Kategorisasi Korban dalam Perspektif Falsafah Hukum

ARTIKEL HUKUM
Sebelum kita membahas mengenai kriteria “korban” dalam konsepsi hukum, baik dalam perspektif pidana maupun perdata, terlebih dahulu akan kita rumuskan definisi / makna dari frasa “korban”, agar tidak menjadi layaknya “maling teriak maling”.
Pada prinsipnya, seorang korban memiliki harkat serta martabat yang telah direnggut oleh pihak lain, disadari ataupun tidak oleh sang korban, baik secara langsung maupun secara tidak langsung oleh perbuatan maupun kelalaian pelaku. Harkat dan martabat tidak hanya terkait dengan hakiki lahiriah, namun juga bisa berupa batiniah.
Kriteria pertama, ialah “korban yang sekaligus merupakan pelaku”. Hal ini kerap terjadi, dalam kasus sod*mi dimana para penegak hukum dibuat heran oleh fakta psikologi sang pelaku yang mana semasa kecilnya pernah menjadi korban sod*mi. Pelaku yang juga merupakan korban syndrome stockholm merupakan contoh lain dari kriteria korban pertama ini.
Kriteria kedua, ialah “korban akibat kelalaian pelaku”. Hal ini dapat terjadi dengan ilustrasi berikut: seorang peneliti lupa untuk mematikan alat uji laboratorium yang berbahaya. Menjelang tengah malam, reaksi kimiawi terjadi, kemudian terjadi sebuah ledakan yang mana menewaskan sejumlah penduduk sekitar gedung.
Kriteria ketiga, ialah “korban akibat kelalaian dirinya sendiri”. Ketika pemerintah mengumumkan keadaan gawat darurat, agar warga segera mengungsi demi menghindari prediksi/ramalan badai yang dapat berpotensi longsornya bukit, namun warga tetap bertahan pada pendiangannya, maka korban pun tak dapat dihindari, yang mana adalah wujud andil dari kelalaian dari sang korban itu sendiri. Contoh lain yang cukup ekstreem namun relevan, ialah berlakunya asas fiksi hukum “semua orang dianggap tahu hukum”, sehingga tidak mengetahui adanya hukum yang melarang, bukan menjadi alasan pemaaf dalam pemidanaan.
Kriteria keempat, ialah “korban dengan kontribusi korban itu sendiri”. Adagium dalam kriminologi menyebutkan: kejahatan bukan hanya terjadi karena ada niat, namun juga karena adanya kesempatan. Ketika seorang pengendara lupa atau lalai mengunci sepeda motornya, kemudian terjadi pencurian, maka sejatinya pencurian terjadi karena adanya kontribusi sang korban itu sendiri.
Kriteria kelima, ialah “korban fatamorgana”. Hal ini kerap terjadi dalam praktik gugatan perdata, dimana salah satu pihak mendalilkan bahwa dirinya merupakan korban wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum pihak lawan, meski sejatinya tiada kerugian yang riel terjadi pada sang penggugat. Hak ilusioner ini kerap timbul ketika espektasi yang berlebih tidak terealisasi sebagaimana diharapkan.
Kriteria keenam, ialah “korban hasil pembalasan dari korban lainnya” semisal dalam gugatan perdata, terdapat adagium bahwa pihak yang terlebih dahulu wanprestasi tak dapat menggugat pihak lainnya yang kemudian melakukan cidera janji karena pihak penggugat terlebih dahulu cidera janji terhadap pihak Tergugat.
Kriteria ketujuh, ialah “korban yang tidak dilindungi oleh hukum”—semisal atlet olahraga tinju tewas di ring tinju ketika bertanding dengan lawannya. Bisa juga berupa pelaku yang memiliki alasan pembenar dan alasan pemaaf sehingga terlepas dari segala tuntutan hukum, yang biasa terdapat dalam konsepsi hukum pidana. Contoh, demi membela diri alias adanya keadaan memaksa ataupun tekanan jiwa yang demikian hebat, seorang penodong tewas karena pukulan telak orang yang terkena todong. Begitupula algojo, memiliki alasan pembenar dalam melakukan eksekusi berdasarkan putusan pengadilan.
Kriteria kedelapan, ialah “korban yang terjadi secara masif”, sebagaimana terjadi dalam kasus genosida, dimana etnis cleansing menjadi motif utama pelaku.
Kriteria kesembilan, ialah “korban keadaan”, dimana kerap terjadi dalam praktik hukum perikatan kontrak perdata, dimana itikad baik dalam konsepsi doktrin klasik, diartikan sebagai kontrak harus dilaksanakan apapun yang kemudian terjadi. Kerap terjadi, akibat inflasi dan penurunan nilai riel mata uang merosot drastis, mengakibatkan salah satu pihak akan menderita kerugian besar bila kontrak dipaksakan tetap dijalankan. Namun pihak seberang tetap memaksa bahwa pihak yang sedang terpojok oleh keadaan tersebut harus tetap melaksanakan. Hal ini membuat salah satu pihak menjadi sangat diuntungkan oleh keadaan yang berubah dari saat perikatan pertama kali dibuat, sementara di pihak lain terjadi kerugian besar akibat penurunan nilai riel mata uang.
Kriteria kesepuluh, ialah “korban politisasi”, yang disimbolikkan oleh kasus intervensi otoritas pemerintah atas “rumah tangga” internal suatu partai politik, pembrendelan surat kabar, “pembunuhan karakter”, deportasi, dehumanisasi, dan sejenisnya.
Kriteria kesebelas, ialah “korban ekosistem”, semisal terjadi perubahan pola cuaca akibat perubahan iklim global (global warming) yang mana berpengaruh terhadap masa tanam padi, dimana segenap lapisan masyarakat dan penduduk bumi berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem ini. Warga Jakarta menjadi langgaran korban banjir, dimana kerap kali pelakunya ialah sikap jorok warga Jakarta itu sendiri.
Kriteria kedua belas, ialah “korban pembodohan”, semisal Jaminan Kesehatan Nasional, seakan timbul citra didalam benak masyarakat, bahwa dari sakit menjadi sehat (tindakan kuratif) adalah murah dan mudah. Sementara kita ketahui bersama, tindakan prefentif adalah mahal harga dan sukar adanya, dimulai dari menjaga pola hidup sehat, memakan makanan bergizi, berolahraga rutin dan teratur menjaga diet bernutrisi dan makanan berserat. Bagaimana mungkin tindakan kuratif lebih efesien ketimbang tindakan prefentif? Disini kebijakan pemerintah dapat berbuah kontraproduktif.
Kriteria ketiga belas, ialah “korban warga negara oleh otoritas”, semisal masyarakat sipil menjadi korban pungutan liar oleh aparatur negara, korban yang diintimidasi oleh pemegang wewenang / penguasa seperti polisi yang memeras atau tidak melayani korban pengadu sebagaimana mestinya, ataupun korban kebijakan hukum yang memarjinalisasi satu golongan tertentu. Lalainya aparatur negara dalam memberikan pelayanan publik termasuk dalam kategori ini. Merebaknya vaksin palsu tidak luput dari gagalnya fungsi pengawasan otoritas pemerintah dibidang BPOM.
Kriteria keempat belas, ialah “korban warga negara oleh warga negara lainnya”, hal mana kerap terjadi semisal organisasi massa yang melakukan aksi penjarahan terhadap warga negara lain, kerusuhan massa/anarkhi, tawuran, penganiayaan, pencurian, pengeroyokan, penipuan, dsb. Kriteria pelanggaran hukum ini menjadi dominasi praktik hukum pidana di pengadilan. Salah satu derivatif dari kriteria jenis ini, ialah sub-kategori “korban minoritas”. SHIETRA & PARTNERS tidak mengakui adanya teori “tirani minoritas” mengingat tirani mayoritas bersifat cenderung rigid ketimbang tirani minoritas yang cenderung bersifat temporer.
Kriteria kelima belas, ialah “korban negara oleh korporasi asing ataupun negara asing”, diwakili oleh kasus penjajahan, aneksasi teritori wilayah, kolonialisasi secara budaya, ekonomi, dan politik, ataupun praktik-praktik “penjarahan terselubung hukum kontrak” oleh korporasi asing terhadap entitas negara yang diwakili oleh otoritasnya yang selalu memandang citra diri negaranya sendiri memiliki daya tawar lemah di hadapan arbitrase asing.
Kriteria keenam belas, ialah “korban negara oleh warga negara” disimbolikkan oleh pembayaran pajak penghasilan badan hukum oleh korporat lokal yang tidak sebagaimana mestinya, lewat pelaporan SPT Tahunan yang tidak transparan, tender pengadaan barang dan jasa fiktif yang hanya menjadi formalitas sementara rekanan kolusif telah pasti akan dinyatakan sebagai pemenang tender.
Kriteria ketujuh belas, ialah “korban akibat faktor tunggal ataupun faktor majemuk”. Korban akibat faktor tunggal, terjadi semisal kasus penembakan senapan api yang mengenai jantung korban sehingga korban tewas. Korban jenis ini mudah untuk dianalisa penyebab kematian serta pelakunya yang dapat dijerat. Sementara dalam kasus korban akibat faktor majemuk, kerap kali sukar untuk ditentukan dan dijerat, karena kompleksitas perkara yang terjadi. Contoh sederhana, bisa jadi seseorang mengidap penyakit karena selama ini menyantap junk food, fast food berkimia, ikan yang terpapar logam berat, paparan radikal bebas asap kendaraan bermotor, perokok pasif, dsb.
Kriteria kedelapan belas, ialah “korban perfect crime”, dalam arti korban jenis ini sukar untuk mengutarakan apa yang telah terjadi pada dirinya, dikarenakan pelaku memiliki legitimasi hukum untuk melakukan kejahatannya. Ketika kejahatan diselubungi oleh hukum, terjadilah apa yang kemudian disebut Ronny Nitibaskara, seorang kriminolog, sebagai law as a tool of crime.
Kriteria kesembilan belas, ialah “korban kemajuan zaman”. Produsen perangkat keras telepon seluler Nokia, tergerus pangsa pasarnya bukan karena gagal berinovasi, namun karena kompetitor lebih agresif berinovasi, sebagaimana disampaikan oleh manajemen Nokia pada publik. Begitupula taksi konvensional, ojek konvensional, kini mendapat saingan serta tantangan hebat dari mereka yang mengedepankan inovasi berbasis aplikasi daring.
Kriteria kedua puluh, ialah “korban dari lemahnya daya tawar”. Hal ini terjadi ketika lapangan kerja tidak sebanding dengan angkatan kerja. Begitupula faktor modal (capital), dimana pengusaha kecil cenderung sukar berkompetisi menghadapi kompetitor bermodal kuat, sehingga setiap waktu terancam gulung tikar.
Kriteria kedua puluh satu, ialah “korban yang sekali selesai” versus “korban yang berlanjut”. Banyak yang salah kaprah terhadap korban pemerk*saan, dengan menyatakan hukum terhadap pelaku terlampau berat. Mindset demikian keliru, sebab korban mengalami trauma untuk seumur hidupnya—bukan sekali selesai, dan kegadisan direnggut dari korban juga untuk seumur hidupnya, sehingga tindakan pelaku tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan sekali selesai, namun perbuatan jahat berlanjut karena dampak bagi korban bukan hanya bersifat temporal, namun permanen.
Kriteria kedua puluh dua, ialah “korban dibawah umur” sebagai antinomi dari korban dewasa. Pelaku pun dapat berangkat dari beragam latar belakang serta umur. Pada prinsipnya warga dibawah umur mendapat perlindungan yang lebih aktif dari otoritas negara. Meski agak janggal hukum pidana di Indonesia belum mengenal konsep juvenile deliquency alias kenakalan "remaja".
Kriteria kedua puluh tiga, ialah “korban non manusia”, dapat berupa korban ekosistem hayati, daya dukung lingkungan, jual-bali satwa langka dan dilindungi, punahnya biodiversitas, wilayah pesisir, mata air, termasuk korban terhadap hak asasi hewan. KUHP dan undang-undang tentang hewan dan ternak mengatur perihal perlindungan hukum bagi hewan. Sebagai contoh, pembakar hutan gambut sejatinya juga dapat dijerat pasal KUHP maupun UU tentang Hewan karena telah membantai hewan yang menjadi bagian dari ekosistem secara masif.
Kriteria kedua puluh empat, ialah “korban akibat kesengajaan pelaku”. Pembahasan mengenai hal ini menjadi vital sekaligus terus berdialektif hingga saat ini, sebagaimana akan diuraikan dibawah ini.
Dalam teks doktrin ilmu hukum pidana, dikenal setidaknya dua jenis kriteria kesalahan, yakni kesengajaan dan kelalaian. Sementara sub kriteria kesengajaan, dibagi menjadi tiga jenis parameter, yakni:
1. Kesengajaan sebagai maksud—dimana niat utama (mens rea) pelaku memang diarahkan kepada suatu hasil yang menjadi tujuan utama dari perbuatannya. Semisal pelaku menaruh sianida pada minuman korban, sehingga korban yang kemudian menenggak minuman tersebut kemudian tewas;
2. Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian atau tujuan yang pasti akan terjadi akibatnya. Contoh, seorang sniper setelah menembak korban dari gedung lain, kemudian agar dapat melarikan diri dengan bebas diledakkanlah sesuatu area lewat alat pemancar sehingga perhatian warga teralih. Tewasnya korban dan rusaknya properti adalah suatu kepastian yang telah dapat dibayangkan oleh pelaku saat merencanakan aksi tersebut. Biasanya hal ini terjadi pada aksi kejahatan berencana;
3. Kesengajaan dengan kesadaran akan adanya suatu kemungkinan yang dapat terjadi. Semisal, seorang dengan niat buruk mengirim paket berisi kue yang mengandung racun di dalamnya, maka haruslah pelaku dapat memperkirakan bahwa ada kemungkinan bukan saja target yang akan tewas akibat memakan kue tersebut, namun anggota keluarga target pun dapat turut tewas karena turut memakan kue tersebut.
Antara “korban akibat aksi spontan” dan “korban akibat aksi yang direncanakan” pun dalam hukum dibedakan antara delik pasal dengan ancaman sanksi pidana yang dapat dibebankan. Suatu kasus sebagaimana pernah terjadi, seorang istri membunuh sang suami dengan alasan cemburu, dan sang pelaku menyatakan menusuk sang suami karena khilaf tanpa direncanakan. Namun keganjilan terjadi, karena pisau tersebut didapat bukan oleh pelaku pada TKP (tempat kejadian perkara), namun pisau telah dibawa dari rumah dalam tasnya menuju lokasi TKP dimana calon korban berada.
Hukum pidana pun membedakan antara korban akibat “faktor mutlak penentu” (conditio sine quanon) dengan “faktor causal yang paling relevan”.
Sebagai contoh, seorang pelaku penganiayaan memukul tengkorak korban dengan sebuah pukulan, namun tanpa diketahui pelaku, tengkorak korban memiliki cacat lahir berupa rapuhnya tengkorak tersebut sehingga korban seketika tewas meski hanya mendapat pukulan ringan pada tengkoraknya, maka terhadap pelaku bukan didakwa oleh pasal pembunuhan, namun penganiayaan yang menyebabkan kematian.
Contoh lainnya, seorang pembunuh merencanakan akan menghabisi korbannya pada saat target korban sedang tertidur pulas. Tanpa diketahui pelaku, calon korban sebenarnya telah tewas akibat gagal jantung saat tertidur, namun pelaku mengira korban masih hidup kemudian menikamkan belati pada jantung korban. Apakah terhadap pelaku akan dijerat pasal pembunuhan berencana?
Hukum pidana sangat menjunjung tinggi prinsip koneksitas antara tindakan lahirian (actus reus) terhadap niat batin (mens rea) sang pelaku. Jika memakai prinsip ini tanpa disandingkan dengan prinsip “penyebab utama”, jelas bahwa pelaku pada contoh kasus diatas akan dijerat dengan pasal pembunuhan berencana. Namun karena penyebab kematian utama bukanlah karena tikaman belati, namun karena penyakit, maka terhadap pelaku dapat dibenarkan bila dijerat pasal pengrusakan mayat ataupun penganiayaan.
Hal yang paling kompleks dan dapat dikatakan kurang mendapat perhatian dalam sistem hukum pidana maupun perdata dalam praktik di peradilan, dikenal dengan sebutan “Collateral Damage”, alias “kerusakan yang mengiringi”.
Untuk menjelaskan perihal “collateral damage”, dapat dianalogikan peristiwa berikut: korporasi pembakar hutan mengkibatkan maskapai penerbangan mengalami kerugian karena gagal lepas landas maupun mendarat pada daerah yang terpapar asap tebal kabut pembakaran hutan gambut. Begitupula penumpang yang batal mengudara, belum lagi para siswa lokal gagal menempuh ujian nasional, terjangkitnya infeksi saluran pernafasan, meski secara “direct” yang dilanggar ialah undang-undang mengenai perlindungan hutan dan ekosistem, namun senyatanya korban terjadi secara masif.
Kasus pembakaran hukum juga masuk dalam kategori “korban hasil kejahatan lintas negara”, sebagaimana terjadi pada pembakaran hutan gambut di Pulau Kalimantan yang mengundang protes negara-negara tentangga seperti Singapura dan Malayasia karena asap kabut berimbas pada buruknya kualitas udara mereka yang mengalir lintas negara. Begitupula kejahatan dalam sektor ekonomi seperti insider trading yang dapat membawa kompleksitas lintas negara.
Praktik peradilan di Indonesia belum melangkah hingga sedalam ini, dimana hakim hanya baru sebatas mempertimbangkan “direct victim”, belum masuk dalam ranah “indirect victims”. Kemauan politik regulator dan parlemen untuk pro rakyat menjadi kunci dari deregulasi mengenai “collateral damage” ini. Semoga terealisasi.
Meski telah diurai secara panjang lebar, namun SHIETRA & PARTNERS tidak membahas jenis kriteria “korban suka sama suka dengan pelaku”. Tampaknya hasil perbuatan “suka sama suka” tidak memiliki basis pembeda antara korban dan pelaku—tanpa tertutup kemungkinan terdapat sudut pandang lain mengenai konteks ini seperti terdapatnya janji-janji yang melatarbelakangi hubungan “suka sama suka” tersebut yang ternyata hanyalah upaya pengelabuan belaka sehingga terdapat “cacat kehendak” yang melandasi hubungan tersebut.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.