Efisiensi Usaha sebagai Alasan PHK terhadap Buruh / Karyawan dalam Praktik Putusan Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi RI

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya menurut hukum di Indonesia, apakah dibenarkan melakukan pemecatan terhadap pegawai demi efisiensi perusahaan? Bagaimana praktik putusan pengadilan terhadap hal tersebut?
Brief Answer: Secara yuridis konstitusional sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi RI, pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan efesiensi perusahaan hanya dibenarkan bila perusahaan dalam konteks tutup secara permanen—artinya, MK RI menafsirkan “efesiensi” sebagai tutup secara permanen meski tiada mengalami kerugian usaha. Semisal kantor cabang ditutup secara permanen oleh perusahaan pusat guna efesiensi usaha, maka karyawan pada kantor cabang yang ditutup tersebut termasuk dalam kategori Pasal 164 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
Namun dalam praktik di tingkat Mahkamah Agung RI, terdapat dua mazhab yang berkembang, dimana mayoritas Hakim Agung pada MA RI berpendirian bahwa konteks perusahaan yang melakukan efesiensi agar perusahaan tidak menjurus kepada bangkrutnya (atau tutupnya) perusahaan, dapat melakukan PHK berdasarkan Pasal 164 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
Sehingga alangkah sukarnya memprediksi hasil akhir dari sengketa hubungan industrial PHK terkait efesiensi perusahaan dalam tataran praktiknya di Mahkamah Agung RI. Tidak tertutup kemungkinan dikemudian hari para Hakim Agung pada MA RI mengubah pendirian mereka sehingga menjadi seragam dengan amar putusan MK RI.
PEMBAHASAN :
Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya register Nomor 19/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2012, yang diajukan oleh 38 orang karyawan swasta, yang menyatakan ke hadapan MK RI bahwa hak konstitusional mereka dirugikan oleh keberlakuan Pasal 164 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur:
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Para Pemohon di-putus hubungan kerja oleh perusahaan karena tempat bekerjanya (Hotel Papandayan Bandung) melakukan renovasi dan mempergunakan pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tersebut.
Dalam penilaian SHIETRA & PARTNERS, para Pemohon uji materil seyogianya tidak hanya mengajukan uji materiil Ayat (3) dari Pasal 164 UU Ketenagakerjaan, karena keberlakuan Ayat (3) tersebut cukup fair mengingat buruh/pekerja yang terkena kebijakan efesiensi diberikan kompensasi 2 (dua) kali ketentuan mengenai pesangon normal. Yang terjadi secara masif dan menjadi praktik penyimpangan atas hak buruh, ialah bila perusahaan menutup perusahaan bukan karena merugi dan bukan juga karena bangkrut.
Dalam praktik dijumpai modus berikut: kantor cabang suatu perusahaan dinyatakan ditutup, yang sebenarnya hanya memindahkan logika kantor cabang ke tempat lain yang masih satu provinsi, atau ditutup untuk beberapa waktu kemudian dibuka kembali, yang mana motif utamanya hanyalah untuk mem-PHK para karyawan yang dianggap “pembangkang” terhadap pengusaha.
Bila perusahaan memang tutup dalam arti sesungguhnya, adalah wajar bila karyawan terkana PHK sebagai konsekuensi logisnya, karena memang tiada lagi aktivitas produksi ataupun perekonomian atas perusahaan yang tutup. Namun frasa “tutup” demikian multitafsir sehingga berpotensi disalahgunakan oleh para pengusaha nakal.
Dalam penilaian SHIETRA & PARTNERS, tiada yang salah dengan pengaturan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan, yang bermasalah hanyalah penafsiran atas frasa “tutup”. Untuk selengkapnya mari kita simak ketentuan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan berikut:
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pemohon kembali mendalilkan, bahwa Para Pemohon merupakan pihak yang dirugikan ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, karena dijadikan oleh Pengusaha untuk di-PHK walaupun perusahaan tidak tutup, namun semata tidak aktif untuk sementara selama proses renovasi yang dapat diperkirakan jangka waktu penyelesaiannya. Renovasi bukanlah bentuk dari penutupan perusahaan karena tujuan renovasi adalah untuk meningkatkan fasilitas dan akan dibuka kembali.
Renovasi adalah contoh sempurna “tutup”, dimana UU Ketenagakerjaan tidak membedakan antara pengaturan “tutup permanen” maupun “tutup untuk sementara waktu”.
Perhatikan kembali ketentuan Pasal 164 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan: “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, ...”—Terdapat dua unsur mutlak disini, yakni perusahaan tutup dengan alasan efisiensi, sehingga bukan karena alasan merugi.
UU Ketenagakerjaan tidak mengatur perihal efesiensi perusahaan yang tidak dalam konteks “usaha ditutup”, sehingga dengan terpaksa Lembaga Eksekutif membuat “norma baru” lewat Surat edara Menteri Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tertanggal 28 Oktober 2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal yang mengatur:
“ ... Namun apabila dalam suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja haruslah merupakan upaya terakhir setelah dilakukan upaya sebagai berikut:
a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas misalnya tingkat manager dan direktur;
b. Membatasi/menghapuskan kerja lembur;
c. Mengurangi Jam Kerja;
d/ Mengurangi Hari Kerja;
e. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
f. tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
g. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.”
Yang menarik, sebagai tanggapan terhadap permohonan uji materiel tersebut, pihak Pemerintah dalam keterangannya di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada persidangan tanggal 9 Mei 2011 secara tegas telah mengakui jika pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Para Pemohon adalah bertentangan dengan aturan hukum karena renovasi tidak dapat dijadikan alasan melakukan PHK dengan menggunakan efesiensi, sebagaimana ditegaskan lewat pernyataan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin iskandar, pada tanggal 5 Desember 2009 di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat yang secara tegas menyatakan bahwa PHK dengan alasan renovasi tidak dapat dibenarkan.
Pihak Pemerintah telah cukup tepat menyatakan bahwa PHK terhadap para Pemohon dengan alasan renovasi adalah tidak dibenarkan karena renovasi bukanlah penutupan perusahaan sehingga tidak termasuk dalam kategorisasi “efisiensi”. Dengan demikian, yang dapat dilakukan oleh para Pemohon ialah menempuh upaya hukum yang tersedia.
Dengan kata lain, kasus yang dialami para Pemohon ialah perihal implementasi ketentuan hukum, bukan permasalahan yang terletak pada ketentuan hukum yang dimohonkan uji materiil oleh para Pemohon.
SHIETRA & PARTNERS menilai, sekalipun para Pemohon membawa ranah tersebut ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), PHI tidak dapat berbuat banyak karena bagaimana pun para Pemohon telah mendapat dua kali ketentuan mengenai pesangon yang normal.
Pemohon menguraikan, Pasal 164 UU 13/2003 memberikan penekanan pada klausul “perusahaan tutup”, karena Pasal 164 ini sebenarnya mengatur alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan tutup, bukan karena alasan lainnya.
Dengan demikian, kata efisiensi yang terdapat di dalam Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tidak dapat diartikan bahwa hal tersebut menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja atau juga “mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara mem-PHK pekerja yang ada. Namun harus diartikan bahwa PHK dapat dilakukan perusahaan apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk efisiensi, atau dengan kata lain “Pengusaha melakukan efisiensi, caranya dengan menutup perusahaan”.
Untuk menyatakan sebuah perusahaan telah kelebihan karyawan, syaratnya harus mendapatkan rekomendasi dari instansi yang berwenang diantaranya melalui Departemen / Dinas Tenaga Kerja sebelum efisiensi itu dilakukan.
Atas permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi membuat pertimbangan hukum berikut:
“Menimbang, bahwa Pemerintah dalam keterangannya menyatakan, pada saat renovasi perusahaan (Hotel Papandayan) dapat dimungkinkan operasional perusahaan terhenti, tetapi terhentinya operasional perusahaan tidaklah sama dengan perusahaan tutup, sehingga bila perusahaan melakukan PHK dengan mendasarkan Pasal 164 Ayat (3) UU 13/2003 adalah tidak tepat;
“Menimbang, bahwa permasalahan yang dihadapi oleh para Pemohon, menurut Mahkamah, tidaklah dapat ditentukan semata-mata hanya karena penerapan hukum belaka mengingat tidak ditemukan definisi yang jelas dan rigid atas frasa “perusahaan tutup” dalam UU 13/2003 apakah perusahaan tutup yang dimaksud adalah tutup secara permanen ataukah hanya tutup sementara. Penjelasan Pasal 164 UU 13/2003 hanya menyatakan “cukup jelas”. Dengan demikian, siapa saja dapat menafsirkan norma tersebut sesuai dengan kepentingannya masing-masing misalnya menganggap penutupan perusahaan sementara untuk melakukan renovasi merupakan bagian dari efisiensi dan menjadikannya sebagai dasar melakukan PHK. Tafsiran yang berbeda-beda tersebut dapat menyebabkan penyelesaian hukum yang berbeda dalam penerapannya, karena setiap pekerja dapat diputuskan hubungan kerjanya kapan saja dengan dasar perusahaan tutup sementara atau operasionalnya berhenti sementara.
“Menimbang, bahwa PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut: (a) mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur; (b) mengurangi shift; (c) membatasi/menghapuskan kerja lembur; (d) mengurangi jam kerja; (e) mengurangi hari kerja; (f) meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; (g) tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; (h) memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Karena pada hakikatnya tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan dalam pengertian sebagaimana telah dipertimbangkan dalam paragraf [3.21] tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK;
“Menimbang, bahwa dengan demikian, Mahkamah perlu menghilangkan ketidakpastian hukum yang terkandung dalam norma Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 guna menegakkan keadilan dengan menentukan bahwa frasa “perusahaan tutup” dalam Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tetap konstitutional sepanjang dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”. Dengan kata lain frasa “perusahaan tutup” tersebut adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;”
Atas Permohonan Uji Materiil tersebut, MK RI telah membuat amar putusan, dengan bunyi:
Mengadili,
Menyatakan:
- Permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
- Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;
- Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) pada frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;
Meski pertimbangan hukum MK RI patut diapresiasi, namun tetap terdapat celah hukum bagi pengusaha nakal berupa tiadanya penafsiran tunggal atas praktik “perusahaan tutup” sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 164 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Meski MK RI telah menetapkan pendiriannya, namun praktik pada lembaga Mahkamah Agung RI menemui kontradiksinya tersendiri.
Putusan Mahkamah Agung RI dalam tingkat kasasi antara PT. NEWMONT NUSA TENGGARA melawan keenam karyawannya, register perkara Nomor tanggal 30 September 2014, pihak perusahaan selaku penggugat PHK terhadap karyawannya ke hadapan PHI, mendalilkan bahwa PHK terhadap karyawan dengan alasan efisiensi yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan operasional suatu perusahaan agar tidak tutup secara keseluruhan telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung No. 217 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 31 Maret 2010 yang menyatakan:
Bahwa ternyata hubungan hukum antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi dinyatakan putus dengan Pemutusan hubungan kerja (PHK), mengacu kepada Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dengan alasan efisiensi guna penyelamatan perusahaan tersebut.”
Perusahaan pun mendalilkan, bahwa PHK terhadap karyawan dengan alasan efisiensi sudah menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan PHK terhadap karyawan dengan alasan efisiensi,  bukan PHK terhadap karyawan dengan alasan efisiensi yang mengakibatkan perusahaan tutup, sebagaimana dapat ditemui dalam:
- Putusan Mahkamah Agung No. 85 K/Pdt.Sus/2013 tanggal 30 Mei 2013: “Bahwa PHK yang terjadi merupakan PHK yang digolongkan PHK karena efisiensi, ...”
- Putusan Mahkamah Agung No. 288 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 25 Oktober 2012: “Tindakan PHK oleh Tergugat a quo dapat dikategorikan sebagai PHK dengan alasan melakukan efisiensi sebagaimana dimaksud Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003”;
- Putusan Mahkamah Agung No. 828 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 20 April 2011: “Putusan Judex Facti dalam pokok perkara yang demikian telah sesuai dengan ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 karena tindakan PHK oleh Tergugat a quo dapat dikategorikan sebagai tindakan PHK dengan alasan melakukan efisiensi:”
Meski demikian, perusahaan tetap bersedia memberikan pesangon dua kali besaran pesangon normal sesuai ketentuan Pasal 164 Ayat (3). Terhadap gugatan PHK tersebut, Pengadilan Hubungan Industrial Mataram telah menjatuhkan putusan Nomor 10/G/2013/PHI.PN.MTR tanggal 23 Januari 2014 dengan amar:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat VI putus dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhitung sejak tanggal 23 Januari 2014;
Para Tergugat mengajukan kasasi, dengan argumentasi bahwa putusan PHI telah salah menerapkan hukum, dimana PHI dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan:
Menimbang, bahwa sesuai keterangan saksi ahli Prof. Dr. Lalu Husni, SH. M.Hum., bahwa SE 907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tanggal 28 Oktober 2004 hanya merupakan himbauan, yang namanya surat edaran tidak wajib dilaksanakan perusahaan dapat melakukan langkah-langkah sesuai dengan kondisi perusahaan dan tidak perlu harus sama dengan SE 907/MEN/PHI-PPHI/X/2004;
“Menimbang, bahwa sesuai keterangan saksi ahli Prof. Dr. Lalu Husni, SH. M.Hum., bahwa untuk melakukan efesiensi perusahaan tidak tutup, karena Pasal 164 ayat (3) lahir untuk memberikan kesempatan pada divisi atau bagian atau wilayah operasional agar tidak tutup, ...”
“Menimbang, bahwa sesuai keterangan saksi Basani Situmorang, SH. M.Hum., bahwa dalam ayat (3) Pasal 164 UU No. 13 Tahun 2003 apabila perusahaan melakukan efisiensi perusahaan tidak tutup, karena PHK dengan alasan efisiensi dalam rangka penyehatan supaya perusahaan tidak tutup, tidak dipersoalkan tentang adanya kesalahan pekerja, karena PHK untuk menyehatkan perusahaan, sehingga secara filosofinya pekerja yang di PHK diberikan pesangon 2 (dua) kali sebagaimana ketentuan Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003. Oleh karena itu Majelis berpendapat apabila perusahaan melakukan PHK dengan alasan efisiensi maka perusahaan tidak perlu tutup atau perusahaan tetap melaksanakan kegiatannya agar perusahaan sehat kembali;
“Menimbang, bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2011 sebagaimana dimaksud oleh Tergugat II, III, IV, dan VI, sesuai keterangan saksi ahli Prof. Dr. Lalu Husni, SH. M.Hum., bahwa penafsiran Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang No. 13 tahun 2003 Pasal 164 ayat (3) bertentangan secara historikal, karena adanya ayat (3) untuk memberikan kesempatan agar perusahaan tidak tutup, disamping itu kasusnya keliru karena PT. Papandayan melakukan renovasi dikatakan efisiensi, karena dasar kasusnya keliru maka keputusannya tidak dapat digeneralisir pada kasus lain, disamping itu ada beberapa Keputusan Mahkamah Agung yang keluar setelah Putusan Mahkamah Konstitusi namun tidak mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi;”
Para Tergugat kemudian “menjerit””: terjadi ketidakpastian hukum, sehingga timbul pertanyaan “untuk apa aturan dibuat kalau tidak wajib dilaksanakan atau tidak perlu dipatuhi?
Para Tergugat juga menyoroti logika intelektual Prof. Dr. Lalu Husni, yang menganggap persyaratan Pasal 164 ayat (1) dan ayat (3) UU Ketenagakerjaan adalah sama. Padahal, urai Tergugat, apabila dibaca secara saksama, Ayat (1) merupakan konteks perusahaan tutup akibat merugi secara terus-menerus atau keadaan kahar, namun Ayat (3) dalam konteks tutupnya perusahaan bukan oleh alasan merugi.
Tanpa menghiraukan uraian Pemohon Kasasi, MA RI dalam amar putusannya menjatuhkan putusan:
MENGADILI
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi tersebut;”
Dalam praktik, sebagaimana pernah ditangani SHIETRA & PARTNERS, kompleksitas diperkeruh oleh derivatif kasus, semisal yang ditutup permanen bukanlah badan hukum perusahaan, namun satu lini usaha atau ditutup permanennya satu divisi atau bahkan ditutup permanennya suatu posisi jabatan.
Semisal sebuah perusahaan yang bergerak dibidang elektronik, hendak menutup lini produksi televisi pada pabriknya. Apakah dibenarkan mem-PHK karyawan dengan alasan lini produksi televisi telah dinyatakan ditutup secara permanen? Bahkan hingga alasan diakuisisinya perusahaan oleh pihak lain dengan mengubah nama badan hukum, apakah dapat dimaknai sebagai penutupan usaha?
Jika hal demikian dibenarkan, terbuka peluang “penyelundupan hukum” oleh kalangan pengusaha nakal. Untuk itu SHIETRA & PARTNERS memberikan konstruksi hukum berikut:
- Bila karyawan / buruh bukanlah karyawan yang berkecimpung pada skill atau bidang tugas spesifik tertentu, maka karyawan tersebut wajib dipekerjakan pada lini produksi lainnya yang masih aktif dengan mekanisme pengalihan lini usaha yang masih dalam satu badan hukum (mutasi dengan badan hukum yang berbeda dilarang tanpa izin pekerja/buruh);
- Akuisisi perusahaan tidak mengubah status badan hukum, karena badan hukum merupakan rechtspersoon yang memiliki hak dan kekayaan sendiri terpisah dari para pengurusnya serta memiliki identitas hukum serta legal standing tersendiri yang terpisah dari para pemegang sahamnya sekalipun kemudian berganti nama, badan hukum tersebut tetap tercatat dengan “nomor induk” perusahaan yang sama sehingga akuisisi bukanlah penutupan usaha;
- bila karyawan bersangkutan hanya paham akan keterampilan spesifik tertentu yang tidak lagi sesuai dengan lini usaha lainnya yang masih aktif, dan karyawan tersebut tidak bersedia dialih-pekerjakan pada lini usaha yang tidak sesuai dengan minatnya, maka dapat diberlakukan ketentuan Pasal 164 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan dengan dua kali hak atas ketentuan pesangon normal;
SHIETRA & PARTNERS menegaskan, yang masih merupakan “celah hukum” (loophole) sehingga butuh pengaturan segera, ialah terkait praktik korporat nakal yang tergabung dalam suatu grub usaha. Contoh, Perusahaan A merupakan entitas bisnis yang tergabung dalam suatu grub usaha, maka ketika perusahaan A ditutup permanen, seyogianya para karyawan diberikan hak untuk memilih: bekerja pada entitas bisnis lain yang masih dalam grub usaha tersebut atau di-PHK berdasarkan ketentuan Pasal 164 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Namun bila entitas bisnis tersebut hendak mem-PHK dengan alasan efesiensi usaha, buruh/karyawan wajib diberikan opsi atau hak untuk memilih: apakah mendapat pesangon dua kali ketentuan sesuai Pasal 164 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan, atau meminta dialih-kerjakan pada entitas bisnis lain dalam grub usaha yang sama tanpa memutus masa kerja pada entitas bisnis yang ditutup yang mana berpengaruh pada besaran pesangon terkait masa kerja.
Sebagai penutup, SHIETRA & PARTNERS akan mengakhiri wacana ini dengan satu kalimat pesan: efesiensi adalah subjektif. Bagi perusahaan yang sehat sekalipun, karena merasa gagal mendapat keuntungan yang jauh lebih besar dapat ditafsirkan secara sepihak sebagai “tidak efesien” sehingga menjadi alasan baginya untuk melakukan efesiensi lewat mem-PHK sebagian karyawan sementara sebagian karyawan yang dipertahankan akan dirangkap tugaskan. Adalah mudah membuat perusahaan menjurus pada level hampir bangkrut, sehingga memberi “hak” baginya untuk mem-PHK, lewat metode transfer pricing sebagaimana banyak dilakukan usaha dalam payung grub usaha.
Namun, kita pun perlu bersikap setimpal (fairness). Pemberian pesangon dua kali lipat dari pesangon normal, sudah cukup menjadi hak normatif buruh yang di-PHK sekalipun dasar PHK adalah “lemah tanpa dasar”. Disharmoni itu sendiri bisa menjadi alasan PHK, tatkala salah satu pihak sudah tidak lagi berminat melanjutkan hubungan kerja—selama hak pesangon diberikan sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.