Hak Normatif Buruh Tidak Selalu Identik dengan Upah, sebuah Kajian Hak Buruh untuk Berserikat

ARTIKEL HUKUM
Mogok kerja, berserikat / berorganisasi, dan/atau demonstrasi merupakan bagian dari hak normatif buruh / pekerja—selama prasyarat terpenuhi sesuai koridor hukum ketenagakerjaan. Kaedah tersebut belum dipahami sepenuhnya oleh kalangan pelaku usaha, yang selalu mengkonotasikan “mogok kerja, demo, dan berserikat” sebagai pelanggaran berat yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Bila kita berpegang pada postulat utama: bahwa mogok kerja maupun berserikat dan demonstrasi adalah salah satu dari berbagai hak normatif buruh/pekerja, maka senyatanya hak-hak tersebut dilindungi oleh hukum. Mogok kerap, berserikat, ataupun “berdemo” menjadi saluran aspirasi kalangan pekerja yang tidak dapat menyalurkan suara mereka menembus sekat birokrasi management puncak penyusun kebijakan perusahaan yang selama ini menganggap suara-suara tersebut sebagai “angin lalu”.
Untuk itu SHIETRA & PARTNERS akan mengangkat topik mengenai praktik dan pendirian peradilan atas hak buruh/pekerja untuk berserikat sebagai bentuk upaya menyeimbangkan daya tawar antara kaum buruh dan pengusaha, sebagaimana diilustrasikan lewat putusan Mahkamah Agung RI Nomor 208 K/Pdt.Sus-PHI/2013 tanggal 22 Mei 2013 yang memeriksa perkara perdata khusus perselisihan hubungan industrial dalam tingkat kasasi dalam sengketa antara:
- Prayitno, selaku Pemohon Kasasi, dimana pada tingkat PHI merupakan Penggugat; melawan
- PT. HAND SUM TEX, sebagai Termohon Kasasi, semula Tergugat.
Sengketa bermula dari sang karyawan perusahaan menggugat perseroan ke hadapan persidangan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Serang, dimana Penggugat mendalilkan gugatannya atas norma dalam Pasal 86 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang mengatur:
“Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.”
Penggugat mendalilkan, bahwa gugatan yang diajukannya merupakan gugatan perselisihan hak yang diikuti dengan perselisihan PHK, antara Penggugat selaku buruh dari Tergugat, dimana yang menjadi objek gugatan ialah tindakan pelanggaran hak kebebasan berserikat dan PHK tanpa dasar terhadap Penggugat melalui surat PHK tertanggal 09 Februari 2012 yang diterimanya dari perusahaan.
Sebelum ini, Penggugat telah menempuh penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini melalui tripartit pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Tangerang, yang kemudian terbit Anjuran tertulis oleh Dinas Tenaga Kerja tertanggal 28 Juni 2012 yang berbunyi:
Menganjurkan :
1. Hubungan kerja antara pekerja Sdr. Prayitno dengan perusahaan PT. Hand Sum Tex masih tetap berlanjut;
2. Agar perusahaan PT. Hand Sum Tex setelah menerima anjuran ini memanggil Sdr. Prayitno untuk bekerja kembali;
3. Agar Sdr. Prayitno setelah menerima Anjuran ini melapor ke perusahaan PT. Hand Sum Tex untuk bekerja kembali;
4. Agar kedua belah pihak tetap melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
Terhadap anjuran tersebut Tergugat menyatakan menolak Anjuran Mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Tangerang berdasarkan surat resmi dari Tergugat, oleh karenanya terbuka hak bagi Penggugat mengajukan gugatan ke hadapan PHI.
Adapun Penggugat merupakan pekerja tetap yang telah berkarya di PT. Hand Sum Tex sejak tahun 1998. Pada tanggal 29 September 2011, Penggugat kemudian terpilih menjadi Ketua Pengurus Unit Kerja Federasi Serikat Buruh Indonesia (Ketua PUK FSBI PT. Hand Sum Tex).
Sejak itulah Penggugat gigih meminta kepada perusahaan agar perusahaan memenuhi hak-hak normatif anggotanya dan menjalankan peraturan berdasarkan UU Ketenagakerjaan, karena selama ini perusahaan tidak memberlakukan pensiun bagi buruh yang sudah memasuki usia pensiun dan tidak memberi hak pesangon, mutasi yang sewenang-wenang, kutipan iuran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang tidak sesuai dengan program pemerintah.
Upaya Penggugat membuat “gerah” management perusahaan, sehingga Tergugat berupa membuat-membuat kesalahan pihak Penggugat, diantaranya:
- 28 Desember 2011, Penggugat dituduh mencuri jirigen Chemical Boiler, yang mana atas tuduhan tersebut Penggugat dikenakan skorsing per 29 Desember 2011 hingga 2 Januari 2012;
- 27 Januari 2012, Penggugat dituduh memakai kartu identitas palsu, sehingga dianggap telah melakukan kesalahan berat kedua kalinya dan Tergugat kembali menjatuhkan skorsing per 31 Januari 2012 hingga 15 Februari 2012;
Upaya solidaritas dan semangat keluarga besar Serikat Pekerja/Buruh Kota Tangerang terhadap pemenuhan hak-hak normatif di PT. Hand Sum Tex, termasuk mengenai penerapan UMK Kota Tangerang tahun 2012, dinilai oleh Tergugat bahwa Penggugat telah memprovokasi aliansi Serikat Pekerja tersebut dan alhasil Penggugat diberikan surat PHK.
Diduga kuat bahwa alasan melakukan pelanggaran berat yang menjadi dasar perusahaan menerbitkan surat PHK terhadap Penggugat tanpa dasar yang jelas, cenderung dipaksakan, dan bertentangan dengan hukum ketenagakerjaan yang berlaku, sehubungan dengan aktivitas Penggugat yang merupakan ketua aktif Serikat Pekerja. PHK disinyalir menjadi modus pemberangusan terhadap hak berserikat buruh (union busting). Ini menjadi salah satu circumstantial evidence yang dicermati oleh Hakim Agung dalam putusannya nanti.
Penggugat lantas merujuk pada kaidah Pasal 153 Ayat (1) Butir (g) UU Ketenagakerjaan:
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;”
Bila dikaitkan dengan pengaturan Ayat (2) Pasal 153 UU Ketenagakerjaan:
“Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.”
Penggugat merujuk pula kaedah Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, antara lain dalam Pasal 28:
“Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan Serikat Pekerja / Serikat Buruh dengan cara:
a. Melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apa pun;
d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja / serikat buruh.
Terdapat ancaman sanksi bagi perusahaan yang melanggar hak berserikat, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU No. 21 Tahun 2000:
1. Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Serikat Buruh yang dipimpinnya berdiri pada tahun 2011, yang kemudian dicatatkan pada Kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Tangerang dengan anggota sejumlah 630 orang. Dengan demikian sah hak berorganisasi tersebut. Bila merujuk pada Pasal 25 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja:
“Serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak:
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan denan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hingga pada titik kulminasi, Tergugat pada bulan Februari 2012 menerbitkan Surat PHK dengan alasan Penggugat telah melakukan pelanggaran berat, meski dasar yang menjadi alasan PHK tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 serta telah pula ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI SE 13/MEN/SJ-HK/I/2005 tertanggal 7 Januari 2005, yang pada pokoknya meniadakan alasan “kesalahan berat” sebagai dasar PHK, dimana kewenangan untuk mem-PHK karena alasan adanya kesalahan pihak buruh menjadi kewenangan absolut lembaga PHI sehingga kalangan pengusaha tak lagi dibenarkan melakukan PHK sepihak tanpa adanya putusan PHK dari PHI.
Selain menentang putusan MK RI, Tergugat sebelum menerbitkan surat PHK tidak pernah merundingkan hal dimaksud kepada Penggugat. Penggugat dalam gugatannya beragumentasi, Pasal 155 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa selama Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum menyatakan putus hubungan kerja, Tergugat wajib membuka akses agar buruh tetap dapat bekerja seperti biasa dengan tetap membayar upah. Ketentuan tersebut memberi makna, bahwa tiada PHK tanpa putusan PHI.
Dengan sangat cermat Penggugat menyusun dalil gugatan, bahwasannya dirinya tidak menuntut kompensasi pesangon—namun minta dikabulkan pembatalan surat PHK yang dialamatkan kepadanya—sehingga Penggugat mohon agar pengadilan menjatuhkan sanksi uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 1.000.000,00 per hari terhitung sejak perkara ini berkekuatan hukum tetap hingga putusan ini dilaksanakan oleh Tergugat.
Tidak lupa, Penggugat merujuk pada norma tertinggi, yakni Pasal 28E Ayat (3) UUD RI 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Terhadap gugatan tersebut, PHI Serang dalam register perkara Nomor 46/PHI.G/2012/PN.Srg tanggal 6 Februari 2013 membuat amar putusan yang mengejutkan Penggugat, yakni menyatakan “gugatan Penggugat tidak dapat diterima.”
Atas putusan tersebut, Penggugat mengajukan kasasi, dan terhadap permohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung menyatakan pendiriannya:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 1 Maret 2013 dan kontra memori kasasi tanggal 18 Maret 2013, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa Judex Facti tidak seksama dalam mempertimbangkan bukti T-1 dan T-2 berupa Berita Acara Kejadian tanggal 28 Desember 2011 dan Surat Skorsing tanggal 29 Desember 2011 yang menyebut Penggugat telah melakukan pelanggaran tanpa menyebut mendapat Surat Peringatan ke berapa sesuai Pasal 46 Perjanjian Kerja Bersama (PKB);
2. Bahwa Judex Facti juga tidak mempertimbangkan keterangan saksi Abdul Rohman sebagai security yang menerangkan bahwa dalam botol derigen isinya hanya air sehingga tidak patut apabila dikualifikasikan melakukan pelanggaran berat, namun patut dan adil apabila perbuatan Penggugat tersebut mendapat surat peringatan lisan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Teguran Lisan angka 6 PKB;
3. Bahwa kemudian sesuai bukti T-5 Penggugat melakukan pelanggaran kembali berupa menggunakan tanda pengenal yang tidak sebagaimana mestinya adalah perbuatan yang dapat diberi peringatan sanksi Surat Peringatan Pertama sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Surat Peringatan Pertama angka 1 PKB;
4. Bahwa sesuai bukti P-4, P-4 c, dan P-5, Penggugat adalah Ketua Serikat Pekerja di Unit Perusahaan Terggat dan pada saat sebelum Penggugat di PHK Penggugat telah melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan fungsinya sebagai Pengurus Pekerja sehingga Pemutusan Hubungan Kerja tersebut terkait dengan kegiatan sebagai Pengurus Serikat Pekerja, karenanya Penggugat harus mendapat perlindungan dari tindakan Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 153 ayat 1 huruf g Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 jo. Pasal 1 Konvensi ILO No. 98 tentang Hak-Hak Dasar Daripada Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama jo Rekomendasi ILO No. 143 Tahun 1971 tentang Perwakilan Pekerja, namun terhadap pelanggaran yang dilakukan Penggugat tetap mendapat sanksi yaitu Surat Peringatan Pertama;
5. Bahwa oleh karena pemutusan hubungan kerja oleh Tergugat kepada Penggugat tidak sah, namun di sisi lain Penggugat juga melakukan pelanggaran, maka patut dan adil tuntutan dalam provisi dikabulkan sebagian, yaitu menghukum Tergugat membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima terhitung sejak putusan kasasi diterima sampai dengan Penggugat dipekerjakan kembali;
6. Bahwa oleh karena tuntutan Penggugat tidak berkenaan untuk membayar sejumlah uang, maka tuntutan atas uang paksa (dwangsom) beralasan untuk dikabulkan dan nilainya dianggap cukup adil sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu Rupiah) / hari jika terlambat melaksanakan keputusan;
Tiba pada penghujung, Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi menjatuhkan amar putusan:
 M E N G A D I L I :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PRAYITNO tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang Nomor 46/PHI.G/2012/PN.Srg., tanggal 6 Februari 2013;
MENGADILI SENDIRI :
Dalam Provisi:
Menghukum Tergugat membayar upah dan hak-hak yang biasa diterima kepada Penggugat terhitung sejak putusan kasasi diterima sampai dengan Penggugat dipekerjakan kembali oleh Tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan tindakan Tergugat memutus hubungan kerja kepada Penggugat batal demi hukum;
3. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat tidak pernah putus;
4. Menghukum Tergugat mempekerjakan kembali Penggugat pada posisi semula;
5. Menghukum Penggugat menerima Surat Peringatan Pertama dari Tergugat;
6. Memerintahkan Tergugat ntuk menghormati hak kebebasan berserikat bagi buruh di Perusahaan dan menghormati keberadaan PUK FSBI PT Hand Sum Tex;
7. Menghukum Tergugat membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp. 100.000,00 (seratur ribu Rupiah) /  hari jika lalai melaksanakan isi putusan ini;
8. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.
Meski terdapat satu dari tiga Hakim Agung yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan menyatakan bahwa alat bukti tidak dapat diperiksa pada tingkat kasasi karena kasasi hanya meninjau segi penerapan hukum, namun Putusan Mahkamah Agung tersebut patut diapresiasi, karena berdasarkan undang-undang tentang Mahkamah Agung dan Kekuasaan Kehakiman, Hakim Agung memang tidak diwajibkan memeriksa ulang alat bukti, namun senyatanya dua orang Hakim Agung dalam perkara tersebut diatas menjadikan MA RI membatalkan putusan PHI lewat telaah ulang alat-alat bukti.
Sangat langka pula putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan buruh agar “upah proses” menjadi hak buruh hingga terbitnya putusan Kasasi sebagaimana diamanatkan MK RI lewat putusan uji materiilnya. Biasanya Hakim Agung berpendirian bahwa “upah proses” hanya dapat diberikan hingga tanggal putusan PHI diucapkan atau paling lama selama enam bulan—mungkin akibat boomerang effect kalahnya Penggugat pada tingkat PHI.
Yang lebih membuat putusan kasasi MA RI ini menjadi langka, tren berbagai putusan pengadilan memaknai bila perusahaan sudah tidak lagi berniat melanjutkan hubungan kerja, maka akan dinilai sebagai “disharmoni” sehingga sekalipun buruh menggugat dengan permohonan semata untuk dipekerjakan kembali, buruh tersebut dinyatakan oleh putusan hakim sebagai terkena PHK dengan sejumlah pesangon yang tak pernah diminta olehnya dalam gugatan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.