KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Dilematika Inkonsistensi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial dan Pendirian Mahkamah Agung terkait Sengketa Pemutusan Hubungan Kerja

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya kapan efektif PHK terjadi, pada saat PHI menyatakan “hubungan kerja putus”, atau saat sengketa hubungan industrial berkekuatan hukum tetap yang bisa jadi akan memakan waktu proses kasasi di Mahkamah Agung? Bagaimana tinjauan regulasi dan praktik litigasi berdasarkan hukum di Indonesia.
Brief Answer: Jika sengketa hubungan industrial yang masuk ke Pengadilan Hubungan Indsutrial (PHI), khusus dalam konteks Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diajukan oleh buruh/karyawan terhadap perusahaan, maka bila PHI memutus “mengabulkan” dan “menyatakan hubungan kerja berakhir”, maka Mahkamah Agung RI (MA RI) tidak dapat menganulir PHK yang dijatuhkan PHI—sehingga praktis bila permohonan PHK yang diajukan buruh/karyawan dikabulkan PHI, maka ranah kasasi pada Mahkamah Agung hanya dapat mengoreksi besaran pesangon belaka, tidak dapat membatalkan PHK yang telah dijatuhkan judex facti (PHI).
Sebaliknya, bila PHK diajukan oleh pengusaha ke hadapan PHI, maka Mahkamah Agung RI tidak terikat oleh putusan PHI yang menjatuhkan amar “putus hubungan kerja”. MA RI terhadap konteks permohonan PHK yang diajukan pengusaha terhadap karyawannya, maka MA dapat membatalkan putusan PHI, dan menyatakan bahwa karyawan/buruh tersebut tidak di-PHK sehingga tetap berstatus sebagai karyawan—dimana bila MA RI hanya mengabulkan “Upah Proses” sebatas 6 (enam) bulan pun dirasa tetap memenuhi rasa keadilan para pihak.
Sebaliknya juga, dalam konteks ketiga, sebagai konstruksi logis atas logika hukum diatas, demi kepastian hukum, bila PHI mengabulkan gugatan buruh/karyawan atas PHK sepihak perusahaan, dimana kemudian PHI menyatakan PHK tidak sah sehingga “hubungan kerja tidak putus”, MA RI tidak diperkenankan membatalkan putusan PHI yang menyatakan hubungan kerja tidak terputus. Dalam konteks ketiga ini pula, MA RI hanya berhak dan berwenang mengoreksi besaran “Uang Proses”. Sebab, bila PHI menyatakan PHK sepihak oleh perusahaan tidak sah, kemudian MA menyatakan PHK sah, maka hak karyawan atas “Upah Proses” benar-benar teramputasi sehingga menimbulkan polemik dilematis bagi kalangan buruh/karyawan.
Namun SHIETRA & PARTNERS hendak menyampaikan, konstruksi hukum tersebut diatas baru sebatas wacana SHIETRA & PARTNERS semata, dimana pada praktiknya MA RI menerapkan kebijakan tidak sistematis yang mana patut kita sayangkan.
PEMBAHASAN :
Dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 619 K/Pdt.Sus/2008 tanggal 20 Oktober 2008 yang diputus oleh para Hakim Agung M. Hatta Ali, Horadin Saragih, dan Hakim Agung Buyung Marizal, yang memeriksa perkara Perselisihan Hubungan Industrial dalam tingkat kasasi telah memutuskan perkara antara:
- PT. TRIA SUMATERA CORPORATION, selaku Pemohon Kasasi, yang mana merupakan Tergugat dalam tingkat PHI; melawan
- HERDIN SIREGAR, selaku Termohon Kasasi, dahulu Penggugat.
Penggugat telah menggugat Tergugat ke hadapan PHI pada Pengadilan Negeri Medan, dengan latar belakang sengketa sebagai berikut. Pasal 155 Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan:
“Selama putusan lembaga penyelesaian persellisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh tetap melaksanakan kewajibann.”
Sementara itu Pasal 155 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan menyatakan:
Pengusaha dapat melakukan penyimpangan sebagaimana diamksud dalam ayat 2 berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayarkan upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.”
Tergugat telah mengakui tidak membayar upah Penggugat sejak bulan Maret 2007, yang dapat dibuktikan dari buku tabungan Penggugat yang sejak bulan Maret 2007 tidak lagi menerima transfer upah dari Tergugat.
Ketentuan mengenai upah selama proses skorsing diatur dalam Pasal 96 Ayat (1) Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial No. 2 Tahun 2004:
“Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan. Permintaan putusan sela disampaikan bersama-sama dengan materi gugatan.”
Oleh karenanya, Penggugat memohon PHI menetapkan putusan sela agar Tergugat diperintahkan untuk membayar upah kepada Penggugat sejak Bulan Februari 2007 sampai ada keputusan berkekuatan hukum tetap dalam perselisihan antara Penggugat dan Tergugat.
Perhatikan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan terutama sebagaimana ditegaskan dalam Ayat ke-3 berikut:
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Kaitkan pula dengan ketentuan Pasal 155 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pada tanggal 15 Maret 2007, Tergugat mengeluarkan surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak kepada Penggugat. Dalam pandangan SHIETRA & PARTNERS, PHK sepihak dari pihak perusahaan tanpa melalui mekanisme prosedural PHI, dapat dianalogikan sebagai skorsing, sehingga terhadap buruh/karyawan berhak atas “Upah Proses”.
Penggugat menjawab surat PHK tersebut, bahwa dirinya selaku karyawan menolak PHK sepihak. Namun Tergugat melarang Penggugat melakukan kewajibannya sebagai karyawan.
Dasar PHK sepihak perusahaan, Penggugat dinilai telah melakukan pelanggaran berat vide Pasal 158 UU Ketenagakerjaan yang sebenarnya telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi lewat putusannya Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004.
Penggugat menengarai, PHK terhadap dirinya adalah rekayasa manajemen Hotel Soechi International, mengingat Penggugat mengetahui indikasi penggelapan atas uang setoran Jamsostek milik pekerja dengan tidak membayarkan premi yang dipotong upah pekerja, disamping indikasi penyelewengan uang "tip service" yang justru masuk pada kas perusahaan, sementara Penggugat sendiri merupakan Ketua Serikat Pekerja.
Pokok permintaan Penggugat, ialah agar PHI menyatakan Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat tidak terputus. Penggugat sama sekali tidak meminta pesangon, oleh sebab Penggugat tidak meminta agar Hubungan Kerja dinyatakan putus—namun sebagaimana akan tertuang dalam putusan PHI maupun putusan MA dibawah, PHI maupun MA RI senyatanya telah memutus apa yang tidak dimohonkan.
Terhadap gugatan tersebut, PHI telah menjatuhkan putusan dalam register No. 88/G/2007/PHI.MDN tanggal 8 Agustus 2007 yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat tidak sah dan bertentangan dengan hukum;
- Menghukum Tergugat (PT. Tria Sumatera Corporation) untuk membayar hak-hak normatif Penggugat Herdin Siregar yang perinciannya sebagai berikut:
(Masa kerja 11 tahun 5 bulan, upah Rp. 820.000;- / bulan);
Uang pesangon: 9 x Rp. 820.000;-
Uang Penghargaan masa kerja 4 x Rp. 820.000;-
Uang Penggantian Hak: Penggantian Perumahan & Perobatan 15 % x Rp. 10.660.000;-
Bagaimana mungkin dapat muncul angka-angka dan perhitungan tersebut sementara Penggugat sama sekali tidak meminta uang pesangon dan sebagainya, dimana Penggugat hanya meminta agar dirinya tetap dinyatakan sebagai karyawan aktif dengan menyatakan PHK sepihak tidak sah. Melihat putusan PHI demikian, apa bedanya dengan amar putuusan terhadap permohonan PHK yang diajukan oleh pihak perusahaan terhadap karyawannya?
Bagaimana mungkin butir amar putusan yang satu satu tumpang tindih dengan butir amar putusan lainnya, dimana PHI menyatakan PHK tidak sah, namun justru PHI telah mem-PHK pihak Penggugat dalam butir amar putusan mengenai pesangon?
Disayangkan, MA RI tidak melakukan langkah koreksi terhadap putusan PHI, sebaliknya justru memperkeruh kerugian Penggugat.  Meski Penggugat justru di-PHK oleh PHI, namun Tergugat tetap mengajukan kasasi, dimana kemudian Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum berikut:
“Menimbang, bahwa terlepas dari pertimbangan tersebut diatas menurut pendapat Mahkamah Agung amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan harus diperbaiki sepanjang mengenai amar tentang Pemutusan Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa dalam pertimbangan judex facti (Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan) dinyatakan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja harus dilakukan oleh karena hubungan antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi, namun sejak kapan Pemutusan Hubungan Kerja tersebut terhitung tidak dipertimbangkan;
“Bahwa Mahkamah Agung berpendapat Pemutusan Hubungan Kerja tersebut putus adalah sejak putusan judex facti (Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan) diucapkan pada persidangan untuk itu;”
Tiba pada amar putusan, Mahkamah Agung memutus:
“MENGADILI “
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. TRIA SUMATERA CORPORATION tersebut;
"Memperbaiki amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 88/G/2007/PHI.MDN tanggal 8 Agustus 2007 sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak tanggal 8 Agustus 2007;
- Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak normatif Penggugat yang perincianya sebagai berikut:
Uang Pesangon : 9 x Rp. 820.000;-
Penghargaan masa kerja 4 x Rp. 820.000;-
Uang Penggantian Hak: 15 % x Rp. 10.660.000;-
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam kacamata SHIETRA & PARTNERS, Mahkamah Agung RI telah mengabulkan gugatan Tergugat, bukan gugatan Penggugat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.