Alat Bukti yang Diperoleh dengan Cara Melawan Hukum untuk Menegakkan Hukum

ARTIKEL HUKUM
Dalam stelsel pembuktian hukum pidana klasik, terdapat postulat bahwasannya “hukum tidak dapat ditegakkan dengan cara melawan hukum”. Menjadi pertanyaan utama, apakah konsep konservatif tersebut masih layak untuk dipertahankan dan tahan terhadap uji moril, atau mungkinkah konsep tersebut selama ini kerap disalahgunakan oleh para pelaku kejahatan untuk lolos dari jerat hukum?
Dalam kesempatan kali ini SHIETRA & PARTNERS akan mengupas falsafah yang bekerja di balik hukum pembuktian pidana. Untuk itu SHIETRA & PARTNERS mengajukan dua postulat utama sebagai alternatif konsep konservatif mengenai proses pembuktian:
1. Pelaku tindakan kejahatan disaat bersamaan telah melepas separuh hak perlindungan hukumnya dasarnya ketika aksi pelanggaran hukum dilakukan olehnya;
2. Pelaku yang tidak melanggar hukum atau sesuai dengan hukum selalu memiliki kapasitan perlindungan hukum secara penuh, baik perlindungan hukum primair maupun sekundair.
Dalam artikel ini kita akan membahas kedua postulat tersebut secara mendalam. Ketika seorang perampok, sebagai contoh, melakukan aksi perampokan, disaat bersamaan dirinya telah melepas hak perlindungan dasar untuk tidak ditembak oleh aparat penegak hukum—oleh karenanya perampok tersebut tidak dapat menuntut polisi yang telah menembak dirinya karena aksi perampokan yang dilakukan olehnya. Inilah implementasi postulat pertama.
Ketika seorang warga negara patuh terhadap hukum, adalah sebuah kejahatan ketika seorang polisi justru menembak dirinya tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum. Maka hukum negara akan menjunjung korban dengan segenap sumber dayanya menegakkan hak-hak primair dan sekundair dari korban terhadap polisi yang telah menembak dirinya. Hal ini menjadi ilustrasi implementasi postulat kedua.
Menjadi relevan ketika kita mempertanyakan, apakah rekaman audio ataupun video dapat digunakan sebagai alat bukti untuk memberatkan atau bahkan menjerat pidana pelaku kejahatan, meski alat bukti digital atau data elektronik tersebut diperoleh penyidik atau saksi korban tanpa seizin diri sang pelaku kejahatan. Singkat kata, apabila pelaku kejahatan tidak pernah memberikan izin bahwa segala ucapan serta tindakannya direkam, apakah otomatis alat bukti rekaman tersebut gugur karena cacat formil dan dinyatakan sebagai alat bukti yang ilegal, ataukah tetap sahih secara falsafah pemidanaan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ialah dengan menyatakan, pertanyaan itu sendiri mengandung sebuah kelemahan falsafah. Pertanyaan yang dapat dibenarkan, ialah: Apakah mungkin, seorang pelaku kejahatan bersedia dan rela bila aksi kejahatannya diketahui atau bahkan meninggalkan jejak dan bukti? Jangankan rekaman, ia pastilah akan sebisa mungkin menghilangkan sidik jari dan jejak sol sepatunya di lantai.
Berangkat dari paradigma berpikir demikian, menjadi tidak relevan lagi untuk meminta izin/persetujuan pelaku kejahatan untuk merekam dan mendokumentasikan segala aksi perbuatan melawan hukumnya. Pelaku harus menyadari segala akibat dari tindakannya melawan hukum, disaat bersamaan hak-hak perlindungan primernya akan terlepas dari genggaman tangannya. Bahkan, untuk aksi-aksi ekstreem seperti ter*risme, hak-hak perlindungan dasarnya seperti hak untuk hidup dapat gugur demi hukum.
Bila seorang pelaku kejahatan dibenarkan untuk mendalilkan, bahwasannya alat bukti tidak dapat dibenarkan diperoleh dengan cara melawan hukum, maka hukum menjadi demikian prosedural yang akan menjerat dan mencekik aparatur penegak sistem hukum itu sendiri.
Semua penjahat, bila mereka diizinkan beraspirasi, akan menyatakan bahwa semua alat bukti yang selama ini telah menjeratnya, diperoleh dengan cara melawan hukum, yakni tidak pernah dimintakan izin kepadanya untuk digunakan sebagai alat bukti untuk memberatkan dan melawan kedudukan sang pelaku di “meja hijau”.
Semua pihak, seluruh individu, dan segenap warga negara, seyogianya perlu menumbuhkan kesadaran hukum, bahwa setiap patah kata dan aksi yang kita ucapkan serta lakukan, dapat digunakan sebagai alat bukti untuk melawan dan memberatkan kita di pengadilan.
Berani berucap, berani bertanggung jawab. Berani bermain api, berani terbakar. Sejarah yang terekam, tidak dapat diminta untuk dihapuskan. Jejak kejahatan adalah konsekuensi logis itu sendiri seperti halnya ombak yang akan membuat jejak di pantai, seperti itu jugalah setiap tindak tanduk individu, tidak lepas dari tanggung jawab terhadap pihak lainnya.
Pengecualian barulah berlaku ketika seorang individu tidak terlibat dalam kejahatan ataupun pelanggaran hukum lainnya, terlebih ketika dirinya tidak sedang terlibat dengan individu lain, adalah tidak dibenarkan pelanggaran privasi lewat penyadapan terhadap perilakunya. Hal ini dapat diilustrasikan secara gamblang dalam kasus Mantan Presiden Nixon di Amerika Serikat yang ketahuan menyadap lawan politiknya.
Seorang pribadi yang tidak melanggar hukum, kedudukan hukum serta perlindungan hukum dasar, primer, dan sekundairnya tetap utuh dan sempurna. Hal ini berdasarkan falsafah harmoni dalam ekosistem, yakni kita harus memilih untuk memegang hal-hal tertentu saja. Tak dapat kita memilih untuk memegang dan menguasai segala hal, sementara kita hanya memiliki dua tangan untuk menggenggam.
Seorang penjahat yang menyatakan bahwa dirinya menuntut privasi, adalah suatu sikap yang “keterlaluan”, yakni terlalu banyak meminta dan menuntut hak yang sejatinya telah dilepaskan oleh tangannya sendiri ketika dirinya hendak merenggut hak pihak lain secara melawan hukum.
Tak ada penjahat yang ingin aksinya diketahui oleh publik terlebih oleh penegak hukum. Bila seseorang tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya ataupun ucapannya, maka bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak seberang yang mungkin memegang dan “termakan” oleh perbuatan dan ucapan dari pihak pelaku kejahatan tersebut?
Hal ini berdasar pada falsafah gentlement action, yakni kita tidak dapat dibenarkan “menjilat ludah dan menghapus jejak” kita sendiri dengan tujuan untuk memanipulasi ataupun mengelabui pihak lain.
Mengenai prinsip gentlement action amat menyerupai prinsip gentlement agreement dalam ranah hukum perdata. Umpama seorang pengusaha licik mengelabui penyedia jasa/barang, dengan menjanjikan fee sekian rupiah, namun tidak memberi bukti tertulis apapun dengan hanya membuat yakin bahwa dirinya adalah pengusaha jujur dan bersikap ksatria. Di penghujung hari, janji hanya tinggal sekadar janji. Bukti tertulis deal mengenai harga tidak pernah diberikan karena memang niat utamanya untuk menipu dan mengelabui. Kepercayaan telah disalahgunakan oleh sang pengusaha licik, sebagaimana kerap terjadi.
Begitupula terhadap prinsip gentlement action, korban pelaku penipuan bisa jadi termakan oleh bujuk rayu pelaku, sehingga timbul keyakinan korban atas pelaku. Korban memegang erat setiap janji pelaku, maka adalah tidak dibenarkan bila kemudian pelaku menjilat ludahnya sendiri dengan mengatakan bahwa sang korban tak pernah meminta izin pada dirinya untuk merekam pembicaraan mereka sebelumnya.
Konsep klasik “tiada penegakan hukum tanpa alat bukti yang didapat secara tidak melawan hukum” sejatinya hanya memberi angin surga kepada pelaku kejahatan “kerah putih”. sudah cukup banyak korban berjatuhan akibat penerapan konsep klasik tersebut secara kaku dan membuta.
Hal tersebut sama salah kaprahnya dengan konsepsi “hak asasi manusia” (HAM) yang bersifat parsial tanpa mengakui adanya ikatan “kewajiban asasi manusia” yang senantiasa menyertai bagaikan bayangan yang mengikuti sang pengemban HAM.
Sayangnya, hingga kini Konvensi Internasional mengenai Kewajiban Asasi Manusia yang sudah diwacanakan sejak era Bill Clinton menjabat sebagai Presiden USA, hingga kini mangkrak karena kurangnya dukungan politis negara-negara global.
Pelaku kejahatan senantiasa berlindung dibalik HAM dirinya sendiri ketika aksi kejahatannya terkuat. Demikianlah akibat rusaknya sendi-sendi harmoninasi antara hak dan kewajiban dalam konsep hukum klasik di Indonesia, yang masih dianut dalam praktiknya dan terus digaungkan dalam jenjang pendidikan tinggi hukum di Tanah Air.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.