Kriteria Mogok Kerja yang Sah dan Tidak Sah, Telaah Kasus & Praktik

ARTIKEL HUKUM
Mogok kerja dalam praktiknya mengundang reaksi dengan beragam sudut pandang dan pola putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang majemuk, sebagai cerminan kompleksitasnya suatu hubungan industrial yang menjelma suatu aksi “mogok kerja”.
Pada satu sisi, “mogok” diartikan sebagai “aksi damai” dalam kacamata para buruh, namun pada saat bersamaan ditafsirkan sebagai “aksi pembangkangan” bahkan “sabotase” di mata kalangan pengusaha. SHIETRA & PARTNERS akan mengupas berbagai kecenderungan hakim PHI maupun Mahkamah Agung (MA RI) dalam memaknai sengketa terkait “mogok kerja”.
Konfrontasi menjadi tidak terelakkan, selama rumusan definisi “Mogok Kerja” masih memakai paradigma sebagaimana dirumuskan Pasal 1 Ayat 23 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
“Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.”
Meski demikian hendaknya kalangan buruh/pekerja tidak menjadi lengah, bahwasannya Mogok Kerja dapat menjadi bumerang/kontraproduktif bagi kepentingan buruh/pekerja itu sendiri bila tidak disikapi secara arif dan cermat sesuai koridor hukum. Untuk itu kasus serta berbagai preseden mengenai Mogok Kerja yang dinyatakan tidak sah penting sebagai bahan pembelajaran bersama.
Sebagai pendahuluan, artikel ini akan mengangkat beragam pola pendirian hakim, yang akan kita buka dengan eksaminasi terhadap sikap PHI Bandung dalam putusan Nomor 57/G/2010/PHI/PN.BDG tanggal 16 Agustus 2011 dalam sengketa antara:
- PT. YUPI INDO JELLY GUM, selaku Penggugat; melawan
- Kamsari dan Ali Susanto, para karyawan perseroan selaku Para Tergugat.
Perusahaan berkeberatan atas aksi mogok kerja yang dinilai tidak sah pada tanggal 1 Februari 2011, dimana Para Tergugat memberitahukan rencana aksi mogok kerja kepada pihak Kapolsek, Koramil, Kepala Desa, dan RT/RW setempat. Perusahaan menilai pemberitahuan ke berbagai pihak ini tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 140 Ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pemberitahuan rencana Mogok Kerja hanya dilayangkan kepada perusahaan dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yakni Dinas Tenaga Kerja setempat.
Pemberitahuan rencana Mogok Kerja ke berbagai pihak ini dirasa merugikan perusahaan karena dapat menimbulkan kesan tidak baik kepada masyarakat umum maupun kepada pelanggan.
Perusahaan juga berpendapat, Mogok Kerja tersebut tidak sah karena baru dapat dilakukan ketika perundingan bipartit telah gagal, dimana Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep.232/MEN/2003 tentang Akibat Mogok Kerja Yang Tidak Sah menyatakan bahwa perundingan baru dinyatakan gagal apabila para pihak menuangkannya dalam risalah perundingan (tertulis) bahwa perundingan mengalami jalan buntu atau dead lock.
Perundingan Perjanjian Kerja Bersama antara perusahaan dan Serikat Pekerja di perusahaan dilanjutkan kembali pada tanggal 11 Maret 2011 namun pihak Serikat Pekerja menolak berunding sebelum Penggugat mencabut perkara PHK terhadap buruhnya. Penggugat menolak, karena kasus perselisihan PHK antara Penggugat dengan Para Tergugat adalah kasus antara manajemen perusahaan dengan pihak pekerja, sedangkan kasus perundingan PKB adalah kasus antara manajemen dengan Serikat Pekerja.
Penggugat juga menilai aksi Tergugat yang berorasi di gedung DPRD Kabupaten Bogor atas aksi PHK yang menimpanya, sebagai bentuk pencemaran nama baik terhadap perusahaan. Untuk itu Penggugat meminta PHI agar menyatakan Para Tergugat telah melakukan pelanggaran berat, dan agar di-PHK tanpa hak pesangon.
Menanggapi gugatan perusahaan, Para Tergugat menerangkan bahwa dirinya merupakan ketua dan sekeretaris pimpinan Serikat Pekerja di perusahaan, yang mana beserta para pengurus Serikat Pekerja lainnya menjadi tim perunding draf Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang sedang dibuat untuk diberlakukan di perusahaan.
Perselisihan terjadi bermula saat perundingan PKB mengalami dead lock, sehingga Tergugat bersama anggota tim perundingan PKB lainnya beserta anggota Serikat Pekerja (SP) perusahaan berencana untuk melakukan aksi mogok kerja sebagai ekspresi kekecewaan mereka atas selalu gagalnya perundingan dalam penyelesaian PKB.
Tergugat beserta anggota SP merencanakan aksi mogok kerja pada tanggal 1 Februari 2011 sesuai dengan surat pemberitahuan aksi yang telah terlebih dahulu disampaikan kepada Penggugat tanggal 24 Januari 2001. Pada 31 Januari 2011, Disnaker Kabupaten Bogor menyampaikan arahan / saran kepada Tergugat, agar aksi mogok kerja dibatalkan atau ditunda terlebih dahulu, karena Disnaker akan mengupayakan untuk diadakan lagi perundingan PKB yang belum tuntas.
Setelah mempertimbangkan arahan Disnaker, pada tanggal 01 Februari 2011 Tergugat beserta seluruh anggota SP membatalkan rencana mogok kerja sehingga praktis seluruh buruh pada perusahaan tetap melaksanakan aktivitas kerjanya sebagaimana biasa.
Adapun PHK yang dialamatkan kepada Tergugat, merupakan buntut dari tuduhan aksi mogok kerja tidak sah, sesuatu yang irasional oleh sebab mogok kerja tidak pernah terealisasi, dimana pada 01 Februari 2011 Tergugat menerima kunjungan petugas Disnaker yang datang ke perusahaan untuk menjembatani permasalahan yang terjadi, meski perundingan batal karena Penggugat tidak bersedia berunding.
Tergugat mendalilkan, tiada pengaturan dalam undang-undang Ketenagakerjaan yang melarang pemberitahuan rencana mogok kerja kepada instansi lainnya, sebab aksi mogok kerja terkait pada Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Ketika fakta satu dikaitkan dengan fakta lainnya, menjadi jelas bahwa Tergugat merupakan pimpinan tim perunding dari pihak pekerja, sehingga PHK merupakan buntut dari posisi Tergugat tersebut, dimana terdapat kaitan erat antara kedudukan Tergugat selaku tim perunding draf PKB, kian terlihat jelas upaya pembungkaman oleh pihak perusahaan karena setelah proses PHK terhadap Tergugat, Penggugat bermaksud pula melakukan PHK terhadap anggota SP lainnya dengan cara menawarkan uang kompensasi PHK.
Meski PHI menyatakan menolak gugatan Penggugat, namun salah seorang hakim mengajukan pendapat berbeda, dengan menyatakan bahwa aksi damai maupun aksi mogok tersebut terkesan adanya pemaksaan kehendak dari Para Tergugat sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan, bahkan dinyatakan olehnya permohonan PHK oleh pihak perusahaan patut dikabulkan karena disharmoni yang timbul akibat upaya Mogok Kerja yang dimotori Para Tergugat.
Dari putusan tersebut, kita dapat melihat, bahwa se-sahih apapun rencana aksi Mogok Kerja, bila hal tersebut dijadikan sebagai alat untuk merongrong pihak pengusaha, maka ia dapat masuk dalam kategori penyalahgunaan “hak” yang berpotensi akan di PHK lewat putusan PHI.
Kalangan buruh/pekerja hendaknya mahfum, bahwa Mogok Kerja meski baru sebentuk rencana dan tidak terealisasi pada praktiknya, seyogianya merupakan suatu “upaya terakhir” (last efforts), bukan sebagai jalan pintas ketika draf PKB tidak kunjung disepakati pengusaha.
Bila Mogok Kerja yang sah saja demikian riskan, bagaimana dengan aksi Mogok Kerja yang tidak sah? Ini merupakan pertanyaan yang kerap terlontar dari rekan-rekan kalangan buruh/pekerja.
Untuk itu menjadi penting menyimak kasus aktual berikut, dimana PHI Bandung dalam putusan register No. 96/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG tanggal 10 Agustus 2015, dalam sengketa hubungan industrial antara:
- PT. ADYAWINSA STAMPING INDUSTRIES selaku Penggugat; melawan
- Enam orang karyawan perusahaan, selaku Para Tergugat.
Perkara bermula dari Para Tergugat yang merupakan bagian dari pekerja yang berjumlah 208 orang yang meminta kepada Penggugat agar supaya pekerja kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu / PKWT) semuanya diangkat atau dialihkan menjadi pekerja tetap (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu / PKWTT).
Terhadap permintaan tersebut, Perusahaan melakukan perundingan dengan perwakilan pekerja sejumlah 1000 orang, dimana SP yang menjadi wadah Para Tergugat bergabung hanya berjumlah 200 pekerja.
Buruh maupun SP lainnya yang mewakili 80 % dari total pekerja menyetujui bahwa pengangkatan pekerja tetap dengan masa kerja lebih dari 3 tahun akan dilaksanakan secara bertahap mulai tanggal 01 Juli sampai dengan 24 Juli 2013, akan tetapi pihak Para Tergugat yang menjadi anggota sebuah SP masih tidak sepakat dan memilih walk out dari pertemuan serta tidak menandatangani minute meeting.
Penggugat menilai, semestinya Para Tergugat menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dan disepakati oleh mayoritas pekerja sebanyak 80 % dari seluruh total pekerja yang tergabung pada SP lainnya maupun pekerja non-serikat. Namun Para Tergugat menolak mengikutinya.
Penggugat mendalilkan bahwa Penggugat tidak pernah menandatangani risalah perundingan yang menyatakan bahwa perundingan menemui jalan buntu (dead lock), dimana Penggugat masih membuka kesempatan untuk berunding kembali. Sementara bila merujuk pada Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.232.MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah mengatur:
Gagalnya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan.”
Dengan demikian bukti risalah perundingan yang menyatakan perundingan menemui jalan buntu menjadi prasyarat mutlak rencana mogok kerja. Para Tergugat mengirimkan surat pemberitahuan Mogok Kerja yang rencananya akan dilakukan mulai dari tanggal 30 Juli 2013 sampai dengan 29 April 2014—alias selama 9 (sembilan) bulan lamanya Mogok Kerja itu akan dilangsungkan.
Perusahaan telah memberi peringatan, bahwa konsekuensi hukum Mogok Kerja tidak sah ialah pelaku mogok akan dikualifikasi sebagai mangkir dan dianggap sebagai pengunduran diri. Para Tergugat tidak menanggapi peringatan, sehingga perusahaan membuat surat panggilan masuk kerja ke-1 pada tanggal 30 Juli 2013.
Penggugat kemudian mengirimkan surat kepada Disnaker Kabupaten Karawang untuk minta diperantarai masalah perselisihan hubungan industrial ini, namun tidak terdapat tindak lanjut oleh Disnaker.
Penggugat kembali memberikan panggilan masuk kerja untuk kedua kalinya secara tertulis kepada semua pekerja yang masih melakukan mogok kerja pada tanggal 16 Agustus 2013, namun tidak diindahkan.
Setelah Penggugat membuat surat panggilan masuk kerja kedua kalinya berturut-turut dalam tenggang waktu tujuh hari, namun pelaku Mogok Kerja tidak juga masuk kerja, maka secara hukum Para Tergugat dinilai mengundurkan diri, sesuai ketentuan Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 232/MEN/2003:
1. Mogok Kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikualifikasikan sebagai mangkir.
2. Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis.
3. Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka dianggap mengundurkan diri.
Terhadap gugatan tersebut, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan dan fakta hukum diatas Majelis Hakim berkesimpulan pemogokan kerja yang dilakukan oleh para Tergugat beserta anggotanya yang tergabung dalam FSPMI yang dilakukan dari tanggal 30 Juli 2013 s.d. 29 April 2014 adalah: ‘Pemogokan kerja yang tidak sah karena bukan sebagai akibat gagalnya perundingan / jalan buntu, karena hasil bipartit: tidak mencatat adanya peristiwa hukum yang dinyatakan oleh pihak perusahaan dan pihak SPSI, SKM sebagai suatu kegagalan perundingan yang mengalami kebuntuan kecuali dinyatakan oleh FSPMI dan tidak ditanda tangani oleh pihak Penggugat dan SKM, serta SPSI;”
Buruh/pekerja patut waspada terhadap nota keterangan Disnaker yang menyatakan sah atau tidaknya rencana Mogok Kerja, sebagaimana disebutkan Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya (bahwa Mogok Kerja adalah "hak bersyarat”):
“Menimbang, bahwa bukti (T-14) tentang Nota Dinas No. 566/4668/BPPK tanggal 18 September 2013 yang ditujukan kepada Ketua PUK SPAMK SPMI PT ADYAWINSA STAMPIN INDUSTRIES dari Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Karawang yang pada pokoknya menyatakan mogok kerja yang dilakukan oleh para Tergugat telah memenuhi ketentuan yang berlaku mengenai tenggang waktu sebelum melakukan pemogokan telah sesuai dengan Pasal 140 UU No. 13 Tahun 2003, dan mengenai gagalnya perundingan yang mengutip Pasal 3 huruf a KEP.232/MEN/2003 yang intinya perundingan-perundingan yang dilakukan telah mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan;
“Menimbang, bahwa terhadap penjelasan butir 2 a dari Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Karawang mengenai ketentuan sebelum melakukan pemogokan benar telah dilakukan oleh para Tergugat namun mengenai anak kalimat mengenai perundingan mengalami jalan buntu penjelasan tersebut tidak dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP 232/MEN/2003 yang menegaskan “jalan buntu dinyatakan oleh para pihak dalam perundingan” dan yang melakukan perundingan dalam perkara a quo adalah (Pengusaha, FSPMI, SPSI, dan SKM), sehingga penjelasan Nota Dinas No. 566/4668/BPKK/2013 tanggal 18 September 2013 yang dikeluarkan oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Karawang yang hanya mengakomodir serikat pekerja FSPMI cacat hukum dan tidak dapat dijadikan acuan oleh para Tergugat dalam melakukan tindakan pemogokan kerja;”
Pernyataan Majelis Hakim tersebut diatas unik, karena menyiratkan bahwa Surat Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara dapat dibatalkan oleh PHI selama SK TUN tersebut bersumber dari Dinas Tenaga Kerja. Selanjutnya Majelis Hakim memberikan pertimbangan hukum mengenai sikap “aji mumpung” buruh yang melewati batas kepatutan, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa permberitahuan pemogokan kerja yang akan dilaksanakan mulai tanggal 30 Juli 2013 s.d. 29 April 2014 selama 9 bulan oleh para Tergugat (bukti P-5 = T-13) menurut Majelis Hakim: adalah tindakan yang bertentangan dengan upaya Negara RI yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan nasional dibidang ekonomi;
“Menimbang, bahwa karena para Tergugat tidak memenuhi panggilan ke 1 dan panggilan ke 2 untuk kembali bekerja setelah mogok tidak sah yang diamanatkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan maka para Tergugat dapat dikategorikan telah mengundurkan diri dari perusahaan Penggugat atau telah terjadi pengakhiran hubungan kerja sejak tanggal 21 Agustus 2013, oleh karenanya petitum angka 3 yang menyatakan para Tergugat dikualifikasikan mangkir dan dianggap mengundurkan diri sebagai akibat melakukan mogok kerja tidak sah haruslah dinyatakan dapat dikabulkan;”
Tiba pada amar putusannya, Majelis Hakim memutuskan:
MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan mogok kerja yang dilakukan oleh para Tergugat adalah tidak sah;
3. Menyatakan para Tergugat dikualifikasikan mangkir dan dianggap mengundurkan diri sebagai akibat melakukan mogok kerja tidak sah;
Meski dinyatakan sebagai mengundurkan diri, para Tergugat tetap diberikan hak uang penggantian hak oleh Majelis Hakim dalam putusannya agar tetap memerhatikan hak para Tergugat.
Kita beralih pada kasus fenomental berikutnya, sebagaimana diputus oleh PHI Palangka Raya register perkara No. 06/G/2014/PHI/PN.PL.R tanggal 20 Agustus 2014, antara:
- PT. Bangun Nusantara Jaya, selaku Penggugat; melawan
- 99 (sembilan puluh sembilan) orang karyawannya, selaku Para Tergugat.
Perkara yang cukup dramatis ini karena melibatkan 99 orang buruh yang didudukkan sebagai Tergugat, dimana perselisihan berpangkal dari adanya Perjanjian Bersama (PB) hasil perundingan Tripartit antara perusahaan dengan SP yang beranggotakan 383 karyawan bertanggal 20 Juni 2013 dengan dimediasi oleh Disnaker Barito Timur, yang kemudian PB tersebut didaftarkan di PHI Palangka Raya dengan Akta Pendaftaran tertanggal 19 November 2013.
Adapun bunyi poin-poin dalam PB tersebut antara lain:
(1). Berdasarkan tuntutan pekerja mengenai kepesertaan jamsostek, Pengusaha telah mendaftar 383 pekerja dari keseluruhan pekerja PT. BNJM, dan yang belum terdaftar agar segera melengkapi syarat-syarat administrasinya.
(2). Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Pengusaha telah memberikan lebih baik dari jamsostek, melengkapi ketentuan-ketentuan administrasi dan mensosialisasikan bersama Serikat Pekerja kepada para pekerja/anggotanya.
(3). Pekerja bersedia mengikuti aturan perusahaan terlebih disiplin kehadiran.
(4). Pengusaha bersedia membayar kekurangan pembayaran Jamsostek kepada pekerja dan akan dihitung oleh saksi ahli dalam hal ini adalah Pegawai Pengawas.
(5). Pengusaha membayar upah lembur yang mengacu pada Kepmen 102/MEN/VI/2004, kekurangan pembayaran lembur akan diperhitungkan oleh saksi ahli dalam hal ini adalah Pegawai Pengawas, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(6). Masa Cuti, Alat Pelindung Diri, dan Upah Minimum Propinsi akan dibicarakan pada pertemuan Tripartit berikutnya ...”
PB bersifat mengikat kedua belah pihak, sebagaimana diakui perusahaan, namun dalam implementasinya Penggugat baru mampu merealisasi poin ke-1, ke-2, ke-3, dan poin ke-6 saja, sementara untuk poin ke-4 serta poin ke-5 belum dapat direalisasikan oleh Penggugat dikarenakan belum diperhitungkan oleh ahli (dalam hal ini adalah Pegawai Pengawas pada Disnaker).
Atas belum direalisasikannya isi PB poin ke-4 dan ke-5 oleh Penggugat, maka pihak pengurus SP bersama sebagian anggotanya yang merupakan karyawan Penggugat, melakukan aksi mogok kerja pada tanggal 2 Oktober 2013 dan berakhir dengan perundingan tripartit dengan dimediasi oleh Disnaker, yang melahirkan Kesepakatan Bersama tertanggal 2 Oktober 2013.
Pada tanggal 23 Desember 2013, Penggugat memberitahukan Disnaker secara tertulis perihal Daftar Tenaga Kerja yang di PHK yang pada pokoknya memberitahukan akan mem-PHK karyawan pada divisi-divisi perusahaan dengan alasan efisiensi karena mengingat keadaan dan kemampuan perusahaan yang pada saat ini jauh dari maksimal akibat menurunnya harga komoditi batubara di pasaran komersial. Perusahaan dalam hal ini memohon petunjuk dan arahan dari Disnaker agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
Pada 30 Desember 2013 perusahaan berencana secara bertahap melakukan PHK terhadap 376 karyawan, dan atas rencana tersebut pada tanggal 7 Januari 2014 perusahaan berencana melakukan PHK terhadap 80 orang karyawannya untuk tahap pertama, namun gagal dilaksanakan karena beberapa tuntutan karyawan belum direspon oleh pihak perusahaan dan mengingat belum diadakannya perundingan secara bipartit antara pengusaha dan pekerja. Pihak pengurus SP menentang rencana dimaksud.
Tanggal 16 Januari 2014 perusahaan menerima surat dari SP perihal Pemberitahuan Mogok Kerja yang pada pokoknya menginformasikan bahwa pihak SP beserta dengan anggotanya (karyawan perusahaan) akan melaksanakan mogok kerja secara serentak di seluruh area operasi perusahaan, yakni rencananya pada tanggal 23 Januari 2014 pukul 06.00 WIB sampai dengan waktu tidak terbatas sampai permasalahan ada penyelesaiannya.
Manajemen perusahaan berupaya mencegah dengan memohon bantuan pihak Disnaker untuk memediasi perselisihan, yakni pada 21 Januari 2014. Namun setelah Penggugat mempelajari secara cermat ketentuan hukum mengenai mogok kerja yang sah menurut ketentuan hukum, koridornya dalam Pasal 140 UU Ketenagakerjaan, yakni:
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja (Tempat mogok kerja adalah tempat-tempat yang ditentukan oleh penanggung jawab pemogokan yang tidak menghalangi pekerja/buruh lain untuk bekerja.);
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Lebih lanjut Pasal 3 Kepmennaker No. KEP 232 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Tidak Sah mengatur:
Mogok kerja tidak sah apabila dilakukan:
a. bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau
b. tanpa permberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan/atau
c. Isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, d, dan d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.”
Setelah management perusahaan mencermati ketentuan hukum yang ada, maka perusahaan menyatakan sikap menolak dan berkeberatan atas rencana aksi mogok kerja tersebut karena tidak beralasan hukum, antara lain:
1. Tidak menentukan kapan berakhirnya rencana mogok dimaksud;
2. Alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
3. Bukan akibat gagalnya perundingan (karena Penggugat tidak menolak untuk berunding).
Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Barito Timur melayangkan surat tanggal 23 Januari 2012 yang pada pokoknya menyarankan agar rencana aksi mogok kerja dibatalkan/tidak dilakukan sebelum adanya upaya mediasi bipartit antara perusahaan dan pekerja.
Keberatan perusahaan tidak digubris, sehingga aksi Mogok Kerja direalisasikan pada tanggal 23 Januari 2011 yang berjalan hingga 11 Maret 2014.
Aksi Mogok yang dipimpin SP bersama Para Tergugat kian tak terkendali, seperti melakukan pemortalan jalan akses perusahaan yang berakibat terganggunya proses produksi.
Atas surat panggilan I, II, dan surat panggilan III yang dikirimkan Penggugat terhadap karyawan yang melakukan aksi mogok kerja tersebut mendapat tanggapan sebagian aksi mogok kerja dan memilih untuk kembali bekerja untuk perusahaan—namun Para Tergugat tetap tidak mengindahkan panggilan-panggilan kerja tersebut, sehingga pada akhirnya diamankan oleh pihak berwajib atas aksi blokir jalan tersebut.
Maka dari itu menjadi penting menyimak pertimbangan hukum Majelis Hakim dengan bunyi:
“Menimbang, bahwa oleh karena bukti P-3/T.15 tidak mencantumkan sampai kapan mogok kerja yang akan dilakukan oleh Para Tergugat tersebut akan berakhir maka mogok kerja yang dilakukan oleh Para Tergugat tersebut menurut Majelis adalah bertentangan dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) jo. Pasal 142 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa bunyi Pasal 168 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut: “Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”
“Menimbang, bahwa oleh karena dalam perkara a quo Para Tergugat di-PHK dengan kualifikasi mengundurkan diri maka sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003, Para Tergugat berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) berupa Uang Pisah sebesar 1 (satu) bulan gaji, Cuti Tahunan, Uang Perumahan, dan Pengobatan 15% dari Uang Pisah dan diberikan Uang Pemulangan secara pro rata-rata sebesar Rp. 200.000;- (dua ratus ribu rupiah) per satu orang Para Tergugat;”
Sebagaimana telah dapat kita duga, Majelis Hakim menjatuhkan amar putusan:
MENGADILI :
- Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
- Menyatakan mogok kerja yang dilakukan Para Tergugat pada tanggal 23 Januari 2014 sampai dengan 06 Februari 2014 adalah tidak sah dan bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku;
- menetapkan sebagai hukum Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Para Tergugat yakni Tergugat I sampai dengan Tergugat 99 dikarenakan Para Tergugat tersebut mangkir kerja selama lebih dari 5 (lima) hari secara berturut-turut adalah dengan kualifikasi pengunduran diri sebagai akibat melakukan aksi mogok kerja yang tidak sah ...;
- Memerintahkan Para Tergugat yaitu Tergugat I s/d Tergugat 99 yang masih menempati fasilitas perumahan karyawan pada lokasi area kerja PT. Bangun Nusantara Jaya Makmur di Base Camp lalap, Kecamatan Patangkep Tutui – Bentot, Kabupaten Barito Timur, Propinsi Kalimatan Tengah untuk segera meninggalkan perumahan karyawan tersebut terhitung sejak putusan ini dibacakan oleh Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial;
Perkara tidak selesai pada tingkat PHI, namun berlanjut hingga tingkat kasasi dalam register perkara No. 666 K/Pdt.Sus-PHI/2014 yang diputuskan oleh Mahkamah Agung tanggal 21 Januari 2015, dimana ke-99 Tergugat kini selaku Para Pemohon Kasasi.
Adapaun salah satu pokok dalil Pemohon Kasasi, bahwasannya secara terang dan jelas Para Tergugat telah di PHK pada tanggal 8 Januari 2014 serta tanggal 7 Februari 2014 melalui surat pemberitahuan dengan alasan efisiensi, maka sepatutnya kepada karyawan bersangkutan diberikan hak-haknya sesuai kaidah Pasal 156 UU Ketenagakerjaan yang meliputi pesangon.
Terhadap permohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum:
“Menimbang, ... Bahwa telah terjadi pelaksanaan mogok kerja yang tidak sah yang dilakukan oleh Para Pemohon Kasasi / Para Tergugat yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d dan Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jo. Kepmenaker Republik Indonesia Nomor Kep.232/MEN/2003 Pasal 3 Huruf A dan Pasal 6 tentang akibat hukum mogok kerja yang tidak sah;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi.”
Terkadang, untuk mempelajari metode Mogok Kerja yang “berdaya guna”, kita perlu menelaah berbagai kasus Mogok Kerja yang gagal dan berujung petaka bagi kaum buruh/pekerja itu sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.