LEGAL OPINION
Question: Kami (badan hukum asing) hendak menjual barang produksi kami di Indonesia, untuk itu apa yang perlu diperhatikan ketika membuat perjanjian distribusi dengan importir di Indonesia?
Brief Answer: Daftarkan merek dan segala Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia sebelum membentuk perjanjian distribusi dengan importir lokal di Indonesia.
PEMBAHASAN :
Dalam Putusan Mahkamah Agung RI dalam gugatan perdata khusus Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tingkat kasasi dalam register perkara Nomor 462 K/Pdt.Sus-HKI/2015 tanggal 3 September 2015, sengketa antara:
- PT. FORTUNE STAR INDONESIA selaku Pemohon Kasasi, dahulu pada Pengadilan Niaga sebagai Tergugat; melawan
- APOLLO MEDICAL INSTRUMENTS Co. Ltd., badan hukum asing yang berkedudukan di Jepang, sebagai Termohon Kasasi, dahulu selaku Penggugat; dan
- Pemerintah Republik Indonesia cq. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual cq. Direktorat Merek, selaku Turut Tergugat.
Sengketa bermula dari pihak Penggugat menggugat ke hadapan Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat, dengan alasan bahwa Tergugat telah beriktikad buruk dalam melakukan pendaftaran Merek “CURESONIC”.
Penggugat merupakan badan hukum yang berdiri di Jepang, telah lama memproduksi alat-alat kesehatan yang salah satunya diberi Merek “CURESONIC”, dan merek tersebut telah didaftarkan oleh Penggugat di Jepang. Tergugat kemudian melakukan pendaftaran tanpa sepengetahuan Penggugat atas produk Penggugat dengan Merek yang sama pada tanggal 30 Januari 2007 kepada Direktorat Merek RI.
Tergugat selama ini ialah distributor dari Penggugat, dimana Penggugat merupakan pihak “eksportir” sementara Tergugat selaku “distributor”. Menyadari hal tersebut, Penggugat melayangkan somasi.
Selaku pemilik merek, produsen, dan penjual yang beriktikad baik, Penggugat senantiasa konsisten menggunakan merek tersebut serta telah dikenal luas dan terus-menerus, bahkan merek tersebut telah dikenal di bebagai negara, bahkan telah didaftarkan di berbagai negara seperti Taiwan dan Malaysia.
Untuk itu Penggugat mengutip Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 1486 K/Pdt/1991 yang menyatakan:
“Pengertian merek terkenal yaitu apabila suatu merek telah beredar keluar dari batas-batas regional sampai batas-batas internasional, dimana telah beredar keluar negeri asalnya dan dibuktikan dengan adanya pendaftaran merek yang bersangkutan di berbagai negara.”
Hal senada diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek: “Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:
a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
Penjelasan Resmi Pasal 6 Ayat (1) UU Merek:
Huruf a: Yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dan Merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.
Huruf b: Penolakan Permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek terkenal untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan.
Dikarenakan Tergugat selaku distributor telah menunggak sebanyak satu juta Yen kepada Penggugat, memutuskan perjanjian distribusi dengan Tergugat pada akhir tahun 2013.
Dalam bantahannya, Tergugat menjawab, bahwa Tergugat telah mendaftarkan merek dagang “CURESONIC” sejak tahun 2005 di Indonesia, sementara ketentuan Pasal 69 UU Merek mengatur:
(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran Merek.
(2) Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila Merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Bila kita hitung tanggal pendaftaran Merek “CURESONIC” pada tahun 2005, sementara tanggal diajukan gugatan oleh Penggugat barulah pada tahun 2014, artinya sudah mencapai lebih dari sembilan tahun lamanya. Untuk itu Tergugat mendalilkan bahwa gugatan Penggugat telah lewat waktu (daluarsa).
Tidak cukup sampai disitu, Tergugat bahkan mengajukan gugatan balik (rekonvensi), dengan mendasarkan diri pada ketentuan Pasal 76 UU Merek:
(1) Pemilik Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa:
a. gugatan ganti rugi, dan/atau
b. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Niaga.
Atas sengketa tersebut, Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat dalam perkara Nomor 73/Pdt.Sus.Merek/2014?PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 7 April 2015 dalam amarnya memutuskan:
“Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa merek “Curesonic” adalah milik Penggugat;
3. Menyatakan Penggugat sebagai pemilik satu-satunya yang sah dan berhak atas Merek “Curesonic” dan oleh karenanya mempunyai hak untuk mendaftarkannya dan memakai merek tersebut di Indonesia;
4. Menyatakan pendaftaran merek “Curesonic” pada tanggal 30 Januari 2007 oleh Tergugat kepada Turut Tergugat, dengan Nomor Pendaftaran IDM00010108480 atas nama Tergugat, dilakukan tanpa sepengetahuan Penggugat; ...”
Adapun yang menjadi pertimbangan hukum Pengadilan Niaga dalam putusannya, menyebutkan:
“Menimbang, bahwa Perjanjian Distribusi yang telah disepakati oleh Tergugat dan Penggugat tersebut diatas, adalah merupakan undang-undang yang harus ditaati oleh Tergugat dan Penggugat, dimana dalam Pasal 8 Perjanjian Distribusi a quo terdapat suatu klausula bahwa Tergugat menyadari bahwa Kuasa Pemegang Hak Atas Kekayaan Intelektual pada produk yang didistribusikan dan dipasarkan oleh Tergugat sebagaimana tersebut di atas, yang salah satunya adalah produk “Curesonic” adalah eksportir dalam wilayah Jepang (Penggugat);” (hlm. 51)
“Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan Perjanjian distribusi yang telah disepakati a quo, Tergugat telah menyadari dan mengakui bahwa hak atas Merek Curesonic yang telah didaftarkannya pada Kantor Turut Tergugat, sesungguhnya adalah milik Penggugat;” (hlm. 51)
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat, bahwa warganegara / perusahaan Indonesia yang memproduksi barang-barang buatan Indonesia seyogianya menggunakan nama-nama merek yang jelas menampakkan identitas nasional Indonesia dan sejauh mungkin menghindari menggunakan nama merek yang mirik apalagi menjiplak nama merek asing. Bahwa pendaftaran merek yang mempunyai persamaan secara keseluruhan atau persamaan pada pokoknya dengan merek orang lain yang sudah ada lebih dulu jelas merupakan perbuatan yang beriktikad buruk/tidak baik dengan tujuan membonceng pada nama merek dagang yang telah dikenal tersebut.” (hlm. 55)
Bagaimana UU Merek mengatur perihal “itikad baik” dalam sengketa Merek? Pasal 4 UU Merek: “Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik.”
Penjelasan Resmi Pasal 4 UU Merek:
“Pemohon yang beriktikad baik adalah Pemohon yang mendaftarkan Mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apa pun untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran Merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. Contohnya, Merek Dagang A yang sudah dikenal masyarakat secara umum sejak bertahun-tahun, ditiru demikian rupa sehingga memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek Dagang A tersebut. Dalam contoh itu sudah terjadi iktikad tidak baik dari peniru karena setidak-tidaknya patut diketahui unsur kesengajaannya dalam meniru Merek Dagang yang sudah dikenal tersebut.”
Akan tetapi, perhatikan pula pertimbangan hukum Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, pada hlm. 48 putusan menyebutkan:
“Bahwa benar meskipun Penggugat telah memperoleh ijin untuk memproduksi dan mengekspor produk-produknya antara lain produk dengan Merek Curesonic tersebut, Penggugat belum mendaftarkan Merek Curesonic tersebut baik di Jepang maupun negara-negara tujuan ekspor, dimana Penggugat baru melakukan pendaftaran Merek “Curesonic” di Jepang dan negara-negara: Taiwan dan Malaysia pada September 2014, sedangkan di Indonesia Penggugat baru mendaftarkannya pada tanggal 6 Oktober 2014 dan belum mendapat pengesahan (sertifikat).”
Tergugat selaku Pemohon Kasasi mendalilkan, dirinya telah mendaftarkan merek pada tahun 2007, sementara Perjanjian Distribusi dengan Penggugat terjadi pada tahun 2013, dengan demikian adalah salah kaprah bila ditafsirkan bahwa Perjanjian Distribusi menjadi dasar bahwa Penggugat adalah pemilik merek satu-satunya.
Meski demikian, Pengadilan Niaga dalam pertimbangan hukumnya menemukan sebuah fakta, dengan bunyi:
“Menimbang, bahwaa oleh karena telah terbukti bahwa sebelum Tergugat dengan Penggugaat mengadakan kerjasama distribusi secara tertulis pada tahun 2013, sesungguhnya antara Tergugat dengan Penggugat telah terjalin kerjasama untuk memasarkan dan mendistribusikan produk-produk Tergugat diantaranya, kasur kesehatan merek Curesonic di Indonesia, sedangkan Penggugat telah memperoleh ijin produksi dan ekspornya sejak tahun 2000 serta telah memproduksi dan mengeskpornya setidaknya sejak tahun 2004, dihubungkan pula dengan bukti P-31 yang membuktikan adanya penelitian uji manfaat alat “curesonic” oleh Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya pada tanggal 20 Desember 2007 dan Bukti P-32 yang membuktikan adanya seminar PKKAI Laporan Uji Alat dan Manfaat Curesonic pada tanggal 31 Mei 2008, dihubungkan pula dengan bukti P-34 telah diperoleh suatu persangkaan kuat, bahwa pada saat tergugat mendaftarkan merek Curesonic pada tanggal 30 Januari 2007, sesungguhnya antara Tergugat dengan Penggugat telah terjalin kerjasama untuk pemasaran produk-produk Penggugat di Indonesia, diantaranya kasur kesehatan merek Curesonic, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada saat mendaftarkan merek Curesonic a quo, Tergugat telah mengetahui bahwa merek Curesonic adalah milik Penggugat yang melekat pada kasur kesehatan yang diproduksi dan diekspor Penggugat.”
Atas Kasasi yang diajukan Tergugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
- Bahwa terlepas dari alasan-alasan kasasi Pemohon Kasasi, setelah membaca dan meneliti Memori Kasasi dan Kontra Memori Kasasi dari para pihak dihubungkan dengan Putusan Judex Facti, ternyata Merek CURESONIC milik Tergugat secara sah sejak tanggal 30 Januari 2007 telah terdaftar berdasarkan Sertifikat Merek Nomor IDM000108480 dan Nomor IDM000108529;
- Bahwa berdasarkan bukti P-5 ternyata pula pada tanggal 3 Januari 2013 antara Penggugat dengan Tergugat telah mengadakan kerja sama dalam Perjanjian Distribusi antara Tergugat sebagai “Distributor” dengan Penggugat sebagai “Eksportir”, salah satu produknya adalah objek sengketa yaitu “CURESONIC FX-100”’
- Bahwa walaupun akhirnya pada tanggal 13 November 2013 (bukti P-12) Penggugat telah memutuskan hubungan kerjasama distribusi dengan Tergugat dengan alasan karena adanya kegagalan atas pembayaran invoice AP 1-22 dan AP-1023 yang telah jatuh tempo bukan karena pendaftaran objek sengketa, keadaan, atau fakta tersebut membuktikan bahwa Penggugat telah mengetahui bahwa produk CURESONIC telah terdaftar atas nama Tergugat dalam waktu yang cukup lama yaitu sekitar kurang lebih 7 (tujuh) tahun (tanggal 30 Januari 2007 sampai dengan tanggal 13 November 2013), sehingga selama itu pula secara diam-diam Penggugat telah mengakui dan membenarkan merek CURESONIC adalah merek terdaftar milik Tergugat pada Turut Tergugat;
- Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, terbukti Penggugat tidak dapat membuktikan kebenaran dalil gugatannya bahwa Penggugat tidak membuktikan kebenaran dalil gugatannya bahwa Penggugat tidak mengetahui objek sengketa (merek CURESONIC) telah terdaftar atas nama Tergugat pada tanggal 30 Januari 2007 pada Turut Tergugat;
- Untuk itu permohonan Kasasi tersebut dapat dikabulkan, dengan membatalkan Putusan Judex Facti, mengadili sendiri: “menolak gugatan Penggugat Konvensi” dan “mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagaian.”
Tiba pada amar putusan, Mahkamah Agung menjatuhkan amar:
“MENGADILI
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. FORTUNE STAR INDONESIA, tersebut;
“membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 73/Pdt/Sus.Merek2014/PN.Niaga.Jkt.Pst, tanggal 7 April 2015
MENGADILI SENDIRI
Dalam Konvensi:
- Menolak gugatan Penggugat seluruhnya;
Dalam Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi sebagian;
2. Menyatakan Penggugat Rekonvensi adalah pemilik dan pemegang hak atas Merek Curesonic yang sah terdaftar Nomor IDM000108480 dan Nomor IDM0001082529 tertanggal 2 Juni 2007; ...”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.