ARTIKEL HUKUM
Tanggal 4 November 2015 merupakan tanggal bersejarah bagi pergerakan dan aspirasi para kaum buruh/pekerja di Indonesia, karena Mahkamah Konstitusi RI telah mengabulkan permohonan Uji Materiil yang diajukan delapan orang buruh/pekerja sebagaimana tertuang dalam Register Nomor 7/PUU-XII/2014.
Para Pemohon menganggap, dengan berlakunya norma dalam ketentuan sepanjang frasa “demi hukum” pada Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, belum dapat memberikan jaminan hukum bagi Para Pemohon, dalam rangka mendapatkan pengakuan status hubungan kerja dari perusahaan pemberi kerja. Sebagian dari Pemohon sebelumnya pernah menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan penerapan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT, alias pekerja kontrak), baik yang dilakukan oleh Perusahaan Pemberi Pekerjaan, maupun oleh Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja, ke instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintah Kota / Kabupaten setempat, yang kemudian ditindaklanjuti dengan dilakukannya pemeriksaan ke perusahaan terkait.
Instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintah Kabupaten/Kota setempat menerbitkan Nota Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang ditujukan untuk perusahaan terkait, yang pada intinya menyatakan:
“Ternyata di tempat Saudara terdapat sebagian karyawan dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (kontrak) yang tidak sesuai dengan ketentuan. Untuk pekerjaan yang tidak sesuai ketentuan diatas maka demi hukum status karyawan tersebut berubah menjadi status Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (pekerja tetap).”
Namun, perusahaan terkait, tidak menjalankan Nota Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, dan instansi tersebut hanya melakukan panggilan-panggilan tanpa batas waktu, bahkan mungkin “sampai datangnya hari kiamat”, yang tidak mempunyai kekuatan paksa kepada perusahaan terkait untuk melaksanakan perintah atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, meski Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan merupakan pegawai yang diberikan kewenangan untuk menjamin pelaksanaan hukum ketenagakerjaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 176 UU Ketenagakerjaan.
Dengan demikian, Para Pemohon mengharapkan agar Nota Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dapat dipatuhi oleh setiap pengusaha, dan memberikan kepastian hukum bukan hanya kepada pekerja / buruh, tetapi juga kepada pengusaha itu sendiri untuk secara sungguh-sungguh dan suka rela melaksanakan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku.
Adapun yang menjadi ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur peralihan demi hukum atas dilampauinya koridor perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), dapat dijumpai dalam:
- Pasal 59 Ayat (7) UU Ketenagakerjaan:
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
- Pasal 65 Ayat (8) UU Ketenagakerjaan:
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
- Pasal 66 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan:
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/ buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Pemohon mengungkapkan fakta lapangan, bagaimana timpangnya angkatan kerja dengan jumlah lapangan kerja yang tidak seimbang, membuat posisi dan daya tawar pekerja/buruh semakin lemah. Hingga menyebabkan, calon pekerja/buruh “bersedia” (disertai “cacat kehendak”) menerima begitu saja segala syarat-syarat kerja yang seharusnya dibuat bersama pekerja/buruh dengan pengusaha. Tetapi pada kenyataannya, calon pekerja / buruh langsung disodorkan perjanjian kerja perorangan yang isinya telah disusun oleh pengusaha, termasuk tidak adanya pilihan bagi si calon pekerja/buruh untuk dipekerjakan dengan perjanjian kerja waktu tertentu atau tidak, seluruhnya ditentukan oleh perusahaan pemberi kerja. Hal yang demikian, membuat penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan mudah dilakukan oleh perusahaan pemberi kerja.
Penyimpangan norma yang tidak mengandung unsur tindak pidana dalam UU Ketenagakerjaan menjadi kewenangan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan tersebut berwenang melakukan pemeriksaan terhadap tindak penyimpangan/pelanggaran norma UU Ketenagakerjaan yang tidak mengandung unsur tindak pidana dengan menerbitkan nota pemeriksaan serta nota penetapan tertulis yang memerintahkan kepada pengusaha/majikan untuk melaksanakan ketentuan norma dalam UU Ketenagakerjaan.
Terhadap penetapan tertulis yang diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan tersebut, dapat dimintakan pemeriksaan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota merupakan bagian dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang penetapannya bersifat konkret, individual, dan final yang mempunyai kekuatan hukum, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Namun, menurut Pemohon, pembentuk Undang-Undang hanya mengatur sepanjang tata cara penyelesaian penyimpangan norma yang mengandung unsur tidak pidana ketenagakerjaan dalam UU Ketenagakerjaan. Tetapi, tidak mengatur mengenai tata cara bagaimana pelaksanaan (eksekusi) atas penetapan tertulis dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Sehingga, terdapat kekosongan hukum yang dapat menimbulkan kerugian pada para buruh/pekerja.
Menjadi ironis, ketika Para Pemohon berusaha turut serta menegakkan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan tetapi yang diperoleh Para Pemohon bukanlah keadilan, melainkan hilangnya pekerjaan.
Berdasarkan logika berpikir demikian, Para Pemohon berpendirian sepanjang frasa “demi hukum” pada Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, haruslah dinyatakan bertentangan dengan UU 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai meniadakan hak pekerja/buruh untuk meminta pelaksanaan (eksekusi) terhadap Nota Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan ke Pengadilan Negeri melalui Pengadilan Hubungan Industrial setempat, apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mengubah perjanjian kerja waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu, atau tidak mengubah status hubungan kerja pekerja/buruh menjadi hubungan kerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
MK dalam pertimbangan hukumnya terhadap permohonan uji materiil tersebut, merujuk pada Pasal 1 Butir (32) UU 13/2003 yang menyatakan: “Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.” Terdapat pula Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1951 NR. 23 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951), selanjutnya, yang mana fungsi Pegawai Pengawas ialah mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan perburuhan pada khususnya.
MK merujuk pula keberlakuan Pasal 134 UU 13/2003:
“Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan.”
Terlebih lagi Indonesia telah meratifikasi ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce. Begitupula ketentuan Pasal 176 UU 13/2003:
“Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.”
Lebih lanjut, Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawas Ketenagakerjaan menyatakan:
(1) Pengawas Ketenagakerjaan dilakukan oleh unit kerja pengawas ketenagakerjaan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintahan pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota;
(2) Di lingkungan organisasi unit kerja pengawas ketenagakerjaan pada instansi dibentuk jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan.
Atas berbagai fakta yuridis diatas, MK berpendapat telah terang bahwa Undang-Undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah, dalam hal ini pegawai pengawas ketenagakerjaan, untuk mengawasi pelaksanaan hukum ketenagakerjaan.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan hukum ketenagakerjaan, Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dapat menerbitkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis. Akan tetapi, MK dalam pertimbangan hukumnya menegaskan, meski sama-sama diterbitkan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, antara “nota pemeriksaan” dengan “penetapan tertulis” pegawai pengawas ketenagakerjaan memiliki perbedaan yang signifikan.
Nota pemeriksaan berisi hal-hal menyangkut hasil pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap pengusaha atau perusahaan pemberi kerja yang di dalamnya disertakan pula petunjuk-petunjuk untuk meniadakan pelanggaran atau untuk melaksanakan peraturan ketenagakerjaan. Oleh karenanya, sifat dari nota pemeriksaan adalah anjuran dan tidak memiliki sifat eksekutorial.
Adapun mengenai penetapan tertulis pegawasi pengawas ketenagakerjaan, MK memiliki pandangan hukum bahwa sesuai Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang disebut dengan “Keputusan Tata Usaha Negara” ialah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata guna memberikan kepastian hukum.
Penetapan tertulis yang dikeluarkan pegawai pengawas ketenagakerjaan dibuat dalam bentuk tertulis. Sementara Pasal 1 angka (8) UU PTUN menyatakan: “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Artinya, apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan maka badan atau pejabat yang melaksanakan fungsi demikian dapat dianggap sebagai badan atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN).
Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi membuat pertimbangan hukum yang selengkapnya berbunyi:
“Bahwa penetapan tertulis yang diterbitkan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan merupakan suatu tindakan hukum TUN yang menimbulkan akibat hukum TUN bagi pekerja/buruh dan perusahaan tertentu;
“Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah, penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perata sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU 51/2009. Oleh karenanya, penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan tersebut haruslah dianggap benar sebelum dibuktikan sebaliknya dan dibatalkan;
“Menimbang, bahwa Pemohon mendalilkan banyak pengusaha atau perusahaan pemberi kerja tidak mau melaksanakan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis yang dikeluarkan pegawai pengawas ketenagakerjaan, khususnya terkait dengan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003. Menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan permasalahan hukum yang bersifat implementatif dari pelaksanaan undang-undang. Namun demikian, permasalahan mendasar yang sebenarnya harus dijawab adalah apakah pegawai pengawas ketenagakerjaan memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan Pasal 59, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003?
“Pasal 3 Konvensi ILO Nomor 81 menyatakan bahwa fungsi sistem pengawasan ketenagakerjaan, antara lain, menjamin penegakan hukum mengenai kondisi kerja dan perlindungan tenaga kerja dan peraturan yang menyangkut waktu kerja, pengupahan, keselamatan, kesehatan serta kesejahteraan, tenaga kerja anak serta orang muda dan masalah-masalah lain yang terkait. Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Mahkamah, pegawai pengawas ketenagakerjaan berwenang untuk mengawasi pelaksaaan Pasal 59, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003 termasuk menentukan terpenuhi atau tidak terpenuhinya persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3); serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, dan ayat (3) UU 13/2003 dan karenanya berwenang pula mengeluarkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis terkait hal tersebut;
“... keterangan Presiden yang menyatakan bahwa frasa “demi hukum” yang termuat dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 bersifat langsung dapat dilaksanakan (mempunyai titel eksekutorial) atau berlaku dengan sendirinya;
“Berkenaan dengan hal tersebut, dikaitkan dengan siat dari nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan ... , menurut Mahkamah, untuk menegakkan pelaksanaan ketentuan ketenagakerjaan serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja/buruh, pengusaha, dan pemberi pekerjaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, pekerja/buruh dapat meminta pelaksanaan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan dimaksud kepada Pengadilan Negeri setempat. Dengan mendasarkan pada pertimbangan tersebut maka frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan.”
Tiba pada amar putusan, MK RI telah memutuskan:
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
1.1. Frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
1.2. Frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
1.3. Frasa “demi hukum” dalam Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
1.4. Frasa “demi hukum” dalam Pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
1.5. Frasa “demi hukum” dalam Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
1.6. Frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Memang, putusan MK RI akan menjadi dilematis ketika dibenturkan pada dialektika konstruksi hukum: apakah PKWT otomatis berubah menjadi PKWTT ketika pemberi kerja telah melampaui kebolehan dalam UU Ketenagakerjaan, ataukah baru beralih menjadi PKWTT saat adanya nota pemeriksaan dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan? Jika memang beralih otomatis demi hukum, dimana urgensi permohonan uji materiil serta putusan MK RI tersebut diatas? Bukankah ini menjadi blunder baru dimana “demi hukum” berubah menjadi “demi hukum dengan syarat telah dilakukan pemeriksaan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dan didaftarkan pada PHI”.
Bukankah dalam praktiknya PHI telah berpendirian bila buruh/pekerja kontrak yang mana PKWT telah melampaui batas jangka waktu yang dibolehkan UU, maka pekerja otomatis berstatus PKWTT sehingga berhak atas hak-hak normatif buruh/pekerja tetap, sehingga bila sekalipun perusahaan melakukan PHK sepihak, buruh/pekerja yang telah demi hukum menjadi pekerja tetap tersebut berhak atas pesangon sebagaimana pekerja tetap lainnya.
Sanksi hukum melekat dalam konsekuensi logisnya. Meski UU Ketenagakerjaan tidak menyatakan secara eksplisit suatu sanksi bila ketentuan hukum tidak diindahkan kalangan pemberi kerja, namun PHI sebagai konsekuensi logisnya dapat menjatuhkan hukuman bagi pengusaha yang melanggar hukum demikian.
Frasa “Demi Hukum” yang seyogianya ditafsirkan sebagai “generated by law automaticaly” berubah menjadi demikian prosedural oleh MK RI. Hal ini merupakan masalah klasik sebagaimana perjanjian yang mengandung causa yang tidak sahih, meski dinyatakan “batal demi hukum” (null and void), tetap saja pembatalannya memerlukan putusan pengadlan sebagai prasyarat utama.
Dari dialektika ini juga, kita menjadi mafhum, bahwasannya inkonsistensi bersifat laten berada dalam sistem maupun teori hukum klasik yang masih kita pergunakan sebagai fondasi dasar konstruksi berhukum kita.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.