LEGAL
OPINION
Question: Apakah dapat
dibenarkan praktik bisnis yang mengingkari perjanjian dengan alasan salah satu
pihak yang menandatangani adalah orang warga negara asing yang tidak mengerti
bahasa Indonesia sehingga bisa seenaknya menandatangani kontrak berbahasa
Indonesia dan seenaknya pula memungkiri tanggung jawab dengan alasan tidak
mengerti bahasa Indonesia? Jika memang tidak mengerti bahasa Indonesia, mengapa
menandatangani kontrak berbahasa Indonesia tersebut? Toh, kontrak
ditanda-tangani dan dijalankan di Indonesia, dimana masing-masing pihak adalah
berbentuk badan hukum Indonesia, sehingga alasan tidak mengerti bahasa
Indonesia yang dijadikan alasan memungkiri kontrak yang telah ditanda-tangani
sungguh mengada-ngada.
Brief Answer: Dianggap diam-diam menyetujui dan mengerti isi
perikatan, dengan telah menandatangani kontrak berbahasa Indonesia yang dibuat
dan dijalankan di Indonesia, apapun “bahasa ibu” ataupun kewarganegaraan pihak
yang menandatangani. Demikian hukum
perikatan perdata mengatur sebagai asas gentlement
agreement. Kekhilafan hanya dibenarkan untuk peristiwa diluar kekuasaan
seseorang, sementara lalai bukanlah khilaf, terlebih kelalaian berat seperti
menandatangani kontrak berbahasa asing di negara asing tanpa lebih dahulu
mencari tahu subtansi kontrak tersebut.
PEMBAHASAN :
Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 347/PDT/2015/PT.BDG tanggal
29 Oktober 2014, yakni sengketa gugatan perdata dalam tingkat Banding, antara:
-
CV. Saudara
Serasi,
selaku Pembanding, dahulu pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai Penggugat;
melawan
-
PT. YOROZU AUTOMOTIVE
INDONESIA,
yang diwakili oleh Kantor Hukum Prestigio Law Firm, selaku Terbanding dan juga
Pembanding, semula Tergugat I; dan
-
PT. MANDIRI
PRATAMA INTI LOGAM, selaku Terbanding sekaligus juga Pembanding, semula Tergugat II.
Perkara tersebut menjadi salah satu fakta aktual perbuatan tipu muslihat
yang dilakukan oleh PT. YOROZU AUTOMOTIVE INDONESIA, oleh karena menggunakan
pengacara dari kantor hukum Prestigio Law Firm, namun disaat
bersamaan mengajukan saksi dalam persidangan, seorang Warga Negara Asing (WNA)
bernama Teruhisa Goto guna menguatkan posisi PT. Yorozu Automotive Indonesia,
dengan maksud mengecoh hakim dalam memutus, seakan saksi (Teruhisa Goto) merupakan
pihak ketiga yang netral, yang senyatanya WNA bernama Teruhisa Goto tersebut
notabene adalah pemilik dan kepala dari Prestigio Law Firm.
Adapun pokok perkaranya bermula sebagai berikut. Antara Penggugat dan
Tergugat I mempunyai hubungan hukum dalam hal pengelolaan limbah sisa produksi,
yang mana hubungan tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang
ditanda-tangani oleh Para Pihak, yakni Endang Djunaidi selaku Direktur CV.
Saudara Serasi dan Masaharu Yoshimatsu selaku Presiden Direktur PT. Yorozu
Automotive Indonesia dengan judul “Perjanjian Penunjukkan dan Pengangkatan
Pengolahan Limbah”.
Penggugat dan Tergugat I menandatangani surat perjanjian tersebut pada
tanggal 22 Maret 2013 dan kemudian pada tanggal 27 Maret 2013 antara Penggugat
dan Tergugat I dilanjutkan pula dengan penandatanganan “Addendum Daftar Harga
Limbah”—sebagai bukti penerimaan dan tunduknya Tergugat I terhadap substansi
kontrak berbahasa Indonesia.
Berdasarkan Perjanjian beserta Addendumnya tersebut, maka syarat sah
perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan kedudukan
Masaharu Yoshimatsu selaku Direktur PT. Yorozu Automotive Indonesia dalam
menandatangani Perjanjian Penunjukkan dan Pengangkatan Pengolahan Limbah
tentunya pula telah memenuhi ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas sehingga cakap hukum mengikatkan diri dalam perjanjian.
Tanpa suatu itikad baik ataupun alasan yang jelas, mendadak pada tanggal
1 April 2013, Penggugat menerima surat pembatalan sepihak pengelolaan limbah
dengan judul “Surat Pernyataan Pembatalan Penunjukkan Pengangkatan
Limbah Industri Sisa Hasil Produksi” oleh PT. Yorozu Automotive Indonesia, yang mana surat tersebut
ditanda-tangani oleh Abdul Mukti selaku staf HR-GA pada PT. Yorozu Automotive Indonesia.
Bahkan kemudian secara sepihak kemudian Tergugat I menyerahkan pengelolaan
limbah kepada Tergugat II.
Penggugat merasa heran dengan kewenangan yang dimiliki oleh Abdul Mukti,
yang hanya staf biasa bagian HR-GA dari PT. Yorozu Automotive Indonesia (Tergugat
I), namun mengapa merasa berhak bertindak selayaknya Presiden Direktur dari PT.
Yorozu Automotive Indonesia untuk membatalkan secara sepihak Perjanjian yang
ada.
Tergugat II lantas mengambil alih pekerjaan, sehingga Penggugat merasa
dirugikan dengan terjadinya pemutusan sepihak, karena Penggugat kehilangan
pendapatan dan keuntungan yang diharapkan dari pengelolaan limbah tersebut.
Tergugat I dan Tergugat II kemudian mengajukan saksi, yakni Goto
Teruhisa, sebagai berikut:
-
Saksi merupakan Presiden Direktor PT. GLC Consulting yang memiliki
hubungan pekerjaan dengan PT. Yorozu Automotive Indonesia (Tergugat I) sebagai
consultant management;
-
Ketika Presiden Direktur PT. Yorozu Automotive Indonesia datang ke kantor
saksi, Presdir tersebut meminta saksi untuk menjelaskan surat yang sedang
dipegangnya karena Presdir hanya dapat berbahasa Jepang dan tidak dapat
berbahasa Indonesia;
-
Saksi kemudian membaca dan menyampaikan bahwa surat tersebut merupakan
surat perjanjian penunjukkan dan pengangkatan pengolahan limbah antara
Penggugat dan Tergugat I. Presdir merasa kaget dan berkata bahwa Presdir tidak
pernah tahu jika surat tersebut adalah surat perjanjian serta tidak mengetahui
isi dari perjanjian tersebut. Jadi, Presdir tidak mengetahui jika surat yang
ditanda-tanganinya ternyata merupakan perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat
I;
-
Bahwa pada saat itu Presdir tidak mengatakan keberatan atas surat
perjanjian antara Penggugat dan Tergugat I tersebut.
Sebagai orang dewasa yang sehat serta berakal, terlebih merupakan seorang
direktur dan pengusaha, adalah janggal bersedia begitu saja membubuhkan tanda-tangan
pada akta yang tidak diketahui dengan pasti substansi perikatan di dalamnya,
bahkan bersedia mengikat diri dalam Addendum perjanjian yang sejatinya mengakui eksistensi Perjanjian Pokok. Tidak mengerti bahasa Indonesia
dalam kontrak tampak menjadi alibi sempurna seakan terjadi kekhilafan yang
tidak dapat dibenarkan oleh hukum. UU RI tentang Bahasa justru mewajibkan
segala perikatan kontrak yang dilaksanakan di Indonesia wajib berbahasa Indonesia.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Karawang dalam pertimbangan hukumnya menguraikan:
“Menimbang, bahwa dalil-dalil Penggugat yang diakui atau tidak disanggah
oleh pihak Tergugat I dan Tergugat sehingga menjadi dalil tetap yang tidak
perlu dibuktikan lagi adalah:
1. Terbitnya Perjanjian Penunjukkan dan Pengangkatan Pengolahan Limbah
tanggal 22 Maret 2013 yang ditandatangani oleh Masaharu
Yoshimatsu Presiden Direktur;
2. Adanya Surat Pernyataan Pembatalan
Penunjukkan Pengangkatan Limbah Industri Sisa Hasil Produksi tanggal 01 April
2014 yang ditanda-tangani Abdul Mukti Staf HRD-GA PT. Yorozu Automotive
Indonesia;
3. Terbitnya Surat Perjanjian
Pengelolaan Limbah tanggal 3 Juni 2013 yang ditandatangani oleh
Masaharu Yoshimatsu Presiden Direktur PT. Yorozu Automotive Indonesia dan H.
Wahdirin Direktur Utama PT. Mandiri Pratama Intilogam;”
Belum pernah terdapat putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perjanjian
tersebut adalah batal (vide Pasal
1277 KUHPerdata), mengingat kontrak tak dapat dibatalkan secara sepihak (vide Pasal 1338 Ayat (2) KUHPerdata), namun
mengapa Masaharu Yoshimatsu telah menandatangani Perjanjian Pengelolaan Limbah
pada tanggal 3 Juni 2013 sementara belum terbit putusan pengadilan yang
membatalkan Perjanjian per tanggal 22 Maret 2013 dengan pihak Penggugat?
Tergugat I selain membantah, juga mengajukan gugatan balik (rekonvensi). Untuk
itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri dalam pertimbangan hukumnya kemudian
menemukan bukti persangkaan, bahwa Tergugat I memang mafhum dan sadar akan
subtansi perikatan dalam Perjanjian, tersirat dari bunyi pertimbangan hukum
berikut:
“Bahwa selanjutnya antara pihak Penggugat dan pihak Tergugat I pada
tanggal 27 Maret 2013 juga telah menyepakati harga limbah sebagai Addendum
pada Perjanjian Penunjukkan dan Pengangkatan Pengolahan Limbah yang
ditandatangani di Jakarta pada tanggal 22 Maret 2013.
“Bahwa penipuan sebagaimana
Pasal 1328 KUHPerdata mensyaratkan adanya tipu muslihat, tidak cukup jika
kebohongan saja dan penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan;”
Adalah tidak mungkin telah terjadi kekhilafan, karena Penggugat telah melakukan
presentasi dan penjajakan kerjasama sehingga seyogianya Tergugat I patut menduga
bahwa akta yang disodorkan untuk ditanda-tangani adalah Perjanjian Kerjasama sebagai tindak lanjut proposal kerjasama,
sebagaimana diuraikan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri:
“Menimbang, bahwa sebelum terjadinya persetujuan perjanjian, terlebih
dahulu Tergugat I mengajukan syarat berupa proposal dan Penggugat
telah mengajukan proposalnya pada bulan Januari 2013 dan Sdr. AMRI
mempersiapkan terjemahannya untuk diajukan kepada Pimpinan PT. Yorozu
Automotive Indonesia untuk dipelajari.
“Bahwa selanjutnya pada tanggal
21 Maret 2013 pihak Penggugat dihubungi via telepon melalui saksi Budi Utomo
oleh pihak Tergugat I yang mengundang Penggugat datang ke kantor PT. Yorozu
Automotive Indonesia di Gedung Kosgoro Jakarta pada tanggal 22 Maret 2013 malam
hari untuk menandatangani surat perjanjian;
“Bahwa sebelum perjanjian
ditandatangani pihak PT. Yorozu Automotive Indonesia telah mempertimbangkan
kesiapan dari pihak CV. Saudara Serasi apabila perusahaan berproduksi pada
bulan Juni 2013, dan juga mempertimbangkan pada perusahaan putra daerah;
“Menimbang, bahwa saksi Budi
Utomo melihat langsung proses penandatanganan perjanjian tersebut yang
berjumlah 2 (dua) eksemplar dimana 1 (satu) memakai materai sedangkan yang
satunya tidak memakai materai, dan setiap lembar surat perjanjian tersebut
tidak diparaf. Sebelum ditandatangani surat perjanjian tersebut dibaca terlebih
dahulu oleh Penggugat dan juga oleh Sdr. Amri, pada saat tersebut antara
Penggugat dan saksi berkomunikasi dengan Masaharu Yoshimatsu memakai bahasa Indonesia
yang diterjemahkan ke bahasa Jepang dengan memakai penerjemah;
“Menimbang, bahwa perjanjian
yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang membuat
seperti undang-undang;
“Menimbang, bahwa dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 yang bertanggung jawab dan yang dapat
menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan adalah seorang direksi;
“Bahwa Abdul Mukti di dalam PT.
Yorozu Automotive Indonesia berkedudukan sebagai Staf HRD-GA yang bertindak
untuk dan atas nama PT. Yorozu Automotive Indonesia tidak dibenarkan menurut
hukum, dan dalam jawaban Tergugat I mengakui bahwa pembatalan yang
dilakukan oleh Abdul Mukti dianggap tidak ada;”
Tiba pada amar putusannya, Pengadilan Negeri Karawang memutuskan:
“MENGADILI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat
untuk sebagian;
2. Menyatakan secara hukum bahwa Surat
Perjanjian Penunjukkan Dan Pengangkatan Pengolahan Limbah tertanggal 22 Maret 2013
yang ditandatangani oleh Masaharu Yoshimatsu selaku Presiden Direktur PT.
Yorozu Automotive Indonesia dengan Endang Djunaidi selaku Direktur CV. Saudara
Serasi tersebut adalah sah dan mengikat Para Pihak;
3. Menyatakan Surat Pernyataan
Pembatalan Penunjukkan Pengangkatan Limbah Industri Sisa Hasil Produksi tertanggal
1 April 2013 yang dibuat dan ditandatangani oleh Sdr. Abdul Mukti dalam
kedudukannya selaku Staf HRD-GA pada PT. Yorozu Automotive Indonesia adalah
tidak sah dan batal demi hukum;
4. Menyatakan bahwa Tergugat I
Wanprestasi;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk
selain dan selebihnya.”
Atas putusan tersebut, dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi Bandung
dalam putusannya Register Nomor 347/PDT/2014/PT.BDG tanggal 29 Oktober 2014,
Tergugat I, yang kini menjadi Pembanding, melalui pengacaranya (Prestigio
Lawfirm) menyatakan keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri Karawang,
dengan dalil:
“Bahwa pertimbangan hukum yang hanya mendasarkan atas satu keterangan
saksi adalah keliru, tanpa meneliti/memperhatikan dan membaca secara teliti fakta-fakta
hukum yang terungkap di persidangan, yaitu keterangan saksi-saksi Goto
Teruhisa, Yadi Mulyadi, dan saksi Sanusi; (Note SHIETRA &
PARTNERS: Tergugat I tidak menghadirkan saksi Sdr. Amri yang melihat langsung
penandatanganan kontrak selaku penerjemah Tergugat I, namun ketiga saksi diatas
hanyalah saksi testimonium de auditu,
alias saksi “katanya, katanya, dan katanya”)
“Bahwa keterangan saksi Budi
Utomo dan saksi Goto Teruhisa saling bertentangan, dimana menurut
saksi Goto Teruhisa, sdr. Amri tidak bisa berbahasa Jepang, sedangkan
saksi Budi Utomo menyatakan sdr. Amri sebagai pendamping untuk menjelaskan
Surat Perjanjian tersebut;”
Tipu muslihat dilakukan secara sistematik oleh Tergugat I, dimana
mengarahkan Pengadilan Tinggi agar terjebak dalam argumentasi “saksi” yang
seolah pihak ketiga dari sengketa, sementara yang dimaksud dengan saksi ialah “Goto
Teruhisa” yang tidak lain merupakan pemilik dan pemimpin Prestigio Lawfirm
selaku pengacara Tergugat I, sehingga tidak mungkin netral dan jelas memiliki conflict of interest. Jebakan semacam ini dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana penipuan.
Alhasil, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung terkecoh oleh tipu
muslihat saksi bernama Teruhisa Goto yang disusupkan sebagai saksi seolah pihak
ketiga dalam persidangan, lantas kemudian kantor hukum miliknya menjadi
pengacara bagi Tergugat I pada tingkat banding, dimana Teruhisa Goto tidak
menampilkan namanya sebagai kepala dari Prestigio Lawfirm, dengan tujuan mengecoh
hakim, sehingga tidak mengherankan bila kemudian Majelis Hakim tingkat Banding
membuat pertimbangan hukum berikut:
“Menimbang, bahwa ada perbedaan antara keterangan saksi-saksi: Budi
Utomo, tersebut dengan keterangan saksi Goto Teruhisa, konsultan
perusahaan PT. Yorozu Automotive Indonesia, yang menerangkan Sdr. Amri hanya bisa
mengucapkan satu, dua kata seperti “selamat pagi, selamat makan”;”
Dengan itikad buruk kuasa hukum Tergugat I dari Prestigio Lawfirm, tidak
menyebutkan bahwa Teruhisa Goto disaat bersamaan juga merupakan pemilik dari
Prestigio Lawfirm, sehingga keterangan saksi Teruhisa Goto jelas rekayasa,
disetting demikian, dan subjektif, serta bukanlah pihak ketiga yang netral.
Secara ironis, Pengadilan Tinggi Bandung kemudian membuat amar putusan
yang membatalkan putusan PN, bahkan kemudian mengabulkan gugatan balik Tergugat
I:
MENGADILI
“Membatalkan putusan Pengadilan
Negeri Karawang tanggal 15 April 2014 Nomor 50/Pdt.G/2013/PN.Krw., yang
dimohonkan banding tersebut;
“MENGADILI SENDIRI
Dalam Konpensi:
Dalam Pokok Perkara:
-
Menolak gugatan Penggugat
seluruhnya;
Dalam Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat Rekonpensi/Para Tergugat Konpensi
untuk sebagian;
2. Menyatakan Surat Perjanjian Penunjukkan dan Pengangkatan Pengelolaan
Limbah tanggal 22 Maret 2013 beserta addendum tanggal 27 Maret 2013 batal demi
hukum;
3. Menolak untuk selebihnya.”
Kembali kepada isu hukum: apakah orang asing yang mengaku tidak memahami
bahasa Indonesia dapat berkilah bahwasannya kontrak yang ditandatanganinya di Indonesia,
dengan kontrak berbahasa Indonesia, untuk dijalankan di Indonesia, adalah
batal?
Jawab SHIETRA & PARTNERS: Asas hukum umum menyatakan “kelalaian berat
ialah sama kelirunya dengan kesengajaan”.
Sebagai catatan penutup, SHIETRA & PARTNERS menyimpulkan praktik
penipuan terhadap proses peradilan demikian termasuk dalam kategori tindak pidana
penipuan disamping penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) oleh pihak yang bernama Teruhisa Goto selaku
saksi yang mengatasnamakan GLC Consulting seakan pihak ketiga yang netral,
namun disaat bersamaan merupakan pemilik dan kepala dari Prestigio Lawfirm
selaku kantor hukum yang menjadi pengacara Tergugat I—dimana Tergugat I selalu
bertumpu pada dalil bahwa hakim harus mempertimbangkan keterangan saksi
Teruhisa Goto.
Jika putusan Pengadilan Tinggi Bandung tidak dikoreksi oleh Mahkamah
Agung RI, maka akan terjadi ketidakpastian hukum niaga dimana setiap orang asing dapat serta-merta membatalkan kontrak dengan
alasan tidak mengetahui bahasa Indonesia. Sekalipun hal tersebut dibenarkan,
namun dibenarkan secara etika dan moral seorang saksi yang keterangannya
dijadikan titik tumpuan Hakim Tinggi dalam memutus, notabene adalah pemilik dan
direktur/manager dari kuasa hukum Tergugat I dan Tergugat II yang dimenangkan
oleh putusan? Hal ini sama artinya pelaku kejahatan mengaku tidak melakukan
kejahatan dan hakim menerimanya secara “mentah-mentah” karena terkecoh oleh
aksi tipu daya saksi yang memiliki benturan kepentingan (conflict of interest) demikian.
Dari penulusuran SHIETRA & PARTNERS terhadap rekam jejak WNA bernama
Teruhisa Goto, selain selaku pemilik dari Prestigio Law Firm juga merupakan
pemilik dan direktur de facto dari
PT. GLC Consulting, yang kedua badan usaha tersebut beroperasi di Jakarta,
dimana karyawan dipekerjakan secara merangkap dalam kedua badan usaha/hukum
tersebut.
PT. GLC Consulting dibawah kepemimpinan de facto dari Teruhisa Goto tercatat pernah menggugat dan digugat
karyawannya sendiri, karena praktik pemindahan / mutasi karyawan kepada badan
hukum lain tanpa persetujuan karyawannya, sebagaimana kemudian Pengadilan Hubungan Industrial yang bergulir hingga Mahkamah Agung RI tingkat Peninjauan Kembali, menyatakan
bahwa PT. GLC CONSULTING telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap
karyawannya karena praktik mutasi yang melanggar hukum (vide Putusan Mahkamah Agung Nomor 9 PK/Pdt.Sus/2013 tgl 16-07-2013 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 706
K/Pdt.Sus/2011).
…
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.