Langkah Rasional Rasionalisasi Pegawai Negeri Sipil

ARTIKEL HUKUM
Bagi kalangan pelaku usaha, rasionalisasi jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai upaya pengetatan anggaran pemerintah adalah menggelitik. Betapa tidak, setiap kali mengajukan perizinan, berbagai pungutan liar oleh oknum PNS terhadap pemohon izin didasarkan oleh argumen: “Anda kan, pengusaha, jika untung maka apa salahnya bagi dengan saya?”
Pernyataan demikian kerap terlontar dari oknum PNS terhadap kalangan pelaku usaha. Oknum tersebut tidak mau tahu dan tidak mau memahami resiko dibalik kalangan pelaku usaha. Setiap entrepreneur tentu memiliki resikonya sendiri sebagaimana karir swasta mana pun: bisa untung, bisa merugi. Bila untung, maka wajar menjadi hak pelaku usaha karena resiko usaha yang berani ditanggungnya. Bila merugi, apakah sang oknum PNS akan membagi beban derita yang ditanggung sang pengusaha?
Rasionalisasi jumlah PNS yang “gemuk” dan menghabiskan lebih dari separuh anggaran belanja negara, memang langkah yang paling rasional ditengah irasionalnya birokrasi di Indonesia, sehingga APBN/D dapat dialokasikan bagi belanja produktif dan infrastruktur yang lebih bermanfaat ketimbang belanja pegawai yang tidak jelas input dan output-nya. Dalam kacamata swasta, sistem birokrasi pemerintah yang gemuk namun minim prestasi adalah suatu pemborosan dan bentuk ketidakefesienan.
Efektif tidak selalu linear dengan jumlah PNS. Bila manajemen swasta yang memakai sistem meritokrasi, reward and punishment diberlakukan, dalam arti sistem rekruitmen murni berdasarkan seleksi dan kompetensi, maka jumlah PNS yang efesien dari segi jumlah tidak akan diartikan terjadi penurunan kualitas pelayanan negara bagi warga negaranya secara efektif.
PNS adalah pelayan publik, public servant, namun mayoritas lulusan muda dari perguruan tinggi berbondong-bondong melamar menjadi PNS bukan dengan semangat melayani publik, namun semangat “inang” dan “aji mumpung”.
Aji mumpung karena oknum PNS acapkali merasa dirinya telah “repot” melayani masyarakat, sehingga merasa wajar melakukan berbagai pungutan liar (pungli) tanpa mau menyadari bahwa gaji serta remunerasi bersumber dari pajak yang dibayar masyarakat itu sendiri. Jika PNS mengeluh, mengapa memilih menjadi PNS alih-alih menjadi seorang wirausaha?
Baik PNS di Kantor Pertanahan yang dikenal dengan nama Badan Pertanahan Nasional, Kantor Lelang Negara, Kelurahan, Kecamatan, dan praktik seluruh lini pelayanan publik, kerap melakukan tindakan korup demikian. Digaji dengan uang rakyat, lantas menyalahgunakan kekuasaan dengan mengutip pungutan liar dari rakyat itu sendiri. Lemahnya mental birokrasi ini terjadi sejak lama, dan tidak kunjung bersih meski Indonesia menyebut dirinya sebagai negara berhukum, kecuali di beberapa daerah dengan sosok kepemimpinan yang tegas serta tidak kenal kompromi terbukti mampu mengubah mental aparatur jajaran dibawah kepemimpinannya—dengan sebuah ciri yang mengadopsi sistem swasta: tidak becus, pecat!
PNS korup adalah agen pemiskinan rakyat. Betapa tidak, investor asing kerap menimbang iklim investasi di Indonesia yang korup sebagai penghambat pintu masuk justru dari internal birokrat di Indonesia sendiri, yang muaranya pada tidak terserapnya tenaga kerja di berbagai daerah. Masyarakat kecil yang hendak membuka usaha pun, mungkin akan berpikir dua kali mengingat besaran pungli yang harus dihadapinya. Tiada pengusaha manapun yang rela secara jujur membayar pajak bila disaat bersamaan masih dikenai berbagai pungutan liar dari birokrat.
PNS yang dipensiun-dinikan memiliki suatu sisi positif, untuk membuka mata bagi diri sang mantan PNS akan resiko dibalik terjun berusaha sendiri sebagai swasta, agar mengetahui resiko setiap pengusaha. Resiko merugi, dan resiko pungutan liar.
Sisi buruknya, kebijakan rasionalisasi bagai mengatasi masalah dengan jalan pintas. Selama ini keran rekuitmen CPNS dibuka dengan gencar (jadilah “gemuk” seperti kini), meski tetap dilakukan dengan berbagai pungli dan kolusi nepotisme sehingga kerap dijumpai PNS yang tidak kompeten diangkat menjadi pejabat dan menjadi PNS, yang ironisnya tidak mampu melayani diri sendiri karena bermental miskin sehingga bagaimana mungkin PNS tersebut diharap mampu melayani masyarakat?
Pertanyaannya, mengapa selama ini rekruitmen terus berlangsung sehingga menjelma kian “tambun”? Golden shakehand dengan memberi pesangon PNS yang di-PHK sudah sangat memadai sehingga tidak pada tempatnya oknum yang tidak kompeten terus menjadi “inang” yang menghisap uang negara yang bersumber dari pajak yang dibayar masyarakat.
Bila menggelapkan uang negara = korup, PNS yang memakan gaji buta juga termasuk korup karena menghisap sumber-sumber ekonomi negara yang notabene pajak yang dibayar rakyat. Menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah baru hanya dapat dibenarkan dalam konteks urgensi, namun dalam konteks PNS yang “gemuk” adalah hasil dari masalah mis-management Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara itu sendiri—sebuah urgensi yang tidak natural. Para PNS tersebut bermental aristrokat sehingga senantiasa meminta "upeti" dari warga masyarakat. Aristrokasi menjadi suatu gelar/pangkat/kebanggaan tersendiri, sehingga tidak heran mereka berduyun-duyun menjadi PNS.
Penulis berpendapat, sistem, jenjang, serta struktur birokrat perlu dan sudah saatnya mengadopsi sistem swasta, dimana guna proses penjajakan dibolehkan masa percobaan selama tiga bulan atau menggunakan mekanisme kontrak. Selama ini dalam terminologi Pendayagunaan Aparatur Negara, hanya dikenal istilah honorer seperti guru honorer sebagai “separuh” PNS, yang hukumnya tidak jelas.
Sistem swasta kaya akan variasi, seperti buruh harian, buruh musiman, bahkan hingga buruh yang dibayar berdasarkan jumlah hasil produksi. Mungkinkah hukum PNS dapat diatur agar tunduk pada Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan seperti yang diberlakukan pada swasta?
Bila dahulu Askes dan Jaminan Pensiun menjadi monopoli PNS, kini Askes dan Jaminan Pensiun telah terbuka bagi seluruh kalangan pengawai negeri sipil maupun pegawai swasta. Kini telah terdapat Peraturan Pemerintah mengenai Pengupahan, bersama dengan Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, tidak mustahil PNS tunduk kepada kedua regulasi tersebut sebagai mekanisme baru hubungan ketenagakerjaan seorang PNS. Adalah jargon belaka ketika PNS diartikan sebagai "pelayan" publik.
Remunerasi tak lagi dapat diandalkan, karena kinerja buruk tidak membawa dampak negatif bagi sang oknum. Hanya sistem meritokrasi dan “reward and punishment” yang menjadi solusi satu-satunya meng-efektifkan sistem birokrasi yang telah ada. Kuncinya: pimpinan yang berani memecat pegawai yang tidak produktif! Kinerja berbasis produktifitas bila terminologi swasta, maka dalam konteks public servant, parameternya ialah kinerja berbasis pelayanan dan indeks kepuasan masyarakat.
Dengan sistem kompetisi diantara antar calon PNS, perlu diciptakan iklim “memberi” sebagai filter utama calon pelayan publik, bukan mental “mengambil”, “menginang”, “menghisap”, dan “meminta upeti” atau bahkan “memungli” dan "menuntut dilayani".
Melayani yang menjadi jiwa pelayan publik, berbeda makna dengan mencari kekayaan materi yang menjadi motto kaum pengusaha. Ironisnya, sebagian PNS justru bermental pengusaha, sementara sistem pegawai tidak mengadopsi sistem karyawan layaknya swasta. Bukankah ini tidak kongruen? Bagaimana menurut Anda?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.