Kedaulatan Hukum Negara Sentrifugal dan Sentripetal

ARTIKEL HUKUM
ERA SWASEMBADA INVESTASI DAN BERDIKARI DALAM EKONOMI
Kerap terjadi perampokan terhadap negara oleh korporat asing dilakukan melalui pintu investasi penanaman modal asing, yang sering disebut dengan istilah PT. PMA. Dalam artikel eksklusif ini SHIETRA & PARTNERS akan memaparkan keganjilan praktik hukum nasional maupun internasional atas praktik kecurangan korporat asing yang mengeruk sumber daya ekonomi di tanah air.
Sebagaimana kita ketahui, berbagai PT. PMA di Indonesia terus melaporkan telah membukukan kerugian demi kerugian sepanjang tahun demi tahun, yang sejatinya melakukan praktik transfer pricing, dimana pada ujungnya Negara Indonesia tidak mendapat pemasukan PPh Badan Hukum, karena seluruh keuntungan PT. PMA dialihkan menjadi kerugian yang sejatinya men-transfer kekayaan tersebut kepada shell company di luar negeri yang merupakan negara bertipe tax heaven.
Tampak seperti tidak belajar dari pengalaman, pemerintah justru membuat Daftar Negatif Investasi (DNI) baru, dimana keran investasi asing dibuka selebar-lebarnya untuk mengeruk sumber daya ekonomi dan sumber daya alam Indonesia, yang kemudian tidak menyisakan sumbangsih apapun kepada Negeri ini. Bahkan DNI memungkinkan beberapa bidang usaha dapat dimiliki investor asing hingga 100% saham. Hingga saat ini tidak terbukti adanya transfer pengetahuan dan teknologi dari pihak asing kepada pekerja lokal.
Guna menghindari badan hukum (PT. PMA) menjadi boneka (nominee) dari suatu entitas korporat asing, sudah saatnya DNI mengatur bahwa penanam modal asing hanya boleh memiliki saham maksimum 40 % dari modal dasar ataupun saham dari PT. PMA. Dengan skema ini, modus transfer pricing dapat dicegah, karena kontrol terhadap management berada di tangan entitas pemodal dalam negeri alias pemegang saham lokal.
Berbagai pemodal asing menanamkan modal pada entitas badan hukum Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT. PMA, sebagaimana diatur UU tentang Penanaman Modal), sehingga hubungan hukum yang terjalin ialah hanya sebatas antara sang Penanam Modal Asing dengan entitas PT. PMA tersebut.
Namun dalam praktiknya, karena selama ini PT. PMA tersebut hanya dijadikan sebagai nominee belaka, oleh sebab pemerintah DNI tidak mengatur penguasaan saham maksimum yang dapat dikuasai Penanam Modal Asing sebesar 40 % saja, otomatis Penanam Modal Asing berlomba-lomba menjadi pemegang saham mayoritas, yang mana berujung pada kepentingan pihak asing itu untuk mengendalikan dan menjadikan PT. PMA sebagai “boneka”.
Apa yang menjadi dampak dari “obral” diri Negara Indonesia lewat kebijakan DNI yang membuka lebar-lebar kemungkinan penguasaan korporat asing “bercokol dan menghisap” di Indonesia? Ketika pemerintah kemudian membuat kebijakan yang dianggap merugikan PT. PMA tersebut, seperti kebijakan yang mewajibkan membangun smelter (instalasi pengolahan dan pemurnian mineral) di dalam negeri sebelum diekspor, maka pemegang saham mayoritas yang notabene korporat asing tersebut kemudian menggugat entitas Negara Indonesia ke arbitrase luar negeri.
DNI yang mengobral diri menjadi bumerang bagi Pemerintah Indonesia itu sendiri, karena Indonesia demikian “menjual murah” dirinya di mata Internasional. Indonesia memang membutuhkan investor, tidak SHIETRA & PARTNERS pungkiri, namun penguasaan saham maksimum 40 % (empat puluh persen) sudah memadai untuk menutup celah-celah serta berbagai potensi boomerang effect seperti kasus Karaha Bodas yang selalu terulang hingga saat ini, seakan pemerintah tidak pernah belajar dari kejadian suram beberapa dekade lampau tersebut.
Kita selama ini dibodohi para investor asing yang menyatakan biaya tenaga kerja di Indonesia tinggi, sementara menurut data penelitian dan statistik, jam kerja tenaga kerja di Indonesia tergolong sangat tinggi serta jauh lebih murah bila merujuk pada beban biaya pegawai yang dihitung per jam-nya.
Bila kita tidak segan mengikrarkan diri untuk swasembada pangan, mengapa kita tidak berani berseru lantang untuk berswasembada ekonomi dan teknologi dengan cara menghargai talenta-talenta anak bangsa alih-alih terkagum-kagum dengan sosok rambut pirang bermata biru sementara anak gemilang dalam negeri justru hijrah karena tak dihargai bangsa sendiri.
Negeri Indonesia ialah negeri ironis salah kelola pemimpin dan para pengambil kebijakan yang sangat berhaluan mainstream cara-cara instan membangun negeri lewat langkah-langkah yang jauh dari kata kreatif. Yang berlabel “dalam negeri” mendapat stigma tak mutu, sementara euforia “asing” selalu dinilai “serba wah”. Mental kerdil ini harus dihentikan, atau selamanya Indonesia akan dibodohi.
Adalah wajar bila tujuan utama investor asing masuk ke Indonesia adalah untuk mengeruk alih-alih membangun. Tiada pihak asing yang rela merepotkan diri menjadi sinterklas untuk Indonesia sementara semangat bisnis itu sendiri adalah untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara menghisap. Sudah saatnya kita sadari bentuk-bentuk penjajahan kerah putih demikian lewat berbagai simbol berbentuk korporasi.
Kini kita masuk pada isu utama artikel ini. Bila Anda, selaku penanam modal dalam negeri alias pemegang saham lokal pada sebuah badan hukum Perseroan Terbatas (PT), kemudian PT tersebut merugi dengan mengkambinghitamkan kebijakan pemerintah sebagai biang keladi kerugian, apakah Anda selaku pemegang saham ataukah badan hukum PT tersebut yang memiliki kewenangan mengajukan gugatan?
Benar sekali, badan hukum PT adalah entitas hukum yang terpisah dari pemegang saham, karena sekalipun pemegang saham silih berganti, legalitas serta identitas hukum PT itu sendiri tetaplah sama.
Sementara itu, baik komisaris maupun pemegang saham tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum yang mengatasnamakan PT. Menurut UU PT yang berlaku di Indonesia, hanya direksi yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum seperti deal bisnis termasuk upaya hukum mengajukan gugatan atas nama perseroan.
Jika yang dirugikan ialah kekayaan PT akibat kebijakan pemerintah, maka hanya PT tersebutlah yang dapat menuntut/menggugat ganti-rugi terhadap otoritas pemerintah. Ini yang disebut dengan konsep “kedaulatan hukum negara sentripetal”.
Jika pemegang saham merasa dirugikan karena dana investasinya tak membuahkan hasil, pemegang saham memiliki hak untuk mengajukan gugatan ataupun permohonan audit investigasi terhadap direksi PT ataupun terhadap badan hukum PT itu sendiri yang dinilai tidak becus mengurus perseroan, bukan justru pemegang saham menggugat entitas negara selaku otoritas kebijakan.
Kini akan kita bahas konsep “kedaulatan hukum negara sentrifugal”, dimana kedaulatan menentukan hukum dalam teritori negara itu sendiri menjadi elemen utama dari konsep negara berdaulat dan kedaulatan itu sendiri. Artinya, sama halnya dengan penanam modal lokal, suatu korporat asing yang menjadi penanam modal asing, tidak dapat dibenarkan menjadikan PT. PMA sebagai nominee belaka guna menginjak-injak kedaulatan hukum Negara Indonesia.
Mengapa PT. PMA tak dapat dibenarkan sebagai nominee pihak asing? Karena bila PT. PMA dibenarkan menjadi nominee, alias boneka yang disetir oleh pihak asing, buat apa ada undang-undang tentang penanaman modal yang mewajibkan penanam modal asing menanamkan modal dalam bentuk Perseroan Terbatas?
Jika nominee memang dibolehkan, mengapa tidak semua bidang usaha dalam DNI membebaskan saja penanam modal asing untuk mengusai saham hingga 100 % (seratus persen) modal dasar PT. PMA tersebut?
Jika nominee memang dibolehkan, apa yang menjadi letak pembeda antara perusahaan representatif asing dengan PT. PMA yang dalam anggaran dasarnya disebutkan bahwa PT. PMA tersebut didirikan dan tunduk pada hukum Negara Republik Indonesia?
SHIETRA & PARTNERS memberikan jaminan, jika arbiter asing dalam lembaga arbitrasi luar negeri yang belum paham hukum korporasi di Indonesia, setelah dijelaskan hukum Perseroan Terbatas di Indonesia memiliki konsep rechtspersoon, yang mana dengan asas fiksi dipersonifikasikan sama seperti entitas hukum manusia pribadi (natuurlijk persoon), sehingga Badan Hukum PT tersebut memiliki ciri-ciri pokok:
1. Legalitas serta entitas hukum (legal entity) badan hukum PT adalah tetap sekalipun pemegang sahamnya silih berganti, sekalipun direksi dan komisarisnya silih berganti;
2. Memiliki kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan entitas pemegang saham, direksi maupun komisarisnya—dibuktikan dari adanya NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) yang melekat pada PT itu sendiri;
3. Badan hukum PT dapat menggugat dan digugat di hadapan pengadilan—sehingga adalah PT. PMA yang memiliki kewenangan menggugat bila memang telah dirugikan, bukan pemegang saham yang berwenang menggugat. Pemegang saham hanya dimungkinkan menggugat entitas dan/atau direksi/komisaris PT itu sendiri menurut UU RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
4. Badan hukum PT dapat melakukan hubungan hukum / perbuatan hukum antara badan hukum PT terhadap entitas hukum lainnya. Artinya, yang menandatangani contract production sharing atau kontrak karya, atau berbagai istilah lainnya, adalah Pemerintah RI versus PT. PMA—bukan antara korporat asing berhadapan dengan Pemerintah RI. Pemegang saham hanyalah dan tetap adalah pemegang saham, bukan badan hukum Indonesia berbentuk PT itu sendiri. Antara korporat asing (penanam modal asing) dengan PT. PMA adalah masing-masing entitas hukum yang berdiri sendiri, terpisah dalam harta kekayaan, dan terpisah dalam management.
Hubungan hukum yang ada, dalam konsep hukum perikatan di Indonesia, sekalipun juga pacta sunt servanda merupakan prinsip hukum umum internasional, perikatan/hubungan hukum yang ada antara entitas badan hukum PT. PMA dengan Indonesia adalah sebatas dan semata antara PT. PMA berhadapan dengan Republik Indonesia. Penanam modal asing (korporat asing) tidak memiliki hubungan hukum / perikatan perdata apapun dengan entitas Negara Indonesia, sehingga tidak memiliki legal standing untuk menggugat perbuatan melawan hukum terlebih mendalilkan adanya wanprestasi pihak entitas Negara Indonesia.
Bila korporat asing tersebut memandang bahwa PT. PMA adalah nominee belaka, berarti selama ini korporat asing telah melecehkan entitas Negara Indonesia, menginjak-injak martabat serta kedaulatan hukum Negara Indonesia, dan dapat dinilai sebagai memiliki itikad buruk untuk merampok kekayaan ekonomi Negara Indonesia sementara mereka sendiri bebas melakukan praktik tak bermoral seperti transfer pricing yang hanya akan memiskinkan keadaan keuangan negara karena penerimaan pajak badan hukum yang minim.
Karena korporat asing tersebut hanya memandang PT. PMA sebagai nominee belaka, tidak heran bila mereka memandang bahwa hubungan hukum yang ada adalah peer to peer antara korporat asing tersebut berhadapan (versus) Negara Republik Indonesia.
Pertanyaan utamanya, bila memang demikian halnya, bahwa PT. PMA adalah nominee belaka, berarti bila terjadi pencemaran lingkungan yang mengakibatkan kerugian bagi warga lokal, maka baik warga lokal maupun Pemerintah RI dapat mengajukan class action terhadap korporat asing yang notabene pemegang saham PT. PMA tersebut alih-alih menggugat PT. PMA yang hanya dijadikan nominee company.
Begitupun sebaliknya, arbitrase asing tak boleh melakukan standar ganda dengan tidak mengabulkan gugatan Warga Negara Indonesia dan/atau Pemerintah RI terhadap pemegang saham PT. PMA (notabene korporat asing) yang mana PT. PMA itu telah merugikan Indonesia, karena PT. PMA tersebut hanyalah nominee dari korporat asing tersebut.
Untuk terakhir kalinya SHIETRA & PARTNERS tegaskan dan garisbawahi, antara badan hukum korporat asing (entah bernama Corp., Limited., dsb) yang merupakan penanam modal asing/pemegang saham, terhadap PT. PMA, adalah masing-masing badan hukum atau entitas hukum yang independen, terpisah satu sama lainnya.
Mengapa korporat asing berbentuk Corporation atau Limited tersebut menganggap derajat dirinya lebih tinggi dari Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia sehingga dinilai sebagai “boneka” belaka? Bila PT. PMA dinilai sebagai nominee belaka, maka Pemerintah RI dapat berkilah bahwa korporat asing pemegang saham PT. PMA tersebut juga adalah nominee belaka, yang mana tidak jelas siapa otak intelektual dibalik aksi jejaring korporasi yang gemar melahirkan boneka-boneka berwujud perseroan ataupun Corporation/Limited/dsb.
Hubungan hukum yang ada hanyalah antara penanam modal terhadap PT. PMA yang ditanamkan modal. Bukan antara penanam modal dengan otoritas negara. PT. PMA itu sendiri dalam anggaran dasar dan pendiriannya telah menyatakan secara tegas, bahwa ia berdiri, tunduk, serta diatur berdasarkan hukum Indonesia—itulah yang disebut dengan “kedaulatan hukum negara sentrifugal”.
Peringatan keras: seluruh konten dalam publikasi ini maupun berbagai publikasi dalam situs ini merupakan hak cipta SHIETRA & PARTNERS. Terhadap pengutip tanpa seizin kami, akan dikenakan ancaman hukuman pidana bagi setiap bentuk pelanggaran hak cipta SHIETRA & PARTNERS.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.