tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari (Note SHIETRA & PARTNERS: ketentuan ini kembali menegaskan dan mengafirmasi ketentuan dalam PP No. 24 Tahun 1997, bahwa blokir hak atas tanah hanya berlaku efektif selama maksimum 30 hari, selanjutnya menjadi “bersih” dari blokir secara otomatis.); atau
b. apabila status blokir dan ada penetapan sita dari pengadilan, penundaan dilakukan sampai adanya keputusan pencabutan sita dari pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya.
Dalam hal tanah merupakan obyek hak tanggungan atau tanah telah dialihkan kepada pihak lain, maka dilakukan pemberitahuan kepada pemegang hak tanggungan atau pihak lain tersebut, dimana “pihak lain tersebut” merupakan:
a. Pihak lain yang tidak mengetahui bahwa tanah dalam keadaan sengketa atau konflik;
b. tanah tersebut ditawarkan secara terbuka; dan
c. pihak lain yang memperoleh hak secara terang dan tunai (Note SHIETRA & PARTNERS: ketentuan ini secara eksplisit menegaskan, bila peralihan hak atas tanah berdasarkan jual-beli di hadapan PPAT atau pejabat yang berwenang, dengan sistem uang muka meski belum terbayar lunas, maka peralihan hak telah sah sehingga dilindungi oleh hukum.).
Pemberitahuan dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan kepada pemegang hak tanggungan atau pihak lain mengenai rencana pelaksanaan keputusan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari berakhir, Kepala Kantor Pertanahan melanjutkan proses penyelesaian Sengketa dan Konflik, kecuali terdapat sita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya.
Proses penyelesaian Sengketa dan Konflik dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Penundaan penyelesaian Sengketa dan Konflik dilaporkan oleh Kepala Kantor Pertanahan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak pemberitahuan kepada pihak terkait. Penundaan pembatalan dicatat dalam Buku Tanah dan Daftar Umum lainnya dan dicantumkan alasan pembatalannya.
Sertipikat yang terdapat catatan pada Buku Tanah atau Daftar Umum lainnya, tidak dapat dialihkan sampai dengan dilakukannya pembetulan atas catatan dimaksud.
Dalam hal Sengketa dan Konflik bukan merupakan kewenangan Kementerian Agraria, maka BPN dapat melakukan proses Mediasi. Bila salah satu pihak menolak untuk dilakukan Mediasi, maka penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila para pihak bersedia untuk dilakukan Mediasi, maka mediasi dilaksanakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat bagi kebaikan semua pihak, dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Mediasi bertujuan untuk:
a. menjamin transparansi dan ketajaman analisis;
b. pengambilan putusan yang bersifat kolektif dan obyektif;
c. meminimalisir gugatan atas hasil penyelesaian Sengketa dan Konflik;
d. menampung informasi/pendapat dari semua pihak yang berselisih, dan dari unsur lain yang perlu dipertimbangkan; dan
e. memfasilitasi penyelesaian Sengketa dan Konflik melalui musyawarah.
Peserta Mediasi terdiri dari:
a. Tim Pengolah;
b. Pejabat Kementerian, Kantor Wilayah BPN dan/atau Kantor Pertanahan;
c. Mediator dari Kementerian, Kantor Wilayah BPN dan/atau Kantor Pertanahan;
d. para pihak dan/atau pihak lain yang terkait; dan/atau
e. Pakar dan/atau ahli yang terkait dengan Sengketa dan Konflik, Instansi terkait, dan unsur masyarakat, tokoh masyarakat/adat/agama, atau pemerhati/pegiat agraria dan penataan ruang, serta unsur-unsur lain, apabila diperlukan.
Peserta Mediasi harus mendapat penugasan dari Kementerian, kecuali para pihak. Dalam hal Mediasi tidak dapat dihadiri oleh salah satu pihak yang berselisih, pelaksanaannya dapat ditunda agar semua pihak yang berselisih dapat hadir. Apabila setelah diundang 3 (tiga) kali secara patut pihak yang berselisih tidak hadir dalam Mediasi, maka Mediasi batal dan para pihak dipersilahkan menyelesaikan Sengketa atau Konflik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan Mediasi dicatat dalam notulensi dan hasil pelaksanaan Mediasi dituangkan dalam Berita Acara Mediasi, dengan memuat:
a. pokok masalah;
b. kronologi;
c. uraian masalah; dan
d. hasil Mediasi;
Berita Acara Mediasi ditandatangani oleh Pejabat Kementerian, Kantor Wilayah BPN dan/atau Kantor Pertanahan, Mediator dan para pihak serta perwakilan dari peserta. Notulen mediasi dan Berita Acara Mediasi merupakan dokumen yang harus dilampirkan dalam Berkas Penanganan Sengketa dan Konflik. Berita Acara Mediasi dapat diberikan kepada para pihak.
Dalam hal salah satu pihak tidak bersedia menandatangani Berita Acara Mediasi, ketidaksediaan tersebut dicatat dalam Berita Acara Mediasi. Dalam hal Mediasi menemukan kesepakatan, dibuat Perjanjian Perdamaian berdasarkan berita acara mediasi yang mengikat para pihak.
Perjanjian Perdamaian didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat. Baca selengkapnya mengenai Akta Van Dading di AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) BERSIFAT INKRACHT.
Dalam hal salah satu pihak menolak untuk dilakukan mediasi atau mediasi batal karena sudah 3 (tiga) kali tidak memenuhi undangan atau telah melampaui waktu, Kepala Kantor Pertanahan membuat surat pemberitahuan kepada pihak pengadu bahwa pengaduan atau mediasi telah selesai disertai dengan penjelasan.
Penanganan Perkara dilaksanakan dalam rangka berperkara dalam proses peradilan perdata atau tata usaha negara, dimana Kementerian sebagai pihak, baik Tergugat di PTUN maupun sebagai Turut Tergugat di Pengadilan Negeri, sebagai contoh.
Dalam hal para pihak sepakat untuk menyelesaikan Perkara yang telah terdaftar pada pengadilan dengan cara damai, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal Kementerian sebagai pihak, maka perdamaian dapat dilakukan apabila:
a. tidak menyangkut Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah;
b. tidak merugikan kepentingan Kementerian;
c. disetujui oleh pihak-pihak yang berperkara; dan/atau
d. tidak terdapat masalah atau perkara lain berkenaan dengan subyek dan obyek yang sama.
Jika Kementerian sebagai tergugat dalam Perkara Tata Usaha Negara yang obyeknya sertifikat hak atas tanah atau jika ada perdamaian melibatkan Kementerian sebagai tergugat yang berkaitan dengan status keabsahan keputusan pejabat Tata Usaha Negara, maka pemegang hak merupakan pihak dalam perdamaian tersebut.
Dalam hal perkara di pengadilan tidak melibatkan Kementerian sebagai pihak namun perkaranya menyangkut kepentingan Kementerian, maka Kementerian dapat melakukan intervensi, baik sebagai Tergugat Intervensi maupun sebagai Penggugat Intervensi.
Namun yang menarik dari Permenang No. 11 Tahun 2016 ialah ketentuan bahwa pihak yang berperkara dalam suatu gugatan di pengadilan dapat meminta keterangan ahli atau saksi ahli dari Kementerian. Permohonan bantuan aparatur Kementerian untuk memberikan keterangan ahli atau saksi ahli, disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN, atau Menteri.
Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Sekretaris Jenderal atas nama Menteri menerbitkan Surat Tugas kepada staf atau pejabat untuk memberikan keterangan ahli atau saksi ahli.
Selaku Lembaga Eksekutif, maka BPN memiliki kewenangan untuk mengeksekusi putusan pengadilan, sehingga ranah eksekusi putusan tak hanya dimiliki oleh juru sita pengadilan. Pelaksanaan putusan pengadilan merupakan tindak lanjut atas putusan lembaga peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Amar putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang berkaitan dengan penerbitan, peralihan, pembatalan hak atas tanah dan/atau pembatalan penetapan tanah terlantar antara lain:
a. perintah untuk membatalkan hak atas tanah;
b. menyatakan batal/tidak sah/tidak mempunyai kekuatan hukum hak atas tanah;
c. menyatakan tanda bukti hak tidak sah/tidak berkekuatan hukum;
d. perintah dilakukannya pencatatan atau pencoretan dalam Buku Tanah;
e. perintah penerbitan hak atas tanah;
f. perintah untuk membatalkan penetapan tanah terlantar; dan
g. amar yang bermakna menimbulkan akibat hukum terbitnya peralihan hak atau batalnya peralihan hak.
Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang berkaitan dengan penerbitan, peralihan, pembatalan hak atas tanah dan/atau pembatalan penetapan tanah terlantar dilaksanakan berdasarkan permohonan pihak yang berkepentingan melalui Kantor Pertanahan setempat—artinya, sekalipun BPN tidak ditarik sebagai Turut Tergugat dalam suatu gugatan perdata, maka amar putusan bisa diajukan permohonan untuk dieksekusi amar putusan pengadilan yang bersifat constitutief.
Dalam hal permohonan pembatalan penetapan tanah terlantar, langsung diajukan kepada Kementerian. Pihak yang berkepentingan merupakan para pihak penggugat maupun tergugat atau pihak lain yang terlibat dalam Perkara, semisal kreditor pemegang Hak Tanggungan.
Surat permohonan harus dilengkapi dengan:
a. fotokopi identitas pemohon atau fotokopi identitas penerima kuasa dan surat kuasa apabila dikuasakan;
b. salinan resmi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang dilegalisir pejabat berwenang;
c. surat keterangan dari pejabat berwenang di lingkungan pengadilan yang menerangkan bahwa putusan dimaksud telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Note SHIETRA & PARTNERS: dalam hal suatu putusan tidak diajukan upaya hukum banding maupun kasasi, oleh karena putusan kasasi bersifat berkekuatan hukum tetap, sementara Peninjauan Kembali tidak menunda jalannya putusan yang telah inkracht);
d. Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi, dalam hal putusan Perkara yang memerlukan pelaksanaan eksekusi; dan/atau
e. surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan, apabila diperlukan dapat dipersyaratkan oleh Kabid atau Direktur yang bertanggungjawab menangani Perkara pada Dirjen.
Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi penguasaan/pengosongan/penyerahan tanah tidak diperlukan dalam permohonan, dalam hal:
a. untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara;
b. tanahnya telah dikuasai pihak pemohon yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang bersangkutan diketahui Ketua RT/RW/Lurah/Kepala Desa setempat, atau Berita Acara Penelitian Lapangan dari Kantor Pertanahan setempat.
Artinya, Permenag No. 11 Tahun 2016 mewajibkan, meski putusan pengadilan telah memenangkan salah satu pihak, namun pihak tersebut tidak menguasai objek tanah sengketa, maka dirinya tak dapat mengajukan permohonan balik-nama hak atas tanah.
Peraturan pada Permenag No. 11 Tahun 2016 tersebut sebenarnya salah kaprah, sebab putusan pengadilan yang menyatakan kepemilikan suatu hak atas tanah, merupakan Penguasaan Yuridis semata, sementara Data Yuridis tidak memiliki kaitan dengan Penguasaan Fisik seperti siapa penghuninya. Sebagai contoh, pemilik tanah bisa jadi tidak menghuni objek karena disewakan kepada pihak ketiga.
Penguasaan secara fisik berbeda dengan penguasaan secara yuridis. Kementerian Agraria tidak belajar dari pengalaman, dimana Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2010 mewajibkan pemenang lelang eksekusi Hak Tanggungan untuk menguasasi fisik objek lelang yang dibelinya. Terhadap ketentuan Perkaban No. 1 Tahun 2010 tersebut telah SHIETRA & PARTNERS batalkan dalam gugatan uji materiil sebagaimana putusan Mahkamah Agung Nomor 38 P/HUM/2015 tanggal 23 Desember 2015 dimana Mahkamah Agung menyatakan dalam amar putusannya bahwa pembeli lelang eksekusi tak diwajibkan menguasai fisik objek tanah sebelum memohon balik-nama.
Dalam Hukum Agraria, larangan absentee hanya berlaku untuk Hak Guna Usaha (HGU), sehingga adalah suatu salah kaprah bila objek tanah berupa SHM atau SHGB namun diwajibkan menguasai fisik terlebih dahulu sebelum memohon peralihan hak atas tanah.
Setelah permohonan diterima, pejabat yang bertanggung jawab menangani Sengketa, Konflik dan Perkara melakukan penelitian berkas permohonan. Dalam hal berkas permohonan telah memenuhi syarat, maka pejabat yang bertanggung jawab menangani Sengketa, Konflik dan Perkara melanjutkan proses penanganan permohonan. Dalam hal berkas permohonan tidak memenuhi syarat, maka petugas mengembalikan berkas permohonan kepada pemohon dengan memberitahukan kekurang-lengkapan berkas permohonan secara tertulis.
Berdasarkan hasil penelitian berkas, dilakukan analisis putusan pengadilan. Dalam hal terdapat kekurangan data, maka pejabat yang bertanggung-jawab menangani Sengketa, Konflik dan Perkara melakukan pengumpulan data. Kepala Kantor Pertanahan menyampaikan hasil analisis putusan pengadilan disertai data pendukung, kepada:
a. Kepala Kantor Wilayah BPN, dalam hal keputusan pemberian hak, konversi/penegasan/pengakuan, pembatalan hak atas tanah yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan; atau
b. Menteri, dalam hal keputusan pemberian hak, konversi / penegasan / pengakuan, pembatalan hak atas tanah, atau penetapan tanah terlantar yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri.
Hasil analisis putusan pengadilan disampaikan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah BPN disertai data terkait. Setelah menerima hasil analisis putusan pengadilan, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri memerintahkan pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara untuk melakukan:
a. melakukan pengkajian dan pemeriksaan lapangan;
b. melakukan paparan, apabila diperlukan; dan
c. menyusun dan menyampaikan Laporan Penyelesaian Perkara dalam rangka melaksanakan putusan pengadilan.
Dalam hal pelaksanaan putusan pengadilan, pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan kewenangan pembatalan, meliputi:
a. Kepala Kantor Pertanahan, dalam hal keputusan konversi / penegasan / pengakuan, pemberian hak, pembatalan hak yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan;
b. Kepala Kantor Wilayah BPN, dalam hal keputusan konversi / penegasan / pengakuan, pemberian hak, pembatalan hak yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN;
c. Menteri dalam hal keputusan pemberian hak, keputusan pembatalan hak, keputusan penetapan tanah terlantar yang diterbitkan oleh Menteri.
Note SHIETRA & PARTNERS: Melihat panjangnya prosedur birokrasi permohonan peralihan hak berdasarkan putusan pengadilan, adalah lebih efesien dan efektif bila pihak Kantor Pertanahan atau BPN dijadikan pihak Turut Tergugat, sehingga hakim dalam putusannya dapat memerintahkan Turut Tergugat untuk tunduk dan patuh terhadap isi putusan secara seketika.
Dalam hal tanah objek putusan pengadilan merupakan aset Barang Milik Negara/Daerah dan/atau aset Badan Usaha Milik Negara/Daerah, pelaksanaan pembatalan hak atas tanahnya dilakukan tanpa menunggu proses penghapusan aset/aktiva tetap dari instansi yang bersangkutan. Setelah dilaksanakan pembatalan, Kepala Kantor Pertanahan memberitahukan kepada pemegang aset yang hak atas tanahnya dibatalkan agar dilakukan penghapusan aset/aktiva tetap. Pemberian hak atas tanah dilakukan setelah adanya penghapusan aset/aktiva tetap dari instansi yang bersangkutan.
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan kecuali terdapat alasan yang sah untuk tidak melaksanakannya, antara lain:
a. terhadap obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan; (Note SHIETRA & PARTNERS: Jika terdapat dua putusan yang telah berkekuatan hukum tetap namun keduanya saling tumpang-tindih, maka Peninjauan Kembali untuk kedua kalinya dimungkinkan oleh Mahkamah Agung guna membatalkan salah satu putusan yang telah inkracht tersebut agar tercipta kepastian hukum.)
b. terhadap obyek putusan sedang dalam status diblokir atau sita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya;
c. alasan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Alasan tersebut diatas wajib dilaporkan oleh Kepala Kantor Pertanahan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya Keputusan.
Pelaksanaan pembatalan terhadap obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan, setelah adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang menguatkan salah satu dari kedua putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut.
Pelaksanaan pembatalan terhadap obyek putusan sedang dalam status diblokir atau sita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya, yakni setelah adanya pencabutan sita dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya.
Unsur pelaksanaan pengawasan penyelesaian Sengketa, Konflik dan Perkara di Kementerian dilakukan oleh Tim Pengawas Penyelesaian Sengketa, Konflik dan Perkara yang terdiri dari Bagian Administrasi dan Bagian Operasional. Unsur pelaksana pengawasan penyelesaian Sengketa, Konflik dan Perkara di tingkat Kantor Wilayah BPN dilaksanakan oleh Kepala Bidang. Sementara unsur pelaksana pengawasan penyelesaian Sengketa, Konflik dan Perkara di tingkat Kantor Pertanahan dilaksanakan oleh Kasi.
Perhatikan ketentuan Pasal 68 Permenag No. 11 Tahun 2016 berikut:
1. Pengambilan keputusan untuk melakukan perbuatan hukum pertanahan berupa penerbitan, peralihan dan pembatalan sertifikat hak atas tanah, pencatatan/pencoretan dalam Surat Ukur, Buku Tanah dan Daftar Umum lainnya serta perbuatan hukum lainnya untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap merupakan perbuatan hukum yang wajib dilaksanakan oleh pejabat Kementerian yang berwenang.
2. Pengambilan keputusan untuk melakukan perbuatan hukum pertanahan berupa penerbitan, peralihan dan pembatalan sertifikat hak atas tanah, pencatatan/pencoretan dalam Surat Ukur, Buku Tanah dan Daftar Umum lainnya serta perbuatan hukum lainnya dalam rangka penyelesaian kasus pertanahan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, merupakan tugas dan kewajiban pegawai atau pejabat Kementerian.
3. Kesalahan dalam proses penyelesaian kasus pertanahan akibat kelalaian pegawai atau pejabat Kementerian merupakan pelanggaran administrasi yang dapat dikenakan sanksi administrasi.
Pasal 69 Permenag No. 11 Tahun 2016:
1. Segala akibat yang terjadi karena perbuatan hukum oleh pegawai atau Pejabat Kementerian dalam melaksanakan Peraturan Menteri ini, menjadi tanggung jawab Kementerian.
2. Pegawai atau pejabat Kementerian yang melaksanakan tugas sesuai dengan Peraturan Menteri ini, yang menghadapi masalah hukum wajib mendapat bantuan dan perlindungan hukum dari Kementerian.
Pada saat Permenag No. 11 Tahun 2016 ini mulai berlaku, maka:
1. Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan; dan
2. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2013 tentang Eksaminasi Pertanahan;
3. Ketentuan lain yang bertentangan dengan Peraturan Menteri ini,
... dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Untuk formulir permohonan mediasi, ataupun pengaduan atas terjadinya sengketa kepentingan terkait pertanahan, dapat dimintakan kepada BPN setempat sesuai yurisdiksi kewenangannya. Sementara untuk menangani proses pengaduan tersebut, pihak yang berkepentingan dapat menunjuk kuasa hukum dari SHIETRA & PARTNERS dengan sebuah surat kuasa dalam proses alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.