Litis Finiri Oportet, Rezim Diktatoriat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

ARTIKEL HUKUM
Pada tahun 2014, terbit Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tanggal 6 Maret 2014 terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) lebih dari satu kali, dimana MK mengabulkan permohonan Pemohon Uji Materiil (judicial review) dengan menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berbunyi “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali sajadibatalkan karena dinilai bertentangan dengan Konstitusi RI (UUD RI 1945) sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangan hukum putusan No. 34/PUU-XI/2013 tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa memang benar dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet, yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun hal itu berkaitan dengan kepastian hukum. Sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana terhadap asas tersebut tidak secara kaku dapat diterapkan tanpa melihat situasi karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi ketika ditemukan adanya bukti baru (novum), sehingga dinilai bertentangan dengan asas keadilan yang diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan (vide Pasal 24 ayat (1) UUD RI 1945),
Patut kita bertanya, jika PK boleh lebih dari satu kali, berarti dapat terjadi kemungkinan berikut:
- Terdakwa dinyatakan bebas atau lepas dari tuntutan, lantas Jaksa Penuntut Umum mengajukan PK, dimana kemudian oleh putusan PK tersebut, pihak Terpidana mengajukan PK sehingga terjadi PK terhadap PK; atau
- Terdakwa dinyatakan bersalah oleh putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga Terpidana ini kemudian mengajukan PK, dimana putusan PK menyatakan Terpidana bebas, yang berujung pada permohonan PK oleh pihak kejaksaan, sehingga terjadai PK terhadap PK sebelumnya.
Lain tahun, lain kebijakan. Beda pucuk pimpinan, beda arah pendulum. Fenomena tersebut tidak terkecuali terjadi pada tren putusan Mahkamah Konstitusi yang kian tidak konsisten terhadap putusan-putusan sebelumnya. Putusan MK tahun 2014 tersebut, berselang dua tahun kemudian, dianulir sendiri oleh MK pada tahun 2016 lewat putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016, dengan menyatakan bahwa Jaksa tidak berhak mengajukan PK.
Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”—Redaksional ketentuan pasal tersebut memang sejak lama menggelitik SHIETRA & PARTNERS, yang terbukti kini isu tersebut diangkat dan menjadi “batu sandungan” pihak Kejaksaan. Sebagai ilustrasi, dalam tingkat kasasi, Terpidana mendapat keringanan hukuman, sehingga meski Jaksa keberatan atas vonis yang dinilai ringan, Jaksa tak dibenarkan mengajukan PK.
Bagaimana tidak, tidak tertuang pernyataan apapun bahwa Jaksa Penuntut dapat mengajukan PK selain hukum kebiasaan peradilan (yurisprudensi dan preseden).
Pihak pemohon uji materiil mendalilkan, “Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak menyebutkan Jaksa Penuntut Umum, maka hal itu berarti bahwa Jaksa Penuntut Umum dilarang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali”—sebuah argumentum a contrario: tanpa diatur kebolehan demikian, maka tidak dibenarkan ataupun diperkenankan perbuatan yang demikian. Bila tidak dibolehkan, berarti terlarang. Bila tidak dilarang, berarti dibolehkan (perhatikan kemiripannya dengan “asas legalitas” dalam konsep pemidanaan).
Argumentum a contrario yang menjadi sandungan terhadap ketentuan KUHAP, senyatanya bersifat laten akibat keberlakuan asas legalitas yang dianut KUHP sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (1) KUHP: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
Pasal 1 Ayat (1) KUHP tersebut mensyaratkan larangan argumentum per analogiam. Argumentum per analogiam memiliki dasar berpikir: jika tak diatur suatu larangan, maka tidak diperkenankan pula bila terdapat larangan lain yang dapat dianalogikan. Sementara asas legalitas Pasal 1 Ayat (1) KUHP memiliki aturan main berbeda: bila tak dilarang, maka dibolehkan. Bila dilarang, maka tak diperkenankan (rujuk kembali kemiripannya dengan konsep argumentum a contrario diatas).
Argumentum per analogiam dilarang dalam kasus pidana, namun dibolehkan dalam kasus perdata, meski senyatanya “listrik” yang dinilai sebagai “benda” sehingga dapat dituntut pencurian benda bagi pencuri listrik pun, sejatinya adalah meminjam konsep analogi. Konsep hukum pidana Indonesia mengandung cacat konsepsi secara masif, mengingat KUHP merupakan produk Kolonial Belanda yang masih digunakan oleh Indonesia meski telah merdeka selama hampir satu abad.
Sudah sejak lama SHIETRA & PARTNERS menyatakan, bahwa wajah sejati dibalik asas legalitas ialah “argumentum a contrario”, sehingga bila sistem hukum pidana berpegang pada asas legalitas secara kaku, dapat menjadi bumerang bagi sistem tersebut dikemudian hari bagaikan “sindrom lupus” karena autoimun telah merusak sistem itu kekebalan sendiri.
Keliru ketika pihak Kejaksaan Agung menyatakan bahwa MK tak mengerti hukum, karena hukum tertulisnya telah jelas berdasarkan asas Lex Scripta dan Lex Certa, dan merupakan kelalaian regulator (parlemen dan eksekutif) yang tidak segera merevisi KUHAP sehingga tetap membuka celah uji materiil terhadap Pasal 263 Ayat (1) KUHAP yang memang ganjil demikian.
Hanya saja, MK telah bersikap tidak konsisten terhadap putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 tentang PK terhadap PK sebagaimana telah dibahas dimuka. Pihak Pemohon Uji Materiil selaku Terpidana berdasarkan putusan PK yang dimohonkan Jaksa, dapat saja mengajukan PK terhadap PK tersebut.
Kini “nasi telah menjadi bubur”. Hanyalah revisi KUHAP secara mendesak untuk kembali menghidupkan ketentuan yang memberi hak bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan PK terhadap Terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Sebenarnya dapat kita jumpai berbagai ketentuan, baik dalam KUHP maupun KUHAP, yang berpotensi diuji-materiil karena celah yang masih terbuka lebar. Sebagai contoh ketentuan Pasal 1 Ayat (2) KUHP: “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.”
Bila kita membaca redaksional Pasal 1 Ayat (2) KUHP diatas, sebagai contoh seseorang dituntut di muka persidangan karena suatu perbuatan tindak pidana, mendadak terjadi perubahan undang-undang yang dijadikan sebagai dasar penuntutan terhadapnya, maka bila undang-undang baru tersebut mengatur ancaman sanksi yang lebih ringan, terhadap terdakwa dituntut dengan ancaman sanksi yang lebih ringan sesuai undang-undang yang baru meski tempus delicti (waktu terjadinya tindak pidana) adalah saat masih berlaku undang-undang lama.
Apa yang bisa diuji materiil karena telah dilanggarnya asas keadilan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) tersebut diatas? Jawabannya telah lama sekali disadari oleh SHIETRA & PARTNERS, dimana hanya menunggu waktu terjadinya saja bila seorang Terpidana merasa dirugikan oleh keberlakuan undang-undang yang menjeratnya sehingga mulai menyadari urgensi melakukan uji materiil terhadap ketentuan tersebut, sehingga dikemudian hari pastilah ketentuan Pasal 1 Ayat (2) KUHP hanya konstitusional bila dimaknai sebagai: “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa maupun Terpidana diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.”
Sehingga, bila seorang Terpidana telah dijatuhi vonis penjara selama 5 tahun, sebagai contoh, yang mana dikemudian hari terbit undang-undang baru yang hanya mengancam sanksi penjara paling lama 2 tahun, maka Terpidana tersebut hanya akan menjalani hukuman penjara selama 2 tahun, bukan 5 tahun.
Pola berpikir sederhana ini sejatinya telah lama SHIETRA & PARTNERS ajukan kepada berbagai kalangan akademisi, namun belum terdapat akademisi yang merasa terusik ataupun merasakan adanya keganjilan tersebut—hanya tinggal masalah waktu.
Hal yang wajar, kalangan akademisi di Indonesia acapkali mematikan sifat kritis para mahasiswa peserta didiknya (karena dianggap sebagai bentuk pembangkangan dan merongrong kekuasaan absolut penghuni menara gading—arogansi intelektual), sementara kalangan praktisi sebaliknya bersifat praktis, kritis, serta rasional—meski acapkali bergerak keluar dari lajur yang legal saking pragmatisnya.
Kembali pada isu mengenai apakah jaksa berhak mengajukan PK, MK dalam putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016 menyatakan, dalam putusan Mahkamah sebelumnya dengan Nomor 16/PUU-VI/2008 telah jelas hak untuk mengajukan permohonan PK adalah milik terpidana atau ahli warisnya, bukan hak jaksa/penuntut umum.
Antara putusan MK tahun 2008, tahun 2014, dan tahun 2016, masing-masing dipimpin oleh Hakim Konstitusi yang saling berbeda, dengan rezim yang juga berbeda. Terhadap konstitusi yang sama, dihadapkan kepada peraturan hukum tertulis yang juga sama, dapat menghasilkan rona atau corak putusan yang berbeda 180 derajat.
Bila ketentuan hukum tertulis adalah soal susunan kata-kata rigid yang tertuang hitam diatas putih (leterlijk), maka tampaknya konstitusi adalah soal selera, dan soal selera tak dapat dipersengketakan meskipun senyatanya selera para Hakim Konstitusi mengikat dan berdampak luas bagi seluruh warga masyarakat selaku pengemban hukum.
Alhasil dalam putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016, MK telah membuat amar putusan (yang juga sama-sama mengikat dan final seperti putusan-putusan terdahulu), dengan amar putusan: “norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah norma yang konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain”.
Sehingga, bila kita simak kembali kaidah dalam Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”—sebenarnya tetap menyimpan kerancuan yang telah sejak lama menggelitik SHIETRA & PARTNERS: lihat kembali kalimat yang bergarisbawah.
Bila Terdakwa diputus bebas, untuk apa Terdakwa mengajukan PK sementara asas hukum pidana menganut asas non self incrimination, alias seseorang tak dibenarkan untuk menuntut dan menjebloskan dirinya sendiri ke dalam ancaman pidana.
Artinya, bila antara putusan MK tahun 2014 serta putusan MK tahun 2016 dibaca secara paralel dan utuh: terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap, maka Jaksa/Penuntut Umum dapat mengajukan PK, dimana atas PK yang dimenangkan Jaksa tersebut maka pihak Terpidana dapat mengajukan PK kedua guna melawan putusan PK pertama!
Pihak Pemohon Uji Materiil pada tahun 2016 dalam nomor register 33/PUU-XIV/2016 memberikan alasan permohonan sebagai berikut:
“Suami Pemohon dituntut melakukan tindak pidana korupsi, dan hal ini telah sampai pada semua tahapan peradilan, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel tanggal 28 Agustus 2000, suami Pemohon bebas dari tuntutan pidananya begitu juga pada tingkat kasasi;
“Namun pada tahun 2009, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001. Dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009, suami Pemohon dinyatakan terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana 2 (dua) tahun penjara.”
Bila pada akhirnya Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana, maka hukum dan keadilan telah ditegakkan, sehingga mengapa kemudian MK pada tahun 2016 berpendirian bahwa “terbukti” dalam tingkat PK adalah hal yang “tabu” dan “keliru”?
Bukankah kasus yang menimpa suami Pemohon itu sendiri sudah merupakan contoh konkret bahwa Jaksa sudah melakukan langkah yang benar dengan mengajukan PK sehingga terbukti bahwa Terdakwa melakukan tindak pidana? Dalam konteks ini, MK RI tampaknya menunjukkan wajah yang melampaui arogansi MA RI.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.