Lock Out Perusahaan Sebagai Akibat Perselisihan Hubungan Industrial

LEGAL OPINION
Question: Apakah ada konsekuensi hukum terburuk (worst case) mogok kerja yang dinyatakan sebagai tidak sah selain PHK oleh perusahaan?
Brief Answer: Lock Out menjadi ancaman serta resiko utama Mogok Kerja tidak sah. Ancaman/potensi lock out-nya perusahaan bukan sekadar wacana, namun telah terjadi dalam praktiknya hingga ke ranah peradilan.
PEMBAHASAN :
Sebelum bedah kasus, terlebih dahulu kita perlu mencermati ketentuan mengenai lock out sebagaimana diatur dalam Pasal 146 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Penjelasan Resmi Psal 146 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan:
“Dalam hal penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara tidak sah atau sebagai tindakan balasan terhadap mogok yang sah atas tuntutan normatif, maka pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh.”
Pasal 147 UU Ketenagakerjaan:
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api.”
Pasal 148 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 149 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila:
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial Bandung yang memeriksa dan memutus perselisihan hubungan industrial register Nomor 104/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG tanggal 24 Agustus 2015, antara:
- 657 (enam ratus lima puluh tujuh) karyawan CV. Sungai Indah, sebagai Para Penggugat; melawan
- CV Sungai Indah, selaku Tergugat.
 Yang menjadi pokok gugatan perselisihan hak ketenagakerjaan terhadap perusahaan, ialah klaim Penggugat bahwa Tergugat tidak membayar upah Penggugat pada waktu Unjuk Rasa dan Perusahaan melakukan Lock Out.
Perselisihan antara buruh dan perusahaan telah menempuh perundingan bipartit yang buntu, dilanjutnya dengan mediasi di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Propinsi Jawa Barat, yang selanjutnya Disnaker menerbitkan Anjuran tertulis pada tanggal 3 April 2016 dengan substansi agar manajemen perusahaan menyusun struktur upah dan melakukan perundingan dengan Serikat Pekerja (SP) terkait besaran/nilai fasilitas makan dan premi hadir bagi pekerja, serta agar pihak perusahaan membayar upah selama mogok kerja 1 (satu) hari yang berlangsung pada tanggal 21 Januari 2014 kepada pekerja/buruh, agar perusahaan membayar upah atas penutupan (Lock Out) selama 13 (tiga belas) hari kepada pekerja/buruh, agar hubungan kerja seluruh pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dapat diangkat menjadi pekerja tetap.
Dikarenakan Tergugat tidak melaksanakan Anjuran Disnaker, sehingga demi kepastian hukum maka perselisihan ini dihadapkan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Duduk perkara bermula saat pelaksanaan kenaikan upah untuk tahun 2014, dimana pihak Tergugat hendak menerapkan kebijakan upah tahun 2014 berdasarkan Rekomendasi Bupati Kabupaten Bandung, sementara Penggugat berketatapan hati agar upah tahun 2014 mengikuti keputusan Gubernur Jawa Barat mengenai pelaksaan upah minimum Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2014.
Tanggal 11 Januari 2014 diadakan perundingan bipartit antara Penggugat dan Tergugat mengenai implementasi besaran nilai upah tahun 2014, yang berjalan alot dan pada akhirnya ditetapkan bahwa untuk upah tahun 2014 diputuskan berdasarkan pada keputusan Gubernur Jawa Barat.
Pada waktu yang bersamaan, pihak Tergugat mengeluarkan kebijakan baru bahwa untuk hari libur dilakukan secara bergilir, dan untuk waktu istirahat dari setengah jam dirubah menjadi 1 (satu) jam, dan untuk lembur wajib 1 (satu) jam ditiadakan.
Kebijakan baru tersebut dinilai merugikan buruh, karena berdampak pada pengurangan pendapatan/upah yang biasa diterima tidak sebanding dengan kenaikan UMK.
Pada tanggal 13 Januari 2014 diadakan perundingan ulang, yang hasilnya perusahaan tetap pada kebijakan baru yang diterbitkannya dan Penggugat mengajukan 9 (sembilan) tuntutan.
Dikarenakan perundingan bipartit tidak menemui kata sepakat dan buntu, maka per 13 Januari 2014 Penggugat mengeluarkan Surat Pemberitahuan Mogok Kerja kepada Tergugat yang ditembuskan kepada Disnaker, yang mana rencananya akan dilakukan pada tanggal 21 Januari 2014.
Aksi Mogok Kerja berlangsung lancar, meski tidak menghasilkan apa-apa. Kemudian pada tanggal 22 Januari 2014 Tergugat menerbitkan pengumuman tertulis yang berbunyi: Dipermaklumkan dengan hormat sehubungan dengan tidak terjadinya kesepahaman antara karyawan dengan perusahaan CV. Sungai Indah, berkenaan dengan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan, maka dengan ini perusahaan mengambil sikap untuk menutup perusahaan sementara (Lock Out) dengan jangka waktu yang tidak ditentukan/tidak terbatas.
Penggugat melapor kepada Disnaker, yang kemudian memanggil kedua belah pihak, akan tetapi pihak Tergugat tidak hadir pada tanggal 30 Januari 2014. Pada tanggal tersebut, ternyata Tergugat memanggil para Penggugat untuk mengisi formulir isian daftar ulang.
Tanggal 3 Februari 2014 Disnaker memanggil para pihak, yang mana baik Penggugat maupun Tergugat hadir, dimana kemudian menghasilkan Perjanjian Bersama dengan bunyi:
1. Bahwa Pihak Pekerja siap bekerja di Perusahaan CV. Sungai Indah, terhitung sejak tanggal 6 Februari 2014, dengan program Perusahaan shift mundur, libur gilir, istirahat 1 (satu) jam serentak dan tanpa daftar ulang atau pendaftaran.
2. Bahwa Permasalahan mengenai tuntutan yang normative akan diselesaikan oleh Pengawas Ketenagakerjaan dan yang tidak normative akan diperselisihkan sesuai dengan prosedur ketenagakerjaan.
3. Bahwa dengan disepakatinya Perjanjian Bersama ini pihak-pihak tidak akan mengadakan tindakan intimidasi.
Penggugat mendalilkan, penutupan perusahaan (lock out) pada tanggal 22 Januari 2014 sampai 5 Februari 2014 sebagai balasan dari aksi Mogok Kerja yang dilakukan karyawan pada tanggal 21 Januari 2014 adalah melanggar ketentuan Pasal 146 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
Pasal 143 UU Ketenagakerjaan:
(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan Resmi Pasal 143 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
“Yang dimaksud dengan menghalang-halangi dalam ayat ini antara lain dengan cara :
a. menjatuhkan hukuman;
b. mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau
c. melakukan mutasi yang merugikan.
Pasal 144 UU Ketenagakerjaan:
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang:
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Pasal 145 UU Ketenagakerjaan:
“Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.”
Untuk itu yang menjadi permintaan dalam gugatan ini, agar perusahaan membayar upah saat Mogok Kerja terjadi tidak terkecuali upah selama lock out terjadi.
Majelis Hakim kemudian menimbang adanya standar ganda dalam tingkat regulasi pengupahan, dimana Gubernur Jawa Barat menerbitkan SK bahwa UMK sebesar Rp. 1.735.473;- atau lebih besar dari rekomendasi Bupati Kabupaten Bandung sebesar Rp. 1.660.473;-. Oleh karenanya perusahaan kemudian mencari langkah efisiensi agar perusahaan tetap beroperasi sebagai upaya mencegah terjadinya PHK dengan berpedoman pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE.907/MEN.PHI-PPHI/X/2004 tanggal 28 Oktober 2004, tentang pencegahan PHK massal / pencegahan PHK, maka Tergugat mengeluarkan kebijaksanaan mengurangi dan/atau menghilangkan lembur sebagai langkah efisiensi. Majelis Hakim kemudian memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa pada perundingan tanggal 13 Januari 2014 (bukti P-2, T-3), Penggugat mengajukan 8 (delapan) tuntutan baru dan pemaksaan tuntutan tidak dapat dikategorikan sebagai gagalnya perundingan sesuai amat Pasal 147 UU No. 13 Tahun 2003, sehingga dikategorikan sebagai mogok kerja tidak sah dan selain tersebut tidak benar tuntutan yang diajukan merupakan hak normatif karena faktanya terdapat tuntutan agar Direktur memberhentikan / PHK salah satu Manager di perusahaan Tergugat;
“Menimbang, bahwa perusahaan melakukan penutupan perusahaan bukan sebagai tindakan balasan atas mogok kerja, akan tetapi karena pada tanggal 22 Januari 2014 Penggugat datang ke perusahaan tetapi tidak melakukan pekerjaan, walaupun perusahaan menghimbau agar Penggugat masuk kerja (bukti T-4), tetapi tidak ditanggapi Penggugat dan membubarkan diri pulang ke rumah masing-masing dan menyiapkan diri untuk mogok kerja besok harinya bila perusahaan bila perusahaan belum mengabulkan tuntutan Penggugat, maka demi menjaga aset perusahaan maka perusahaan melakukan penutupan perusahaan sampai ada kesiapan karyawan kembali bekerja (bukti P-3) dan oleh karena unsur “gagalnya perundingan) dalam pelaksanaan mogok kerja tidak terpenuhi dan penutupan perusahaan sebagai upaya menjaga aset perusahaan karena tidak jelas kapan berakhirnya mogok kerja, maka berdasarkan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ‘upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan’ dan selain tersebut Tergugat menolak tuntutan peletakan sita jaminan;
“Menimbang, ... akan tetapi surat Anjuran adalah proses hukum diluar peradilan, sehingga tidak mengikat Hakim dalam memutup perkara a quo, kecuali terhadap hal-hal yang berkaitan erat dengan pokok pekara akan dipertimbangkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan ternyata tuntutan UMK Tahun 2014 telah disepakati dalam perundingan bipartit tanggal 11 Januari 2014 bahwa perusahaan Tergugat akan membayar upah para Penggugat sesuai UMK berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat ... , dan selain tersebut terhadap tuntutan Penggugat lainnya telah diselesaikan secara musyawarah mufakat melalui perjanjian bersama tanggal 03 Februari 2014 yang diketahui dan/atau disaksikan oleh Pengawas Ketenagakerjaan dan Mediator Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bandung, yang diperkuat bukti (P-4), maka Majelis berpendapat bahwa para pihak telah melakukan upaya penyelesaian sesuai ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, maka sebaiknya para pihak melaksanakan kesepakatan tersebut dan menyarankan agar segala bentuk perselisihan yang timbul dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat sebagai wujud nyata atau implementasi hubungan industrial Pancasila dalam mempertahankan kelangsungan bekerja bagi pekerja dan berusaha untuk perusahaan;
“Menimbang, bahwa terhadap kebijakan perusahaan Tergugat menerapkan sistem kerja bergilir, istirahat dari setengah jam menjadi 1 (satu) jam dan lembur wajib di tiadakan, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa berdasarkan fakta di persidangan ternyata masalah tersebut telah diselesaikan secara musyawarah mufakat melalui perjanjian bersama tanggal 03 Februari 2014, dan pada dasarnya secara hukum perusahaan tidak boleh memaksa pekerja/buruh bekerja lembur, tetapi harus didasarkan atas perintah tertulis dari perusahaan dan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh jo. Pasal 6 Kepmenaker Trans-RI No.Kep-102/MEN/VI/2004, serta dalam kondisi tertentu untuk menghindari terjadi PHK perusahaan dapat melakukan efisiensi di segala bidang asal tidak bertentangan dengan hukum jo. Surat Edaran Menaker-Trans RI. No. SE-907/MEN.PHI-PPHI/X/2004;
“Menimbang, bahwa pada tanggal 13 Januari 2014 pihak Penggugat dan Tergugat melakukan perundingan tingkat Bipartit tentang 8 (delapan) tuntutan Penggugat dan Tergugat boleh melaksanakan peraturan perusahaan asal berbarengan dengan pelaksanaan tuntutan pekerja dan kesimpulan perundingan adalah:
1. Menunggu keputusan mengenai tuntutan pekerja;
2. Pihak management akan menyampaikan semua tuntutan kepada owner;
3. Perwakilan pekerja memberikan waktu 3 (tiga) hari sampai ada kesepakatan mengenai tuntutan pekerja.
“Akan tetapi pada waktu bersamaan atau tepatnya tanggal 13 Januari 2014 para Penggugat memberitahukan kepada perusahaan akan melakukan mogok kerja pada tanggal 21 Januari 2014 dan tembusannya dikirimkan kepada instansi terkait, termasuk Polsek Majalaya yang diperkuat bukti (P-1, P-2) dan menurut Majelis Hakim hal tersebut merupakan langkah atau prosedur bagi pekerja sebelum melakukan tindakan mogok kerja, namun perlu dipahami para pihak langkah dimaksud harus sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan antara lain ketentuan pasal 137 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu: adanya gagal perundingan yang dipertegas dalam penjelasan Pasal 137 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, memberi pengertian “tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu” dan perundingan mengalami jalan buntu dijelaskan dalam Pasal Kepmenaker-Trans RI No.Kep-232/Men/2003 yang menegaskan bahwa “jalan buntu harus dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan” akan tetapi tidak ditemukan bukti adanya gagal perundingan;
“Menimbang, bahwa Tergugat mendalilkan pada tanggal 21 Januari 2014 para Penggugat melakukan mogok kerja tidak sah karena tidak sesuai ketentuan Pasal 137 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, dan selanjutnya tanggal 22 Januari 2014 para Penggugat datang ke perusahaan tetapi tidak mau masuk kerja dan perusahaan telah perintahkan melalui pengeras suara yang disaksikan aparat kepolisian setempat akan tetapi para Penggugat tetap tidak mau masuk kerja (bukti T-5) dan selanjutnya perusahaan Tergugat mengeluarkan surat himbauan agar para Tergugat masuk bekerja kembali (bukti T-3) akan tetapi Penggugat tetap tidak mau masuk bekerja, malahan bubar dan pulang ke rumah masing-masing dan mempersiapkan diri mogok esok harinya bila tuntutan belum dipenuhi, dan oleh karena telah perintahkan Penggugat masuk kerja kembali baik melalui pengeras suara maupun surat himbauan tetapi Penggugat tetap tidak mau masuk bekerja dan merencanakan demo terus, maka guna menjaga aset perusahaan, Tergugat menutup perusahaan sampai kesiapan karyawan bekerja kembali (bukti P-3);
“... maka berdasarkan fakta hukum tersebut Majelis menilai bahwa oleh karena Penggugat tidak mau masuk kerja kembali dan koordinator demo perintahkan tidak boleh mengikuti perintah perusahaan masuk bekerja kembali dan menyuruh Penggugat pulang, sehingga para pihak sulit melakukan dialog atau musyawarah secara Bipartit, maka guna mengamankan aset perusahaan dan mencegah resiko kerugian yang lebih besar lagi, maka wajar apabila perusahaan menutup atau menghentikan operasional perusahaan, jo. Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, sehingga haruslah dinyatakan penutupan perusahaan (lock out) yang dilakukan perusahaan dapat dibenarkan dan sah menurut hukum;
“... Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh karena mogok kerja yang dilakukan para Penggugat dinyatakan tidak sah dan penutupan perusahaan dapat dibenarkan atau sah menurut hukum, maka berdasarkan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ‘upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan’, maka tuntutan Penggugat terhadap upah mogok kerja tanggal 21 Januari 2014 dan upah selama penutupan perusahaan (lock out) tanggal 22 Januari 2014 sampai tanggal 05 Februari 2014 tersebut diatas tidak dapat dikabulkan dan haruslah dinyatakan ditolak;
Tiba pada penghujung, Majelis Hakim telah memutuskan:
MENGADILI
1. Menolak Gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan mogok kerja yang dilakukan para Penggugat tidak sah menurut hukum;
3. Menyatakan penutupan perusahaan (lock out) oleh Tergugat dapat dibenarkan dan sah menurut hukum;
Sebagai penutup, hendaknya mampu kita bedakan antara pengusaha yang menghendaki lock out, ataukah buruh/pekerja yang menghendaki lock out pekerjaan mereka sendiri. Aspirasi dan tindakan merongrong, adalah dua hal yang perlu untuk mampu kita bedakan garis embarkasi diantaranya.
Dalam seni negosiasi dan pendekatan, dikenal suatu teori yang disebut teori “sal-sa”, yang bagaikan sepasang orang berdansa, bergerak dalam irama maju yang diikuti dengan gerakan mundur sebelum kembali melangkah maju—tiada satu pihak yang dominan, namun senantiasa maju dan kemudian memberi ruang untuk mundur.
Begitupula prinsip hubungan yang baik antar manusia: take and give. Ketidakseimbangan prinsip inilah bibit utama perselisihan hubungan industrial yang kerap terjadi.
Hendaknya hal ini kerap kali kita renungkan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.